1. Memahami dan Menjelaskan Demam 1.1. Definisi Peningkatan suhu tubuh diatas normal sebagaiakibat perubahan pada pusat thermoregulasi yang berada pada hipotalamus anterior. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2 C. Suhu subnormal di bawah 36 C.Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2C.Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,2 C atau lebih. Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 35 C. Demam, yang berarti suhu tubuh di atas batas normal, dapat disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahanbahan toksik yang memengaruhi pusat pengaturan-suhu. (guyton) 1.2. klasifikasi a. Demam Kontinyu Peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4°C selama periode 24 jam Contoh: Demam tifoid, malaria falciparum b. Demam Remiten Penurunan suhu setiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,4°C Contoh: penyakit virus dan bakteri c. Demam Intermitten Suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari Contoh: Malaria, limfoma, endocarditis d. Demam Septik Terjadi saat demam remiten atau intermiten yang menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar Contoh: Penyakit Kawasaki dan infeksi pyogenic e. Demam Relapsing Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (traktus urinarius) Contoh: Malaria tertian atau kuartana, brucellosis 1.3. Mekanisme Bakteri masuk ke dalam tubuh – menghasilkan toksik fagositosis oleh makrofag – bakteri hidup di makrofag – makrofag lisis – mengeluarkan zat pirogen endogen dan eksogen – mengeluarkan asam arakhidonat dan prostaglandin E2 - mempengaruhi respon neuron pada pusat thermoregulasi – demam (peningkatan suhu tubuh)
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan
1.4. Penyebab Pascaimunisasi, misalnya setelah menerima vaksin pneumokokus atau vaksin TB (tuberkulosis). Berbagai macam infeksi virus dan bakteri seperti sakit tenggorokan, keracunan makanan, meningitis, tifus, disentri, cacar air, dan infeksi saluran kemih. Infeksi akibat gigitan nyamuk seperti demam berdarah, malaria dan chikungunya. Obat-obatan seperti antibiotik, antihipertensi dan antidepresan. Berdiri terlalu lama di bawah sinar matahari. Penyakit seperti arthritis dan hipertiroidisme (kelenjar tiroid yang terlalu aktif). Kanker, misalnya leukimia, kanker hati, dan kanker paru-paru. Penanganan Ukur suhu dengan thermometer bukan tanganmeter. Thermometer yang disarankan yaitu yang digital, bukan yang pake air raksa, kalo pecah air raksanya berbahaya kalo kehirup. catat pola demam, cari penyebabnya, demam disertai apa? perhatikan perilaku anak jangan sampai kurang minum karena ditakutkan terjadi dehidrasi. Kompres air hangat.
Terapi farmakologi Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi: Umur (tahun) <1 1-3 4-6 6-12
Dosis Parasetamol tiap pemberian (mg) 60 60-125 125-250 250-500 2
3 Memahami dan Menjelaskan Demam Thypid 3.1. Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit infeksi akut yangv biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam.demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia.penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.di Indonesia,demam tifoid bersifat endemic.penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian. 3.2. Epidemiologi Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang di mana higieni pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini. WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua usia, namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun. Diperkirakan di Indonesia terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjag tahun. Serangan penyakit lebih bersifat sporadis dan bukan epidemic
3
3.3. Patogenesis
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Manusia terinfeksi oleh makanan yang terkontaminasi Salmonella typhi. Setelah masuk dalam saluran pencernaan, usus halus rusak dan terjadi peradangan oleh S.typhi. S.typhi masuk ke kapiler darah dengan cara menembus dinding usus halus (dan ke organ lain, sehingga terjadi komplikasi). Substansi racun dikeluarkan oleh S.typhi dan mengganggu keseimbangan tubuh S.typhi berkembang biak di usus halus. Feces manusia mengandung Salmonella typhi yang dapat hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan di media air atau tanah.
4
Masuknya kuman Salmonella typhi ( S. typhi ) dan Salmonella paratyphi ( S. paratyphi ) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas hormonal mukosa ( Ig A ) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel ( terutama sel-M ) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik ) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelia tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag huperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan ( S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar Plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses petologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perporasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. 3.4. Manifestasi Klinis Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat:
1. Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39oC hinga 40oC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin (epat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung 5
merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam.
2. Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.
3. Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
4. Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. Diagnosis dan Diagnosis Banding Demam tifoid dan paratifoid kebanyakan ditunjukkan sebagai penyakit mirip demam akut, dan diagnosis akurat bergantung pada pemeriksaan laboratorium. Kultur sumsum tulang tetap menjadi tes diagnosis gold standar untuk demam tifoid. Usaha – usaha untuk mengembangkan metode serologi sebagai tes diagnosis 6
demam tifoid yang memperbaiki kekurangan dari tes widal masih menghadapi keterbatasan substansial baik dalam hal sensitivitas maupun spesifisitas. Pendekatan serologi kepada diagnosis S.paratyphi A, B, dan C telah dikembangkan namun belum dievaluasi atau diadaptasi untuk penggunaan di lapangan. Akibatnya, kultur darah, suatu metode yang kurang sensitif daripada kultur sumsum tulang, seringkali menjadi pilihan pertama dalam praktik untuk diagnosis dan evaluasi epidemiologi S.typhi dan S.paratyphi. Namun, kebanyakan demam tifoid terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah dimana kultur darah seringkali tidak tersedia, tidak terjangkau, dan tidak konsisten diaplikasikan. Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman tentang insiden, komplikasi, dan tingkat kasus fatal demam tifoid, maka dibutuhkan studi dengan populasi besar yang menggunakan konfirmasi kultur darah. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relatif lambat (bradikardia), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal. Pemeriksaan penunjang/ pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunorologi, mikrobiologi,dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menegakkan diagnosis (bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit,dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit. 1. Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi pendarahan usus atau perforasi Hitung leukosit rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi Hitung jenis leukosit: neutropenia dengan limfositosis relatif LED (laju endap darah): meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia) Urinalis Protein: bervariasi dari negatif sampai yang positif (akibat demam) Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi gejala lainnya Kimia klinik Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan adanya gambaran peradangan samapaihepatitis akut. Imunorologi Uji WidalPemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibody (didalamdarah) terhadap antigen kuman
7
Salmonella typhi/paratyphi. Sebagai uji cepat (rapidtest) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanyaaglutinasi. Karena itu antibody jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil postif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanyafaktorrheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oelh karena antara lain penderita sudah mendapatkan antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya jamur imunologik lain.Diagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160, bahkan mungkinsekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid iniendemis di Indonesia. Titer O setelah akhir minggu. Elisa Salmonella typhi/paratyphi IgG dan IgM pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan uji Widal untuk mendeteksi demam tifoid/paratifoid diagnosis demam tifoid/paratifoid dinyatakan 1/ bila igM positif menandakan infeksi akut, 2/ jika igG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. Mikrobiologi Kultur (Gall culture/ biakan empedu) Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam tifoid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis positif untuk demam tifoid/paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu demam tifoid /paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain : a. Jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL b. Darah tidak segera dimasukkan kedalam media Gall (darahdibiarkan membeku dalam spult sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan) c. Saat pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit d. Sudah mendapatkan antibiotika e. Sudah mendapatkan vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yangdigunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakanurin dan tinja. Biologi molecular PCR ( Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasikan dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) sertas kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. 8
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah,urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
3.7 Penatalaksanaan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : 1. Istirahat dan Perawatan Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan, tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. 2. Diet dan Terapi Penunjang ( Simtomatik dan Suportif) Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan menjadi lama. 3. Pemberian Antimikroba / Antibiotik Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Pencegahan Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. a. Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu : 1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun. 2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
9
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama. 3. Vaksin polisakarida typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan. b.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu : Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. Diagnosis serologik Pencegahan sekunder dapat berupa :
10
Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin. c.
Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer 11
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang Universitas Sumatera Utara waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain : 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita a. b.
c.
d.
e. f.
g.
Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit. Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi. Penyakit-penyakit tertentu Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi. Vaksinasi Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis 12
a.
Aglutinasi silang Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal. b. Konsentrasi suspensi antigen Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya. c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain. d.
Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi. Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak. 3.8. Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi anti mikroba yang tepat, manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupai penyakit akut namun 13
biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individu yang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu ( traktus biliaris) lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. 2. Memahami dan Menjelaskan Antibiotik Untuk Demam Thypoid 4.1. Golongan 4. 1. 1 Golongan Antibiotik Kloramfenikol Antibiotika Golongan Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri yang diisolasikan pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal. Efek antimikroba dalam Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol. Kloramfenikol digunakan untuk mengatasi H.influenzae dan S. thypi karena bersifat toksik terhadap sumsum tulang. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari dapat diberikan per-oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. 4. 1. 2 Golongan Antibiotik Fluorokuinolon Antibiotika Golongan Kuinolon bekerja dengan menghambat satu atau lebih enzim topoisomerase yang bersifat esensial untuk replikasi dan transkripsi DNA bakteri. Asam Nalidiksat adalah prototip antibiotika golongan Kuinolon lama yang dipasarkan sekitar tahun 1960. Penggunaan obat Kuinolon lama ini terbatas sebagai antiseptik saluran kemih saja. Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan Kuinolon baru dengan atom Fluor pada cincin Kuinolon (karena itu dinamakan juga Fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis meningkatkan daya bakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya di saluran cerna, serta memperpanjang masa kerja obat. Golongan Kuinolon ini digunakan untuk infeksi sistemik. Yang termasuk golongan ini antara lain adalah Spirofloksasin, Ofloksasin, Moksifloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Sparfloksasin, Lornefloksasin, Flerofloksasin dan Gatifloksasin. 1. Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari 14
2. Siproflokasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari 3. Ofloksasin dosis 2 x 400 mg /hari selama 7 hari 4. Pefoksasin dosis 400 mg /hari selama 7 hari 5. Fleroksasin dosis 400 mg /hari selama 7 hari 6. Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/ hari selama 5 hari 4. 1. 3 Golongan Antibiotik Sefalosforin Antibiotika Golongan Sefalosforin bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri. Sefalosporin termasuk golongan antibiotika betalaktam. Seperti antibiotik betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin yang aktif terhadap kuman gram positif diantaranya sefalotin, sefaleksin, sefazolin, serta sefradin. Kelompok yang aktif terhadap kuman gram negative seperti sefaklor, sefamandol, mokasalatam, sefotaksim, dan sefoksitin. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adaah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 34 gram dalam desktrosa 100 cc diberikan selama 1,5 jam per infus sekali sehari diberikan selama 3 hingga 5 hari. 3. 1. 4 Kotrimoksasol Trimetoprim dan Sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatis obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoksasol. Kotrimoksasol efektif untuk karier Salmonella typhi dan Salmonella spesies lain. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untukkasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1-15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisisensi G6PD. Dosis oral yang dianjurkan adalah 30-40 mg/kgBB/hari untuk sulfametoksasol dan 6-8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10-14 hari 4. 1. 5 Ampisilin dan Amoksisilin Ampisilin memiliki aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram negatif seperti E. coli dan Salmonella. Aktivitas amoksisilin hampir samadengan ampisilin tetapi resorpsinya lebih lengkap dan pesat dengan kadardi dalam darah yang mencapai dua kali lipat.
15
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yng dianjurkan berkisar 50-100 mg/kg BB dan digunakan selama 2 minggu. 4.2. Farmako kinetik 4. 2. 1 Kloramfenikol Setelah pemberian oral, Kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya di berikan bentuk ester kloramfenikol palmitat/stearate yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol. Untuk pemberian secara parental, digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol 4. 2. 2 Fluorokuinolon Asam nalidiksat diserap baik melalui saluran cerna tetapi di ekskresi dengan cepat melalui ginjal. Obat ini tidak bermandaan untuk infeksi sistemik. Fluorokuinolon di serap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan dengan asam nalidiksat. Ofloksasin, levoflosasin, gatifloksasin dan moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang diserap baik sekali pada pemberian oral. 4. 2. 3 Kotrimeksazol Rasio kadar sulfametoksazol dan trimethoprim yang ingin dicapai dalam darah yaitu sekitar 20:1. Trimethoprim cepat di distribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimethoprim hamper 9X lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-maing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimethoprim dan 25-50% sulfametoksazol di ekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian 2/3 dari sulfonamide tidak mengalami konjugasi 4.3. Farmako Dinamik 4. 3. 1 Kloramfenikol Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein sel mikroba.Sintesis protein berlangsung di ribosom.Pada bakteri ribosom terdiri dari 2 unit,yaitu ribosom 3OS dan 5OS. Kedua unit ini bersatu menjadi ribosom 7OS yang akan berperan dalam sintesis protein, Kloramfenikol terikat pada ribosom unit 5OS dan menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase. 4. 3. 2 Ampicillin 16
Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif. 4. 3. 3 Flourokuinolon Antibiotik flourokuinolon memasuki sel dengan difusi pasif pada membran luar bakteri melalui kanal protein terisi air. Bekerja dengan cara menghambat replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja DNA girase selama pertumbuhan dan reproduksi bakteri. 4. 3. 4 Kotrimoksazol Berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekulasam folat. Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari hidrofolat menjadi tetrahidrofolat 4.3. Efek samping dan kontra indikasi 1. Kloramfenikol Reaksi HematologikTerdapat dalam 2 bentuk. 1. Reaksi toksik: depresi sumsum tulang belakang. Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila pengobatan dihentikan.Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron, iron binding capacityserta vakuolisasi seri eritrosit muda (terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25µm/ml) 2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dosis atau lama pengobatan. Insiden 1:24.000-50.000. efek samping diduga reaksi idionsikrasi dan mungkin disebabkan kelainan genetik.Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien defisiens enzimG6PD bentuk mediteranea. Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama pemberian kloramfenikol menunjukkan kemungkinan adanya leukopeni.Reaksi Saluran Cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis. 3. Sindromm Gray Pada neonatus, terutama padabayi prematur dosis tinggi (200 mg/kgBB ) sindromm gray. Efek toksik disebabkan: 1. Sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase belum sempurna 2. Kloramfenikol yang yidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal.Mengurangi efek samping dosis kloramfeniko untuk bayi <1bulan tidak boleh melebihi 25mg/kgBB sehari setelah ini dosis 50 mg/kgBB tidak menimbulkan efek samping. Reaksi Neurologik Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium, dan sakit kepala. 2. Sefalosporin 17
Pengguanan sefaloporin dosis tinggi : Depresi sumsum tulang granulositopenia (jarang terjadi) Sefamandol, moksalaktam dan seperazon minum alkohol adisulfiram Reaksi Saluran Cerna: Diare, pemberian sefoperazon diekskresikan empedu menganggu flora normal usus. Reaksi Hematologi: Hipoprotrombinemia (disfungsi trombosit) pemberian moksalaktam 3. Flourokuinolon Saluran cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut. Susunan saraf pusat. Yang paling sering ditemukan adalah pusing. Bentuk yang jarang timbul adalah halusinasi, dan kejang , Disglikemia 4. Penisilin Reaksi alergi. Penisilin G merupakan salah satu obat tersering menimbulkan reaksi alergi.namun, mereka yang belum pernah diobati dengan penisilin dapat juga mengalami reaksi alergi. Syok anafilaksis: Untuk menanggulangi syok, sesegera mungkin berikan larutan adrenalin 1:1.000 secara SK sebanyak 0,3-0,4 Ml. Reaksi toksis dan iritasi local Hanya sebagian kecil kemerahan kulit oleh ampisilin berdasarkan reaksi alergi dan di sini pemberian ampisilin harus dihentikan Suntikan IM dapat menyebabkan rasa nyeri dan reaksi peradangan steril di tempat suntikan, sedangkan suntikan IV dapat menyebabkan flebitis atau tromboflebitis. 5. Tiamfenikol Depresi eritropoesis, leukopeni dan peningkatan kadar serum ion. Dosis yang diberikan adalah 4x 500, demam rata-rata turun pada hari kelima sampai keenam. 6. Kontrimoksazol Obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa mual, muntah, diare, kepala pusing, depresi, halusinasi dan anemia. Kontraindikasi Antibiotik untuk Demam Tifoid 1. Kloramfenikol a. Wanita hamil dan menyusui. b. Pada pemakaian jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan hematologi secara berkala. c. Perlu dilakukkan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya superinfeksi oleh bakteri dan jamur d. Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan gangguan fingsi ginjal dan hati e. Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu pertama) f. Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza, batuk dan pilek 18
g.
Penderita
yang
hipersensitif
terhadap kloramfenikol
2. Sefalosporin Penderita yang hipersensitif terhadap antibiotik golongan sefalosporin, penisilin atau antibiotik golongan betalaktam lainnya. 3. Flourokuinolon Anak <18 tahun dan ibu hamil Dosis Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari 4. Kontrimoksazol Penderita gangguan hati, ginjal, hamil, menyusui, dan bayi kurang dari 2
19
20