Shiva 8

  • Uploaded by: ageha
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Shiva 8 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,880
  • Pages: 7
Terra berdiri sambil tersenyum menyambut keduanya dengan baju basah kuyup. Hujan sudah berhenti dari tadi memang, karena itu juga Terra langsung tahu kalau mereka berhasil menangkap si bebek dan bahaya banjir sudah lewat. Tapi dia sudah terlanjur basah. “Kalian berhasil!” kata Terra. “Hebaaaaaat!!!” Shii bersorak sambil melompat lompat ceria kelihatan sangat senang. “AQUAAAAA!!!!” Flame berteriak keras sambil menerjang Aqua, mengayunkan tinjunya yang diliputi api membara, berniat membalaskan dendamnya karena sudah dipermainkan sampai sangat menyedihkan. Flame bersumpah, hari ini Aqua akan membayar semuanya. “Ah, jadi dia sudah sadar.” guman Wind sambil tersenyum kalem. Dia menonton dengan tertarik bagaimana Aqua dengan mudah menghindari semua serangan Flame. Lalu karena semuanya meleset, bisa ditebak, Flame jadi mengganas dan mulai menghancurkan semua yang ada di sekelilingnya. wah wah, kalau begini terus, mengembalikan hutan ke semula bakal susah. yah, bukan urusannya juga sih. “Flame!” Terra maju berusaha menghentikan Aqua pada Flame. Dia memang sudah tahu dengan sekali lihat kalau pertengkaran pasti bakal terjadi. Ekspresi wajah Flame begitu dia sadar, sudah seperti mau menelan Aqua hidup hidup. GREP!! Terra belum juga sempat mendekat waktu tiba tiba Wind menangkap lengannya dan menariknya menjauh dari area pertarungan sengit antar penguasa air dan api tanpa banyak bicara. Tapi maksud Wind jelas. Jangan dekat dekat, di sana berbahaya. “Wind! Apa apaan...?” Terra baru mau protes waktu hidungnya mencium sesuatu. Bau dari sesuatu yang dibencinya. Dan bau itu menempel di baju Wind. SRET!! Terra menarik baju kemeja putih Wind dan mencium baunya untuk memastikan. Dia mengertakkan gigi dan mendorong Wind dengan marah. Bau itu, bau rokok yang dibencinya. “WIND!!” bentaknya galak. Wind tersenyum kalem. Tuh kan, Terra makin manis kalau marah. “Ya?” tanya Wind santai.

“Kamu merokok ya!!” bentak Terra lagi, “Berapa kali aku harus bilang merokok itu tidak baik buat kesehatan!!” katanya marah marah, mengabaikan Flame dan Aqua yang sedang berusaha saling membunuh di belakangnya. Wind tersenyum kalem. Ah, jadi ternyata masalah rokok baginya lebih penting dari pertarungan berdarah yang dilakukan Flame dan Aqua. “Sini, mana rokoknya! Aku sita!” “Eits!”, dengan gesit Wind menangkap pergelangan tangan Terra saat Terra mencari cari rokok disaku celananya. “Aku sudah pernah bilang kan, Terra.” Katanya sambil berbisik di telinga Terra, “Kalau kamu ingin menghentikanku merokok, kamu harus menciumku dulu.” BUAAAK!!! Terra tanpa ampun memukul Wind tetap diperut sekuat tenaga. “Jangan bercanda! Nggak lucu!” kata Terra tegas. “Aduduh...” Wind memegangi perutnya sambil tertawa. Ah, manisnya... “KYAAAAA!!!” tiba tiba saja Shii menjerit. Suaranya yang melengking tinggi terdengar panik. Terra dan Wind langsung menoleh ke arah teriakan. Ada apa? Apa Shii kena serangan? Tapi jawabannya bukan itu, karena Shii baik baik saja. Jelas. Dia berdiri kira kira 2 meter dari Terra dan Wind sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Terra mengikuti arah pandangan Shii dan langsung menganga. Pemandangan di depannya yang sangat tidak bisa dipercaya. Aqua tertelungkup di tanah basah. Rambutnya yang hitam menutupi wajahnya, sementara Flame berdiri di depannya mengangkat tangannya yang dipenuhi bola api besar. Semua orang pasti memikirkan hal yang sama. Aqua kalah?! Oleh Flame? Nggak mungkin!! Itu mustahil! Imposible! “FLAME!” Terra buru buru berlari, “Jangan bunuh dia!” “Aku belum melakukan apa apa!” teriak Flame sambil memadamkan bola api raksasa ditangannya. Flame mengatakan hal jujur waktu dia bilang belum melakukan apa apa. Soalnya serangannya tidak ada yang kena ke Aqua. Dan apinya juga tidak ada yang bisa menembus perisai Aqua. “Tapi tahu tahu dia...” kata kata Flame terputus waktu menyadari Wind sudah berlutut di samping Aqua yang pingsan. Cepat sekali... bagaimana caranya?

