Wrap Up Sk 1 Blok Urin.docx

  • Uploaded by: Annisa Ulfa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wrap Up Sk 1 Blok Urin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,629
  • Pages: 40
SKENARIO URIN KEMERAHAN Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang air kecil kemerahan seperti air cucian daging sejak dua hari yang lalu. Keluhan disertai dengan buang air kecil menjadi sedikit. Satu minggu yang lalu pasien mengalami demam dan nyeri tenggorokan, sudah diperiksa ke dokter, diberi obat antibiotik dan sembuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum composmentis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 100 ×/menit, suhu 37,5 ̊C, frekuensi napas 34×/menit, edema tidak ada, jantung dan paru dalam batas normal. Urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.

1

KATA SULIT 1. Urinalisis : pemeriksaan penunjang yang membantu menegakkan diagnosis pada gangguan fungsi ginjal dan saluran kemih, maupun gangguan diluar dari sistem kemih seperti hati, saluran empedu, pankreas, dan korteks adrenal. 2. Hematuria : adanya sel darah merah didalam urin 3. Proteinuria : adanya protein dalam urin yang melebihi kadar normal yaitu >150 mg/24 jam. PERTANYAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kenapa pada pasien buang air kecil menjadi sedikit? Kenapa tekanan darah pasien menjadi naik? Kenapa terjadi proteinuria dan hematuria pada pasien? Kenapa frekuensi napas pasien menjadi lebih cepat dari normal? Kenapa pada pasien tidak terjadi udem? Apa hubungan penyakit sekarang dengan sakit tenggorokan yang dialami pasien sebelumnya? 7. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit seperti pada skenario? 8. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan? 9. Apa diagnosis dari skenario? 10. Apa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan? 11. Apa saja pemeriksaan urinalisis yang dilakukan? 12. Bagaimana tatalaksana yang dapat dilakukan untuk pasien? JAWABAN 1. Karena terjadi peningkatan sel podosit akibat kerusakan glomerulus yang menyebabkana terjadinya retensi urin. 2. Karena gangguan pada ginjal menghasilkan renin yang mengaktivasi angiotensinogen dan berubah menjadi angiotensin I lalu diubah menjadi angiotensin II oleh ACE dan menghasilkan aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan air yang dapat meningkatkan volume darah. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah. 3. Karena kerusakan pada glomerulus yang mengakibatkan protein dan darah dapat lolos dari proses filtrasi. 4. Karena ada aktivasi angiotensin II yang meyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, tubuh memlakukan kompensasi dengan cara menarik napas lebih cepat agar asupan O2 jaringan dapat terpenuhi. Dan karena adanya hematuria yang mengakibatkan kadar hemoglobin turun jadi O2 yang di transport ke jaringan menjadi berkurang. 5. Karena pasien masih dalam fase akut dan belum terjadi hipoalbuminemia. 6. Terjadi infeksi pasca Streptococcus. 7. Usia (banyak terjadi pada anak-anak), sistem imun tubuh lemah, infeksi bakteri, malnutrisi. 8. Minum antibiotik hingga tuntas, minum air yang banyak, menjaga asupan nutrisi, istirahat yang cukup. 9. Glomerulo nefritis akut (GNA) 10. Tes fungsi ginjal, darah lengkap, USG, MRI.

2

11. Makroskopis Kejernihan Volume Warna Bau

Kimia Berat jenis pH Protein Glukosa Keton Nitrit Leukosit Darah Urobilinogen Birilubin 12. Diberikan antibiotik, tirah baring, ACEi, diuretik

Mikroskopis Sel darah merah Sel darah putih Silinder Epitel Bakteri Kristal Parasit

3

HIPOTESIS Glomerulo nefritis akut terjadi karena faktor usia (banyak terjadi pada anak-anak), sistem imun tubuh lemah, malnutrisi, dan infeksi bakteri. Salah satunya infeksi pasca Streptococcus yang dapat menyebabkan kerusakan pada glomerulus dan dapat meningkatan sel podosit yang menyebabkana terjadinya retensi urin, serta menyebabkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi pernapasan karena aktivasi dari angiotensinogen menjadi angiotensin I yang berubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, dan aldosteron yang menyebabkan retensi garam dan air yang dapat meningkatkan volume darah, serta dapat menyebabkan hematuria dan proteinuria karena darah dapat lolos saat proses filtarsi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu urinalisis, tes fungsi ginjal, darah rutin, MRI, dan USG. Tatalaksana yang dapat dilakukan yaitu memberikan antibiotik, diuretik, ACEi, dan tirah baring. Dapat dilakukan pencegahan berupa minum antibiotik hingga tuntas, minum air yang banyak, menjaga asupan nutrisi, dan istirahat yang cukup.

4

SASARAN BELAJAR 1. Memahami dan Mejelaskan Anatomi Ginjal dan Ureter 1.1 Makroskopis 1.2 Mikroskopis 2. Memahami dan Mejelaskan Fisiologi Ginjal 3. Memahami dan Mejelaskan Glomerulonefritis 3.1 Definisi 3.2 Klasifikasi 3.3 Epidemiologi 3.4 Etiologi 3.5 Patofisiologi dan Patogenesis 3.6 Manifestasi Klinis 3.7 Diagnosis dan Diagnosisi Banding 3.8 Tatalaksana 3.9 Komplikasi 3.10 Pencegahan 3.11 Prognosis

