“Bebek! Ha ha ha!!” Flame tertawa terbahak bahak sambil menunjuk Aqua dengan tidak sopan, “Bebek! Lawanmu bebek!” “Cocok banget!! Hahahaha!!”, Flame tertawa makin keras sampai keluar air mata sangking gelinya, “Kalian pasti...” Flame mendadak terdiam dari tawanya. Dia harus terdiam, karena sekarang Aqua menatapnya dengan tajam dan penuh aura membunuh. Auranya pekat, hitam, dan mengerikan seakan dia mau membuktikan bahwa dia bisa membunuh lebih cepat, sadis, dan efektif dari mesin cincang. “Ap... Apa!” Flame mengepalkan tangannya mulai mengambil kuda kuda bertahan. Entah kenapa tiba tiba saja dia mulai berkeringat dingin karena ditatap penuh kebencian oleh Aqua seperti itu, “Mau bertarung?! Siapa takut!” teriaknya. Aqua menoleh ke Wind, mengabaikan Flame, “Bendungan hampir hancur.” Katanya datar. “Begitu...” Wind langsung mengerti, “Sepertinya memang sudah saatnya bergerak ya...” Katanya sambil berdiri dari sofa. Terra menoleh bergantian dari Wind ke Aqua lalu ke Wind lagi, “Ada apa sih?” tanyanya tidak mengerti. “Bendungan, Terra.” Jelas Wind sabar, “Hujan terus menerus seperti ini pasti akan membuat bendungan penuh dan tidak mampu menahan air lagi.” Terra cuma butuh sedetik untuk mengerti, “BANJIR!!” teriaknya, “Jadi itu sasarannya!” “Yap.” Kata Wind sambil tersenyum tipis. “Kita harus cepat cepat! Aqua, seberapa lama bendungan itu masih bisa menahan?” tanya Terra mulai panik. Sebelum banjir bandang benar benar menghancurkan kota, tambahnya dalam hati dengan khawatir. Kalau itu sampai terjadi... “Setengah jam.” Kata Aqua datar, “Tidak, mungkin lima belas menit. Paling lama.” “LIMA BELAS MENIT??” Tanpa buang buang waktu lagi Terra langsung berlari menuju pintu keluar diikuti oleh Aqua dan Flame.
Wind yang tertinggal di belakang, menoleh menatap Shii yang masih duduk di sofa kelihatan kebingungan masih berusaha mencerna yang terjadi, “Shii, ayo sini.” Katanya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum kalem. “IYAAA!!” kata Shii sambil berlari dengan ceria ke arah Wind dan menggandeng tangannya. *** Satu persatu Terra, Flame, Aqua, dan Wind yang mengendong Shii, mendarat turun tepat di depan bendungan. Lagi lagi Terra dan Flame basah karena harus terbang dalam keadaan hujan. Tapi sekarang, bahkan Flame pun, tidak ada yang protes soal baju yang basah kuyup. Terra memandang bendungan besar yang berada di sungai di pinggiran kota dengan was was. Benar, dindingnya seperti sudah tidak mampu menahan lagi. Kalau dibiarkan begitu saja, entah berapa orang yang akan jadi korban. “Terra.” Panggil Aqua, “Aku akan menahan airnya. Tolong buat dinding dari tanah untuk membantu menahan tekanan air.” “Dinding?” tanya Terra, “Kira kira seberapa tebal? Kalau aku buat diantara dinding bendungan dan air saja boleh tidak?” tanyanya. “Tidak masalah. Aku akan mengurangi airnya nanti.” Terra mengernyitkan dahi bingung. Mengurangi air? Bagaimana caranya? Aqua mengulurkan tangannya dan mengerahkan kemampuannya. Mendadak, air yang menekan dinding tertahan mundur kira kira sejauh satu meter kebelakang, memberi ruang antara dinding bendungan dan air. “Terra.” panggil Aqua lagi. “Baik!” Terra langsung berlutut di tanah. Dia menyentuh tanah yang ada di dekat kakinya, lalu memejamkan matanya. Menahan air... Kalau hanya tanah saja tidak mungkin sanggup menahan tekanan air sebesar itu. Batu... dia butuh batu. Ya... semoga saja tanah disekitar ini mengandung banyak batu... ADA!! Terra membuka matanya dan bersamaan dengan itu, tanah mulai bergetar dan mendadak dari dalam tanah terangkat pelan pelan sebuah dinding batu tebal yang dibuat oleh Terra. Berdiri dengan gagah diantara air dan dinding bendungan.
