Rizka Alya Miranda 071711333091/Ilmu Politik
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender sebagai Kebijakan Responsif Diskriminasi Perempuan Pendahuluan Di Indonesia, masalah yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender khususya terhadap perempuan tak kunjung usai. Semakin hari, semakin banyak masalah yang timbul dilatar belakangi dengan tergerusnya kesetaraan dan keadilan gender. Ketidakadilan gender itu sendiri dapat berupa perbedaan perlakuan, maupun pembatasan peran yang mengakibatkan pelanggaran atas hak asasi manusia. Keadilan dan kesetaraan gender dalam pembahasan ini, merupakan sebuah tuntutan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama seperti halnya hak laki-laki, baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya serta hak sipil dan politik. Sebenarnya, pemerintah telah berupaya untuk menangani kasus yang berkaitan dengan hal tersebut, melalui Undang-Undang yang telah ada, salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Akan tetapi, pada realitasnya, pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak efektif, dibuktikan dengan masih banyaknya kebijakan dan peraturan yang tidak berjalan dengan baik, serta banyaknya pemerintah daerah yang mengabaikan kebijakan dan perintah tersebut. Selain itu, masih banyak aparat penegak hukum yang kurang maksimal dalam menangani kasus-kasus yang terjadi. Dari banyaknya kasus yang timbul, menggugah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), demi tercapainya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dijadikan sebagai payung hukum. Akan tetapi, untuk mewujudkan Undang-Undang tersebut yang diharapkan responsif gender membutuhkan waktu yang begitu lama, dikarenakan masih adanya pro dan kontra yang terjadi di internal anggota DPR-RI. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana peran DPR-RI dan ketegasannya dalam mewujudkan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ini. Maka, RUU KKG harus didukung dan disahkan untuk mengatasi banyaknya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Sehingga, dalam esai ini akan dijelaskan bagaimana upaya dan ketegasan DPR-RI dalam mewujudkan RUU KKG, yang diawali dengan penjelasan mengenai penerapan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia, serta ketidaktegasan kebijakan pemerintah, yang mendorong munculnya sebuah rekomendasi kebijakan yang seharusnya diambil dan kemudian ditutup dengan kesimpulan.
Penerapan Keadilan dan Kesetaraan Gender Saat Ini RUU KKG harus disahkan untuk mewujudkan Undang-Undang yang responsif terhadap gender, karena hingga saat ini masih banyak kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam upaya mewujudkan RUU KKG, DPR-RI menjadikannya prioritas dalam daftar program legislasi nasional. Hal tersebut merupakan salah satu langkah awal DPR-RI untuk mengupayakan terwujudnya RUU KKG ini. Upaya tersebut dianggap sebagai respon terhadap banyaknya kasus kekerasan dan diskriminasi perempuan. Dapat kita lihat bahwa di masyarakat yang sering kali terjadi yaitu kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami dalam rumah tangga. Seperti contohnya kasus suami yang menginjak kandungan istri hingga meninggal yang terjadi pada tanggal 9 Januari 2018. Selain itu, posisi perempuan di Indonesia masih teridentifikasi lemah. Hal ini terlihat dari adanya Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih menunjukkan angka begitu tinggi. Fakta tersebut mencerminkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan kebijakan yang dapat dijadikan payung hukum untuk menangani berbagai kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaanya, serta sebagai alat untuk memantau pelaksanaan kebijakan. Untuk mewujudkan kebijakan yang responsif gender, banyak organisasi yang telah melakukan penelitian berkaitan dengan masalah yang dialami perempuan dalam hal diskriminasi dan keadilan gender. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Women Research Indonesia (WRI) masalah utama yang dihadapi perempuan yaitu 1. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) menunjukkan angka 310 per 100.000 kelahiran pada tahun 2005, jumlah tersebut terlihat jauh berbeda dengan negara-negara lainnya. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dapat dikarenakan oleh rendahnya kesehatan, rendahhya persentase perempuan di parlemen, dan juga rendahnya pendidikan. 2. Tingginya Angka Perempuan Pengidap HIV/AIDS Perempuan pengidap HIV/AIDS terdeteksi sebesar 41,4 persen dari jumlah 24.131 merupakan ibu rumah tangga yang terinfeksi pasangan tetapnya (suami).