Wind menyentuh dahi Aqua yang bahkan sudah lebih pucat dari mayat. Flame tidak bohong. Keadaan Aqua yang sekarang sudah jelas pasti bukan gara gara Flame. Soalnya dia dingin. Kalau Flame pelakunya, Aqua harusnya gosong dan bukannya malah membeku. Kenapa bisa...? Wind mengernyitkan dahi, Aura ini... Jangan jangan... “Wind, bagaimana?” tanya Terra yang ikut berlutut di sebelah Wind. Cowok berambut nyaris putih itu menghela napas sekali, “Sudah kuduga tidak mungkin berakhir begitu saja.” “Apanya?” tanya Terra tidak mengerti. "Aku sudah melarangnya lho." kata Wind lagi. "Iya, tapi apanya?" tanya Terra lagi. “Aqua menyentuh bebek karet itu.” Kata Wind sambil mengalungkan tangan Aqua dilehernya untuk memapahnya. Sekarang yang terpenting adalah memindahkan Aqua dulu. Wind memutar bola matanya. Bikin repot saja. Terra menganga selama sepuluh detik penuh sementara otaknya berusaha mencerna informasi yang diberikan Wind. “Di,dia menyentuhnya?” “Ya, Terra." katanya sabar, "Dan sepertinya aura penghancur dari bebek itu tidak begitu bagus buat kesehatan.” kata Wind lagi, "Mungkin jauh lebih tidak sehat dari rokok." "Tapi kamu tetap tidak boleh merokok, Wind!" kata Terra tegas. Wind memutar bola matanya. Sebegitu bencinya ya sama rokok. “AAAHH!!!” Shii menjerit keras membuat semuanya menoleh. Cewek mungil berambut pendek itu berdiri sambil menutup kedua mulutnya dengan tangan. Wajahnya bahkan sama pucatnya dengan Aqua sementara bulir bulir air mata mengalir deras dipipinya. Bebeknya... dipegang... Aqua pegang... “Shii...” Terra mendekati Shii dengan khawatir. “Kenapa nangis?”. Dia mengulurkan tangannya ingin menenangkan Shii tapi serta merta Shii menepisnya dengan panik. “JANGAN!” katanya sambil bergerak mundur. Tidak boleh. Jangan ada yang menyentuhnya. Shii mundur selangkah lagi, “Maaf... Aku minta maaf... Hik... Hik... HUWAAAA...!” Tangis Shii pecah.

Wind menghela napas pendek sekali sebelum menoleh ke Flame yang sekarang sama seperti Terra cuma bisa memandangi Shii dengan bingung, “Titip.” Katanya sambil menyerahkan Aqua yang pingsan pada Flame. “Kenapa ak...” Kata kata Flame langsung berhenti begitu dia menyentuh tubuh Aqua dan menyadari seberapa dinginnya dia. Mendadak gelombang kecemasan memenuhi dirinya. “Hei, memangnya tidak apa apa kalau...” Tapi kata kata Flame lagi lagi tidak selesai karena Wind sudah tidak ada lagi di sampingnya. Cowok itu sekarang berjalan tenang ke arah Shii yang masih menangis, melewati Terra, dan dengan gerakan cepat dia sudah menarik Shii ke dalam pelukannya. “Jangan!” Shii berontak sekuat tenaganya. Nanti... Nanti... Wind bisa... “Ssst.." Wind berdesis menyuruh Shii diam, "Shii, dengarkan aku." katanya, "Lihat, sekarang aku menyentuhmu, kan?” tanya Wind lagi. Shii tersentak. “Apa aku terlihat sakit seperti Aqua?” tanya Wind lagi. Shii pelan pelan menggelengkan kepalanya masih menangis, mengucapkan banyak sekali kata maaf. Wind melepaskan pelukannya lalu tersenyum kalem, “Nah, kamu sudah lihat sendiri, kan?” Kata Wind, “Jangan minta maaf lagi karena ini bukan salahmu." "Ta, tapi..." "Kamu mau aku marah padamu?" tanya Wind. Shii buru buru menggeleng. "Kalau begitu, berhentilah menangis." katanya lagi. Shii menanggukkan kepala sekali, sambil masih terisak dia berusaha menghapus air matanya dengan kedua tangannya, membuatnya kelihatan imut banget. Wind tersenyum dan menepuk kepala Shii sekali sebelum dia berbalik menatap para penontonnya yang terbengong bengong. "Kenapa?" tanyanya tenang, “Ayo, pulang.” ***

