Tpi Uas 2018.docx

  • Uploaded by: Rizka Alya
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tpi Uas 2018.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,697
  • Pages: 13
UJIAN AKHIR SEMESTER TEKNIK PENULISAN ILMIAH RIZKA ALYA MIRANDA ILMU POLITIK / 071711333091 KELAS A312

Kesetaraan dan Keadilan Gender: Lemahnya Representasi Politik Perempuan Akibat Dari Melekatnya Kultur Patriarki

Pendahuluan Pada mulanya, dalam masyarakat yang tradisional, kesetaraan dan keadilan gender bukanlah sebuah masalah yang harus diulas dan dibahas secara tuntas. Kehidupan masyarakat yang tradisional, menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah sesuai kodrat dan sebagaimana adanya harus dilakukan. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya zaman, mulailah muncul suatu kesadaran akan adanya ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Semakin berkembangnya pendidikan dan teknologi hingga abad ke 21 ini, permasalahan akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi suatu permasalahan yang serius. Berbicara mengenai masalah kesetaraan dan keadilan gender, hal tersebut menjadi menarik untuk diperbincangkan di Indonesia. Pasalnya, masalah serta kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dalam segi perekonomian dan kesejahteraan perempuan, sering kali disangkut pautkan dengan adanya ketidakadilan gender. Terdapat masalah-masalah dalam memahami arti yang berkaitan dengan masalah kesetaraan dan keadilan gender. Permasalahan pertama yaitu, dalam mengartikan gender, tidak sedikit masyarakat yang mengartikannya sebagai perbedaan jenis kelamin secara biologis. Padahal, jika berdasarkan perbedaan jenis kelamin dalam konteks biologis, disebut dengan seks, dimana perbedaan tersebut akan tetap dan tidak akan berubah. Jika mengacu pada pendapat Faqih, gender merupakan sifat yang melekat baik pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan juga kultural.1 Sehingga, bisa diartikan bahwasannya pembeda gender dilihat melalui nilai-nlai dan tingkah laku baik laki-laki maupun peempuan.

Sugeng, “Pengertian Gender,Kesetaraan Gender dan Istilah Terkait”, TipsSerbaSerbi, 2016, diakses pada 29 Mei 2018, https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertian-gender-kesetaraan-gender-dan-istilahterkait.html?m=1. 1

1

Setelah mengetahui makna dari gender, permasalahan selanjutnya yaitu adanya penyalah artian pada makna adil dan setara. Banyak orang yang menganggap bahwasannya setara berarti sama. Hal ini tentu saja berbeda. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna dari setara adalah sejajar, sama tingkatnya, sepadan dan seimbang. Sedangkan makna dari kata sama adalah serupa, tidak berbeda dan tidak berlainan. Ditinjau dari dua makna kata tersebut, menunjukkan arti dan makna yang berbeda. Kedua makna tersebut menjelaskan bahwa, menuntut agar perempuan setara dengan laki-laki, bukanlah menuntut agar perempuan sama dengan laki-laki, karena perempuan dan laki-laki mempunyai kodrat yang berbeda. Walaupun memiliki kodrat yang berbeda, pada kenyataannya, posisi perempuan dan laki-laki tidak menunjukkan suatu kesetaraan. Hal tersebut memicu banyaknya masalah diskriminasi terhadap perempuan dan mengesampingkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Masalah-masalah tersebut, tidak terlepas dengan adanya faktor budaya, terutama budaya Jawa. Budaya Jawa yang menganut kultur patriarki berdampak pada posisi perempuan. Kultur patriarki itu sendiri menempatkan struktur perempuan berada pada posisi lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Dengan adanya kultur patriarki yang menempatkan laki-laki lebih tinggi statusnya daripada perempuan, menjadikan timbulnya konstruksi gender tarhadap perempuan, misalnya perempuan memiliki sifat yang lemah dan penakut. Selain pada perempuan, konstruksi gender juga terjadi terhadap laki-laki, konstruksi tersebut misalnya, laki-laki harus memiliki sifat pemberani dan kuat. Dari konstruksi itulah, kemudian perempuan dan laki-laki mempertahankan sifat-sifat tersebut dan memicu terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi tersebut dapat berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan, sebagai implementasi dari konstruksi gender akan sifat kuat yang dimiliki oleh laki-laki terhadap sifat lemah yang dimiliki oleh perempuan. Dari konstruksi yang diciptakan oleh budaya patriarki, mencerminkan bahwa budaya patriarki yang melekat pada masyarakat dapat mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Dengan paham-paham kultur patriarki yang dipegang erat oleh masyarakat, membatasi ruang gerak perempuan dalam mengkonstruksikan dirinya dalam lingkup lingkungan sosial dan juga kultural. Selain itu, kultur patriarki menempatkan laki-laki pada posisi dengan tanggung jawab yang tinggi dibandingkan dengan perempuan. Padahal, pada masa sekarang ini, keberadaan perempuan juga sangat penting dan dibutuhkan dibeberapa aspek kehidupan untuk pembangunan. Jika dilihat lagi, perempuan pada masa abad ke 21 ini, memiliki kesempatan dan juga kemampuan untuk berpartisipasi dalam suatu pekerjaan. 2

Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi, peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga, sementara peran transisi meliputi pengertian peran perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan.2 Hal tersebut dapat diartikan bahwa, perempuan mampu berpartisipasi dalam pekerjaan rumah tangga dan juga pekerjaan dalam sektor formal maupun informal. Semakin berkembangnya peran perempuan di masyarakat, membuat masyarakat semakin sadar untuk menegakkan dan memperjuangkan posisi perempuan agar setara dengan peran laki-laki dan bekerja bersama-sama secara seimbang. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, dimana masih terlihat adanya partisipasi perempuan yang begitu rendah. Padahal, pemerintah juga telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan gender yang diwujudkan dalam beberapa Undang-Undang. Salah satu contoh Undang-Undang yang mengupayakan adanya kesetaraan dan keadilan gender yaitu UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Upaya-upaya pemerintah telah dilakukan, akan tetapi kasus yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan masih saja terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya aparat dalam menindak lanjuti segala bentuk permasalahan kesetaraan dan keadilan gender. Sering kali kasus-kasus yang berkaitan dengan diskriminasi dan ketidakadilan gender tidak di usut secara tuntas. Selain itu, banyak juga perempuan yang lebih memilih diam dan menyembunyikan masalah diskriminasi yang dialaminya karena proses hukum yang memberatkan dan membebani korban diskriminasi. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah telah berupaya untuk membuat payung hukum dengan membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Akan tetapi, masalah yang dihadapi masyarakat mengenai kesetaraan dan keadilan gender masih tetap mengakar. Berangkat dari kenyataan bahwa masih mengakarnya masalah-masalah kesetaraan dan keadilan gender, memicu timbulnya suatu pertanyaan, bagaimana keterlanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam proses pembuatannya. Maka, upaya-upaya lain terlepas dari adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender

2

Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender”, vol. 3, no. 1 ( 1 Juli 2011) : 356, diakses pada 15 April 2018, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=251175&val=6754&title=PERAN%20GANDA%20PEREMP UAN%20DAN%20KESETARAAN%20GENDER.

3

(KKG) harus di dukung secara penuh untuk mewujudkan adanya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Dalam essay ini, akan dijelaskan keterlanjutan RUU KKG yang diawali dengan penjelasan mengenai budaya patriarki dalam masyarakat yang memicu besarnya ketimpangan peran antara perempuan dan laki-laki, yang dilanjutkan dengan penjelasan betapa pentingnya representasi politik perempuan dalam pemerintahan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, sehingga mendorong timbulnya upaya-upaya dalam penegakan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia dan ditutup dengan kesimpulan.

Budaya Patriarki Dalam Masyarakat Budaya patriarki, ada sejak zaman berburu dan meramu, dimana pada saat itu laki-laki yang bertugas pergi ke hutan untuk berburu, sedangkan perempuan berada di lahan pertanian untuk bercocok tanam. Seiring dengan perubahan alam, menjadikan sistem hidup berburu dan meramu harus berganti. Dengan kondisi yang seperti itu, menjadikan laki-laki mengambil alih pekerjaan perempuan di lahan pertanian dan mengelolanya. Disinilah awal dari dikembangkannya teknologi serta diakuinya kepemilikan individu sehingga muncullah budaya patriarki. Di Indonesia, budaya patriarki berkembang tidak hanya di Jawa, melainkan diseluruh wilayah di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan, patriarki menimbulkan konstruksikonstruksi terhadap gender baik pada perempuan maupun lak-laki. Hasil konstruksi tersebut kemudian mendorong baik perempuan maupun laki-laki untuk mempertahankan sifat-sifatnya. Sehingga, hasil tersebut menjadikan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan berdasarkan kekuatan fisik yang dimiliki. Hal tersebut kemudian berkembang hingga berdampak pada beberapa aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan juga politik. Perkembangan budaya patriarki di Indonesia, tidak terlepas dari pengaruh agama dan kepercayaan masyarakat yang berkembang. Sehingga, berdampak pada kuatnya budaya patriarki. Sebagai contoh yaitu, budaya patriarki yang keberadaanya diperkuat dengan ajaran agam islam. Dimana dalam ajaran agama islam, keberadaan laki-laki cenderung diutamakan. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya penjelasan mengenai seorang laki-laki sebagai pemimpin perempuan, dan juga sistem pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan. Hal lain yang menonjol dalam ajaran agama islam yang memperkuat budaya patriarki dan memicu adanya pelecehan seksual terhadap perempuan yaitu adanya 4