5

1. Memahami dan Mejelaskan Anatomi Ginjal dan Ureter 1.1 Makroskopis GINJAL (REN) Bentuk ginjal seperti kacang tanah yang di puncak atasnya terdapat topi yang disebut glandula supra renalis, kanan berbentuk seperti piramid dan kiri berbentuk bulan sabit. Permukaan anterior dan posterior kutup atas dan bawah sera pinggir lateral ginjal berbentuk konveks sedangkan pinggir medialnya berbentuk konkaf karena adanya hilum renale. Ada beberapa struktur yang keluar atau masuk dari ginjal melalui hilus antara lain arteri dan vena renalis, nervus vasomotor simpatis, pembuluh getah bening, dan ureter. Ginjal terletak di belakang (posterior) abdomen bagian atas, didepan dua costa terakhir (11dan 12) dan tiga otot-otot besar yaitu M.tranversus abdominalis, M.quadratus lumborum, dan M.psoas major. Ginjal termasuk organ retroperitoneum, yang diliputi peritoneum pada permukaan depannya (kurang dari 2/3 bagian). Ukuran normal ginjal yaitu 12×6×2 cm, dengan berat 120-150 gram. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut karena ada bantalan lemak yang tebal, bila lemak kurang maka fiksasi ginjal akan berkurang. Ginjal tidak jatuh karena adanya A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari cranio lateral ke caudo medial. Pada bagian posterior ginjal dilindungi oleh costae dan otot-otot yang meleputi costae, sedangkan pada bagian anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Pada belakang ginjal terdapat tiga nervus yaitu N.subcostalis, N.illiohypogastricus dan N.illioingunalis sehingga bila tetjadi radang akan menekan ketiga nervus tersebut dan menimbulkan rasa nyeri. Ginjal diliputi oleh oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal, disebut fascia renalis. Fascia renalis terbagi menjadi dua yaitu lamina anterior dan lamina posterior. Ke arah kiri dan kanan bersatu dengan fascia transversa abdominalis membentuk rongga yang diisi oleh lemak disebut corpus adiposum. Ke cranial setinggi VT 11 bersatu membentuk fascia abdominalis untuk selanjutnya melapisi diaphragma. Sedangkan ke caudal akan masuk ke panggul dan tidak lagi dapat di identifikasi sebagai fascia, hanya merupakan jaringan ikat jarang saja. Dibelakang fascia renalis biasanya terdapat banyak lemak yang dinamakan lemak pararenal. Ginjal mempunya selubung yang langsung membungkus ginjal yang disebut capsula fibrosa. Pembagian ginjal yaitu ekstremitas superior/ cranialis/ polus cranialis, ekstremitas inferior/ caudalis/ polus caudalis, margo lateralis lebih menuju kedepan, dan margo medialis lebih menuju ke belakang, dimana terdapat hilum renale.  Sintopi ginjal : a. Ginjal dextra - Depan : flexura coli dextra, colon ascendens, duodenum pars descendens, hepar lobus dextra, dan mesocolon transcersum. - Belakang : m.psoas dextra, m.quadratus lumborum dextra, m.tranversus abdominis dextra, n.subcostalis (VT 12) dextra, n.illeohypogastricus dextra, n.illeoinguinalis (VL 1) dextra, dan costae 12 dextra. - Terletak tepi atas vertebra thoracalis 12 sampai tepi atas vertebra lumbalis 4.

6

b. Ginjal sinistra - Depan : flexura coli sinistra, colon descendens, pancreas (corpus dan caudal), pangkal mesocolon transversum, lien, curvatura major (gaster). - Belakang : m.psoas sinistra, m.quadratus lumborum sinistra, m.tranversus abdominis sinistra, n.subcostalis (VT 12) sinistra, n.illeohypogastricus sinistra, n.illeoinguinalis (VL 1) sinistra, dan costae 11 & 12 sinistra. - Terletak pertengahan vertebra thoracalis 11 sampai pertengahan vertebra lumbalis 3, sehingga ginjal kiri lebih tinggi setengah vertebra. Ginjal kiri lebih tinggi dari ginjal kanan sekitar setengah vertebra, terletak pertengahan VT 11 sampai pertengahan VL 3, atau sekitar empat ruas vertebra. Sedangkan ginjal kanan terletak mulai tepi atas VT 12 sampai tepi atas VL 4. Karena ginjal kiri lebih tinggi dari kanan, maka ginjal kiri terdapat dua costae yaitu costae 11 dan 12, ginjal kanan hanya punya satu costae yaitu costae 12, sedangkan costae 11 tidak menyentuhnya sama sekali.

Gambar 1. Posisi Ginjal 

Pada penampang lintang Ginjal terbagi menjadi 2, yaitu : 1. Pinggir : cortex, adanya bagian cortex yang masuk kedalam medulla disebut columnae renales (Bertini). 2. Tengah : medulla, adanya bangunan seperti piramid disebut pyramides renales dengan puncaknya disebut papillae renales dan basisnya disebut basis pyramidis. Pada medulla dari papillae renales ke calices renalis minores. Dua calices renales minores yang berdekatan menjadi calices renales majores. Dua atau tiga calices renales majores menjadi pelvis renalis, yang selanjutnya akan berlanjut menjadi ureter dan bermuara ke vesica urinaria.

7

Gambar 2. Ginjal 

Vascularisasi ginjal 1. Medulla : dari Aorta abdominalis bercabang A.renalis dextra dan sinistra setinggi VL 1, masuk melalui hilum renalis menjadi A.segmentalis (A.lobaris) lanjut menjadi A.interlobaris lanjut menjadi A.arcuata lanjut lagi menjadi A.interlobularis lanjut menjadi A.afferen dan selanjutnya masuk ke bagian cortex renalis ke dalam gromerulus (Capsula Bowman), disini terjadi filtrasi darah. 2. Cortex : A.efferen berhubungan dengan V.interlobularis, bermuara ke V.arcuata bermuara ke V.interlobaris bermuara ke V.segmentalis (V.lobaris), bermuara ke V.renalis dextra da sinistra dan selanjutnya bermuara ke V.cava inferior, dan berakhir bermuara ke atrium dextra.

Pada hilum renalis A.renalis bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior jauh lebih banyak memperdarahi dari pada ramus posterior selanjutnya membentuk anastomosis diantara keduanya dan membentuk suatu garis disis lateral ginjal yang disebut Avascular line (Broedel), yang pada cadaver tidak terlihat. Untuk melihat struktur ginjal tersebut ginjal harus dipotong/dibelah secara longitudinal menurut “GARIS BROEDEL” dari apical ke bawah. Ciri khusu vascularisasi ginjal : -

Unit dalam vas afferens mempunyai myoepitel (pada capsula bowmani) yang berfungsi sebagai otot untuk berkontraksi. Ada hubungan langsung antara arteri dengan vena yang disebut arterio venosa anastomosis.

