TUGAS INDIVIDU ANALISIS FILSAFAT ILMU PENELITIAN KOMUNIKASI Dosen Pengampu: Dr.Christina Rochayanti,M.SI
Disusun Oleh Nama
: Alya Rona Ameylia
NIM
:153170136
Kelas
:E
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2017
PENDAHULUAN
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.
1. PENGERTIAN FILSAFAT Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999). Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat
berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan. Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi kata filsafat, yangg dalam bhs Arab dikenal denganistilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah philoshophy adalah dari Bahasa Yunaniphiloshophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan. Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu. Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasionallogis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984). Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
B. PENGETIAN DAN HAKEKAT ILMU Menurut Burhanudin Salam (2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense. Sehingga definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau diverifikasi kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”. The Liang Gie (1987) (dalam Surajiyo, 2010) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti
pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”. Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi pada hakikatnya merupakan suatu kajian Filosofis yang bermaksud mengkaji masalah umum secara menyeluruh dan mendasar untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang lingkup dan batasan-batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas pengandaianpengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya pengetahuan dan memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat : a) Evaluative, yaitu menilai apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan secara nalar atau tidak. b) Normative, yaitu menentukan tolok ukur kebenaran atau norma dalam bernalar. c) Kritis, yaitu menguji penalaran cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif) manusia untuk dapat ditarik kesimpulan. Adapun cara kerja metode pendekatan epistemologi adalah dengan cara bagaimana objek kajian itu didekati atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya berbagai macam pertanyaan yang diajukan secara umum dan mendasar dan upaya menjawab pertanyaan yang diberikan dengan mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Dengan tujuan agar manusia bisa lebih bertanggung jawab terhadap jawaban dan pandangan atau pendapatnya dan tidak menerima begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang diberikan. Berdasarkan cara kerja atau metode yang digunakan, maka epistemologi dibagi menjadi beberapa macam. Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum, epistemologi dibagi menjadi 3, yaitu: 1) Epistemologi metafisis Epistemologi metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang berasal dari paham tertentu dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara mengetahui kenyataan itu. Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya menyibukkan diri dalam mendapatkan uraian dari masalah yang dihadapi tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk menguji kebenarannya.
2) Epistemologi skeptis Epistemologi skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih dahulu dari apa yang kita ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum menerimanya sebagai pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mencari jalan keluar atau keputusan. 3) Epistemologi kritis Pada Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun, hanya saja mencoba menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi, prosedur dan pemikiran, baik pemikiran secara akal maupun pemikiran secara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan alasan yang rasional untuk memutuskan apakah permasalahan itu bisa diterima atau ditolak. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada dengan metode tertentu. Dalam hal ini, ilmu mempunyai struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas. Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among facts, concepts, and generalization, yang berarti struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi. Dengan keterkaitan tersebut akan membentuk suatu bangun kerangka ilmu tersebut. sementara itu, definisi struktur ilmu adalah seperangkat pertanyaan kunci dan metode penelitian yang akan membantu untuk memperoleh jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik yang khas yang akan mengantarkan kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu, yaitu: a.
A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan lingkungan (boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta) sampai ke level yang abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka semakin spesifik, sementara semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena lebih bersifat umum.
b.