penjelasan yang menjelaskan bahwa, agama islam memperbolehkan seorang laki-laki menikah dengan perempuan lebih dari satu, sedangkan perempuan hanya diperbolehkan menikah dengan satu laki-laki dengan tanggung jawab harus taat dan patuh terhadap suami. Sehingga, memberikan pengertian bahwa laki-laki memiliki otoritas lebih dari perempuan. Berangkat dari realitas tersebut, membuat budaya patriarki semakin dipegang erat oleh masyarakat. Dimana setiap lapisan masyarakat menerapkan budaya patriarki yang disesuaikan dengan ajaran agama mereka. Perkembangan budaya patriarki juga berkembang luas dengan adanya sosialisasi keluarga akan ajaran-ajaran agama yang bersesuaian dengan struktur budaya patriarki. Perkembangan tersebut, semakin membatasi ruang gerak perempuan untuk mengkonstruksi dirinya dalam lingkup lingkungan sosial dan kultural yang memicu adanya pembatasan peran perempuan dalam pekerjaan. Tidak hanya itu, potensi untuk terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan juga semakin tinggi. Masalah-masalah yang berkaitan dengan banyaknya pelecehan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan juga pernikahan dini, merupakan dampak nyata dari budaya patriarki yang ada di masyarakat. Dari masalah-masalah tersebut, ketiganya memiliki unsur paksaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan kaum laki-laki untuk mempertahankan sifat-sifatnya yang maskulin, dan mendorongnya untuk memiliki pemikiran bahwa ia lebih kuat dari perempuan dan memiliki hak atas perempuan. Di sisi lain, kecenderungan perempuan dalam mempertahankan sifat hasil konstruksi budaya patriarki berupa sifat lembut dan penakut, menjadikan laki-laki lebih mampu menguasai dan bertindak sewenang-wenang atas perempuan. Beranjak dari masalah pelecehan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT), pembatasan peran perempuan juga berkaitan dengan adanya relasi dari patriarki dengan pekerjaan dan upah. Dalam relasi tersebut, perempuan ditempatkan pada posisi pekerjaan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.3 Lebih ekstrimnya lagi, pada relasi ini, perempuan digolongkan dalam pekerjaan yang kurang memadai dan diberikan upah yang minim karena adanya anggapan bahwa perempuan kurang terampil. Dari andanya anggapan seperti itu, sangat dirasakan dampak buruk akan adanya konstruksi hasil dari budaya patriarki.

Suriadi Bara, “Sejarah, Pengertian dan Struktur, Kadar dan bentuk Ideologi Patriarki”, Medium, 13 Maret 2016, 28 Mei 2018, https://medium.com/@diksimerah/sejarah-pengertian-bentuk-dan-struktur-ideologipatriarki-efd0124e2128. 3

