Namaku Kunimitsu Tezuka, kelas 3 SMA. “Tezuka.” Panggilnya. Aku menoleh ke belakang, memaksaku meninggalkan layar komputer yang sudah sedari tadi kutekuni dan menatapnya. Shusuke Fuji, teman sekelas dan seklubku dari SMP. Dia berbaring tertelungkup di tempat tidurku sambil membaca buku literatur yang dipinjamnya dari perpustakaan. “Apa aku seksi?” tanyanya tanpa mendongak dari bukunya. Aku mengerutkan kening mendengarnya. Mau tak mau aku jadi mulai bertanya tanya dalam hati. Kali ini apa lagi? Kadang kadang dia sama sekali tidak bisa ditebak baik kata kata maupun tindakannya. “Apa maksudmu?” tanyaku akhirnya. Fuji mendongak dari bukunya dan menatapku dengan mata birunya. “Kamu ingat waktu aku dipanggil keluar oleh kohai dari klub judo?” tanyanya. Aku tidak menjawab. Tapi kejadian tadi siang langsung terputar di otakku. Fuji yang duduk di sebelahku berdiri karena dia diberitahu kalau ada yang mencarinya di luar kelas. Dari tempatku duduk aku bisa melihatnya, di dekat pintu kelas, seorang cowok yang tingginya hampir setinggi aku. Aku tidak kenal dia, juga tidak tahu namanya, tapi setidaknya aku tahu kalau dia anak kelas dua. Fuji mendatanginya dan berbicara sebentar dengannya entah mengatakan apa, sementara dia menjawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya dengan wajah merah. “Dia memintaku jadi pacarnya.” Kata Fuji sambil terkekeh kecil, “Dan itu dikatakannya dengan keras di koridor dengan muka merah. Manis sekali.” Lagi lagi ada kohai yang memintanya jadi pacar. Dengan ini berarti yang keempat dalam dua bulan. Dan..., aku menghela napas sekali, semuanya laki laki. “Aku jadi penasaran.” Kata Fuji sambil merebahkan dirinya ke tempat tidurku, “Sebenarnya aku ini tampak seperti apa di mata cowok?” Aku menahan diri untuk tidak mengelengkan kepalaku. Jadi itu maksud sebenarnya dari pertanyaan soal apa dia seksi. Dasar, dia memang suka sekali tertarik ke hal hal yang aneh.
1
2
Aku menaikkan kacamataku dengan jari telunjuk sebelum akhirnya kembali menatap layar komputer, memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Tanganku mulai mengetik dengan cepat melanjutkan tugas yang harus segera aku selesaikan. Aku berharap bisa menyelesaikan ini sebelum malam karena besok ada latihan di klub buat pertandingan minggu depan. Dan kami harus menang. “Apa yang kamu ketik?” tanya Fuji sambil mengalungkan lengannya di leherku dari belakang. Sesaat kukira napasku berhenti. Tubuhku mendadak menjadi kaku waktu dia memelukku seperti ini. Wajah putihnya dekat sekali denganku. Sangat dekat hingga aku bisa mencium bau shampo yang dia pakai. Aku menghela napas panjang berusaha untuk tampil tenang sementara jantungku berdetak tidak karuan. “Fuji.” Kataku tenang sambil melepaskan tangannya dari leherku dan berbalik menatapnya, “Kalau kamu memang mau bicara, biar aku selesaikan dulu tugasku.” “Baiklah.” Katanya sambil tersenyum kalem. Senyum yang biasa dia tampilkan tanpa pernah absen. Fuji kembali duduk di tempat tidurku. Tangannya yang putih mengambil buku yang tadi dibacanya dan kembali membuka bukanya. Aku menatapnya. Rambut coklatnya yang halus bergerak sedikit mengikuti setiap gerakannya. Kulitnya putih sekali kontras dengan warna baju seragam musim dingin yang dipakainya. Mataku tanpa sadar mulai menyusuri garis wajahnya lalu ke leher... “Tezuka?” tanya Fuji kelihatan heran, “Ada apa?” Aku menunduk sambil menaikkan kacamataku dengan jari telunjuk. “Tidak.” Kataku sambil berpaling ke arah lain. Apa yang kupikirkan tadi? Aku memutar tubuhku dan kembali menenggelamkan diri ke tugasku, berusaha tidak memikirkan hal hal lain. Dengan cepat aku berhasil menyelesaikan semuanya. Aku mematikan komputerku dan berdiri sambil memberesi buku buku yang tadi kupakai sebagai acuan. Aku berbalik dan langsung terpampang di mataku kalau Fuji sudah tertidur lelap di tempat tidurku. Aku menghela napas. Dia pasti bosan menungguku.
3
Aku mendekati Fuji yang terlelap. Wajah malaikatnya terlihat nyenyak sekali. Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipinya dengan punggung tanganku. Lalu jemariku mulai menyapu bibirnya yang merah muda. Bisa bisanya dia bertanya padaku apa dia seksi. Aku mengelus rambut coklatnya dengan lembut. Mana mungkin aku bisa menjawabnya, aku sama sekali tidak tahu. Aku menunduk perlahan dan mencium keningnya. Satu satunya yang kutahu adalah bahwa aku telah jatuh cinta padanya.