A mode of inquiry, yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan “ilmu” disama artikan, bahkan terkadang dijadikan kalimat majemuk yang mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua kata tersebut dipisahkan, akan mempunyai arti sendiri dan akan tampak perbedaannya. Ilmu adalah pengetahuan. Jika dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di ambil dari bahasa inggris yaitu knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science dan peralihan dari kata arab ilm atau ‘alima (ia telah mengetahui) sehingga kata jadian ilmu berarti juga pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ditinjau dari segi bahasa, antara pengetahuan dan ilmu mempunyai sinonim arti, namun jika dilihat dari segi arti materialnya (kata pembentuknya) maka keduanya mempunyai perbedaan. Dalam encyclopedia Americana, di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang besifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles Of Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91) memberi batasan definisi ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan baik dimasa lampau, sekarang, dan kemudian hari secara lebih cermat serta suatu kemampuan manusia untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-sifatnya sendiri, sedangkan menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal Bakhtiar.(2008:91) menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Ilmu dapat memungkinkan adanya kemajuan dalam pengetahuan sebab beberapa sifat atau ciri khas yang dimiliki oleh ilmu. Burhanudin Salam (2005:23-24)mengemukakan beberapa ciri umum dari pada ilmu, diantaranya: 1) Bersifat akumulatif, artinya ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu yang telah lalu dapat digunakan untuk penyelidikan atau dasar teori bagi penemuan ilmu yang baru. 2) Kebenarannya bersifat tidak mutlak, artinya masih ada kemungkinan terjadinya kekeliruan dan memungkinkan adanya perbaikan. Namun perlu diketahui, seandainya terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka itu bukanlah kesalahan pada metodenya, melainkan dari segi manusianya dalam menggunakan metode itu. 3) Bersifat obyektif, artinya hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman secara pribadi, tidak dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai dengan fakta keadaan asli benda tersebut
C. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU DAN TUJUAN MEMPELAJARI FILSAFAT ILMU
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah. Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997). Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu
cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya. Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah: a) Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakekat dan tujuan ilmu. b) Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporermsecara historis. c) Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah. d) Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan. Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah 1) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis. 2) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan
yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya. 3) Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
PEMBAHASAN
Positivisme 1. Judul : Relevansi Paradigma Positivistik Dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan 2. Asumsi Paradigma Positivistik
Menelusuri pemikiran dalam melihat praktik sosial, tentunya pada displin ilmu sosiologi bahwa paradigma positivistik membawa pengaruh besar untuk menjawab persoalan atau masalah sosial. Kajian sosiologi mengasumsikan bahwa paradigma positivistik pertama kali muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan utama dalam pemahaman tersebut berdasarkan dari ontologi realisme yaitu realitas dalam praktik sosial berjalan dengan hukum alam. Paradigma positivistik muncul untuk menyatakan sikap penolakan terhadap pola pikir dari pada metafisik. Menurut paradigma positivistik praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan berdasarkan dari pada data bersifat empiris. Penolakan yang dilakukan oleh paradigma positivistik sebagai spekulasi teoritis dalam memperoleh ilmu pengetahuan baru. Paradigma positivistik mengambarkan tesisnya kepada asumsi bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan bersifat empiris. Fakta sosial yang terjadi dalam praktis sosial tentunya pada tindakan manusia akan menjadi sejalan dengan objek pengetahuan. Displin dalam ilmu sosiologi menjabarkan bahwa paradigma positivistik berada pada analisis teori Auguste Comte dan Johan Stuart Mill (ilmu filsafat). Walapun asumsi tersebut paradigma positivistik berada pada penemuan pertama yaitu Saint Simon dan para tokok sosialistik yang sangat dekat dengan tokoh-tokoh ilmu ekonomi. Asumsi Auguste Comte yang merupakan tokoh sosiologi mewarnai bahwa ada istilah yang diberikan yaitu phisique sociale. Pemikiran ini Auguste Comte ingin membedakan antara social statics dan social dynamic (Salim, 2006). Pada pola asumi tersebut perbedaan terletak kepada jenjang-jenjang peradaban dan menelaah perubahan sosial. Dengan demikian, asumsi yang dirumsukan yaitu :
1. Asumsi ontologi, yang mempertanyakan kepada ilmuan mengenai; apa yang sebenarnya hakikat sesuatu yang diketahui oleh kita? apa sebenarnya praktis sosial yang terjadi?
Sehingga pertanyaan yang dikemukakan adalah what is nature of reality? Pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan awal seseorang peneliti untuk memahami realitas sosial. Auguste Comte mengasumsikan kepada pola pemikiran masyarakat yang mengalami namanya perubahan. 2. Asumsi epistemologis, ini adalah asumsi yang sangat mendasar mengenai jawaban sebagai ilmuan terkait dengan praktik sosial yang terjadi. Peran pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya hakikat antara pencari ilmu dan objek sebagai hasil lapangan? Ini mengambarkan bahwa pertanyaa apa yang akan dikemukaan seorang peneliti untuk menelaah masalah sosial. Auguste Comte mengasmsikan bahwa gejala sosial yang terjadi tentunya ada hubungan dengan permasalahan yang lain. Apakah terkait dengan status sosial dalam masyarakat itu sendiri. 3. Asumsi metodologi, para ilmuan menjadikan alat untuk menjawab persoalan yang terjadi. Artinya metodologi terkait dengan alat apa yang digunakan untuk menjawab perosalan dalam masyakat. Jika kita telusuri alat yang Comte melihat masyarakat yaitu observasi. Observasi yang dilakukan oleh Comte dengan kreasi simultan observasi dengan hukum. Pemahaman ini menekankan kepada proses fenomena sosial dihubungkan dengan variabel yang lain. Komperasi tersebut mampu dihubungkan dengan displin ilmu sosial lainnya. 4. Asumsi aksiologi, terkait dengan nilai apa yang dapat diharapkan dalam sebuah kajian. Sehingga membawa efek terhadap perubahan masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan tersebut akan memberi efek terhadap perubahan dan dampak menjadi masyarakat yang sejehtera.