“Bagus sekali.” Kata Wind bersiul memandang dinding batu buatan Terra itu. Hebat. Memang kekuatan penguasa tanah yang terkuat di Chaos. “KEREEEEEN!!!!” Shii bersorak senang sekali sambil melompat lompat ceria, “Terra, kereeeen deeeh!!!” Aqua menghela napas sekali. Bagus. Dengan begini sekarang, dia cuma butuh mengurangi airnya. Aqua berbalik dan menatap Flame sambil berkata dengan dingin, “Sekali kali buat dirimu berguna, idiot!” “APA!! Apa begitu caranya kalau mau minta tolong!!” kata Flame marah dipanggil idiot. Aqua mendengus sinis, “Memangnya kamu berharap aku minta tolong dengan cara apa?” Flame bengong ditanya seperti itu, “Cara?” Flame berpikir sebentar lalu menyeringai, “Menangis seperti Terra juga boleh.” “JANGAN DIINGAT INGAT!!” protes Terra sambil menutup telinganya dengan muka merah sangking malunya. Kejadian kemarin dulu kembali terulang di kepalanya. Dia menangis di depan Wind! Di depan Wind! Ugh! Benar benar memalukan!! “Ho...” Aqua menyipit menatap Flame dengan tatapan menyeramkan. Aura kelam keluar dari tubuhnya, membuat udara disekitarnya menjadi lebih dingin kutub selatan dan jauh lebih mencekam. Bahkan Terra dan Shii sampai mengigil kedinginan. Ini bukan perumpamaan, suasana memang jadi benar benar dingin. Sangat dingin. SRET!! Aqua mengangkat tangannya ke samping, dan dalam sekejap tiba tiba sebuah bulatan air yang sangat besar dengan diameter lebih dari 5 meter terangkat ke udara. Aqua mengeser tangannya kearah Flame. Dia memandang Flame dengan tajam dan penuh napsu membunuh. Lalu, saat Flame masih menatap bola air itu dengan bingung, Aqua mengepalkan tangannya, dan, sedetik kemudian, bahkan sebelum Flame sadar apa yang terjadi, Flame sudah berada didalam bulatan air raksasa itu... Terkurung... Dan tenggelam... ***
OhOK!! Flame megap megap dalam bola air raksasa itu. Dia tercekik dan mulai panik, karena tidak ada udara yang bisa mengisi paru parunya. SIAL!! Flame berontak sekuat tenaga. SIAAAAL!!! Mendadak bola air itu mengeluarkan gelembung gelembung udara kecil kecil dan mulai bergejolak. “Shii.” Panggil Aqua datar, “Mundur dari sana.” Katanya. “Aquaa!! Flame bisa mati!!” Protes Terra entah sudah keberapa kalinya sambil menarik baju Aqua, sementara disampingnya berdiri Wind yang sedari tadi malah menatap arlojinya. “Wind, bilang ke Aqua...” Terra menoleh ke Wind meminta pertolongan. “Nggak mau.” “WIND!!” Aqua menarik Shii mundur supaya tidak terlalu mendekat ke bola airnya yang sekarang mulai mendidih. Bola air itu sendiri pelan pelan mengecil karena Flame, demi kelangsungan nyawanya, meningkatkan suhu tubuhnya lebih dari 1000 celsius dan membuat airnya menguap. Flame terengah engah parah berusaha menghirup udara sebanyak banyaknya saat akhirnya dia bisa berhasil menguapkan seluruh air yang mengepungnya dan menyentuh tanah. Udara lembab karena hujan di hutan itu seakan menjadi sebuah hadiah terindah, setelah dia selama sepersekian detik yakin bakal bertemu dewa dewa Chaos. “Kupikir... aku bakal mati.” Gumannya sambil terengah engah, duduk di tanah basah. Hujan masih turun membasahi bumi. “Dua menit tigapuluh enam detik.” Kata Wind mengecek arlojinya, “Lama juga. Hebat.” Katanya. “Hebaaat!!” ulang Shii ceria sambil tepuk tangan. “Ahaha!” Flame menoleh ke Aqua dengan tatapan penuh kebencian sementara seluruh tubuhnya kembali berasap, “AQUAAAA!!!!!”, Flame mengeluarkan bola api dari tangannya yang berpedar merah kekuningan. Kali ini dia bertekad untuk membakar hangus Aqua sampai jadi debu. Aqua tersenyum sinis menatap Flame yang berlari sekuat tenaga kearahnya bersiap siap membunuhnya, membakar hangus dirinya. Aqua dengan tenang kembali
mengepalkan tangannya dan detik berikutnya Flame sudah berada di dalam bola air lagi. Bedanya, kali ini lebih besar. Dua kali lipat. “AAAAAH!!” Terra berteriak panik, “Aqua jangan bunuh dia!!” Terra buru buru bergerak maju dan mengulurkan tangannya ke bola air yang mendidih untuk menolong Flame yang kelihatan sangat menderita. Tapi belum sempat tangannya meraih bola air, Wind sudah mencegahnya, “Jangan, Terra.” Katanya sambil tersenyum kalem. “Tapi...” Terra memprotes. Bagaimana kalau Flame benar benar mati? Air adalah kelemahan terbesar Flame! Kalau dibiarkan bisa bisa... “Tenang saja,” Kata Wind santai, “Flame bisa bernapas lewat kulit.” “Dia bukan katak, Wind!” “Ahaha!” Shii tertawa ceria. BLUUUSHH!! Untuk kedua kalinya Flame kembali lolos dari bola air yang mengelilinginya. Dia berdiri dengan tubuh basah kuyup sambil terengah engah lebih parah dari yang tadi dan kelihatan sangat menyedihkan. “KUBUNUH KAAAU!!!!” Flame berlari ke arah Aqua dengan penuh kemarahan yang amat sangat. Dia tidak peduli lagi. Hari ini dia atau Aqua yang akan mati. Aqua menatap Flame dingin. Lalu, tepat sebelum Flame menyentuhnya, Aqua mengepalkan tangannya lagi untuk ketiga kalinya... “Breng...sek ka..u... A..q.u.a..” BRUUUK!!! Flame yang berhasil lolos dari bola air setelah kesekian kalinya, akhirnya terjebab di tanah pingsan. Berulang kali ditenggelamkan dalam bola air yang makin lama makin besar bukan hal enteng. Itu sudah mencapai batas maksimum yang bisa ditahannya. “Sepertinya dia menggunakan seluruh tenaganya.” Kata Aqua sambil menatap dingin tubuh Flame yang terpuruk di tanah basah tanpa rasa simpati atau kasihan. “Dan seluruh napasnya.” Timpal Terra kesal sambil memangku kepala Flame dikakinya supaya Flame agak nyaman, “Kamu sudah keterlaluan, Aqua!” Aqua memilih tidak menangapi Terra, dan menoleh ke Wind, “Ke mana arah anginnya?” tanyanya..