Adanya “end artery” yaitu pembuluh nadi yang buntu yang tidak mempunyai sambungan dengan kapiler, sehingga kalau terjadi penutupan yang lama akan terjadi arteri degenerasi. Inervasi ginjal yaitu plexus symphaticus renalis, dan serabut afferens melalu plexus renalis menuju medulla spinalis n.thoracalis X, XI, XII. Pembuluh lymphe mengikuti V.renalis melalui nl.aorta lateral, sekitar pangkal A.renalis.

8

Gambar 3. Vaskularisasi Ginjal

Gambar 4. Inervasi Ginjal URETER Ureter adalah tabung atau saluran yang mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria (kandung kemih). Ureter merupakan lanjutan dari pelvis renalis, menuju distal dan bermuara ke vesica urinaria. Ureter keluar dari hilus renalis dan berjalan vertikal ke bawah dibelakang peritoneum parietale melekat ke m.psoas masuk ke pelvis menyilang arteri, vena illiaca communis didepan ligamentum sacro iliaca masuk ke pelvis menuju vesica urinarius. Panjang ureter yaitu 25-30 cm. Ureter terdiri dari dua bagian yaitu, ureter pars abdominalis pada cavum abdominis dan ureter pars pelvina pada rongga panggul (pelvis). Batas keduanya diambil suatu bidang yang disebut aditus pelvis.

9

Terdapat tiga penyempitan pada ureter : 1. Uretero-pelvica junction, yaitu perubahan dari pelvis renalis menjadi ureter. 2. Tempat penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura marginalis, yaitu pada waktu masuk pintu atas panggul (menyilang A.iliaca communis). 3. Muara ureter ke dalam vesica urinaria, yaitu pada waktu menembus dinding vesica urinarius. Kadang-kadang terdapat tempat penyempitan ke empat yaitu pada saat ureter menyilang dibawah arteri dan vena testicularis atau ovaria.

Gambar 5. Tiga Penyempitan Ureter Ureter berjalan didalam Spatium retroperitoneal ke arah kaudal dan agak ke arah ventral. Saluran ini bermuara di belakang vesica urinaria. 

Sintopi ureter a. Ureter dextra - Depan : doudenum, ileum terminalis, A.V calica dextra, A.V iliocolica, A.V testicularis/ovarica dextra. - Belakang : m.psoas dextra, bifurcatio A.iliaca communis dextra b. Ureter sinistra - Depan : colon sigmoid, mesocolon sigmoid, A.V.ileae Aa.jejunalis, A.V.testicularis/ovarica sinistra. - Belakang : m.psoas sinistra, bifurcatio A.iliaca communis sinistra.

Jalan ureter pada pria dan wanita berbeda terutama pada daerah pelvis karena ada alat-alat yang berbeda pada panggul. Pada pria ureter menyilang superficial di dekat ujungnya dekat ductus defferen, sedangkan pada wanita ureter lewat diatas fornix lateral vagina namun dibawah ligamentum cardinale dan A.uterina.

10

Vaskularisasi ureter dibagi menjadi dua, ureter atas mendapat perdarahan dari A.renalis, sedangkan ureter bawah mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior yang merupakan cabang dari A,pudenda interna. Inervasi ureter oleh plexus hypogastricus inferior T 11-L 2 melalui neuron-neuron simpatis. 1.2 Mikroskopik GINJAL (REN) - Korteks: Glomerulus (banyak), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal - Medula: Duktus Coligens, Ductus Papillaris (bellini) dan Ansa Henle Unit fungsional ginjal 1. Nephron Corpus Malpighi / Renal Corpuscle  Capsula Bowman - Pars parietalis: epitel selapis gepeng. Berlanjut menjadi dinding tubulus proximal - Pars visceralis terdiri dari podocyte, melapisi endotel - Urinary space diantara kedua lapisan  Glomerulus - Gulungan kapiler, berasal dari percabangan arteriol afferent - Dibungkus oleh capsula Bowman - Keluar sebagai vas efferent Sel-sel di glomerulus yang berperan dalam Glomelurar filtration barrier a) Endothel - Type fenestrate - Sitoplasma melebar, tipis dan mempunyai fenestra b) Membrana Basalis Fusi antara membrana basalis podocyte dan endothel - Lamina rara interna - Lamina densa - Lamina rara externa c) Podocyte - Sel epiteloid besar, tonjolan sitoplasma (foot processes) bercabang - Cabang sekunder (pedicle) menempel pada membrana basalis - Bersama sel endothel menyaring darah d) Sel Mesangial intra glomerularis - Berasal dari sel jaringan mesenchyme - Pada matrix mesangial di antara kapiler glomerulus - Fagositosis benda asing, immune complex yang terjebak pada sel endothel / glomerular filtration barrier - Cabang sitoplasma sel mesangial dapat mencapai lumen kapiler, melalui sela sel endothel Sel-sel yang berperan dalam sekresi renin a) Macula densa - Bagian dari tubulus distal di cortex berjalan diantara vas afferen dan vas efferen dan menempel ke renal corpusclemenjadi lebih tinggi dan tersusun lebih rapat, disebut macula densa 11

b) Sel juxta glomerularis - Merupakan perubahan sel otot polos tunica media dinding arteriole afferen - Sel otot polos berubah menjadi sel sekretorik besar bergranula yang mengandung renin c) Sel Polkisen (sel mesangial extra glomerularis) - Sel polkisen (bantal), “lacis cells” - Mengisi ruang antara vas afferen, makula densa dan vas efferent - Berasal dari mesenchyme, mempunyai kemampuan fagositosis - Berhubungan dengan sel mesangial intraglomerular - Tertanam didalam matrix mesangial Tubulus 1. Tubulus Kontortus Proximalis

Gambar 6. Tubulus Kontortus Proximal Dilapisi oleh epitel selapis kubis, inti bulat yang letaknya berjauhan, batas sel sulit dilihat, sitoplasma mempunyai sifat asidofil yang menyerap warna merah, memiliki brush border. Tubulus kontortus proximal memiliki fungsi yaitu untuk reabsorbsi glukosa, ion Na, Cl dan H2O. 2. Tubulus Kontortus Distal

Gambar 7 Tubulus Kontortus Distal Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.

