Bab Ii

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii as PDF for free.

More details

  • Words: 5,846
  • Pages: 32
BAB II SEKILAS TENTANG ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA DAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA SERTA PADANGAN UMUM TENTANG RUKYATUL HILAL DAN RUKYAT GLOBAL

A. SEKILAS TENTANG ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA 1. Sejarah Berdirinya Organisasi Nahdlatul Ulama Nahdatul Ulama berarti kebangkitan ulama, adalah sebuah organisasi keagamaan yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Surabaya. Tokoh utama pencetus Pendiri NU adalah Hadhratu ‘I-Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy ‘ari (1871-1947). Organisasi ini lahir dari komite Hijaz yang dibentuk karena kekhawatiran terhadap pengaruh kaum Wahabi yang berkuasa di Mekkah. Tujuan Organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam haluan Ahlu ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah dan penganut salah satu mazhab yang empat, yaitu : Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Dalam kenyataannya yang dianut adalah mazhab Syafi’i. Kepengurusan NU terdiri dari atas : Mustasyar yang berfungsi sebagai badan Penasihat, Syuriah yang berfungsi sebagai Pimpinan Tertinggi, dan tanfidziyah yang berfungsi sebagai Pelaksana Harian. Selain itu kepengurusan NU juga dilengkapi dengan berbagai lajnah, lembaga dan badan otonomi.1 1

Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta : PT. Delta Pamungkas, 1997), h. 10

15

2. Profil Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama Tokoh pendiri Nahdlatul Ulama yang sangat dikenal masyarakat sebagai pendiri berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama adalah K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari. K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, Dilahirkan pada 14 Februari 1871 (1284 H) sebelum orangtuanya pindah dari Demak, Jawa Tengah, ke Jombang, Jawa Timur, pada tahun 1876. Ayahnya, Kiai Asy’ari, pendiri Pesantren Keras, nama sebuah desa dekat Jombang, pada 1876. Hasyim adalah anak laki-laki ketiga dari sebelas orang bersaudara : 7 orang laki-laki dan 4 orang wanita. Sebagai anak seorang Kiai, ia memperoleh pendidikan dasar keagamaannya dari orang tuanya langsung. Sejak umur 15 tahun, secara berpindah-pindah, ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain yang berada di wilayah Jawa Timur dan Madura. Pada 1892, setelah melangsungkan perkawinannya, ia berangkat ke Mekah. Tujuh bulan kemudian, istrinya meninggal, dan ia kembali ke Indonesia. Tahun berikutnya, 1893, ia berangkat kembali ke Mekah dan belajar di sana selama 7 tahun, di antaranya kepada Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau. Pada tahun 1899 ia kembali ke Indonesia dan pada tahun yang sama ia dibantu oleh saudara iparnya, Kiai Alwi, ia mendirikan Pesantren Tebuireng, di Jombang. Pesantren tersebut memulai kegiatannya dengan 7 orang santri. Namun, beberapa bulan kemudian santrinya bertambah menjadi 28 orang. Secara berangsur-angsur, nama pesantren dan pengasuhnya semakin

16

termasyhur. Karenanya, bukan saja para santri yang datang dan belajar di sana, tetapi juga para kiai. Bahkan, yang sebelumnya pernah menjadi Kiai Hasyim, misalnya pernah berkunjung ke Tebuireng untuk mengikuti pelajaran yang ia berikan. Ini menunjukkan bahwa kealimannya sudah diterima masyarakat pesantren. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan Kiai Hasyim, yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (Guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para Kiai hasil didikan Kiai Hasyim. Di antara pesantren-pesantren tersebut adalah pesantren Asembagus ( Situbondo, Jawa Timur), pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), pesantren Denanyar (Jombang, Jawa Timur), pesantren Manba Al-Ma’arif (Jombang) dan pesantren Lasem (Remang, Jawa Tengah). Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, Kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya, Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekah, sebenarnya ia pun mengenal ie-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berfikir dan pengabaian mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil ijtihad para imam

17

mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat Kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama NU. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum, NU (1926-1947). Ketokohan Kiai Hasyim di kalangan masyarakat dan organisasi Islam Tradisional bukan saja sentral, tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin. Selain mengembangkan Islam melalui lembaga pesantren dan organisasi sosial keagamaan, ia pun aktif mengorganisir perjuangan politik melawan kolonial. Untuk menggerakkan massa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda, ia mengemukakan fatwa politik keagamaan. Menurutnya, umat Islam diharamkan berkompromi dengan dan menerima bantuan apa pun dari Belanda. Bahkan, perjuangan menentang Belanda adalah Jihad, perang suci. Selain itu, ia pun melarang kaum muslimin Indonesia menumpang kapal Belanda dalam melakukan perjalanan ibadat haji. Dengan demikian ia telah memainkan peranan sebagai tokoh karismatik. Jauh sebelumnya, sesungguhnya, gejala ini telah terbaca oleh pemerintah pendudukan Jepang. Untuk menarik simpati masyarakat Islam Indonesia dan agar mereka tidak membuka front pergerakan terhadap pemerintahan Jepang, Kiai Hasyim, diangkat pemerintah pendudukan Jepang sebagai Kepala kantor Urusan Agama (Shumubu) untuk wilayah Jawa dan

