BAB 1 Malam, pukul 11:00 Api berkobar kobar dari sebuah rumah bertingkat di blok 5, mengundang orang orang dalam radius 6 blok untuk berkumpul di depannya. Nggak ada satupun yang kelihatan cemas dengan keadaan pemiliknya, karena semua orang sudah tahu kalau sudah hampir seminggu pemilik rumah itu pergi berlibur ke luar kota. Orang orang yang berkumpul, sebagian dari mereka hanya menonton dengan tertarik sambil menutupi wajah mereka dengan tangan untuk menghindari panas. Sebagian lagi mencoba berbaik hati membantu memadamkan api dengan ember ember kecil seadanya. Dan sisanya memandang cemas antara rumah yang terbakar, rumah mereka sendiri, dan jalan, menunggu dengan harap mobil merah bersirine dan bertangga. Tiba tiba saja api berkobar semakin besar seakan ada seseorang yang menyiramkan minyak ke atasnya. Orang orang yang menonton jadi semakin cemas dan mundur beberapa langkah ke belakang untuk menghindari panas dan bunga api yang sekarang memercik ke mana mana. Lalu, tanpa ada seorangpun yang tahu, bersamaan dengan membesarnya bara api itu, empat cowok bertampang di atas rata rata mendarat di atas pohon besar yang ada di halaman. Keempatnya menatap rumah yang terbakar dengan ekspresi yang tidak bisa di tebak. “Hentikan! Bodoh!” seorang cowok cakep bertampang cool menegur cowok lain berambut jabrik yang tidak kalah cakepnya dengan dingin. Cowok berambut jabrik itu jelas mengabaikan kata kata cowok cool itu, sebab sekarang dia malah sedang menyeringai luar biasa senang memandang api yang tengah berkobar makin besar. “Apii!!! Ayo, membesarlah! Berkobarlah semakin besar!” seringainya dengan kesenangan yang diluar kewajaran. “Hentikan, Flame!” kali ini cowok yang lain bertampang imut dan manis yang menegur cowok jabrik itu. Cowok manis itu tampak tidak senang, “Sekarang!”. “Bukan aku kok yang bakar.” elak cowok jabrik itu atau Flame.
“Aku tahu itu.” Kata cowok imut tadi, “Tapi kamu yang buat apinya semakin besar! Jadi hentikan!” “Sorry, Terra, aku nggak bisa.” Kata Flame sambil menyeringai. Terra ingin sekali mengatakan sesuatu lagi yang bisa memaksa Flame memadamkan api itu. Tapi belum sempat dia mengatakan sesuatu, cowok keempat memutus kata katanya. “Hei, kalian dengar sesuatu?” “Apa?” tanya Terra. “Tunggu…” cowok dingin yang pertama kali bicara, mulai menyadari sesuatu. Suara itu… …Ma…mama…hik…hik… “Anak! Anak kecil dari dalam sana!” teriak Flame. Cowok keempat tadi nyengir. “Yap. Tepatnya anak cowok berumur sekitar 8 tahunan, memakai baju biru bergambar teletabis, celana pendek hijau tua, dan tampangnya… cukup manis! 10 tahun lagi mungkin dia bakal digila gilai anak anak cewek. Yah… kalau dia masih hidup sih.” “Wind!” Teriak Terra marah. “Sejak kapan kamu tahu tentang anak itu?” Tanya cowok cool itu. “Sejak kapan? Baru saja kok.” Kata Wind sambil tersenyum santai, “Waktu kita sampai di sini.” “Kenapa nggak bilang dari tadi! Brengsek!” kata Flame sambil meloncat dari pohon dan langsung berlari ke arah rumah. Tapi belum juga Flame mencapai rumah, dia kembali terbanting ke pohon dengan keras. Ternyata cowok dingin itu yang membantingnya. “Kamu ngajak berantem ya, Aqua?!” Aqua menatapnya dingin, “Kamu membuat apinya tambah besar, idiot.” “Idiot, idiot, jangan panggil aku idiot!” bentak Flame berang. “Memang idiot. Nggak sadar?” Kata Aqua dingin. Aqua melayang ke udara. Melayang begitu saja ke atap rumah itu. Dengan cepat dia menemukan apa yang dicarinya. Bak penampungan air. Nah, sekarang cuma tinggal berdoa saja semoga bak itu ada airnya.