5

Berkaitan dengan pembatasan peran perempuan, pembatasan tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, melainkan juga terjadi dalam publik. Pembatasan tersebut merupakan wujud dari bentuk-bentuk patriarki. Terdapat dua bentuk patriarki, yang pertama yaitu patriarki privat dan juga patriarki publik.4 Dalam patriarki privat, sasaran utamanya yaitu pada pengesampingan peran perempuan dalam ranah publik, yang artinya laki-laki memaksa dan menempatkan perempaun dalam pekerjaan domestik yaitu sebagai istri, ibu dan anggota rumah tangga. Sedangkan dalam bentuk patriarki publik, perempuan diberikan kesempatan dalam ranah publik, akan tetapi dalam pelaksaannya keberadaan perempuan berada pada posisi dibawah laki-laki. Dalam masa sekarang ini, sistem budaya patriarki termasuk bentuk-bentuk patriarki telah berkembang. Hal ini terlihat dari adanya kesempatan bagi perempuan untuk ikut serta dalam pemerintahan, walaupun keberadaan perempuan dalam pemerintahan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan laki-laki. Seperti yang kita tahu bahwa, peran perempuan dalam pemerintahan berada dibawah target 30% sesuai yang telah ditentukan oleh UndangUndang. Sehingga, seringkali kebutuhan perempuan tidak terakomodasi dengan baik dan berdampak pada kesejahteraan perempuan. Berdasarkan fakta-fakta mengenai budaya patriarki di Indonesia, terlihat betapa eratnya budaya tersebut dalam mempengaruhi adanya ketimpangan gender. Oleh karena itu, penegakan kesetaraan dan keadilan gender harus secara penuh didukung. Hal ini dimaksudkan agar, budaya patriarki yang berkembang tidak semakin menggerogoti peran perempuan dan menggesampingkan perempuan dalam sektor domestik. Terlepas dari pengaruh budaya patriarki, sekarang ini peran perempuan sedikit demi sedikit mulai terlihat. Contohnya yaitu sudah semakin banyak perempuan yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, dan juga mulai terlihatnya partisipasi perempuan dalam ranah politik. Maka mendorong dan mendukung terwujudnya kesetaran dan keadilan gender lebih kuat lagi, akan mampu membawa perempuan berada dalam kesetaraan dan kesejahteraan.

Representasi Politik Perempuan Penegakan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia harus didukung. Hal ini ditujukan agar diskriminasi terhadap perempuan segera terhapuskan, karena jika kita lihat pada realitas yang ada di Indonesia, sebagian besar parlemen di dominasi oleh laki-laki. Hal ini 4

Ibid

6

menjadikan pembahasan mengenai publik kurang peka dan kurang terfokuskan terhadap masalah dan isu-isu perempuan. Sehingga mengakibatkan banyaknya masalah-masalah terkait dengan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Seiring dengan banyaknya kasus diskriminiasi, mendorong kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya serta menuntut adanya kesetaraan dan keadilan gender. Tidak dapat dipungkiri, bahwasannya dalam membangun negara yang lebih baik, keberadaan perempuan dalam ranah politik sangat diperlukan. Pasalnya, negara membutuhkan sumbangsih pemikiran perempuan untuk mengambil keputusan politik demi mewujudkan kesejahteraan. Hal ini berkaitan dengan keefektifan dalam memanfaatkan sumber daya manusia, dimana jumlah perempuan di Indonesia mencapai setengah dari populasi penduduk. Dengan memanfaatkan tenaga dan pemikiran perempuan dalam ranah politik dan juga administrasi, mampu mendongkrak perekonomian dan juga kesejahteraan masyarakat. Jika keberadaan perempuan dalam publik khususnya dalam ranah politik dan administrasi meningkat, maka sama halnya dengan menempatkan perempuan untuk berperan dalam memperbaiki ekonominya. Sehingga, hal ini berakibat pada perekonomian perempuan yang akan meningkat, dan secara otomatis, kesejahteran juga pasti akan meningkat. Selain itu, kasus-kasus yang berbau diskriminasi dan ketidakadilan terharap perempuan akan menurun. Hal ini dikarenkan isu-isu mengenai perempuan akan diprioritaskan. Namun, pada kenyataanya, representasi politik perempuan di Indonesia, menunjukkan angka yang rendah dan masih jauh dengan target minimum 30%, target tersebut sesuai dengan kebijakan afirmatif yang ditujukan agar perempuan ikut andil dalam ranah politik. Salah satu faktor rendahnya representasi politik perempuan yaitu, masih adanya keterkaitan pola berfikir dengan budaya patriarki, dimana kebanyakan masyarakat masih menganggap dunia politik lebih cocok dengan sifat maskulin yang dimiliki laki-laki. Padahal, pada realitasnya, banyak keputusan-keputusan yang menyangkut dengan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan keterlibatan perempuan. Jika ditelaah lebih jauh lagi, sebenarnya kunci utama untuk terwujudnya kesejahteraan dan pemenuhan hak perempuan berada pada keputusan politik. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan dan hak-haknya, perempuan harus ambil bagian dalam pemembuatan keputusan politik. Contoh nyata akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam menegakkan hak-haknya dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat dari tindakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), untuk membentuk Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender sebagai payung hukum yang responsif gender. Akan tetapi, dalam proses perwujudannya untuk masuk dalam program 7