Paradigma positivistik pada semboyan Comte mengambarkan bahwa gagasan yang dikemukaan adalah bersifat ilmiah. Semboyan yang terkenal Comte adalah “love is our principle order our basis and progress our end”. Menurut Comte bahwa masyarakat perlu adanya pemikiran yang ilmiah dan membentuk masyarakat ilmiah untuk menuju sebuah kemajuan. Asumsi tersebut berperan aktif dalam ilmu pengetahuan dan nilai-nilai humanis dalam bermasyarakat dan berbudaya. Pemikiran positivis adalah fakta sosial dan sesuatu yang perlu untuk melakukan pembuktian.
Untuk mempelajari paradigma positivistik Comte menyatakan ada beberapa asumsi yaitu (Lubis, 2009) : 1). Hukum alam yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat diketahui. 2). Adanya fenomena sosial yang tidak bisa diketahui dan perlu dijawab persolan tersebut. 3). Hubungan sosial yang terjadi dalam fenomena sosial dapat diketahui. 4). Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Paradigma positivistik memberikan asumsi bahwa apa yang terjadi pada diri manusia terkait dengan akal budi dan pengelihatan tentunya yang berperan aktif adalah hukum alam yang bersifat universal pada tahapan yang sama. Paradigma tersebut gagasan sosiologi telah dikemukaan oleh Auguste Comte sebagai pencentus awal dari segi pemahamanya, adalah: A) Tahapan telologis, yaitu tahapan manusia terkait dengan mencari sebuah kebenaran dikaitkan dewa atau supritural. Artinya gejala sosial yang terjadi dilimpahkan kepada kekuatan supernatural yang mengatur manusia untuk menjawab segala tatangan yang terjadi. Tahapan ini, manusia cenderung berada pada posisi untuk meletakan dirinya pada nilai-nilai agama. Agama sangat berpengaruh dalam pola pemikiran manusia. Agama sebagai tempat untuk menjawab persoalan yang dialami oleh manusia. B) Tahapan metafisik, tahapan ini sangat tergantung kepada gejala sosial yang dijawab dengan gejala sosial lainnya. Fenomena yang terjadi sangat tergantung kepada alam dan alam sebagai sumber jawaban terhadap parktis sosial. Tahapan ini manusia mengalami perkembangan terhadap pola pemikiran dalam melihat fenomena. Pemikiran rasional sebagai metode untuk menjawab dan menemukan hakekat segala sesuatu yang terjadi. C) Tahapan positif, mengenai kehidupan manusia telah berfikir faktual dan nyata dalam ilmu pengetahuan. Comte mengambarkan bahwa manusia telah berada pada posisi untuk lebih maju dalam dunia kehidupan. Pemikiran tersebut menyakinkan bahwa pemahaman dan kepercayaan manusia terhadap kemampuan berfikir telah mengalami proses kemajuan dan dogma yang bersifat teologis telah hilang. Aktivitas manusia sangat tergantung kepada uji dan fakta atau bukti secara akurat dan terpercaya. Sehingga segala fenomena yang terjadi bisa menyakinkan untuk menuju sebuah perubahan.
Jika kembali melihat bahwa perkembangan positivistik terjadi 3 tahap yaitu: 1. Tahapan sosiologi yang dikemukan oleh Auguste Comte, JS Mill dan Spencer. Pada paradigma ini berasumsi bahwa logika adalah hal yang harus dibuktikan dan dijawab dalam fenomana sosial. 2.
Positivistik-empirio-positivistik muncul 1870-1890 yang dibawa oleh Mach dan
Avenarius yang menyatakan bahwa obyek bersifat nyata dan dapat diukur untuk melihat fenoemna sosial yang terjadi. 3. Positivistik lingkaran yang mengambungkan antara logika dan nyata. Perkembangan sejarahnya paradigma positivistik mengalami perkembangan cukup pesat untuk melihat fenomena sosial yang terjadi.