12

3. Ansa Henle

Gambar 8. Ansa Henle Ansa Henle Segmen Tipis - Mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya lebih tebal, sehingga sitoplasma lebih jelas terlihat - Dalam lumennya tidak terdapat sel-sel darah Ansa Henle Segmen Tebal Pars Desendens - Mirip tubulus kontortus proximal tetap diameternya lebih kecil dan dindingnya lebih tipis - Selalu terpotong dalam berbagai potongan Ansa Henle Segmen Tebal Pars Asenden - Mirip tubulus kontortus distal, tetapi diameternya lebih kecil dan dindingnya lebih tipis - Selalu terpotong dalam berbagai potongan - Epitel selapis kubis - Batas-batas sel lebih jelas - Inti bulat, letak agak berdekatan - Sitoplasma basofil (biru) - Tidak mempunyai brush border - Absorbsi ion Na dalam pengaruh aldosterone dan sekresi ion K 4. Ductus Coligens

Gambar 9. Duktus Koligens 13

Saluran pengumpul, menampung beberapa tubulus distal, bermuara sebagai ductus papillaris Bellini di papilla renis. Dilapisi oleh epitel kubis tinggi hingga toraks rendah. Batas-batas anatar sel terlihat jelas dan bersifat clean cells karena tidak menyerap zat warna. URETER Dinding saluran urinarius berstruktur sama yaitu terdapat tunika mukosa, tunika muscular dan tunika adventitia. Tunika mukosa terdiri dari epitel transisional dan tunika muscularis terdiri dari dua lapis otot yang berslingan. Tunika mukosa pada ureter terlipat kedalam. Pada tunika muscularisnya terdapat 2 lapisan otot yaitu bagian luar otot polos tersusun sirkuler dan bagian dalam otot polos tersusun longitudinal. Dan lapisan terakhir terdapat tunika adventitia.

Gambar 10. Ureter 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang masing- masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal. Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.

14

Gambar 11. Kapiler Glomerulus Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis. Fungsi ginjal yaitu 1. Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin yang dihasilkan dari metabolisme makanan oleh tubuh, bahan asing dan produk sisa. 2. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit 3. Mengatur keseimbangan asam dan basa. 4. Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah. 5. Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam proses pembentukan eritrosit di sumsum tulang. 6. Produksi dan ekskresi urin Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. 1. Filtrasi glomerulus Proses penyaringan besar-besaran plasma (hampir bebas protein) dari kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan struktur spesifik dibuat untuk menahan komonen selular dan medium-molekular-protein besar kedalam vascular system, menekan cairan yang 15

identik dengan plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut filtrate glomerular. Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler, membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel yang perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate. Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan solute menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam kapiler dan tekanan oncotik dari cairan di dalam bowman space merupakan kekuatn untuk proses filtrasi. Normalnya tekanan onkotik di bowman space tidak ada karena molekul protein yang medium-besar tidak tersaring. Rintangan untuk filtrasi (filtration barrier) bersifat selektif permeable. Normalnya komponen seluler dan protein plasmatetap didalam darah, sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring. Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring, sebaliknya molekul 2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan. Bagaimanapun karakteristik juga mempengaruhi kemampuan dari komponen darah untuk menyebrangi filtrasi. Selain itu beban listirk (electric charged ) dari sretiap molekul juga mempengaruhi filtrasi. Kation ( positive ) lebih mudah tersaring dari pada anionBahan-bahan kecil yang dapat terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan.Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah gaya utama yang menginduksi filtrasi glomerulus. Gaya-gaya yang berperan dalam filtrasi glomerulus, yaitu: A. Tekanan Darah Kapiler Glomerulus Tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus, bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap aliran darah yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Gaya ini merupakan satu-satunya gaya yang mendorong filtrasi. Tekanan darah kapiler glomerulus, dengan nilai rata-rata diperkirakan sebesar 55 mmHg.

Gambar 12. Gaya- Gaya dalam Filtrasi Glomerulus

16

B. Tekanan Koloid Plasma Gaya ini ditimbulkan oleh distribusi tidak seimbang protein-protein plasma dikedua sisi membrane glomerulus karena tidak dapat dilfiltrasi. Besar gaya osmotic ini diperkirakan sebesar 30 mmHg. C. Tekanan Hidrostatik Kapsul Bowman Tekanan yang ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus, diperkirakan sekitar 15 mmHg. Tekanan ini, cenderung mendorong cairan keluar kapsul Bowman melawan filtrasi cairan di glomerulus menuju kapsul Bowman. Jumlah filtrat yg dibentuk per satuan waktu dikenal sebagai Laju Filtrasi Glomerulus. LFG normal 125 ml/menit atau 180 L/hari. LFG dipengaruhi oleh : - Tekanan filtrasi netto, yaitu tekanan dan aliran darah ginjal - Koefisien filtrasi, yaitu luas permukaan kapiler glomerulus yang dapat melakukan filtrasi dan permeabilitas membran kapiler-kapsula Bowman. Mekanisme kontrol dalam mengatur LFG berfungsi untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus dengan mengatur jari-jari arteriol aferen. a. Otoregulasi Perubahan spontan LFG akan dicegah oleh mekanisme regulasi instrinsik yang dilakukan oleh ginjal, yaitu dengan mengubah-ubah caliber arteriol aferen sehingga resistensi terhadap aliran pembuluh ini dapat disesuaikan. Mekanisme :  Tekanan darah meningkat → LFG meningkat → Konstriksi arteriol aferen → penurunan aliran darah ke dalam glomerulus → LFG kembali normal.  Tekanan darah menurun → LFG menurun → Dilatasi arteriol aferen → darah banyak masuk → tekanan darah glomerulus meningkat → LFG kembali normal. b. Kontrol simpatis ekstrinsik Kontrol ekstrinsik yang diperantai oleh sinyal system saraf simpatis ke arteriol aferen, ditujukan untuk mengatur tekanan darah arteri. Sistem saraf parasimpatis tidak memiliki pengaruh apapun pada ginjal. Pada control ini, reflex baroreseptor yang berada di arkus aorta dan sinus karotis mempengaruhi LFG dalam regulasi jangka panjang tekanan darah arteri. Mekanisme autoregulasi LFG-tubulo glomerular feedback  Ada 2 mekanisme umpan balik : - Mekanisme umpan balik vasodilator arteriol afferent - Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent Kombinasi kedua umpan balik ini disebut Tubuloglomerular feedback 



