Shiva 5

  • Uploaded by: ageha
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Shiva 5 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,274
  • Pages: 5
“Basaaaah!!!” Kata Terra sambil mengoyangkan kepalanya untuk mengusir air hujan dari rambut coklatnya. “Derasnya.” Katanya lagi sambil berusaha mengibaskan air dengan sia sia dari bajunya yang basah kuyup. Yap, begitulah, mereka baru saja pulang dari sekolah, dan sialnya hujan memilih turun disaat yang salah. Semuanya kehujanan. Atau, setidaknya tiga dari mereka seperti kucing habis tenggelam. Terra mendongak menatap langit diatasnya sementara air masih menetes netes dari bajunya ke lantai teras mansion model barat yang mereka tinggali. Hujan masih turun begitu deras seperti menuang semua air yang ada di langit ke bumi. Langit kelihatan sangat berat dengan awan awan hitam yang bergelung padat penuh air, semua itu membuat suasana menjadi gelap, suram, dan dingin... Atau tidak... “Ahaha!!” Shii tertawa ceria seperti matahari ditengah musim panas. Dia sama sekali tidak kering. Sama sekali. Dia sama basah kuyupnya seperti Terra sampai sampai orang yang melihatnya pasti percaya kalau dia baru saja berenang dengan pakaian lengkap, “Asyik!! airnya banyaaak!!” katanya dengan mata berbinar binar. Terra memutar bola matanya menatap Shii dengan geli. Yaah, mungkin di dunia ini cuma Shii yang bisa begitu senang main hujan hujanan ditengah musim dingin. Ah, sebenarnya hujan atau udara dingin bukan masalah besar buat Terra karena dia penguasa tanah yang berarti dia cukup suka air dan tahan dingin. Berbeda dengan... “BRENGSEK!” bentak Flame marah marah sambil memeras kemeja sekolahnya yang sudah seperti direndam dalam air, “ARGH! SIAAL! Kapan hujan brengsek ini berhenti!” BLAAAR!!! Tiba tiba saja api berkobar menyala dari tangan Flame dan membakar kemejanya yang basah, membuat Terra sampai mundur selangkah sangking kagetnya. “Flame!!” Tegur Terra menatap kesal kemeja Flame yang sudah jadi abu, “Jangan melampiaskan kemarahanmu pada barang! Sudah berapa kali aku bilang!” “BERISIIK!!” bentak Flame lagi. Sekarang seluruh tubuhnya mulai mengeluarkan asap dan menguapkan semua air yang ada di tubuhnya. Hujan dan air sudah membuat mood-nya jadi jelek banget. Yap, Flame benci air. Benci BANGET. DUAAAK!!! BRAAK!!

“Flame!” Tegur Terra lebih keras waktu Flame menendang pintu rumah sampai menjeblak terbuka dan masuk ke dalam. Terra menghela napas panjang. Ini sudah biasa kok. Memang selalu begitu. Tiap kali hujan turun Flame pasti marah marah dan berlaku buruk sampai hujan reda. Tapi kalau cerah terus, giliran Aqua yang uring uringan seharian. Bikin repot saja. Shii melongokan kepalanya mencari cari ditengah hujan lebat. Di matanya dia menangkap dua buah siluet yang berjalan santai ke arahnya di tengah hujan. Shii mengoyangkan tangannya dengan ceria, “Wind!! Aqua!! Cepat!! Cepat!!” Wind dan Aqua menginjakkan kakinya di teras rumah tanpa satu tetes airpun membasahi tubuh mereka. Yap, mereka sekering orang yang sepanjang hari ada di dalam ruangan, sama sekali tidak ada tanda tanda kalau mereka baru saja menembus hujan tanpa payung. Mudah, Aqua cuma menggunakan kekuatannya untuk membuat semua air yang tumpah dari langit itu tidak bisa menyentuhnya sedikitpun, dan Wind menggunakan perisai udara di atas kepalanya yang sukses besar membuatnya tetap kering sekering jemuran. “Hujannya deras ya.” komentar Wind sambil tersenyum jahil, “Terra, kamu manis deh kalau basah.” Terra menatap Wind sambil cemberut, “Hentikan! Nggak lucu!” Wind tertawa kecil. Menggoda Terra selalu asyik. Shii menengadah menatap langit. Hujan ini... Entah kenapa dari tadi dia merasa aneh. Sesuatu yang tidak benar sepertinya sedang terjadi di sini... apa ya... Jangan jangan... “Shii malam ini kita makan omelet nggak apa apa, kan?” tanya Terra Shii menoleh ke asal suara dan ternyata Aqua dan Wind sudah berjalan masuk ke dalam rumah dan hanya tinggal dia dan Terra yang masih berdiri di teras. Terra memandang Shii agak bingung, “Ada ap...?” “Omelet yaa!!!” kata Shii ceria sambil berlari masuk ke dalam. Omelet! Omelet! Hore!! ***