Implikasi Paradigma Positivistik Terhadap Sosiologi Pedesaan
Paradigma posivistik memberikan kebenaran secara konseptual, praktis maupun mampu mengambil sebuah kebijakan. Paradigma positivistik menjadi pembahasan para sosiologi terutama pada sosiologi pedesaan disebabkan implikasi paradigma konstruktivis memiliki rekasi kekurangan dalam menjawab persoalan parktik sosial. Paradigma positivistik secara metodologi menuntut untuk menemuakan kebenaran dengan memperlakukan realitas sebagai suatu eksis dan sebagai suatu objek yang harus dilepaskan dari sembarang prakosepsi metafisik yang dubjektif sifatnya (Gordon, 1991). Paradigma positivistik mengembangkan paham empirik yang memberikan asumsi bahwa manusia adalah ilmu sains atau ilmu positif, yang berangkat dari fakta dan dapat diukur dengan pendekatan kuantitatif. Melihat masyarakat sebagai kajian sosiologi pedesaan bahwa masyarakat sebagai fenomena objektif dan kekuatan yang terbangun bersifat ahistoris. Gejala sosial pada masyarakat pedesaan dilihat dari pemahaman individu yang bersifat luar peneliti.
Menurut penafsiran saya, penelitian mengenai Relevansi Paradigma Positivistik Dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan mengacu pada manusia yang dilihat sebagai objek mati dan gejala sosial yang terjadi tentunya bersifat netral untuk diobservasi. Implikasi paradigma posivistik mempengaruhi seluruh cabang realitas sosial yang terjadi berkaitan dengan praktis sosial, membahas mengenai efektivitas aktivitas manusia dalam kehidupannya. Misalnya pada persoalan pendidikan,umumnya pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang efektif dan bermanfaat serta menjadikan masyarakat pedesaan lebih terbuka dan akses terhadap pendidikan. Umumnya masyarakat pedesaan kurang begitu sadar akan pentingnya pendidikan, Mereka lebih memilih mengajak anak-anak mereka berkebun atau bertani, ketimbang menyekolahkan mereka. Hasilnya banyak dari masyarakat pedesaan yang buta tulis dan hitung. Manfaat pendidikan bagi masyarakat pedesaan sebagai dasar pembebas, yakni membebaskan masyarakat pedesaan dari predikat kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan penindasan. Selain itu, pendidikan yang baik seharusnya berfungsi pula sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat desa khususnya guna menghadapi masa depan. Pendidikan difokuskan melalui sekolah, pesantren, kursuskursus yang didirikan di pedesaan yang masyarakatnya masih belum tahu apa itu ilmu.
Banyaknya persoalan pada masyarakat pedesaan yang dijawab dengan kajian sosiologi pedesaan memberi adil mengenai pengetahuan dan nilai-nilai dalam menentukan paradigma. Paradigma postivistik yang menyederhanakan data dilapangan akan berdampak terhadap hasil dan pengetahuan yang baru, dijadikan sebagai penelitian yang ilmiah. Secara umum data yang bersifat tingkatan seperti pendapatan, jenis kelamin, usia, pendidikan, status dan sebagainya bisa diselesaikan dengan paradigma positivisme.
3. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmusos/article/download/18510/13630
1.
Interpretif Judul
: Studi Interpretif Untuk Memahami Perilaku Keengganan Menggunakan
E-Billing 2.
Berdasarkan self assessment system yang dianut oleh Indonesia, wajib pajak memiliki kewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengharapkan wajib pajak melaporkan jumlah pajak terutang yang sebenar-benarnya karena telah diberi kebebasan untuk menghitung sendiri. Wajib pajak dianggap mandiri karena ialah yang paling mengerti atas kegiatan ekonomi yang ia lakukan. Penerapan self assessment system membutuhkan kepatuhan pajak sukarela (Saad, 2014). Kepatuhan pajak sukarela ini juga meliputi keharusan untuk memahami undang-undang perpajakan, menghitung dan membayar jumlah pajak yang tepat sesuai peraturan yang berlaku, termasuk melakukan pencatatan yang benar (Sapiei dan Kasipillai, 2013). Sanggup maupun tidak, segala ketetapan DJP termasuk penerapan sistem perpajakan harus diikuti oleh wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai divisi khusus di Kementrian Keuangan yang mengurus administrasi pajak di Indonesia mengubah sistem pembayaran pajak di Indonesia manual menjadi e-billing pada 1 Januari 2016 berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE11/PJ/2016. E-billing sebagai sistem pembayaran pajak terelektronisasi memerlukan beberapa langkah. Pertama, wajib pajak membuat kode billing. DJP menyediakan berbagai cara untuk membuat kode billing, yaitu melalui aplikasi DJP online (SSE1, SSE2, SSE3), layanan billing-djp atau di KPP atau KP2KP, Kring Pajak 1500200, melalui teller atau CS bank dan kantor pos, internet banking, penyedia jasa aplikasi eklektronik (ASP), menghubungi SMS ID billing *141*500#. Kedua, wajib pajak membayar pajak dengan memakai kode billing melalui salah satu pilihan cara pembayaran, yaitu teller bank/kantor pos, mini ATM, internet banking dan mobile banking, serta melalui ATM. Sesuai Surat Direktur Jenderal Pajak no S-355/PJ/2016. DJP kini menyediakan kemudahan bagi pengusaha yang memiliki kewajiban membayar pajak terutang sesuai PP no 46 tahun 2013 tanpa pembuatan kode billing, yaitu melalui ATM BNI dan BCA. DJP telah berupaya menyediakan berbagai alternatif bagi wajib pajak untuk menyelesaikan kewajibannya.