Aqua membuka telapak tangannya. Tiba tiba air dari tanah keluar dan menuju ke tangan aqua membentuk sebuah pedang air yang panjang. Aqua menyentuh pedang itu dan seketika itu juga pedang itu membeku menjadi pedang es. Aqua mengayunkan pedang es-nya ke bak air membuat torehan kecil. Torehan kecil saja sudah cukup. Berikutnya tekanan airlah yang mengambil alih. Dan benar saja, bergalon galon air mulai keluar menumpahkan seluruh isinya ke dalam rumah. Api mulai berkurang sedikit, tapi itu sudah cukup, biarpun nanti Flame masuk ke sana, api-nya tidak akan menjadi terlalu besar dan menghanguskan anak yang harusnya mereka tolong. “Tunggu apalagi idiot? Masuk dan selamatkan anak itu.” “Jangan sebut aku idi…” “KEVIIIIN!!!!!!!” teriakan seorang wanita membelah kegelapan malam. Di depan rumah yang terbakar, seorang wanita muda, sepertinya ibu dari si bocah, meronta ronta dalam pelukan suaminya sambil beruraian air mata mencoba masuk ke dalam rumah. “Lepaskan! Lepaskan! Kevin di dalam! Lepaskan aku! KEVIIIIIN!!!!” Wanita itu berteriak sambil menangis. “Ma…mama…” suara samar samar anak kecil terdengar dari dalam rumah membuat semua orang yang menonton menahan napas dan menutup mulut mereka dengan tangan. Ada anak kecil! Ada anak kecil di dalam! Ya, Tuhan! “Keviin!!!” mendengar suara anaknya, wanita muda itu langsung menyentak kuat, dan berhasil lepas dari tangan suaminya. Setelah itu dia berlari secepat mungkin ke pintu masuk rumah. “JANGAAN!!!” beberapa orang spontan berteriak melarang, “Awas apinya!” Tapi wanita itu kalah sedetik. Flame mendahului wanita itu dan mendobrak masuk ke dalam kobaran api. “Ya Tuhan! Ada yang masuk ke dalam!” beberapa berteriak cemas. “Siapa dia? Siapa yang tadi masuk?” yang lain bertanya heran sekaligus kagum. Wanita itu terhenti di depan pintu karena kaget. Suaminya bergegas berlari ke arahnya dan memeluk istrinya untuk menenangkan sekaligus menahan agar istrinya tidak nekat ikut masuk ke rumah yang penuh kobaran api.
“Apa anak itu akan selamat ya?” tanya Terra cemas. Ya, anak itulah yang perlu dicemaskan. Flame sih pasti tidak akan apa apa. Api adalah teritori-nya. “Oh ya, aku lupa bilang.” Kata Wind sambil senyum senyum menjengkelkan, “Anak itu ada di dalam lemari di kamar kedua di lantai dua yang ada di dekat kamar mandi. Eh… Sudah telat ya?” “WIND!!!” Teriak Terra kesal! Kenapa dia nggak bilang dari tadi! Sekarang ini waktu adalah musuh. Semakin lama anak itu di dalam semakin berbahaya, tapi Wind malah sengaja seperti mau mengulur ulur waktu. “Kira kira anak itu selamat tidak ya?” tanya Wind sambil tertawa jail, “Menurutmu bagaimana, Terra?” “Wind!! Kamu… turun kau!!” teriak Terra marah. Pohon yang diduduki Wind tiba tiba menjadi hidup dan berusaha menangkapnya. Tapi dengan gesit Wind menghindar dan melayang di udara. “Sorry, Terra, nggak kena!” kata Wind sambil tersenyum. “TURUN KAU!!”, teriak Terra marah sekali sampai sampai tanah pun bergoncang. Ini bukan perumpamaan lho…. Tanahnya memang berguncang. “Gempa! Ada gempa!” orang orang yang menonton mulai panik. “Awas jatuh!” Aqua menghembuskan napasnya sekali. Ya ampun, mereka ini! Bisa ambruk kan rumahnya. Aqua mengarahkan telapak tangannya ke Wind dan mengepalkannya. Dalam sekejap Wind sudah dikepung air. “Hentikan, Wind.” kata Aqua kalem, “..Atau kuturunkan kau ke tanah. Dan aku yakin Terra bakal senang sekali kalau kamu menginjak tanah.” “Turunkan dia, Aqua! Akan kukubur dia hidup hidup!” “Oke, ...aku hentikan. Sorry, Terra.” Kata Wind mengangkat kedua tangannya berdamai. Ya, dia jauh lebih suka minta maaf daripada harus dikubur di pusat bumi. Itu jelas bukan hal yang menyenangkan. Terra menghembuskan napas sekali. Dia sudah nggak begitu marah lagi, dan tanah juga sudah berhenti bergoncang. Sekarang Terra benar benar mencemaskan anak kecil itu. Anak itu sudah di dalam kira kira 10 menit. Apa... tidak apa apa ya? “Aqua, apa kamu bisa turunkan hujan?” tanya Terra akhirnya.