legislasi nasional, memicu timbulnya perdebatan yang menuai pro dan kontra antara anggota DPR-RI. Sebagian anggota menganggap RUU KKG ini penting, dan sebagian menganggap sebaliknya. Pada akhirnya, RUU KKG yang awalnya sangat diusahakan untuk masuk dalam program legislasi nasional mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh minimnya anggota perempuan dalam DPRI-RI yaitu sekitar 100 orang atau 17,86% dari 560 orang secara keseluruhan. Sehingga mengakibatkan RUU yang berkaitan dengan perempuan tidak begitu diprioritaskan. Dari adanya kegagalan tersebut, dan melihat sedikitnya anggota perempuan dalam DPR-RI semakin menunjukkan betapa pentingnya peran perempuan dalam ranah politik. Akan tetapi, dalam proses keterlibatannya, terdapat hambatan-hambatan yang akhirnya menghalangi perempuan untuk ikut serta. Faktor penting sebagai penghambat keterlibatan perempuan dalam ranah politik yaitu, proses seleksi untuk masuk kedalam partai politik. Dalam proses seleksi, yang mana dilakukan oleh sekelompok kecil atau pemimpin dalam partai politik yang di dominasi dengan keberadaan laki-laki, memberikan pengaruh yang tidak proporsional. Sehingga, perempuan tidak memiliki peluang dan dukungan dari partai politik untuk menduduki parlemen, dikarenakan struktur kepemimpinannya di dominasi oleh laki-laki. Hal tersebut merupakan cerminan dari budaya patriarki yang dipegang erat di masyarakat, dimana peran laki-laki lebih diutamakan dengan menganggap bahwa politik merupakan lahan bagi laki-laki. Dalam hal representasi politik perempuan, pengaruh dari budaya patriarki sangat dirasakan serta menghambat proses perwujudan kesetaraan dan keadilan gender. Contoh sederhananya berupa adanya masalah keluarga yang menganut budaya patriarki, dimana kaum perempuan harus meminta izin dan mendapat persetujuan kaum laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik, disinilah kemudian seringkali perempuan mengurungkan niatnya untuk ikut berpastisipasi dalam politik, karena terjerat izin kepala rumah tangga, lagi-lagi peran laki-laki dengan sifat maskulinnya mendiskriminasi perempuan. Terlepas dari pengaruh kuat dari budaya patriarki dalam menghambat terwujudnya representasi politik perempuan yang tinggi, peran media massa juga tidak kalah penting. Media massa memiliki pengaruh terhadap pembentukan opini masayarakat. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jan W.van Deth tentang teori setting agenda (agenda setting), dalam teori ini dijelaskan bahwa media massa tidak menentukan apa yang kita

8

pikirkan, akan tetapi media massa dapat mempengaruhi apa yang kita pikirkan.5 Dengan adanya teori tersebut, menjelaskan bahwa, untuk melancarkan perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, diperlukan adanya kerjasama dengan media untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat akan pentingnya peran perempuan dalam ranah politik. Sehingga, pemikiran masyarakat akan terbuka dan perlahan mulai memahami pentingnya peran perempuan dalam ranah politik. Selain itu, pengaruh media massa dalam membentuk pemikiran akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam ranah politik, memberikan potensi untuk lunturnya faktor-faktor budaya patriarki yang dipegang teguh oleh masyarakat dan membawa pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Upaya-Upaya Untuk Mewujudkan Kesetaraan Dan Keadilan Gender Permasalahan akan adanya ketimpangan gender di Indonesia, merupakan permasalahan yang serius, dimana peran perempuan dalam pemerintahan sangatlah minim jika dibandingkan dengan peran laki-laki. Hal tersebut yang menjadikan minimnya kesejahteraan bagi perempuan. Dalam menindaklanjuti adanya ketimpangan gender yang berujung pada diskriminasi perempuan, beberapa upaya-upaya penegakan telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya yaitu melalui tindakan afirmatif yang diwujudkan dalam Undang-Undang yang bertujuan untuk peningkatan keterwakilan perempuan dalam menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan memperhatikan tingkat keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, DPR, DPD dan DPRD menyatakan : “setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.6 Dalam tindakan afirmatif, tidak hanya mengatur jumlah minimum keterwakilan perempuan dalam DPR dan DPD, akan tetapi, kebijakan tersebut juga mengatur tentang Partai