E-billing adalah sistem pembayaran pajak termutakhirkan dengan menggunakan kode billing. Kode billing merupakan kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing atas suatu jenis pembayaran atau setoran pajak yang akan dilakukan wajib pajak. Pada awal penerapan sistem pembayaran, wajib pajak membayar langsung ke Kantor Kas Negara (Administratie Kantoor Voor de Landkassen). Saat pembayaran pajak dapat dilakukan melalui bank, muncullah sebutan Bank Persepsi. Cara ini didasarkan pada TUPRP (Tata Usaha Penerimaan dan Restitusi Pajak) pada 1994, namun pembayaran masih bersifat offline. Sistem pembayaran online baru digagas pada saat terjadi perubahan offline kepada online banking system akibat revolusi perbankan, adanya kebangkitan sistem informasi, dan munculnya DotCom. DJP mengeluarkan MP3 (Monitoring Pelaporan dan Pembayaran Pajak). Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang Undang Perbendaharaan menggagas Modul Penerimaan Negara (MPN). Bentuk awal dari MPN disebut Modul Penerimaan Negara Generasi Pertama (MPN-G1). MPN-G1 dipakai oleh e-billing Direktorat Jenderal Pajak dan mekanisme pembayaran pajak lainnya yang selama ini digunakan. Pada saat MPN-G2 muncul, ebilling yang menggunakan alamat website sse.pajak.go.id berubah menjadi e-billing DJP online dengan alamat sse2.pajak.go.id. Cara pandang interpretif dalam berbagai aspeknya, secara umum selaras dengan cara pandang non-positivisme. Secara lebih detail, beberapa cara pandang interpretif tersebut meliputi (dengan perbandingan cara pandang positivisme):
1. Dimensi Ontologis. Dimensi ini meliputi bagaimana cara pandang peneliti terhadap realitas yang diteliti. Realitas adalah subyektif dan berganda sebagaimana yang diperlihatkan oleh partisipan dalam studi.
Non-Positivisme
Positivisme
Realitas adalah subyektif dan
Realitas adalah obyektif dan
berganda sebagaimana yang
tunggal, terlepas dari peneliti
diperlihatkan oleh partisipan dalam studi.
2. Dimensi Epistemologis.
Dimensi ini meliputi cara pandang tentang bagaimana
hubungan peneliti dengan yang diteliti.
Non-Positivisme
Positivisme
Peneliti berinteraksi dengan yang
Peneliti independen dari yang
diteliti
diteliti
3. Dimensi Aksiologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang peranan nilai-nilai.
Non-Positivisme Value-laden dan bias
Positivisme Value-free dan tidak bias
4.Dimensi Metodologis. Dimensi ini meliputi cara pandang atas dilakukannya proses penelitian.
Non-Positivisme
Positivisme
- Proses induktif
- Proses deduktif
- Mutual simultaneous shaping of
- Sebab akibat
factors - Emerging design; kategori-
- Static design; kategori-kategori ditentukan sebelum penelitian
kategori diidentifikasi selama
- Bebas konteks
proses penelitian
- Generalisasi untuk prediksi dan
- Dibatasi konteks - Pola-pola, teori-teori dikembangkan untuk memahami - Akurasi dan keandalan melalui verifikasi
eksplanasi - Akurasi dan keandalan melalui validitas dan reliabilitas
3.