Mekanisme umpan balik vasodilator afferent Aliran filtrat glomeruli yang sangat sedikit ke dalam tubuli  konsentrasi ion Cl pada macula densa   dilatasi arteriol afferent  aliran darah renal  ke glomerulus  tekanan gromerulus   laju filtrasi glomerulus kembali  Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent Laju filtrasi glomerulus rendah  reabsorpsi berlebihan ion Cl  konsentrasi ion Cl pada makula densa   sel juxtaglomerular sekresi renin 17

 pembentukan angiotensin II  Angiotensin II menimbulkan konstriksi pada arteriol afferent  tekanan glomerulus meningkat  laju filtrasi glomerulus kembali normal 2. Reabsorpsi tubulus

Gambar 13. Proses Reabsropsi pada Tubulus Perpindahan zat dari lumen tubulus menuju plasma kapiler peritubulus. Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar dari filtered solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari tubulus renal tiak sama. Tubulus proksimal tersusun dan mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular yang memfasilitasi pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur : -

-

Jalur transeluler, kandungan (substance) dibawa oleh sel dari cairn tubulus melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial dibagian darah dari sel, melewati basolateral membrane plasma. Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler bergerak dari cairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan struktur permeable yang mendempet sel tubulus proksimal satu daln lainnya. Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif.

Di tubulus proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal, Na, K, ATPase pump manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan konsentrasi K di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui canal K membuat sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na melewati sel apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di membrane. Pergerakan Na melewati transporter ini berpasangan dengan larutan lainnya dalam satu pimpinan sebagai Na (contransport) atau berlawanan pimpinan (countertransport). Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini ( secondary active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat, dan organic anion. Pengambilan active substansi ini menambah konsentrasi intraseluler dan membuat substansi melewati membrane plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau difusi terfasilitasi. Reabsorbsi dari bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi gradient Na. 18

Hampir 99% dari cairan filtrate direabsorpsi kembali bersama zat-zat yang terlarut didalam cairan filtrate tersebut. Akan tetapi tidak semua zat-zat yang terlarut dapat direabsorpsi dengan sempurna, antara lain glukosa dan asam amino. Mekanisme terjadinya reabsorpsi pada tubulus melalui dua cara yaitu: a. Transfort aktif Zat-zat yang mengalami transfort aktif pada tubulus proksimal yaitu ion Na+, K+, PO4-, NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion-ion khususnya ion Na+, melalui sel tubulus kedalam pembuluh kapiler peritubuler disebabkan perbedaan ptensial listrik didalam ep-itel tubulus (-70mvolt) dan diluar sel (-3m volt). Perbedaan electrochemical gradient ini membentu terjadinya proses difusi. Meningkatnya difusi natrium diesbabkan permiabilitas sel tubuler terhadap ion natrium relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan karena terdapat banyak mikrovilli yang memperluas permukaan tubulus. Proses ini memerlukan energi dan dapat berlangsung terus-menerus. b. Transfor pasif Terjadinya transport pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi air yang ada pada lumen tubulus, permiabilitas membrane tubulus terhadap zat yang terlarut dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrikpada dinding sel tubulus. Zat yang mengalami transfor pasif, misalnya ureum, sedangkan air keluar dari lumen tubulusmelalui prosese osmosis. Perbedan potensial listrik didalam lumen tubulus dibandingkan diluar lumen tubulus menyebabkan terjadinya proses dipusi ion Na+ dari lumen tubulus kedalam sel epitel tubulus dan selanjutnya menuju kedalam sel peritubulus. Bersamaan dengan perpindahan ion Na+ diikuti pula terbawanya ion Cl-, HCO3- kedalam kapiler peritubuler. Kecepatan reabsorsi ini ditentukan pula oleh perbedaan potensial listrik yang terdapat didalam dan diluar lumen tubulus. Sedangkan sekresi tubulus melalui proses: sekresi aktif dan sekresi pasif. Sekresi aktif merupakan kebalikan dari transpor aktif. Dalam proses ini terjadi sekresi dari kapiler peritubuler kelumen tubulus. Sedangkan sekresi pasif melalui proses difusi. Ion NH3- yang disintesa dalam sel tubulus selanjutnya masuk kedalam lumen tubulus melalui proses difusi. Dengan masuknya ion NH3- kedalam lumen tubulus akan membantu mengatur tingkat keasaman cairan tubulus. Kemampuan reabsorpsi dan sekresi zat-zat dalam berbagai segmen tubulus berbeda-beda. 3. Sekresi Tubulus Proses ketiga ginjal. Sekresi tubulus adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini adalah rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah. Hanaya sekitar 20% plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi dalam kapsula bowman, sisanya 80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler pertubulus. Secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah bahan tertentu dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan memindahkan ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai urin.