3. Tingginya Pelanggaran HAM Terhadap Pekerja Migran Perempuan Masih banyak pekerja migran perempuan yang mengalami eksploitasi dan kekerasan serta pengingkaran atas hak kerja. Dari fakta tersebut terlihat bahwa pemerintah kurang tegas dalam penerapan kebijakan perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. 4. Banyaknya Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini, terjadi dikarenakan adanya pengesampingan peran perempuan di dalam rumah tangga. 5. Rendahnya Representasi Politik Perempuan Dalam kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjelaskan mengenai kuota perempuan yang duduk di parlemen sebesar 30 persen, nyatanya belum terlaksana. Masih banyak partai politik yang belum menerapkan kebijakan tersebut dikarenakan tidak adanya sanksi yang menimbulkan efek jera. Padahal, partisipasi dan kehadiran perempuan dengan jumlah yang setara dengan laki-laki di parlemen, mampu menaikkan kesejahteraan perempuan, karena dengan hadirnya perempuan dalam pembuatan kebijakan, mampu menangani persoalan-persoalan yag tengah dialami oleh perempuan. Dari banyaknya kasus dan persoalan utama perempuan, semua itu tidak terlepas dari kultur patriarki yang melekat di masyarakat sejak zaman berburu dan meramu makanan. Kultur patriarki sendiri merupakan kultur dengan struktur penempatan lakilaki sebagai penguasa atau pemiliki otoritas tunggal dalam berbagai hal, kultur patriarki cenderung memandang bahwa laki-laki memiliki kekuatan lebih atas perempuan dan menimbulkan stigma yang memberikan label perempuan sebagai orang yang lemah. Hal itulah yang kemudian menimbulkan sebuah batasan dalam struktural peran bagi perempuan dan menciptakan peluang besar untuk terjadinya ketidakadilan gender. Terjadinya ketidakadilan gender yang disebabkan oleh melekatnya kultur patriarki, dapat kita lihat dalam kasus revolusi hijau pada masa orde baru yang terfokus kepada laki-laki. Dalam hal ini, laki-laki dianggap lebih pantas dan mampu untuk bekerja dalam hal pertanian, sehingga, berakibat pada tergesernya posisi petani perempuan yang menimbulkan masalah kemiskinan bagi perempuan.
Ketidak Tegasan Kebijakan Pemerintah Berdasarkan data dari Women Research Indonesia (WRI) mengenai masalah utama yang di hadapi perempuan seperti yang telah dijelaskan, menunjukkan bahwa peran hukum di Indonesia sangat lemah dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan. Selain itu, ketegasan aparat penegak hukum juga patut diragukan, mengingat masih banyaknya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kurangnya payung hukum yang dijadikan sandaran, serta banyaknya Undang-Undang yang menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan, juga menjadi penghambat penerapan keadilan dan kesetaraan gender. Masih banyaknya Undang-Undang yang menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan, membuat posisi perempuan semakin lemah. Adanya UndangUndang tentang pernikahan yang menjelaskan bahwa seorang suami merupakan kepala rumah tangga, sedangkan tugas istri yaitu melayani suami, mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sangat jelas menunjukkan adanya ketidakadilan. Terlepas dari masalah pernikahan, pada segi kesehatan juga menunjukkan hal yang sama. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ditekankan bahwasannya semua lapisan masyarakat harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, tetapi pada aktualisasinya, pelayanan yang ditujukan untuk perempuan berada dibawah angka 10% dari yang harusnya berada pada angka 10% dari APBN diluar anggaran alokasi gaji. Selain adanya Undang-Undang yang mendiskrimanasi perempuan, hal lain yang menunjukkan ketidaktegasan kebijakan pemerintah yaitu, beberapa hal yang berkaitan dengan aparat hukum yang kurang tegas. Berdasarkan data dari Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi perempuan, menunjukkan bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) tidak memprioritaskan kepentingan korban. Begitu banyak kendala yang menuntut adanya hak atas keadilan bagi perempuan berupa pembebanan terhadap korban ketidakadilan, dengan harus menghadirkan saksi, mencari perlindungan mandiri, serta harus membuktikan dirinya sebagai korban. Fakta lain yang dapat kita lihat yaitu, berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa, rata-rata setiap tahun hanya 5% dari banyaknya kasus terkait kekerasan yang mendapatkan hukuman setimpal sesuai dengan Undang-Undang. Ketidaktegasan aparat hukum juga mengidentifikasi kurangnya payung hukum dalam
penegakan
keadilan
dan
kesetaraan
gender.