18

Madura pada tahun 1944. Namun karena Kiai Hasyim tidak dapat meninggalkan lembaga pendidikan asuhannya, pada prakteknya jabatan tersebut diserahkan kepada anaknya, K.H. Abdul Wahid Hasyim. Ketika Organisasi Sosial Keagamaan masyumi dijadikn parpol pada tahun 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai KETUM , setahun kemudian 7 September 1947 (1367 H), K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.2 3. Metode Dakwah Organisasi Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama atau lebih terkenal dengan singkatan NU, merupakan organisasi Islam berhaluan ahlus sunnah wal jama’ah dengan berpegang teguh pada salah satu dari 4 madzhab, yaitu Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.3 Berdirinya NU tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari AlQur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-Qur-an dan Hadits). Secara rinci ajaran ini, seperti dikutip oleh Marijan dari KH. Mustafa Bisri, ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab, yang dalam prakteknya para kyai NU menganut kuat madzhab Imam Syafi’i; (2) dalam soal tauhid, 2

IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992), h.

309-310. 3

H. M. Solikhin, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : RaSAIL, 2005), h. 161-162.

19

menganut ajaran Abu hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi; dan (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidi.4 Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ahlus sunnah wa al-jama’ah sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Menurut terminolog ini, maka penganut Sunni tidak hanya NU saja tetapi hampir semua umat Islam Indonesia adalah Sunni. Hanya saja kerangka pemahaman aswaja yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya, yaitu bahwa ajaran aswaja yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Madzhab ahlus sunnah wal jama’ah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya merupakan satu-kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam) jauh lebih dominan di banding dimensi yang lain. Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran, yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah 4

S. Sinansari Ecip, NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung : Mizan, 1994), h. 16.

20

ada ketentuannya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk megembangkannya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat dengan mendasarkan pada logika sebab akibat yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat. Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ahlus sunnah wal jama’ah yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud/stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”. Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensi metodologis/istinbath). Sedangkan basis sosial warga NU adalah pada masyarakat muslim yang secara keagamaan yang pada umumnya berbasis pesantren baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri.

21

Pergeseran

warga

dan

basis

sosial

NU

ini

pada

akhirnya

mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan di dalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu, yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermadzhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif. Adapun berkaitan dengan strategi dakwah yang dikembangkan oleh NU, maka pada tataran prakteknya sangat dipengaruhi oleh model pemikiran dan prilaku dalam pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada tiga sikap /karakteristik dalam beragama : 3.1.Tawassuth (moderat), yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan tanpa mengambil sikap ekstrim (tatharruf). Sikap ini dalam konteks hukum adalah keseimbangan dalam menggunakan wahyu dan akal dalam konteks aqidah tidak gampang memberikan vonis kafir, sesat kepada orang lain. Mengambil sikap tengah antara wahyu dan akal, Taqdir dan ikhtiyar dan antara taqlid dan ijtihad. 3.2.Tawazun dan Ta’adul (keseimbangan), yaitu sikap yang terepleksi dalam tata pergaulan baik dimensi politik maupun budaya dengan mengambil

22

sikap akomodatif kritis dengan mengembangkan seruan amar ma’ruf nahi munkar. 3.3.Tasamuh (toleran), yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap menghormati keragaman pemahaman, tindakan maupun gerakan dalam konteks keislaman. Prinsip ini dimaksudkan dalam upaya membangun ukhuwwah Islamiyah. Dengan mendasarkan pada tiga pilar maka strategi perjuangan dakwah NU menuju ‘izzul Islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan kultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya lokal sebagai instrumen dakwahnya.5

B. SEKILAS TENTANG ORGANISASI HIZBUT TAHRIR 1. Sejarah Berdirinya Organisasi Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir (HT) secara etimologis adalah “Partai pembebasan”. Hizbut Tahrir didirikan oleh Sheikh Taqiyyudin an-Nabhani (1909-1979) pada

5

Anang Luqman Afandi, Gerakan-Dakwah-Kultural-NU-di-Indonesia dalam http://anank.wordpress.com/2009/01/26/.

23

tahun 1953 di Al-Quds, Palestina. Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya bukan sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Setelah Sheikh Taqiyyudin an-Nabhani wafat, kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Sheikh Abdul Qodim Zallum yang melanjutkan perjuangan dari pemimpin mereka sebelumnya. Sheikh Abdul Qodim Zallum digantikan pada tahun 2003 disebabkan wafatnya beliau, sehingga pucuk kepemimpinan Hizbut Tahrir Internasional dipimpin oleh Sheikh A. Abu Rostah hingga sampai saat sekarang ini.6 Adapun

latar

belakang

terbentuknya

Hizbut

Tahrir

adalah

berdasarakan ayat Al-Qur’an 104 dari Surat Ali Imron yang berbunyi :

Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Dari uraian ayat Al-Qur’an di atas, maka Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukumhukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun

6

Afadhal, et.al., Awani Irewati, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta : LIPI Press, 2005), h. 265-266.