https://www.researchgate.net/publication/322248391_STUDI_INTERPRETIF_UNT UK_MEMAHAMI_PERILAKU_KEENGGANAN_MENGGUNAKAN_EBILLING/download
3. Penelitian mengenai Studi Interpretif Untuk Memahami Perilaku Keengganan Menggunakan EBilling menggunakan paradigma interpretatif, yang memandang realitas sosial sebagai sesuatuyang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, penuh makna dan hubungan gejala interaktif (reciprocal).Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic scholarship. Jika metodeobjektif dalam penelitian kualitatif bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka para peneliti humanistic berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu. Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan misteri pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Dan kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus umum . Dan tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa wajib pajak enggan menggunkan e-billing dan hasil penelitian menunjukkan kesadaran terdalam informan pertama adalah anggapan wajar akan ketidakmampuan sistem terelektronisasi memicu keengganan belajar teknologi baru, seperti e-billing. Menurut informan kedua, pengalaman mengurus pajak yang berbelit-belit secara manual dan pengalaman masa lalu membuat informan tidak mau mempelajari cara menggunakan e-billing. Pemerintah dapat mempertimbangkan sistem pembayaran manual untuk melayani wajib pajak yang tidak menguasai e-billing. Pemerintah perlu memperhatikan wajib pajak yang merasa tidak mampu dengan sistem terelektronisasi dengan masih mengadakan sistem pembayaran dan pelaporan pajak manual. Pemerintah, khususnya DJP, perlu menegaskan perannya sebagai badan yang khusus menangani administrasi pajak, sehingga bebas korupsi. Kolusi juga harus dijamin tidak akan terjadi karena pajak dikenakan pada semua warga negara dengan tidak memandang status apapun.
Kritis 1. Judul
: Paradigma Kritis Dalam Penelitian Wacana
2. Istilah wacana yang sekarang ini sangat dikenal berasal dari kata discourse (bahasa Inggris) dan discursus (bahasa Latin) yang berarti ‘lari kian kemari’. Lalu, kini wacana ada yang mengartikan ‘komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasangagasan; konversasi atau percakapan.’ Ismail Marahimin (1994) dalam bukunya yang berjudul “Menulis secara Populer” mengatakan bahwa wacana adalah kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, dan komunikasi buah pikiran, baik tulisan maupun lisan, yang resmi dan teratur. Sementara Pratikto (1984) menjelaskan bahwa proses berpikir seseorang sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya. Jadi, wacana lebih dilihat dalam perspektif linguistik (semata). Wacana digambarkan untuk menggambarkan sebuah struktur yang luas melebihi batasan-batasan kalimat. Hal ini, berbeda dengan pandangan Mills (via Sobur, 2009) yang menjelaskan bahwa hendaknya ketika menganalisis wacana tidak hanya memerhatikan aspek linguistiknya semata, tetapi juga untuk mengungkap norma-norma atau aturan-aturan bahasa yang implisit, yang berupa simbol-simbol. Apalagi pada era globalisasi seperti sekarang ini. Pada era globalisasi seperti sekarang ini wujud kekuasaan dan kekerasan mengalami perubahan secara radikal. Menurut Fashri (2007) kekuasaan dan kekerasan dipikirkan sebagai suatu entitas yang terpisah, yaitu bahwa kekuasaan sepertinya tidak bersinggungan dengan kekerasan; dan begitu pun sebaliknya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan pada era sekarang ini tidak lagi tampil dalam ruang konkret yang melibatkan aktivitas fisikal. Keduanya beroperasi dalam sebuah ruang representasi yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan abstrak untuk menciptakan kebenaran. Melalui representasilah, sebuah realitas yang sebelumnya tidak dapat dihadirkan bisa direpresentasikan kembali melalui mobilisasi sistem simbol (bahasa). Mobilisasi
simbol
yang
dilakukan
penguasa/kelompok
dominan
bertujuan
mempertahankan kekuasaan (simbolik). Sebab, setiap kekuasaan cenderung untuk dipertahankan, dilestarikan, diproduksi kembali oleh aktor atau insitusi yang memiliki kekuasaan tersebut melalui strategi hegemoni untuk menciptakan ide-ide/simbol-simbol