19

Gambar 14. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron 3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis 3.1 Definisi Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang disebabkan oleh proses inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel darah merah dan protein keluar ke dalam urin. Glomerulonefritis akut atau juga disebut glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) adalah peradangan glomerulus yang ditandai dengan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-Hemolytic Streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oligouria yang terjadi secara akut. 3.2 Klasifikasi 1. Glomerulonefritis Kongenital atau Herediter a. Sindrom Alport Adalah suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulopati progresif familial yang sering disertai tuli syaraf dan kelainan mata b. Sindrom Nefrotik Kongenital Adalah sindrom nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir, dengan gejala seperti proteinuria masif, sembab dan hipoalbunemia Klasifikasi sindrom nefrotik konenital  Idiopatik : sindrom nefrotik kongenital tipe finlandia, sklerosis mesangal difus, jenis lain  Sekunder : sifilis kongenital, infeksi perinatal, intoksikasi merkuri  Sindrom : sindrom drash dan sindrom malformasi lain

20

2. Glomerulonefritis Primer Yakni apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal itu sendiri A. GN NON-PROLIFERATIF a. Glomerulonefritis Lesi Minimal (GNLM) Merupakan salah satu bentuk yang sering dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula sebagai neefrosis lupoid. Pada pemeriksaan MC menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Endapan Ig atau komplemen tidak ditemukan pada pemeriksaan MI sedangkan pada pemeriksaan ME menunjukkan fusi atau hilanagnya foot processes sel epitel viseral glomerulus. b. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS) Secara klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuria, dan sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan MC menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan dingding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari Ig M dan komplemen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel. c. Glomerulonefritis Membranosa (GNMN) GNMN atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi non-steroid. Pemeriksaan MC tidak menunjukkan kelainana yang berarti dan pemeriksaan MIF menunjukkan deposit Ig G dan komplemen C3 berbentuk glandural pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike-like pada MBG. Gamabaran histopatologi pada pemeriksaan MC, MIF, ME sangat terganatung pada stadium penyakit. B. GN PROLIFERATIF a. Glomerulonefritis Membrano-Proliferatif (GNMP) Dibagi menjadi primer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan sekunder akibat infeksi kronik, krioglobulinemia, dan penyakit autoimun sistemik. GNMP atau GN mesongio-kapiler dapat bermanifestasi klinis SN atau sindrom nefritik akut. Pada pemeriksaan serologis ditemukan kadar komplemen rendah atau hipokomplemenemia. Pemeriksaan MC menunjukkan penebalan dinding kapiler dan penambahan matriks mesangial. Pulasan periodic acid Schiff (PAS) ditemukan MBG yang terbelah (splitting) disebut double contour atau tram-track appearance. Pada pemeriksaan MIF memperlihatkan endapan C3, biasanya disertai properdin, C1q, C4, dan C2. Endapan Ig G dan Ig M dapat pula ditemukan dan endapan Ig A sewaktu-waktu.

21

b. Glomerulonefritis Progresif Cepat (GNPC) Mempunyai etiologi dan patogenesis yang berbeda tergantung penyebabnya, misalnya GN pasca infeksi Streptococcus, sindrom Goodpasture, lupus nefritis, vaskulitis, krioglobulinemia atau idiopatik. Gambaran histopatologis secara khas ditemukan kresen selular pada sebagian besar glomerulus. Kresen berasal dari proliferasi sel epitel parietal dan viseral glomerulus, infiltrasi fibroblas, limfosit dan monosit, serta endapan fibrin. Nefropati Ig A dan nefropati Ig M juga dikelompokkan dalam GN ploriferatif. Nefropati Ig A merupakan bentuk yang sering ditemukan pada GN mesangio-proliferatif dan juga penyebab hematuria asimtomatik. Gambaran histopatologi pada pemeriksaan MC bervariasi mulai dari ringan hingga kronik lanjut. Pemeriksaan MIF menunjukkan endapan Ig A terutama ditemukan pada mesangium dan sedikit pada dinding kapiler glomerulus. 3. Berdasarkan derajat penyakitnya a. Glomerulonefritis Akut Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonephritis pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain. b.Glomerulonefritis Kronik Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik. 3.3 Epidemiologi Glomerulonefritis akut pasca streptokokus sering terjadi pada anak usia 5-12 tahun, jarang pada anak di bawah 3 tahun. Penyebabnya karena pada usia 5-12 tahun merupakan usia sekolah, di mana mudah terpapar dengan agen infeksi. Sekitar 97% kasus GNAPS terjadi di negara berkembang dan berkurang di negara industri atau negara maju. Terbukti, selama 2-3 dekade terakhir, kejadian GNAPS telah menurun di Amerika Serikat dan juga di negara lain, seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris Raya dan Korea Selatan. Hal ini berkaitan dengan kondisi higiene yang baik, lingkungan yang sehat, serta penggunaan antibiotik. WHO memperkirakan kasus GNAPS terjadi kira-kira 472 000 kasus setiap tahunnya secara global dengan 5000 kematian setiap tahunnya. Kira-kira 404.000 kasus di laporakan 22

terjadi pada anak-anak dan 456 terjadi pada negara berkembang. Umumnya GNAPS terjadi pada daerah beriklim tropis dan biasanya berdampak pada anak-anak dengan tingkat ekonomi yang rendah. Penyakit ini biasanya terjadi secara sporadik tetapi peningkatan insidensi kasus terjadi secara epidemik pada tempat dengan komunitas yang memiliki populasi tempat tinggal di lingkungan yang padat penduduk, higiene kurang baik, kondisi dengan insidens malnutrisi yang tinggi. Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Sebanyak 68,9% penderita GNAPS berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah dan 82% pada keluarga berpendidikan rendah. Selain faktor kuman Streptokokus β-hemoliticus grup A strain nephritogenic, terjadinya GNAPS dipengaruhi juga oleh beberapa faktor pejamu seperti usia, jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi, genetik, status gizi. dan musim. Musim juga merupakan faktor yang dapat memengaruhi kejadian GNAPS sebab infeksi tenggorokan lebih sering terjadi pada musim dingin, awal musim semi, dan musim hujan sedangkan piodermia lebih sering terjadi pada akhir musim panas dan musim gugur. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perbandingan yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki-laki lebih sering berada di luar rumah sehingga rentan terpapar dengan kuman penyebab infeksi. 3.4 Etiologi Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta Streptococcus pada GN pasca infeksi Streptococcus atau akibat virus hepatitis C. Faktor presipitasi misalnya infeksi atau pengaruh obat atau pajanan toksin yang dapat menginisiasi terjadinya respon imun yang serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme yang sama. Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska Streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi Streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska Streptokokus berkisar 10-15%. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya: -

-

Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika dll. Parasit : malaria dan toksoplasma. STREPTOCOCCUS Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang 23

heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes. S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu: a. Streptolisin O Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. Antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. Fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas. b. Streptolisin S Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus. Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonephritis.