Aqua berbaring di tempat tidurnya, masih sepucat dan sekaku mayat. Selimut putih menutupi tubuhnya dengan sia sia, karena kalau mau jujur, Aqua sebenarnya malah jauh lebih dingin dari udara di sekitarnya. Terra duduk di kursi di sebelah tempat tidur, menatapnya dengan cemas karena cowok yang biasanya bersikap dingin itu tidak kunjung membaik juga padahal sudah dua hari. Malah menurut Wind keadaannya jadi makin memburuk. KLEK! Pintu kamar Aqua terbuka dan Wind masuk ke dalam kamar. “Terra, kamu belum tidur?” tanya Wind. Terra mendongak menatap Wind, “Belum. Wind, bicaralah pada Shii.” pintanya, “Shii seharian duduk di depan kamar, tidak mau masuk, tapi juga tidak mau pergi.” Katanya sambil menghela napas, “Aku sampai khawatir.” Wind tertawa pelan. Itu benar, apapun yang mereka katakan ke Shii, Shii tetap merasa kalau ini salahnya dan menolak untuk pergi. Terra yang akhirnya menyerah membujuk Shii kembali ke kamarnya, meminta cewek mungil itu untuk menemaninya menjaga Aqua. Tapi lagi lagi dengan keras kepala Shii menolak masuk ke dalam kamar dan malah memilih menjadi satpam. “Nanti Aqua tambah sakit.”. Itu alasan yang dipakai Shii sebelum dia duduk sambil memeluk lututnya di lantai dekat pintu kamar Aqua. Terra sama sekali tidak mengerti apa maksud kata kata itu. “Aku sudah bicara pada Shii.” Kata Wind. Yah, Shii-nya tetap tidak mau dengar sih, “Oh ya, Terra, masakkan aku sesuatu, please? Aku lapar.” “Tapi ini kan tengah malam!” protes Terra. “Tidak masalah kan?” Terra memandang Wind sebentar sebelum menghela napas, “Ya sudah, apa boleh buat. Roti saja tidak apa apa kan?” “Terima kasih.” Kata Wind sambil tersenyum dan mendorong Terra mengantarnya ke pintu, “Oh ya, bagaimana kalau kamu mengajak Shii sekalian? Dia pasti senang membantu masak.” Terra terdiam sebentar. Shii memang sudah seharian ini cuma duduk diam diluar. Sedikit refrshing, tidak ada salahnya juga sih... “Iya, baiklah, aku akan tanya dia.” Katanya sambil membuka pintu kamar dan keluar.