24

kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT. dapat diberlakukan kembali. Hizbut tahrir menjalankan aktivitasnya lebih berfokus terhadap keadaan dunia politik secara global. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwahnya bukan sekadar memenuhi kewajiban, melainkan demi terwujudnya Sistem Khilafah dan diterapkannya kembali hukum-hukum Allah di muka bumi ini.7 Di Indonesia, organisasi Hizbut tahrir mendapatkan perhatian dari masyarakat

Indonesia,

terbukti

sejak

diselenggarakannya

konferensi

internasional di Istora Senayan, Jakarta yang mana dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir internasional maupun nasional serta tokoh-tokoh Islam dari organisasi lainnya. Sejak diselenggarakannya kofenrensi tersebut, Hizbut Tahrir resmi menjalankan aktivitasnya di Indonesia dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Adapun para tokoh HTI banyak bertempat tinggal di Bogor. Dalam lingkup nasional, HTI dipimpin oleh seorang Juru Bicara (Jubir) yang dipegang oleh Ismail Yusanto, HTI juga dibangun berdasarkan atas kemandirian yang memperoleh dana dari simpatisan dan tidak menerima bantuan dari pemerintah bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan penerimaan uang dari pihak luar. Untuk menjaga menjaga kemandirian dan

7

prinsip-penting-dakwah-hizbut-tahrir-2 dari Manhaj Hizbut Tahrir fit Tughoyyir dalam http://hizbut-tahrir.or.id., 05 Desember 2008

25

indepensi inilah, maka setiap sumbangan yang diberikan kepada HTI harus melalui penelitian yang seksama. Hizbut Tahrir Indonesia sejak awal di desain sebagai organisasi politik, Tetapi, berbeda dengan organisasi politik lainnya yang dikenal selama ini, HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai partai politik dalam pesta demokrasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pemilu. Hal ini karena menurut seorang mereka, dalam situasi sekarang ini banyaknya partai politik Islam justru membingungkan umat Islam. Oleh karena itu kelompok ini tidak mengikuti jejak partai-partai politik lain yang berdasarkan asas Islam untuk ikut andil dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif di dewan perwakilan rakyat.8 2. Profil Pendiri Organisasi Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar ilmuilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.

8

Afadhal, et.al., Awani Irewati, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Op.Cit., h. 266-267.

26

Nasab Beliau adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Nama An Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara. Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup beliau. Beliau telah hafal Al Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun. Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani, dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakek beliau mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari ayah dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an sehingga beliau hafal Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan

pendidikannya

ke

sekolah

menengah.

Sebelum

beliau

menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk

27

meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani. Syaikh

Taqiyuddin

kemudian

meneruskan

pendidikannya

di

Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa. Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan

untuk

bekerja

di

Mahkamah

Syariah.

Beliau

lebih

mengutamakan bekerja di bidang peradilan (qadha') karena beliau menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan yang lebih besar dari pada bidang peradilan, terutama peradilan syar'i. Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani lalu menjauhi bidang pengajaran dalam

28

Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau tak mendapatkan pekerjaan yang lebih layak selain pekerjaan di Mahkamah Syar'iyah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara’. Adapun kegiatan politik Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani di bidang politik sudah terlihat pada saat beliau masih remaja, hal ini dikarenakan pengaruh yang belia terima dari kakeknya Syeikh Yusuf An-Nabhani yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh dengan peradaban Barat, tokoh-tokoh Freemasonry dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap daulah Utsmaniyah. Ketika beliau kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada pada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.

29

Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Al-Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al-Khalil (Hebron), dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam. Seiring dengan waktu berlalu, beliau mengajukan diri untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun, Karena sikap beliau yang dinilai menyulikan, maka beliau tidak layak untuk masuk ke dalam Majelis Perwakilan. Namun, kegiatan politik beliau tidaklah berhenti, beliau tetap menjalin komunikasi dan diskusi-diskusi dengan para ulama, qadhi dan tokoh-tokoh politikus serta pemikir-pemikir Islam untuk membentuk sebuah partai politik yang beasaskan Islam. Beliau lalu menyodorkan kepada mereka tentang kerangka dasar pemikiran-pemikiran sebagai bekal dasar bagi partai yang akan terbentuk

30

nantinya. Dan pemikiran-pemikiran tersebut dapat diterima dan disetujui oleh para ulama tersebut, maka secara perlahan terbentuklah sebuah partai, yang mana diberi nama Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir yang dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin AnNabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut : a. Taqiyuddin An Nabhani, sebagai pemimpin Hizbut Tahrir. b. Dawud Hamdan, sebagai wakil pemimpin merangkap sekretaris. c. Ghanim Abduh, sebagai bendahara. d. Dr. Adil An Nablusi, sebagai anggota. e. Munir Syaqir, sebagai anggota.9

3. Metode Dakwah Organisasi Hizbut Tahrir Di Dalam kegiatan dakwah, Hizbut Tahrir menjalankan aktivitas dakwahnya agar membina ummat Islam untuk dijadikan kader-kader dakwah dan selalu Berinteraksi dengan Ummat agar terbentuk Kesadaran Umum terhadap Islam itu sendiri. 9

Muhammad Shiddiq Al Jawi, Biografi Singkat Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, (Bogor : Al Azhar, 2002), h. 4-11.