5

Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru (Jakarta: prenada media

group,2010), 283. 6

Loura Hardjaloka, “Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi”, Jurnal Konstitusi vol.9 no.2 (2 Juni 2012): 418, diakses pada 29 Mei 2018, https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/publications/109405 -ID-potret-keterwakilan-perempuan-dalamwaja.pdf&ved=2ahUKEwigw_rJoazbAhUaVysKHTavDlAQFjADegQIAhAB&usg=AOvVaw1ARBVpk6OSfv lV5JHsx5E1.

9

Politik yang mengharuskan adanya keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pembentukannya. UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan: “Pendirian dan dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh persen keterwakilan perempuan”.7 Tidak hanya dalam pendirian, tindakan afirmatif juga dilakukan dalam kepengurusan Partai Politik. Ketentuan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: “Kepengurusan Partai Politik tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh persen) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”.8 Sama halnya dengan peraturan mengenai anggota DPR, dalam penyelenggaraan Pemilu, juga diatur mengenai komposisi keterwakilan perempuan dalam mengikuti Pemilu yaitu minimal 30%. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa: “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”. 9 Beranjak dari tindakan afirmatif, upaya-upaya lain pemerintah terlihat dengan dibentuknya Kaukus Parlemen dan juga Kaukus Politik Perempuan Indonesia. Lebih lanjut lagi, pemerintah juga membuat Undang-Undang tentang pendidikan nasional dan juga Undang-Undang kesehatan yang menekankan tentang pemberdayaan perempuan. Tidak hanya dalam pemerintahan, anggota masyarakat juga turut serta dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dapat dilihat bahwa hambatan-hambatan bagi keterlibatan perempuan dalam ranah politik mulai terkikis dengan banyaknya usaha masyarakat. Usaha tersebut berupa, meningkatnya kesadaran untuk berpendidikan tinggi dan berperan dalam pemerintahan. Selain itu, mulai banyak organisasi-organisasi yang menyuarakan perempuan serta memperjuangkan hak-hak perempuan. Disisi lain, peran media yang sangat berpengaruh, semakin menunjukkan pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik mengenai pentingnya kesetaraan gender. Dari upaya-upaya yang sinergis antara pemerintah, masyarakat dan juga media, menjadikan adanya peningkatan bagi kesetaraan dan keadilan gender.

7

Ibid Ibid 9 Ibid 8

10

Kesimpulan Kesetaraan dan keadilan gender yang awalnya bukan masalah, sekarang menjadi suatu masalah yang serius. Hal ini dikarenakan perkembangan pola pikir masyarakat yang semakin modern. Sehingga, menumbuhkan kesadaran bahwasannya kedudukan perempuan dan laki-laki harus setara dan seimbang. Dengan adanya kesadaran itu pula, menjadikan banyak kaum perempuan mulai menyadari bahwasannya posisi perempuan telah didiskriminasi oleh kaum laki-laki. Adanya diskriminasi tersebut, tidak terlepas dari adanya budaya patriarki yang menciptakan konstruksi-konstruksi sifat kaum perempuan dan laki-laki. Sehingga memicu keduanya untuk mempertahankan sifat-sifat hasil konstruksi tersebut. Budaya patriarki ini juga berdampak pada representasi politik perempuan. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya representasi politik perempuan yang belum mencapai batas minimum 30% sesuai dengan yang dijelaskan dalam Undang-Undang. Padahal, keberadaan perempuan dalam ranah politik sangat dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian, pembangunan dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya perempuan. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan ke-efektifan dalam memanfaatkan sumber daya manusia. Akan tetapi, dengan belum dicapainya batas minimum keterwakilan perempuan dalam politik, menjadikan masalah-masalah berbau perempuan tidak dipriorotaskan. Bukti dari tidak diprioritaskannya masalah perempuan, dapat dilihat dengan adanya kegagalan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dalam memasuki program legislasi nasional. Kegagalan tersebut dikarenakan minimnya anggota perempuan dalam DPRI-RI yaitu sekitar 100 orang atau 17,86% dari 560 orang secara keseluruhan. Langkah yang kemudian diambil yaitu mengusahakan agar kaum perempuan sadar dan ikut serta dalam kegiatan politik. Akan tetapi, dalam upayanya, terdapat hambatanhambatan yang dihadapai. Hambatan yang pertama yaitu kurangnya dukungan partai terhadap kaum perempuan karena struktur partai didominasi oleh kaum laki-laki. Kedua, adanya dampak dari budaya patriarki yang kuat. Ketiga, lemahnya peran media dalam membentuk opini publik akan pentingnya representasi politik perempuan. Dari adanya hambatan-hambatan tersebut, pemerintah berupaya untuk mengatasinya dengan mengatur batas minimum keterwakilan perempuan yang dijelaskan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut yaitu: 1. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, DPR, DPD dan DPRD 2. UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 3. Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