Dari dalam kamar, dimana hanya tinggal dia dan Aqua, Wind bisa mendengar Terra yang berbicara pada Shii. Suara ceria Shii terdengar senang mendengar ajakan Terra. Ya, Shii memang sudah kembali ceria. Itu kabar bagus. Wind tersenyum waktu mendengar suara langkah dua orang yang menjahui kamar. Bagus. Rencananya berhasil, Terra dan Shii sudah menjauh dari kamar ini. Nah, sekarang dia juga harus ikut pura pura pergi. Wind terkekeh pelan. Ini akan menarik. Wind keluar dari kamar, berjalan sedikit, berbelok ke kiri, lalu berhenti. Sambil bersandar di dinding, dia tersenyum dan menunggu. Benar saja, tidak sampai dua menit, seorang cowok berambut merah menyala muncul dan berdiri di depan pintu kamar Aqua. Flame menatap pintu kayu berwarna hitam itu dengan ragu ragu. Sebenarnya dia sudah dari tadi berdiri tidak jauh dari kamar Aqua, tapi dia tidak berani masuk. Sejujurnya harga dirinya menolak untuk merendahkan diri dan melihat keadaan rivalnya, entah kenapa rasanya sangat memalukan. Tapi... Flame mengernyitkan kening, kenapa aku datang ke sini? Apa urusanku kalau dia sakit? Dan itulah yang dari tadi terus menerus muncul diotaknya dan bergelung ruwet. ARGH!!! Akhirnya dengan kesal Flame meninju tembok di depannya sampai bergetar. SIAAAL!!! “Kenapa tidak masuk?” “AAAAH!!!” Flame sampai reflek teriak sangking kagetnya sebelum dia menoleh, “Wind!” “Ya?” Wind sudah berdiri di belakang Flame dan menatapnya sambil tersenyum simpul. “JANGAN bikin kaget!” Teriak Flame, “Lagian siapa yang mau masuk!!” “Oh...” Wind menatap Flame, “Jadi kamu tidak mau masuk?” “Tidak!” teriak Flame lagi. “Wah, sayang sekali.” Katanya, “Padahal kamu sudah menghabiskan waktu 6 jam cuma untuk mencari tempat ini.” Ya, penyakit buta arahnya Flame itu parah banget, ditambah rumah ini yang pada dasarnya memang punya konstruksi aneh. Akibatnya dia sering tersesat dan biasanya tidak nanggung nanggung. Kalau dihitung hitung, sebenarnya dari pintu depan sampai ke kamarnya Aqua tidak sampai 10 menit.

“Si, SIAPA memangnya yang mencari kamar ini!” teriak Flame dengan muka merah padam, persis sama seperti anak kecil yang ketahuan bohong, “LAGIAN bukan enam jam!” “Oh ya?” tanya Wind lagi. “Cuma lima setengah!” Wind menutup mulutnya mati matian menahan tawa. Ditawar. Pakai ditawar. He he, sekarang aku tahu kenapa Mother selalu bilang klan Api sangat menarik. Wind berdeham, “Maaf. Tapi sebenarnya lima setengah dan enam tidak beda jauh.” "CEREWET!" Bentak Flame dengan muka merah. Wind tersenyum kalem. Flame mengalihkan pandangannya dari Wind lalu mengumankan sesuatu dengan suara kecil. “Ya?” tanya Wind, “Aku tidak bisa dengar." Flame mengguman lagi mengulangi pertanyaannya sementara mukanya memerah makin parah. "Apa?" tanya Wind, "Coba lebih keras sedikit.” Flame tidak tahan lagi, “Aku tanya BAGAIMANA KEADAANNYA?” Teriaknya sekuat tenaga dengan satu tarikan napas sampai suaranya mengema ke seluruh rumah. Wajahnya sudah lebih merah dari tomat sangking malunya. Wind mati matian menahan tawanya. Ah, ternyata mengerjai Flame memang seasyik yang dia bayangkan. Dan lagi, Wind menatap cowok didepannya, maaf Flame, yang aku lakukan sekarang bahkan belum sampai sepersepuluh dari apa yang ingin aku lakukan. “Kamu mau tahu?" tanya Wind tenang, "Oke. Keadaan Aqua sangat buruk." Wind berhenti sebentar, "Suhu tubuhnya terus menurun, sementara detak jantungnya makin lama makin lemah.” Wind memandang Flame lurus lurus, mengatakan semuanya tanpa keraguan, “... Mungkin dia akan mati. Sebentar lagi.” ***

Related Documents

Shiva 8
June 2020 14
Shiva
November 2019 56
Shiva
May 2020 38
Shiva Sutra
May 2020 21
Shiva 1
June 2020 19
Shiva Kavacham
December 2019 32

More Documents from ""

Shiva 1
June 2020 19
Shiva 5
June 2020 16
Shiva 9
June 2020 16
Shiva 6
June 2020 9
Shiva 8
June 2020 14