31

Karakter dakwah Hizbut Tahrir dilaksanakan melalui perubahan pemikiran paradigmanya, khususnya di bidang politis. Karena akar permasalahan umat menurut mereka adalah terletak pada persoalan politik, sehingga diperlukan pemimpin yang khas dan terorganisir dari jama’ah mereka yang mana bersifat non kekerasan, tapi bukan berarti mereka tidak mengajarkan ajaran jihad, namun yang lebih penting adalah pendekatan yang bersifat damai. Untuk itu penyelesaian masalah tersebut, maka Hizbut Tahrir mempunyai jaringan atau menjalin persaudaraan dengan berbagai kalangan di seluruh negara di dunia ini, yang mana mereka selalu menjalin komunikasi agar dakwah yang mereka cita-citakan terwujud nantinya, yaitu menegakkan kekhalifahan di muka bumi ini. Namun, kegiatan dakwah seperti ini sangatlah diperlukan kesabaran yang tinggi, waktu yang cukup panjang dan selalu istiqomah dengan apa yang direncanakan buat dakwah mereka tersebut.10 Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah Saw, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi :

Artinya :

10

Afadhal, et.al., Awani Irewati, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Loc. Cit., h. 276.

32

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah)”. Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur, karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah SWT., maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah saw diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan meneladani Rasulullah saw. Dengan mendalami sirah Rasulullah Saw, di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah Saw, inilah Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah saw dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya. Berdasarkan sirah Rasulullah saw tersebut, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam tiga tahapan berikut :

33

a. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai. b. Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. c. Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.11

C. PANDANGAN UMUM TENTANG RUKYATUL HILAL DAN RUKYAT GLOBAL 1. Pengertian Rukyatul Hilal dan Rukyat Global a. Pengertian Rukyatul Hilal 1) Dari Segi Bahasa

11

2004

Syabab Muslim, Mengenal Hizbut Tahrir, dalam http://www.mail-archive.com., 10 Desember

34

“Rukyat” (‫ )ﺮﺆﻴﺔ‬adalah lafadz bahasa Arab yang berarti “melihat”, kata kerjanya Ra’a (‫)ﺮﺃﻱ‬. Ra’a (‫ )ﺮﺃﻱ‬mempunyai beberapa masdhar, antara lain rukyan (

‫ )ﺮﺆﻴﺎ‬dan rukyatan (‫)ﺮﺆﻴﺔ‬. Rukyan berarti “mimpi” (‫)ﻤﺎ ﺘﺭﺍﻩ ﻔﻲ ﺍﻠﻤﻨﺎﻢ‬, sedangkan rukyatan berarti “melihat dengan mata atau akal atau dengan hati”

‫) ﻨﻈﺮﺒﺎﻠﻌﻴﻦ ﺍﻭ ﺒﺎﻠﻌﻗﻞ ﺍﻭ ﺒﺎﻠﻗﻠﺐ‬

). Kedua masdhar

tersebut mempunyai isim jamak yang sama, yaitu Ru‘an (‫)ﺮﯚﻱ‬.12 Sadangkan hilal (‫ ) ﻫﻼ ﻞ‬adalah bahasa Arab Dzuhur (‫) ﻈﻬﺭ‬ yang berarti “tampak”, “muncul”, “kelihatan”, dan sehubungan yang dibicarakan tentang ilmu Falak, makna hilal di sini adalah bulan (

‫)ﺍﻠﺸﻬﺭ‬. Asal kata hilal adalah “Halla - yahullu - hilaalan”(‫ ﻴﻬﻞ‬- ‫ﻫﻼﻻ‬

‫ ﻫﻞ‬-) yang berarti “menampakkan - melihatkan - pemunculan”. Contoh kalimatnya adalah “Telah nampak akan bulan” (‫)ﻈﻬﺭﻫﻼ ﻠﻪ‬.13 Dalam penggunaan kesehariannya, lafadz rukyat sering dipakai oleh para Ahli Fiqih atau masyarakat luas untuk pengertian melihat bulan baru yang ada kaitannya dengan awal bulan qomariyah. 2) Dari Segi Istilah

12 13

Kamus Munjid fil Lughati wal I’lami, (Lebanon : Darul Masyriq, 1986), h. 243. Ibid, h. 869.

35

Pengertian dari segi istilah mengalami berbagai perkembangan sesuai dengan fungsi dan kepentingan penggunaannya. Semula pengertian rukyat adalah kegiatan melihat hilal pada saat matahari terbenam pada akhir bulan Sya’ban atau Ramadhan dalam rangka menentukan awal bulan qomariyah berikutnya. Jika pada saat matahari terbenam tersebut hilal dapat di lihat, maka pada malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu dari bulan baru tersebut. Sedangkan apabila hilal tidak tampak, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung atau dengan kata lain jumlah hari digenapkan menjadi 30 hari pada bulan tersebut (diistikmalkan). Pengertian tersebut didasarkan kepada hadits Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah yang berbunyi14 :

‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﺁﺪﻡ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﺸﻌﺒﻪ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﺪ ﺒﻦ ﺯﻴﺎﺪ ﻘﺎﻞ ﺴﻤﻌﺖ ﺃﺒﺎ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﺮﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬ : ‫ﻴﻗﻮﻞ ﻗﺎﻞ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺃﻮ ﻗﺎﻞ ﺃﺒﻮ ﺍﻠﻗﺎﺴﻢ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ‬ ‫ﺼﻮﻤﻮ ﺍﻠﺮﯚﻴﺘﻪ ﻮﺃﻔﻂﺮ ﻮ ﺍﻠﺮﯚﻴﺘﻪ ﻔﺈﻦ ﻏﺒﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻔﺎﻜﻤﻠﻮ ﺍﻋﺪﺓ ﺸﻌﺒﺎﻦ ﺜﻼ ﺜﻴﻦ‬ ‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ‬۰﴾ Artinya :

14

Al-Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Beirut-Lebanon : Al-Maktab Al-Ashariyah, 1997), h. 567.

36

“Telah menceritakan kepada kami Adam,dari Syu’bah, dari Muhammad bin Ziad, ia berkata : Saya telah mendengar Abu Hurairah r.a, berkata : bahwasanya Nabi Saw, atau Abu Al-Qosim bersabda : Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Maka jika tidak terlihat olehmu, sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 (tiga puluh) hari”.15 Dalam perkembangan selanjutnya, “melihat hilal” tersebut tidak hanya dilakukan pada akhir Sya’ban dan Ramadhan saja, namun juga pada bulan-bulan lainnya terutama menjelang awal-awal bulan yang ada kaitannya dengan waktu pelaksanaan ibadah atau hari-hari besar Islam, seperti Zulhijjah, Muharram, Rabi’ul Awwal dan Rajab. Bahkan untuk hasil pengecekan hasil hisab serta melatih keterampilan pelaksana “melihat hilal” tersebut dilakukan setiap awal bulan Qomariyah. Sehingga dengan demikian, pelaksanaan rukyat tidak hanya dilakukan pada awal bulan Ramadhan dan Syawal saja namun juga dapat dilakukan pada awal bulan-bulan Qomariyah lainnya. b. Pengertian Rukyat Global Rukyat dalam pengertiannya memiliki arti yang sama dengan definisi rukyat secara bahasa dengan pengertian yang dimiliki oleh kalangan NU, yaitu “melihat”. Sedangkan Global dalam pengertiannya secara bahasa adalah “secara umum” dan “seluruh dunia”.16

15

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 222. Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), h. 320 16

37

Dari penjelasan segi bahasa, maka adapun pengertian rukyat global itu sendiri adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya. 2. Dasar-Dasar Hukum Rukyatul Hilal dan Rukyat Global a. Dasar Hukum Rukyatul Hilal Dalam Al Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menegaskan tentang

memerintahkan

melaksanakan

rukyattul

hilal

dalam

hal

menentukan awal bulan Qomariyah. namun, Al Qur’an banyak pula mengemukakan tentang gerak dan keadaan benda langit, terutama tentang bulan dan matahari serta dikaitkan dengan periode bulan Qomariyah. Diantara ayat-ayat tersebut adalah ayat 5 dari surat Yunus, yaitu :

Artinya : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

38

Kalimat ‫ ﻮﻗﺪﺭﻩ ﻤﻨﺎﺰﻝ‬di sambung dengan kalimat ‫ﻠﺘﻌﻠﻤﻮﺍ ﻋﺪ ﺪ‬

‫ ﺍﻠﺴﻨﻴﻦ ﺍﻠﺤﺴﺎﺐ‬menunjukkan bahwa bilangan yang dimaksud oleh ayat tersebut merupakan tahun Qomariyah sebagai rangkaian dari bulan-bulan qomariyah.17 Dalam Surat Yaasin ayat 39 disebutkan Allah menjadikan manzilah-manzilah bulan, sehingga setelah bulan menduduki manzilah terakhir, ia kembali mempunyai bentuk tandan tua. Bentuk bulan seperti dari bumi, setiap hari mengalami perubahan. Bermula kecil seperti tandan tua, kemudian membesar dan setengah lingkaran, lalu menjadi purnama satu lingkaran penuh, kemudian mengecil kembali, lalu menghilang dan akhirnya muncul kembali berbentuk seperti tandan tua yang digambarkan oleh ayat tersebut di atas. Periode perubahan bentuk tersebut sebagai akibat perpindahan menelusuri satu manzilah (tempat) ke manzilah (tempat) lainnya dan merupakan periode pergantian waktu bulan Qomariyah. Bentuk bulan seperti tandan tua adalah bentuk bulan yang terjadi pada awal bulan Qomariyah. Ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang berkaitan dengan benda-benda langit dan yang menyangkut dengan awal bulan Qomariyah antara lain Al

17

Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al Qur’an 30 Juz Huruf Arab dan Latin, (Bandung : PT. Firma Sumatera bandung, 1978), h. 417.