dominan/hegemoni semantik (Gramsci via Fashri, 2007: 13). Melalui hegemoni, ide-ide (wacana) tersebut menentukan struktur koginitif masyarakat. Sebagi contoh, pada masa ORLA tercipta hegemoni ide (wacana) neokolonilaisme, imperalisme, dan kapitalisme; masa ORBA dengan demokrasiPancasila, stabilitas nasional, dan anti-PKI-nya;dan Orde Reformasi dengan kebebasan, transparansi, demokrasi dan antiterorisme (lihat George Orwell via Ibrahim, 2006: 50; Badara, 2012; Eriyanto, 2011). Jadi, bahasa dalam hal ini tidak hanya semata-mata dilihat sebagai sebuah struktur, tetapi sebagai praktik sosial. Sebagai praktik sosial, bahasa tidak bisa direduksi pada tataran analisis linguistik murni semata, tetapi harus dilihat dalam konteks dan interaksi sosialnya. Dalam konteks ini, praktik sosial tersebut; wacana/teks tidak hanya sekadar rangkaian kalimat yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan fungsi lainnya; tetapi di balik wacana/teks tersebut “tersembunyi” ideologi tertentu (Santoso, 2009). Wacana menurut Badara (2012: 5) bukanlah hanya sekadar kumpulan kalimat, tetapi memuat world-view. Di balik berita juga sesungguhnya “tersembunyi” ideologi (pembicara/penulis). Sebab, berita di media massa (baca: surat kabar) merupakan representasi simbolis dan nilai suatu masyarakat (Badara, 2012: 5). Jadi, jika selama ini wacana dikaji dari aspek linguistiknya semata. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana pandangan wacana kritis dalam memperlakukan wacana/teks. Untuk selanjutnya, dipaparkan aspek-aspek apa saja yang terkait dengan analisis wacana kritis.
Konsep Wacana dalam Paradigma Wacana Kritis Foucault (via Eriyanto, 2011) mengatakan bahwa wacana hendaknya tidak dipahami sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks semata, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain. Wacana dapat memuat secara sistematis suatu ide, konsep, dan pandangan hidup yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang/kelompok tertentu. Dari pandangan ini pulalah muncul tesis Foucault bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, tetapi dalam praktik. Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Penyelengara kekuasaan (pemerintah) selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan yang
samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi itu sendiri. Oleh karena itulah, wacana (tertentu) menghasilkan pengetahuan dan kebenaran (tertentu) yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran bagi Foucault tidak datang dari langit, tetapi ia diproduksi oleh penguasa/kelompok dominan yang didiseminasikan lewat wacana yang dibentuknya. Dengan demikian,sekarang ini masyarakat tidak dikontrol lewat kekuasaan yang bersifat fisik, tetapi lewat wacana. Misal, wacana yang berupa prosedur, aturan, tata cara, surat edaran, AD/ART, dan bahkan berita di media massa. Karakteristik Analisis Wacana Kritis Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Menurut Fairclough dan Wodak (via Eriyanto, 2011) analisis wacana kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Berikut disajikan karakteristik analisis wacana kritis yang dipandang penting:
Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Implikasinya, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang dalam berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran (Eriyanto, 2011).
Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti: latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook (via Eriyanto, 2011), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik tolak analisis wacana di sini, bahasa tidak bisa dipahami sebagai mekanisme internal dari linguistik semata dan bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup.
Historis Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.
Kekuasaan Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral; tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan merupakan salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan sebagainya.
Jika penelitian ini dilihat dari beberapa aspek maka :
Secara Ontologi Paradigma kritis pada dasarnya secara epistimologi membenahi pandangan yang umum berlaku . Paradigma ini menyarankan pada teori dan ilmu sosial untuk tidak hanya memberi makna realitas sosial atau proses sosial belaka, tanpa memiliki implikasi pada praktik politik. Bagi paradigm kritis, justru tugas teori adalah membuat sejarah ( Fakih,2002:94) Realisme
historis,
realitas
yang
terlihat
dibentuk
oleh
nilai-nilai
sosial,politik,kultural,ekonomik,etnik dadan gender terkristalisasi sepanjang waktu. Realitas yang teramati merupakan realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial,budaya,dan ekonomi-politik.
Aksiologi Pengetahuan proposional transaksional dapat bernilai secara instrumental sebagai alat untuk emansipasi sosial adalah tujuan dan nilai intrinsic.Nilai,etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian. Tujuan dari penelitian adalah kritik sosial,transformasi,emansipasi dan social empowerment
Epistimologi Transaksional atau subjektivis : temuan-temuan yang benar terjadi di realitas yang sebenarnya. Hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani dengan nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings.
Metodologi Secara partisipasi mengutamakan analisis komprehensif,kontekstual,dan multi-level analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial.Kriteria kualitas penelitiannya yaitu Historical Situatedness: sejauhmana penelitian memperhatikan konteks historis,sosial,budaya,ekonomi dan politik.