Gambar 15. Bakteri Streptococcus 3.5 Patofisiologi dan Patogenesis PATOFISIOLOGI Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan 24

menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini: 1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus. 2. Overexpression dari epithelial sodium channel. 3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal

25

2.faring atau kulit Infeksi 3. oleh streptokokus Reaksi antigen antibodi

Proliferasi dan kerusakan glomerolus secara progresif Glomerolusnefritis akut

Pengendapan kompleks antigen antibody di kapiler kapiler glomerolus

MK: Kelebihan Vol. Cairan MK: Penurunan curah jantung, penurunan perfusi jaringan

Membran Glomerolus menebal

Glomerulosklerosis

Respon Gastrointestinal : Penumpukan toksik urekemik didalam darah ketidakseimbangan cairan dan elekrolit

Penurunan GFR - Penurunan vol. urin - Retensi cairan dan natrium - Peningkatan aldosteron

Pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan parut pada glomerolus

Hipertensi sistemik Beban Kerja jantung meningkat

Curah Jantung menurun

Respon asidosis matabolik dan sindrom uremia pada system saraf dan pernafasan. - Pernafasan kussmaul - Letargi, kesadaran menurun - Edema sel otak meningkat - Disfungsi cerebral - Neuropati perifer

MK: Penurunan perfusi celebral Vol cairan meningkat, hipenatremia, hiperkalemia, pH menurun, hiperpospatemia, dan hipokalsemia

Respon hiperkalemia, kerusakan impuls saraf, gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel

Respon hematologis produksi eritroprotein menurun, trombositopenia

Perubahan proses berfikir, deficit neurologik

MK: Resiko tinggi Aritmia,Resiko Tinggi Kejang

-Ureum pada saluran cerna - Peradangan mukosa saluran cerna

Masa hidup sel darah merah pendek, kehilangan sel darah merah meningkat, pembekuan darah menurun

MK: Gangguan pola nafas

Respon psikologis prognosis penyakit tindakan dialisa koping maladaktif

Napas bau ammonia, stomatitis,ulkus lambung

Mual muntah, anoreksia Intake nutrisi tidak adekuat

Anemia MK: Resiko cidera

Sesak

MK: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

kelelahan

Gangguan konsep diri (gambaran diri), Kecemasan, Pemenuhan informasi

MK: intoleransi aktivitas

26

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat. PATOGENESIS Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks imun. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik adalah: - Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik . - Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah. - Kadar komplemen C3 menurun dalam darah. - Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus. - Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah. Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman streptokokus. Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A β-hemolytic streptococci . Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS 27

menyebabkan penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M). Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS

Tipe M

Serotipe terbanyak pada Faringitis

Serotipe terbanyak pada piodermi

1,3,4,12,25,49

2,49,55,57,60

Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan pada GNAPS yaitu : 1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr) NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus 2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB). SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama – sama dengan IgG komplemen (C3 ) sebagai electron dense deposit subepithelial yang dikenal sebagai HUMPS. Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui : 1. Soluble Antigen-Antibody Complex Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus. 2. Insitu Formation : Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk. Imunitas Selular : Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA – I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus. 3.6 Manifestasi Klinis Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata 28

dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA. Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengna jelas. Kriteria klinik yang paling sering ditemukan : 1. Periode Laten Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria. 2. Edema Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula. 3. Hematuria Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian 29

multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik. 4. Hipertensi Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensiyaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- 5UKK Nefrologi IDAI 2012kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%. Dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali berturut-turut di atas persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya: - Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80-95 mmHg - Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95-115 mmHg - Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg Gejala klinis lainnya: 1. Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek. 2. Gejala Kardiovaskular Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.  Edem paru Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya 30

terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonaryedema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK). Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan 52%. Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air. 3. Gejala umum Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama. 3.7 Diagnosis dan Diagnosisi Banding DIAGNOSIS Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: Gejala-gejala klinik : - Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan gejala-gejala khas GNAPS - Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria & pr Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup Aoteinuria.

31

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS. 1. Anamnesis Hal pertama yang harus di tanyakan adalah identitas pasien, riwayat penyakit secara umum, khususnya pernah mengalami infeksi bakteri, terutama streptococcus, riwayat kesehatan keluarga, riwayat sosial dan ekonomi, pernah mengkonsumsi OAINS, preparat emas, heroin, ataupun imunosupresif dan apakah terdapat edema tungkai atau pun kelopak mata. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pasien dengan SNA, pemeriksaan fisik dan tekanan darah kadang dalam batas normal; tetapi kebanyakan pada pemeriksaan ditemukan adanya edema, hipertensi, dan oliguria. - Edema sering pada daerah muka, terutama daerah periorbital - Hipertensi sering ditemukan pada 80% kasus SNA - Hematuria, baik pada pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik - Skin rash - Kelainan neurologis ditemukan pada kasus hipertensi malignant atau hipertensi encepalopaty. - Artritis - Tanda-tanda lain : Faringitis, Impetigo, ISPA, Murmur (menunjukan adanya endokarditis), Nyeri perut, Kenaikan berat badan, Purpura palpebra pada pasien dengan Henoch Schoenlein purpura 3. Pemeriksaan Penunjang LABORATORIUM 1. Urin a. Proteinuria Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya. b. Hematuria Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus 32

2.

(glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut. Darah a. Reaksi Serologis Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit. b. Aktivasi Komplemen Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus. c. Laju Endap Darah (LED) LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang.