39

Baqarah : 189, Al Isra : 12, At Taubah : 36, An Nahl : 16, Al Anbiya : 33, Al An’am : 96 dan 97, Yaasin : 40 dan Ar Rahman : 5 dan 33. Adapun Hadits-hadits yang menyatakan untuk memerintahkan rukyatul hilal dalam hal penetapan awal dan akhir bulan Qomariyah dapat kita temukan dengan jelas dan tegas unuk melakukan rukyatul hilal. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, tersebut di antaranya :

‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻴﺤﻴﻰ ﺒﻦ ﺒﻜﻴﺭ ﻗﺎﻞ ﺤﺪﺜﻨﻲ ﺍﻠﻠﻴﺚ ﻋﻥ ﻋﻗﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﺒﻦ ﺸﻬﺎﺏ ﻗﺎﻞ ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ ﺴﺎﻠﻢ‬ ‫ﺒﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺒﻦ ﻋﻤﺭ ﺃﻦ ﺍﺒﻦ ﻋﻤﺭ ﺭﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻞ ﺴﻤﻌﺕ ﺮﺴﻮﻝ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ﻴﻗﻮﻞ ﺇﺬﺍ ﺮﺃﻴﺘﻤﻮﻩ ﻔﺼﻮﻤﻮﺍ ﻮ ﺇﺬﺍ ﺮﺃﻴﺘﻤﻮﻩ ﻔﺄﻔﻂﺮﻮﺍ ﻔﺈﻦ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻔﺎﻗﺪﺮﻮﺍ‬ ۰﴾‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯ‬۰ ‫ﻠﻪ ﻮ ﻗﺎﻞ ﻏﻴﺮﻩ ﻋﻦ ﺍﻠﻠﻴﺚ ﺤﺪﺜﻨﻲ ﻋﻗﻴﻞ ﻮ ﻴﻮﻨﺲ ﻠﻬﻼﻞ ﺭﻤﻀﺎﻦ‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, dari Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin ‘Umar bahwasanya Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah SAW, berkata : Apabila kalian melihatnya (hilal), maka berpuasalah kalian, dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah (berhari raya), dan jika terlindung awan (mendung), maka genapkanlah baginya. Dan berkata pula yang lainnya dari riwayat Laits, telah menceritakan kepada saya, yaitu ‘Uqail dan Yunus bahwasanya ini untuk menentukan awal bulan Ramadhan”. (H.R. Al Bukhari).

‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺒﻦ ﻤﺴﻠﻤﺔ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺎﻠﻚ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺒﻦ ﻋﻤﺮ‬ ‫ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻦ ﺮﺴﻮﻝ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻠﺸﻬﺮ ﺘﺴﻊ ﻭ ﻋﺸﺮﻭﻦ ﻠﻴﻠﺔ‬ ۰﴾‫ ﴿ﺭﻮﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯ‬۰ ‫ﻔﻼ ﺘﺼﻭﻤﻭﺍ ﺤﺘﻰ ﺘﺮﻮﻩ ﻔﺈﻦ ﻏﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻔﺄﻜﻤﻠﻮﺍ ﺍﻠﻌﺪﺓ ﺜﻼ ﺜﻴﻦ‬

40

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Muslamah, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar r.a., bahwasanaya Rasulullah SAW, berkata : Satu bulan itu jumlahnya 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa apabila kalian melihatnya (hilal). Tetapi apabila kalian tidak melihatnya disebabkan awan atau mendung, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari”. (H. R. Al Bukhari).18 Selain itu pula, terdapat ijtihad Ibnu Abbas, r.a, yang digunakan untuk penetapan awal dan akhir bulan Qomariyah. Ijtihad Ibnu Abbas, r.a, dapat dilihat dari uraian hadits di bawah ini yang diriwayatkan oleh Kuraib, r.a, yaitu :

.‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺒﻦ ﺤﺠﺮ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﺇﺴﻤﺎﻋﻴﻞ ﺒﻦ ﺠﻌﻔﺭ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﻤﺤﻤﺩ ﺒﻦ ﺃﺒﻲ ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ ﻜﺭﻴﺐ‬ ‫ ﻔﻘﺪﻤﺖ ﺍﻠﺸﺎﻢ ﺤﺎﺠﺘﻬﺎ ﻮﺍﺘﻬﻞ‬:‫ ﻘﺎﻞ‬٬‫ﺍﻦ ﺃﻢ ﺍﻠﻔﻀﻞ ﺒﻨﺖ ﺍﻠﺤﺎﺭﺚ ﺒﻌﺜﺘﻪ ﺇﻠﻰ ﻤﻌﺎﻮﻴﺔ ﺒﺎﻠﺸﺎﻢ‬ ‫ ﺜﻢ ﻘﺪﻤﺖ ﺍﻠﻤﺪﻴﻨﺔ ﻔﻰ ﺃﺨﺭ‬،‫ﻋﻠﻲ ﻫﻼﻞ ﺮﻤﻀﺎﻦ ﻮﺍﻨﺎ ﺒﺎﻠﺸﺎﻢ ﻔﺮﺃﻴﻨﺎ ﺍﻠﻬﻼﻞ ﻠﻴﻠﺔ ﺍﻠﺠﻤﻌﺔ‬ ‫ ﺃﻨﺖ ﺭﺃﻴﺘﻪ ﻠﻴﻠﺔ ﺍﻠﺠﻤﻌﺔ؟ ﻔﻘﻠﺖ ﺭﺁﻩ‬:‫ﺍﻠﺸﻬﺭ ﻔﺴﺄﻠﻨﻰ ﺍﺒﻦ ﻋﺒﺎﺲ ﺜﻢ ﺬﻜﺭﺍ ﺍﻠﻬﻼﻞ ﻔﻘﺎﻞ‬ ‫ ﻠﻜﻦ ﺮﺃﻴﻧﺎﻩ ﻠﻴﻠﺔ ﺍﻠﺴﺒﺖ ﻔﻼ ﻧﺰﺍﻞ ﻧﺼﻮﻢ ﺤﺘﻰ‬:‫ ﻔﻘﺎﻞ‬٬‫ﺍﻠﻨﺎﺲ ﻔﺼﺎﻤﻮﺍ ﻮﺼﺎﻢ ﻤﻌﺎﻮﻴﺔ‬ ‫ ﺃﻻ ﺘﻜﺘﻔﻰ ﺒﺮﺆﻴﺔ ﻤﻌﺎﻮﻴﺔ ﻮﺼﻴﺎﻤﺔ؟ ﻻ ﻫﻜﺬﺍ ﺃﻤﺭﻨﺎ‬:‫ ﻔﻘﻠﺖ‬٬‫ﻧﻜﻤﻞ ﺜﻼﺜﻴﻦ ﻴﻮﻤﺎ ﺃﻮﻧﺮﺍﻩ‬ ‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ ﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺉ‬.‫﴾ﺭﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ‬ Artinya :

18

Al-Imam Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Beirut-Lebanon : Al-Maktab Al-Ashariyah, 1997), h. 565 dan 567

41

“Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail bin Ja’far memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Abu Harmalah memberitahukan kepada kami, Kuraib memberitahukan kepada saya, “Bahwa Ummul Fadh binti Al-Harits mengutusnya (menghadap) kepada Mu’awiyah di Syam. Ia berkata : “Saya sampai ke Syam lantas saya memenuhi kebutuhannya dan nampak bagi saya bulannya bulan Ramadhan terbit sedangkan saya berada di Syam dan kami melihat bulan itu pada malam jum’at, kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan dan Ibnu Abbas bertanya kepada saya kemudian ia menyebutkan masalah bulan itu di mana ia berkata : “Kapan kamu melihat bulan itu ? “Saya menjawab : kami melihatnya pada malam jum’at”. Ia bertanya : “Kamu juga melihatnya pada malam jum’at ?” Saya menjawab bahwa orang-orang melihatnya (pada malam jum’at) kemudian mereka berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa. Kemudian ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam sabtu lantas kami senantiasa berpuasa sehingga menyempurnakan hingga tiga puluh hari atau (sampai) kami melihatnya”. Saya lantas berkata : “Apakah kamu tidak merasa cukup dengan melihat dan berpuasanya Mu’awiyah ?” Ia menjawab : “Tidak, demikianlah Rasulullah Saw, memerintahkan kepada kami”.19 Berdasarkan penjelasan hadits di atas, bahwa menurut ulama setiap penduduk negeri dapat merukyat (melihat bulan) di negeri mereka. Dalam artian, di tiap negeri boleh saja berbeda-beda dalam menentukan awal dan akhir bulan hijriyah. b. Dasar Hukum Rukyat Global Berdasarkan wawancara penulis dengan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia wilayah samarinda, Bapak Rudi Harianto, ST, bahwasanya di dalam Al-Qur’an jarang menerangkan tentang cara melakukan rukyat secara jelas. Namun, di dalam Al-Qur’an banyak memberikan gambaran

19

Muhammad Isa bin Surah Al-Mutawwaf, Sunan At-Tarmidzi, Juz II, (Beirut – Lebanon : Dar El-Fikr), h. 161.

42

mengenai pergerakan-pergerakan benda angkasa atau di langit, sehingga diperjelas lagi di dalam hadits Nabi Saw. Untuk dasar hukum yang berasal dari Al-Qur’an, antara lain Surat Yunus ayat 5, Surat Yaasin ayat 38-39 dan lain-lainnya. 1) Surat Yunus ayat 5

Artinya : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” 2) Surat Yaasin ayat 38-39

Artinya : ”dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan

43

bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. Mengenai dasar hukum yang dipakai oleh kalangan Hizbut Tahrir adalah hadits marfu’ Nabi Muhammad SAW, dari Ibnu Abbas, r.a, bukan ijtihad ibnu Abbas, r.a,20 yaitu :