Selama ini penelitian kebahasaan, khususnya penelitian wacana masih difokuskan pada aspek struktur linguistik sebagai pembentuk wacana tersebut. Wacana dikaji pada ada tidaknya kohesifitas dan kekoherenan wacana tersebut. Apa sajakah satuan-satuan linguistik yang membentuk kohesifitas dan kohorensian baik koherensi leksikal maupun gramatikal. Hal ini, berbeda dengan penelitian wacana dengan menggunakan paradigma wacana kritis. Wacana kritis berpandangan bahwa struktur pembentuk wacana tidak berada
pada “ruang hampa” sosial. Sebab, wacana pada dasarnya adalah sebuah tindakan (sosial) yang sarat dengan latar belakang politik, ekonomi, kekuasan, budaya dll. Jadi, jika selama ini wacana dikaji dari aspek linguistiknya semata. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana pandangan wacana kritis dalam memperlakukan wacana/teks. 3.https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/viewFile/20587/13974
DAFTAR PUSTAKA
Badara,Aris.2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Eriyanto. 2011. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Fashri, Fauzi.2007. Penyingkapan Kuasa Simbol. Yogyakarta: JUXTAPOSE. Ismail. 2013. Ironi dan Sarkasme Bahasa Politik Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Latif, Yudidan Idi Subandi Ibrahim. 1998. BahasadanKekuasaan. Jakarta: Mizan. Marahimin, Ismail.1994. Menulis secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya. Noorsalim, Mashudi dan Muridan S. Widjojo. 2004. “Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa (Kajian Semiotik atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto dan Selebaran Gerakan Mahasiswa)”. Jakarta: LIPI Press. Pratikto, Riyono. 1984.Kreatif Menulis Feature. Bandung: Alumni. Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan.Jakarta: BumiAksara. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, 179–211. Angkasa, M. (2017, April 15). Bayar Pajak Kok Susah. Jawa Pos, p. 4.
Budiarto, E. (2017, April 28). Bikin Kode Billing Lebih Awal. Jawa Pos, p. 4. Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, LXI(4), 601–632. James, S., dan Alley, C. (2002). Tax compliance, self-assessment and tax administration. Journal in Finance and Management in Public Services, 2(2), 27–42. Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh. Saad, N. (2014). Tax Knowledge , Tax Complexity and Tax Compliance : Taxpayers ’ View. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 109(1), 1069–1075. Sapiei, N. S., dan Kasipillai, J. (2013). Impacts of the Self-Assessment System for Corporate Taxpayers. American Journal of Economics, 3(2), 75–81. Yusdita, E. E. (2016). Tinjauan Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan Teori Perilaku Terencana dan Teori Psikologi Fiskal. Universitas Brawijaya Creswell, John W. 2010. Desearch Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Durkheim, Emile. 1982. The Rules Of Sociological Method. New York: The Free Press. Gordon, B. Davis. 1991. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian 1. Jakarta: PT. Pustaka Binamas Pressindo. Hardiman, Fransisco Budi. 1993. Kritik Ideologi Pertaurtan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogjakarta: Kanisius Jamilah, Joharotul. 2016. Ketahanan Industri Bordir di Tasikmalaya: Studi Etika Moral Ekonomi Islam Pada Komunitas Tatar Sunda. Disertasi IPB Sosiologi Pedesaan. Bogor: Insitut Pertanian Bogor. Johson, D Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modren, jilid 1 Ter. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2009. Epitemologi Fundasional. Bogor: Akademika. Lincoln, YS Guba EG. 2000. Paradigmatic controversies, contradiction and emering confluences. Denzin NK, Lincoln YS (Editors) in Handbook Of Qualitatve Reserach: Second Edition, California: Sage Publications, Inc. Malik, Abdul dan Aris Dwi Nugroho. 2016. Menuju Paradigma Penelitian Sosiologi Yang Integratif. Jurnal Sosiologi Reflektif, Volume 10, N0. 2. Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Berpradigma Ganda. Jakarta: Gramedia. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Buku Sumber Untuk Penelitian Kualittaif. Yogyakarta: Tiara Wacana. Saidi, Anas. 2015. Pembagian Epistemologi Habermas dan Implikasinya Terhadap Metodologi Penelitian Sosial-Budaya. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2. Septimawan, Dhanny Sutopo dan Nurul Pramesti. 2017. Konseptualisasi Praktik Sosial dalam Lintas Ruang dan Waktu: Kehidupan Masyarakat di Pedesaan. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 2, No 2.