Wind mengangkat satu jarinya, memeriksa, “Dari barat ke timur.” Katanya, “Kenapa?” Aqua menunduk menatap Shii yang sekarang sedang berjongkok di samping tubuh Flame sambil menowel nowel tubuh Flame dengan jarinya, memeriksa apa dia masih hidup, “Shii, apa benda itu punya kekuatan mengendalikan arah angin?” tanyanya. Shii mendongak menatap Aqua, berpikir sebentar, sebelum akhirnya dia mengeleng gelengkan kepalanya sambil tertawa ceria. “Begitu...” Kata Aqua diam sebentar. “Ah.” Wind mulai mengerti arah pikiran Aqua, “Begitu ya.” Katanya sambil mengangguk angguk. “Apanya?” tanya Terra nggak mengerti. Wind tersenyum sabar sambil mengacungkan satu jarinya, mulai menjelaskan, “Jadi begini Terra, benda itu menurunkan hujan, kan? Apa Terra tahu air hujan dari mana?” “Dari mana? Dari air yang menguap, menjadi awan...” kata Terra sambil mengerutkan alis. “Benar sekali. Nah, hujan kali ini cukup lama, kan? Dan sepertinya juga tidak ada tanda tanda untuk berhenti. Jadi, kesimpulannya untuk membuat hujan ini, ‘benda’ itu perlu banyak air.” Kata Wind lagi, “Nah, pertanyaannya sekarang, dimana air paling banyak di muka bumi?” “LAUT!” Terra mulai paham. “Pintar.” Kata Wind sambil tersenyum kalem. Ya, sepertinya kemampuan benda itu adalah menguapkan air dan membuat awan hujan. Lalu, setelah awan hujan terbentuk, angin tinggal meniupnya dan mengirimnya ke kota. “Laut barat?” tanya Wind sambil melirik ke Aqua. Aqua mengangguk sekali. Ya, laut barat. Bebek-karet-kuning-bernama-banjir kemungkinan besar pasti ada di sana. Dan mereka harus segera menangkapnya sebelum keadaan jadi lebih parah. Wind menoleh ke Terra, “Terra,” panggilnya, “Flame memang sudah mengurangi air di bendungan hingga sepertiganya, dan memberi kita waktu untuk mencari benda milik si tua keparat itu dan menghentikan hujan...”
“Ah!” Terra langsung paham apa sebenarnya tujuan Aqua sampai dia menenggelamkan Flame dalam bola air. Supaya Flame menguapkannya dan mengurangi airnya! Jadi ternyata itu maksudnya... “...tapi untuk jaga jaga, lebih baik kamu tetap di sini dengan Shii.” Kata Wind lagi, “Sisanya serahkan padaku dan Aqua.” Terra berpikir sebentar, “Ya.” Katanya sambil mengangguk. Sepertinya itu yang terbaik, “Lagian, begitu hujan berhenti aku juga harus menghilangkan tembok batunya.” Kata Terra sambil mengerling tembok yang dibuatnya. Kalau tidak bakal mencurigakan. Dalam semalam berdiri sebuah tembok batu tebal... penjelasannya bakal menyusahkan. Wind tersenyum kalem dan mengelus rambut Terra yang basah. “Ah!” Shii berlari ke Wind lalu mengulurkan dompet koinnya, “Ini.” katanya sambil menyerahkannya ditangan Wind. “Tinggal jejalkan saja kan, Shii?” tanya Wind sambil mengamati dompet koin kecil ditangannya. Shii mengangguk angguk, “He eh! he eh!” Setelah itu, Wind dan Aqua melayang di udara di tengah hujan yang masih menguyur deras dan terbang secepatnya menuju ke pantai barat untuk memulai pertarungan mereka dengan si bebek karet dan membereskan semuanya. “Hati hati yaaa!!” kata Shii sambil melompat lompat melambaikan tangan ceria sampai Wind dan Aqua tidak terlihat lagi.