‫ ﻋﻦ ﺍﺒﻦ‬٬ ‫ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻤﺔ‬٬ ‫ ﻋﻦ ﺴﻤﺎﻚ‬٬ ‫ ﻋﻦ ﺰﺍﺌﺪﺓ‬٬ ‫ﺤﺪﺜﺎ ﺍﻠﺤﺴﻦ ﺒﻦ ﻋﻠﻲ ﺤﺩ ﺜﻨﺎ ﺤﺴﻴﻦ‬ ‫ﻋﺒﺎﺱ ﻘﺎﻞ ׃ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ׃ ﻻ ﺘﻘﺪﻤﻮﺍ ﺍﻠﺸﻬﺮ ﺒﺼﻴﺎﻢ ﻴﻮﻢ‬ ‫ ﻔﺈﻦ ﺤﺎﻞ ﻏﻤﺎﻤﺔ‬٬‫ﻮﻻ ﻴﻮﻤﻴﻦ ﺇﻻ ﺃﻦ ﻴﻜﻮﻦ ﺸﺊ ﻴﺼﻮﻤﻪ ﺃﺤﺪﻜﻢ ﻮﻻ ﺘﺼﻮﻤﻮﺍ ﺤﺘﻰ ﺘﺮﻮﻩ‬ ‫ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ ﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺉ‬۰ ‫ ﻮ ﺍﻠﺸﻬﺮ ﺘﺴﻊ ﻮﻋﺸﺮﻮﻦ‬٬‫ ﺜﻢ ﺃﻔﻂﺮﻮﺍ‬۰ ‫﴾ﻔﺄﺘﻤﻮﺍ ﺜﻼﺜﻴﻦ‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali dari husein dari Zaa idah dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, r.a, ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda : Janganlah memajukan bulan dengan puasa satu hari, dan tidak pula dua hari, kecuali suatu hari yang memang menjadi kebiasaan seseorang diantara kamu berpuasa. Janganlah berpuasa hingga kamu melihatnya (hilal), jika hilal itu terlindung awan, maka hendaklah kamu sempurnakan tiga puluh hari, kemudian berbukalah, dan bulan itu sebanyak dua puluh sembilan hari. (telah meriwayatkan atTarmidzi dan an-Nasai). 21

20

Hasil wawancara Penulis dengan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia Samarinda, Bapak Rudi Harianto, ST, di Samarinda tanggal 15 Mei 2009. 21 Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidy, Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut – Lebanon : Dar alKotob al-Ilmiyah, 1996), h. 166.

44

Bagi kalangan Hizbut Tahrir, Ijtihad Ibnu Abbas, r.a, tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal dan akhir bulan Qomariyah dan tidaklah bisa dipakai untuk dijadikan sumber pelaksanaan rukyat itu sendiri. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir dalam memberikan landasan sumber pelaksanaan rukyat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang langsung tersambung oleh Nabi Saw, yang seperti di atas, bukan berdasarkan ijtihad Ibnu abbas, r.a. Dan diperkuat hadits dari Ibnu Umar, r.a, yaitu :

‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﻮﺪ ﺒﻦ ﺨﺎﻠﺪ ﻮﻋﺒﺪﺍﷲ ﺒﻦ ﻋﺒﺪﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺍﻠﺴﻤﺮﻘﻨﺪﻱ ﻮﺇﻨﺎ ﻠﺤﺪﻴﺜﻪ ﺃﺘﻘﻦ ﻘﺎﻞ׃‬ ‫ ﻋﻦ‬٬‫ ﻋﻦ ﻴﺤﻴﻰ ﺒﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺒﻦ ﺴﺎﻠﻢ‬٬‫ ﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺒﻦ ﻮﻫﺐ‬٬‫ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺮﻮﺍﻦ ﻫﻮ ﺍﺒﻦ ﻤﺤﻤﺪ‬ ‫ ﻋﻦ ﺃﺒﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﺒﻦ ﻋﻤﺮ ﻘﺎﻞ׃ ﺘﺮﺃﻯ ﺍﻠﻨﺎﺲ ﺍﻠﻬﻼﻞ ﻔﺄﺨﺒﺮﺖ ﺍﻠﻨﺒﻲ‬٬‫ﺃﺒﻲ ﺒﻜﺮ ﺒﻦ ﻨﺎﻔﻊ‬ ‫﴿ﺮﻮﺍﻩﺃﺒﻮﺪﺍﻮﺪ‬.‫ ﺇﻨﻰ ﺮﺃﻴﺖ ﺍﻠﻬﻼﻞ ﻔﺼﺎﻢ ﻮ ﺃﻤﺮﺍﻠﻨﺎﺲ ﺒﺼﻴﺎﻤﻪ‬: ‫﴾ﺼﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻡ‬ Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid dan Abdullah bin Abdurrahman As-Samarkandi, dan sesungguhnya kami telah menegaskan haditsnya, dia berkata : Telah bercerita Marwan, yaitu anak Muhammad, dari Abdullah bin Wahab dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Abi Bakr bi Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar r.a, dia berkata : ”Telah kukabari Nabi Saw, bahwasanya aku melihat hilal (bulan) Ramadhan, maka puasalah Nabi Saw, dan disuruhnya akan sekalian manusia untuk berpuasa”. 22 Sedangkan Imam Hanafi, Maliki dan hambali berpendapat bahwa “Bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh 22

Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidy, Sunan Abi Daud Juz II, (Beirut-Lebanon : Dar alIlmiyah), h. 171.

45

penduduk berbagai daerah wajib berpuasa tanpa menbedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal”.23

23

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta : Lentera, 1996), h. 170.

Related Documents

Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48
Bab Ii
June 2020 44
Bab Ii
October 2019 82