Aqua menatap langit, “Bisa dicoba, tapi butuh bantuan Wind.” “Wind kamu…” Terra menatap Wind yang melayang di atas mereka. “Ti-dak-ma-u.” jawab Wind sambil menyeringai menyebalkan. “Ka…” Terra hampir marah lagi. “Mereka keluar.” Kata Aqua sambil menunjuk kearah pintu masuk. “Mana, mana?” tanya Terra. Benar saja, Flame keluar dari rumah yang terbakar sambil menggendong sesuatu. “Keviin! Ya Tuhan, Kevin!!” Mama Kevin langsung lari menghampiri Flame lalu mengambil, eh, setengah merebut Kevin dari tangan Flame. “Kevin, Kevin ini mama sayang, jawab mama, Kevin!” panggil mamanya sambil beruraian air mata. “Mama?” tanya Kevin. Mama Kevin menangis sambil tertawa sekaligus karena luar biasa lega. “Ya, ini mama, sayang. Kamu nggak apa apa kan, sayang?” “Mamaa… huaa…” Kevin menangis sekeras kerasnya dalam pelukan mamanya. Flame mengangkat alisnya sedikit. Nah, oke, tugasnya sudah selesai. Anak itu sudah selamat. Sedikit hitam memang, tapi selamat. Semua orang yang menonton mulai bertepuk tangan ramai. Flame menengok ke arah tiga temannya sambil menunjuk langit, sebagai isyarat supaya mereka pulang duluan. Terra, Wind, dan Aqua mengangguk sekilas dan langsung melayang pergi. Tugas mereka di sini sudah selesai, dan sudah saatnya untuk pulang. Flame menengok kembali ke arah keluarga kecil tadi. Bagaimana pun dia harus pamit dulu, kan nggak mungkin dia langsung melayang begitu saja seperti tiga temannya yang lain, bisa bisa heboh nanti. Ng...tidak, sekarang saja sudah heboh sebenarnya. “Aku permisi dulu kalau begitu!” Kata Flame sambil tersenyum pada Papa Kevin. Papa Kevin langsung menjabat tangan Flame dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih sekali! Anda telah menyelamatkan anak kami. Terima kasih!” kata Papa Kevin berulang ulang. “Ah! Nggak usah dipikirkan. Aku permisi dulu.” Kata Flame. “Tunggu! Siapa nama anda?” tanya mama Kevin. Kevin yang sudah kelelahan menangis sedang tertidur lelap di pelukannya.
“Nama… ku?” “Kami pasti akan membalas budi pada anda! Apa ada yang bisa kami berdua lakukan untuk membalas budi anda?” “Ah… Tidak, aku…” “Katakan saja! Apapun akan kami lakukan!” “Iya, tapi aku…” Flame jadi benar benar bingung karena kedua orang sekarang menatapnya dengan mata berkilauan penuh harap. “Ya?” Tanya mereka Sial! Pikir Flame. Apa nggak bisa sih mereka membiarkanku pergi saja?! NGUIIING NGUIIIIING!!!! Sirine pemadam kebakaran terdengar dari kejauhan. Semua orang menoleh ke jalan ke tempat akhirnya mobil pemadam kebakaran itu datang. “Bagaimana sih! Telat sekali pemadam kebakarannya sampai ke sini.” kata wanita itu pada suaminya. Papa Kevin menghela napas sekali dan menoleh lagi ke Flame, “Untung saja ada anda yang menyelamatkan anak kami… Lho? Anak muda itu… Ke mana…?” Papa Kevin menengok ke kanan kiri mencari Flame yang sudah lenyap begitu saja dari pandangan kedua orang itu. Sebenarnya sih, lebih tepatnya, dia kabur! “Pa, ke mana cowok tadi...?” wanita muda itu menoleh ke kanan kiri mencari cari penyelamat nyawa anaknya itu.. “Aku juga nggak tahu...” kata suaminya. Yah, dicaripun percuma. Karena sekarang Flame sudah menyusul teman temannya yang sudah berjarak kira kira 2 mil dari rumah yang terbakar itu. Ketiganya sedang berjalan santai menuju rumah, ketika Flame melayang turun di depan mereka. “Hei! Kok lama sekali, Flame?” tanya Terra. “Suami istri brengsek itu menanyaiku habis habisan! Ayo pulang! Aku capek!” “Iya, iya, ayo pulang!” jawab Terra. Dan mereka berempat berjalan pulang ke rumah mereka.