GAMBARAN PATOLOGI Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. 33

Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus.

Gambar 16. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 20× Keterangan gambar : Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya (hematosylin dan eosin dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan glomerular yang membuat pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea proliferasi dari sel endogen dan infiltasi lekosit PMN.

Gambar 17. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 40×

Gambar 18. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop electron 34

Keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang bergabung dnegan deposit electron di subephitelia. (lihat tanda panah)

Gambar 19. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi Keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi dengan pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin G (IgG) sepanjang membran basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky appearence”. DIAGNOSIS BANDING Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS. 1. Penyakit ginjal a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 13 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis. b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat. c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN) RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.

35

2. Penyakit-penyakit sistemik Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura HenochSchöenlein, eritematosusdan endokarditis bakterial subakut.Ketiga penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal. 3. Penyakit-penyakit infeksi GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya. 3.8 Tatalaksana 1. Istirahat Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik. 2. Diet Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (2025 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari). 3. Antibiotik Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu 36

Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. 4. Obat Efektivitas penggunaan obat imunosupresif pada glomerolusnefritis masih belum seragam. Pengobatan imunosupresif mempertimbangkan beberapa fsktor seperti etiologi, faktor pasien, efek samping dan prognosis. Kortikosteroid efektif untuk beberapa glomerolusnefritis karena dapat menghambat sitokin proinflamasi. Pengobatan lanjutan dengan kombinasi kortikosteroid dan imunosupresif lain diperlukan pada glomerolusnefritis yang resisten dan tergabntung steroid atau kambuh berulang. Siklofosfamid, klorambusil dan azatioprin diketahui mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. 5. Simptomatik a. Bendungan sirkulasi Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal. b. Hipertensi Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,250,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb) c. Gangguan ginjal akut Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium. PEMANTAUAN Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejalagejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun. Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk 37

pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal. Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS, sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal). Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS : - Periode laten pendek - Adanya penyakit ginjal dalam keluarga - Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya - Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun 2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS : - Hematuria makroskopik > 3 bulan - Hematuria mikroskopik > 12 bulan - Proteinuria > 6 bulan - Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan - Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan - Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti GBM (+) 3.9 Komplikasi 1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. 2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak. 3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. 4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun. 5. Gagal ginjal akut. 6. Gagal jantung. 7. Edem paru. Jangka panjang 1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria) 2. Gagal ginjal kronik 3. Sindrom nefrotik 38

3.10 Pencegahan  Perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan bersih dengan sabun, merawat kebersihan kulit, segera mengobati infeksi kulit terutama yang disebabkan oleh Skabies.  Perlu dilakukan pemeriksaan adanya faktor risiko infeksi GNAPS terhadap siapa saja yang kontak dekatdengan pasien seperti tinggal serumah atau seasrama dalam jangka waktu 2 minggu sebelum onset penyakit. 3.11 Prognosis Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga menyebabkan fibrosis glomerulus akibat proses inflamasi. Pada GN bentuk akut biasanya membaik dengan sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen. Kekambuhan sering terjadi pada GNLM walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi ginjal masih dalam keadaan normal. Pada GSFS dalam waktu 5-20 tahun dapat terjadi progresivitas penyakit menuju PGTA. Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS berkembang menjadi PGTA dalam waktu 5 tahun. Perbaikan spontan dapat terjadi pada sebagian GNMN walaupun sebagian yang lain mempunyai prognosis yang buruk. Sebagian besar diperkirakan 95% pasien akan sembuh sempurna dan 2% meninggal selama fase akut, 2% menjadi glomelurusnefritis kronik. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien. Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang baik. Prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstrakapiler dan gagal ginjal kronik.

39

DAFTAR PUSTAKA Behrman, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta: EGC Dr.H.Achmad Sofwan, Mkes,PA., Dr.Edward Syam, MKes. (2019). SISTEM URINARIUS, SISTEM UROGENITALE (APPARATUS UROGENITALIS) : 1-13 Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC Hidayani,Agung R.E., Umboh,Adrian., Gunawan,Stefanus. (2016). Profil glomerulonefritis akut pasca streptokokus pada anak yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan AnakRSUPProf. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic. Vol 4. No 2. Diakses melalui: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/14678/14246 pada 17 Maret 2019. Kapita Selekta Kedokteran : Glomerulonefritis Akut, Edisi Ke – 2 , Media Aesculapius FKUI, 1982, 601 – 602. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathophysiology 9th ed. 2013. Philadelphia: Elsevier Sanders. M.I Made Raditya. (2013). REFARAT GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA). Diakses melalui: https://www.academia.edu/7902428/GLOMERULONEFRITIS_AKUT_GNA_REFRAT_M AKALAH_MADE_RADITYA pada 17 Maret 2019. Prodjosudjadi, Wiguno. (2017). GLOMERULONEFRITIS. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. InternaPublishing : Jakarta Pusat : 2074-2080 Paulsen, F. (2011). Sobotta Atlas of Human Anatomy: Internal Organ 15th Edition. Munich:Elsevier Urban & Fischer Prof.Dr.Syarifuddin Rauf, dr., Sp.A., Prof.Husein Albar, dr., Sp.A., et al. (2012). KONSENSUS GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOCOCCUS. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Diakses melalui: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-GlomerulonefritisAkut.pdf pada 17 Maret 2019. Richard E. Behrman, Victor C. Vaughn : Glomerulonefritis Akut Dalam Nelson Textbook of Pediatrics, Alih Bahasa dr. R.F. Maulana, M.Sc ; EGC, Jakarta, 1992, 89 – 104. Sherwood, Lauralee. 2015.. Fisiologi Manusia :Sistem Kemih. Ed. 8. Jakarta : EGC Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Glomerulonefritis Akut, Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jilid 2, jakarta, 1985, 835 – 839.

40

Related Documents


More Documents from ""

Wrap Up Skenario 4.docx
December 2019 35
Type Of Syllabus
August 2019 60
Soal Usm 2016.pdf
October 2019 53
Intervensi Oma.docx
December 2019 38