Sehingga
menjadikan
pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik. Dari hal tersebut, dibutuhkan upaya-upaya
pemerintah dalam mewujudkan RUU KKG yang diharapkan responsif gender. Upaya pemerintah untuk mewujudkan RUU KKG telah terlihat dengan memprioritaskannya dalam daftar prolegnas. Kebijakan yang seharusnya diambil Mengingat dari banyaknya kasus diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan tergerusnya kesetaraan dan keadilan gender, mendorong agar pemerintah segera mengambil kebijakan untuk menangani kasus-kasus terkait kesetaraan dan keadilan gender. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasannya upaya pemerintah dalam mewujudkan RUU KKG memiliki kendala seperti halnya pro dan kontra, yang kemudian memperlambat pengesahan RUU KKG ini. Oleh karena itu, DPR-RI harus menjalin kerjasama dengan organisasi dan lembaga penelitian, untuk membantu dan mempermudah DPR-RI dalam mengumpulkan data, sehingga dapat memperkuat alasan RUU KKG harus segera disahkan. Upaya lain yang bisa ditempuh yaitu dengan meningkatkan komunikasi dan kinerja dari Research Centre serta Staf Ahli dan/atau Asisten Anggota DPR-RI, serta mengoptimalisasi kinerja Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) agar menghasilkan kebijakan yang responsif gender. Kesimpulan Kesetaraan serta keadilan gender harus seimbang, baik terhadap perempuan maupun lakilaki. Banyaknya kasus diskriminasi terhadap perempuan sebagai akibat dari tergerusnya kesetaraan serta keadilan gender, memberikan dampak yang buruk bagi kesejahteraan perempuan di Indonesia. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat ekonomi, kesehatan, serta pendidikan perempuan.
Sebenarnya, telah banyak Undang-Undang yang mengatur akan
keadilan yang harus diterima masyarakat tanpa membeda-bedakan, akan tetapi, pada penerapannya tidaklah cukup baik. Kurangnya payung hukum yang dijadikan sandaran penegakan hukum, menjadi faktor yang begitu penting. Terlepas dari itu, kinerja dari aparat penegak hukum harus optimal dan penuh pengawasan. Dari fakta tersebut, menunjukkan bahwasannya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender harus segera disahkan guna terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.
Referensi Anastasia, Ayu, dkk.. 2014. Penelitian Kebijakan Representasi Politik Perempuan: Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Dan Keadilan Gender. Jakarta: Women Reaserch Indonesia. Al-Fihri, Fatimah. “RUU KKG: Dari Pembodohan Akademis menjadi Konstitutif”. 13 Maret 2018.
https://thisisgender.com/ruu-kkg-dari-pembodohan-akademis-menjadi-
konstitutif-/. Kurniawan, Hasan. “RUU KKG pokok kesetaraan & keadilan gender”. 13 Maret 2018. https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/689098/12/ruu -kkg-pokok-kesetaraan-keadilan-gender-1353132295 Sakina, Ade Irma, dan Dessy Hasanah Siti A.. Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Vol. 7, No. 1. Bandung. Susanto, Nanang Hasan. 2015. Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki. Vol. 7, No. 2. Pekalongan. Syarif, Helmi. “Polda Ambil Alih Kasus Suami Injak Kandungan Istri hingga Tewas”. 26 Maret
2018.
https://metro.sindonews.com/read/1272305/170/polda-ambil-alih-
kasus-suami-injak-kandungan-istri-hingga-tewas-1515507187
Word count : 1444