11

4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal 6 ayat (5)

UU Selain dari upaya pemerintah, upaya masyarakat juga terlihat dengan adanya kesadaran untuk berpendidikan tinggi dan berperan dalam pemerintahan. Selain itu, mulai banyak organisasi-organisasi yang menyuarakan perempuan serta memperjuangkan hak-hak perempuan. Disisi lain, peran media yang sangat berpengaruh, semakin menunjukkan pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik mengenai pentingnya kesetaraan gender. Dari upaya-upaya yang sinergis antara pemerintah, masyarakat dan juga media, menjadikan adanya peningkatan bagi kesetaraan dan keadilan gender. Jumlah kata : 3446 Pendahuluan : 965 Isi

: 2081

Kesimpulan : 400

12

DAFTAR PUSTAKA Bara, Suriadi, “Sejarah, Pengertian dan Struktur, Kadar dan bentuk Ideologi Patriarki”, Medium, 13 Maret 2016, diakses pada 28 Mei 2018, https://medium.com/@diksimerah/sejarah-pengertian-bentuk-dan-struktur-ideologipatriarki-efd0124e2128. Hardjaloka, Laura. “Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi”. Jurnal Konstitusi vol.9 no.2 (2 Juni 2012): 418, diakses pada 29 Mei 2018, https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/m edia/publications/109405-ID-potret-keterwakilan-perempuan-dalamwaja.pdf&ved=2ahUKEwigw_rJoazbAhUaVysKHTavDlAQFjADegQIAhAB&usg=A OvVaw1ARBVpk6OSfvlV5JHsx5E1. Herwanto, “Diskriminasi Gender dan Hegemoni Patriarkhi”, 14 Desember 2012, diakses pada 28 Mei 2018, https://herwanto-a-d-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-68475Umum-Diskriminasi Gender dan Hegemoni Patriarkhi.html. Katadata Indonesia, “Berapa Jumlah Anggota DPR RI Perempuan?”, Dkatadata.co.id, 21 April 2017, diakses pada 28 Mei 2018, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/21/berapa-jumlah-anggota-dpr-riperempuan. Kbbi.kemendikbud.go.id Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: prenada media group, 2010. Mayasari, Anggi, ”Seberapa Penting Peran Perempuan di Dunia Politik? Ini Kata Tsamara Amany”, DetikID, 19 Juli 2017, diakses pada 28 Mei 2018, https://wolipop.detik.com/read/2017/07/19/150227/3565967/1133/seberapa-pentingperan-perempuan-di-dunia-politik-ini-kata-tsamara-amany Reza, “DPR Bentuk Kaukus Perempuan Parlemen”, Liputan6, 15 Maret 2018, diakses pada 28 Mei 2018, https://www.liputan6.com/news/read/3375360/dpr-bentuk-kaukusperempuan-parlemen?source=search Sugeng, “Pengertian Gender,Kesetaraan Gender dan Istilah Terkait”, TipsSerbaSerbi, 2016, diakses pada 29 Mei 2018, https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2016/10/pengertiangender-kesetaraan-gender-dan-istilah-terkait.html?m=1. Wibowo, Dwi Edi. “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender”. vol. 3, no. 1 ( 1 Juli 2011) : 356, diakses pada 15 April 2018, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=251175&val=6754&title=PERA N%20GANDA%20PEREMPUAN%20DAN%20KESETARAAN%20GENDER.

13

Related Documents

Tpi Uas 2018.docx
November 2019 16
Reportaje Tpi
May 2020 10
Reportaje Tpi
June 2020 6
Tpi - Soluciones.docx
October 2019 18
Uas
April 2020 50
Letrero De Tpi
October 2019 19

More Documents from ""