Terra menatap langit dengan cemas dari jendela kaca. Lagi lagi hujan. Awan gelap masih setia di atas sana walaupun sudah tiga hari berlalu. “Aneh tidak sih?” tanya Terra sambil menutup korden dan menatap anak anak yang lain. Wind, Aqua, Flame, dan Shii duduk di sofa dekat perapian yang menyala hangat sambil memakan tart coklat buatan Terra. Ah, oke, cuma Shii yang masih makan. Hari ini hari minggu dan sekolah libur. Dan ini baru menjelang sore, tetapi lebih mirip malam karena awan hitam yang menghalangi secara sempurna sinar matahari membuat suasana menjadi gelap dan suram. Hal itu masih diperparah dengan ruang tengah tempat mereka berkumpul juga tersusun secara abstrak seperti semua ruangan dalam mansion ini. Abstrak. Yeah, sebenarnya buat apa sih pintu, sofa dan vas bunga diletakkan dilangit langit! Wind tersenyum tipis mendengar pertanyaan Terra. Tapi alih alih menjawab atau berkomentar, dia malah menunduk menatap Shii yang sekarang duduk di pangkuannya, “Shii,” katanya pada Shii yang sedang memakan tart coklat keempatnya dengan sangat bahagia, “Kali ini apa namanya?” Terra menatap Wind bingung, “Ha?” Shii mendongak menatap Wind dengan pipi belepotan coklat, “Nama?” tanyanya nggak ngerti. “Ya,” Wind menggerakan tangannya ke arah saputangan yang ada di meja kayu pendek yang ada di ujung ruangan. Saputangan itu terangkat beberapa senti ke udara, lalu dalam sekejap sudah berada di tangannya dengan mulus, “Yang sedang mengamuk diluar itu, apa namanya?” tanya Wind lagi sambil mengelap pipi Shii, membersihkannya dari coklat yang menempel. “Yang diluar?” Shii berpikir sebentar. Wind mengelap sudut bibirnya, “Ah. ya!” Dia mulai mengerti maksud Wind, “Namanya...” “APA!!” Flame berdiri dari kursinya sambil mengebrak meja, “Jangan bilang hujan brengsek ini semua ulah benda si kakek keparat itu?!” teriaknya kesal. Hujan tiga hari benar benar menghancurkan moodnya. Soalnya tiap kali hujan kepalanya bakal berdenyut denyut sakit, dan itu sudah cukup untuk membuatnya bete seharian. “Begitulah.” Kata Wind santai sambil meletakkan saputangan di meja di depannya, jaga jaga kalau Shii butuh lagi.

“Dari kapan kamu tahu Wind?” tanya Terra juga ikut kesal. Hal sepenting ini. Kenapa Wind tidak bilang kalau dia memang sudah sadar lebih awal. “Yah,” Wind berpikir pikir sebentar, “Mungkin sejak Terra begitu manisnya main hujan hujanan...” “JADI DARI TIGA HARI YANG LALU!!” Flame berteriak marah. “Kurang lebih.” Jawab Wind kalem. Dia memindahkan Shii dari pangkuannya, mendudukkannya disampingnya. Shii tidak mendengarkan pembicaraan yang ada didepannya. Dia masih sibuk dengan kuenya yang masih setengah loyang. Terra mengertakan giginya. Sekarang dia sudah benar benar kepingin mencekik Wind. Kenapa tidak bilang dari awal coba? Hujan sederas ini selama berhari hari bisa berbahaya, kan! “Shii, kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau ini semua karena benda buatan si kakek keparat itu!” tuntut Flame ke Shii. Kalau dari kemarin kemarin ditangkap dia nggak perlu sakit kepala terus menerus kan! Shii menatap Flame dengan matanya yang bulat polos sambil mengigit garpunya. Dia kelihatan poloooooos sekali. Flame menatap Shii sebentar, mulai ngerti. “Kamu juga nggak sadar ya...?” tanya Flame sambil menghela napas. Shii mengangguk angguk ceria. Iya. Iya. Dia lupa. “Jadi namanya?” tanya Aqua pada Shii. Dari tadi dia hanya duduk diam bersandar pada sofa sambil melipat tangannya, mengawasi perdebatan. Seperti Wind, dia sebenarnya juga sudah sadar dari awal, tapi membiarkannya selama menurutnya belum terlalu berbahaya. Dan juga karena dia cukup menikmati membuat Flame uring uringan. “Ng...” Shii berpikir sejenak, “’Banjir’!” kata Shii sambil tertawa ceria, “Ya! ‘Banjir’!” “Ban...?” tanya Terra mengernyitkan kening. Ban...jir? Kenapa namanya ‘banjir’?? Kenapa bukan ‘hujan’? Aqua menghembuskan napasnya sekali. ‘Banjir’. Sudah kuduga. Aqua menatap jendela kaca yang basah oleh hujan. Benda kali ini berkekuatan air, sepertinya giliran dia yang harus menangkapnya.

Aqua menoleh ke Shii, “Bentuknya apa Shii?” tanyanya. Benda berkekuatan air seperti apa yang harus dia tangkap. Shii tertawa kelihatan sangat senang, “Manis deh!!” katanya ceria, “Pokoknya maniiiis banget!” Keempat cowok di ruangan semuanya mulai menatap Shii sambil mengernyitkan kening. Manis? Apa maksudnya? “Ya, tapi bentuknya apa?” tanya Terra. Shii tertawa, “Maniis deh!!” katanya ceria, “Pokoknya manis banget!” Para penguasa empat unsur itu mulai menatap Shii dengan was was dan khawatir. “Bentuknya manis!” jelas Shii lagi. “Seperti apa tepatnya?” tanya Aqua lagi, “Bentuknya...” Entah kenapa tapi firasatnya mendadak jelek. “Bebek.” Kata Shii tanpa dosa, “Bebek karet kuning yang maniiis banget!!” “BEBEK??!!”

Related Documents

Shiva 5
June 2020 16
Shiva
November 2019 56
Shiva
May 2020 38
Shiva Sutra
May 2020 21
Shiva 1
June 2020 19
Shiva Kavacham
December 2019 32

More Documents from ""

Shiva 1
June 2020 19
Shiva 5
June 2020 16
Shiva 9
June 2020 16
Shiva 6
June 2020 9
Shiva 8
June 2020 14