Tugas Ekonomi Makro “Kebijakan terkait nilai tukar rupiah serta dampaknya bagi perekonomian Indonesia” Kevin Kusnadi – 2017200227 – kelas A Sebelum berbicara mengenai nilai tukar rupiah, menurut Deputi Gubernur Senior Mitza Adityaswara dalam Rakornas Kadin 2017, beliau mengatakan bahwa untuk menjaga nilai tukar rupiah, maka yang harus dijaga yaitu menjaga inflasi dan kurs. Menurut beliau,menjaga inflasi itu merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mempertahankan kestabilan harga rupiah. Pemerintah wajib memperhatikan stok maupun ketersediaan barang dan jasa di pasar agar tidak terjadi kelangkaan yang dapat menimbulkan kenaikan harga. Jika sudah terjadi inflasi, maka nilai tukar rupiah juga akan semakin melemah. Selain itu, menjaga kurs juga sangat penting menurut beliau. Caranya adalah dengan menjaga kestabilan supply dan demand terhadap valas. Demand datang dari para importir yang meminjam dari luar negeri. Supply valas datangnya dari eksportir, PMA, atau capital market yang masuk. Menurut beliau, dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga dapat dilakukan dengan cara penggunaan mata uang asing dalam transaksi ekspor, impor, maupun dalam pemodalan/investasi asing. Penggunaan mata uang asing ini dapat membuat nilai tukar mata uang rupiah semakin perkasa, salah satunya karena meningkatkan jumlah mata uang asing yang beredar di Indonesia. Jika jumlah mata asing yang masuk dan beredar di Indonesia meningkat, maka dapat terus mengimbangi permintaan masyarakat Indonesia terhadap mata uang asing yang semakin meningkat. Namun, tentunya faktor eksternal juga tetap membawa pengaruh terhadap nilai tukar rupiah. Kondisi perekonomian dan keuangan di luar negeri juga membawa pengaruh terhadap nilai tukar rupiah. Selain penjelasan dari Deputi Gubernur Senior Mitza Adityaswara dalam Rakornas Kadin 2017, sebelumnya Bank Indonesia pernah menerbitkan kebijakan mengenai stabilitas nilai tukar rupiah yang terbagi dalam 2 paket. Paket pertama diterbitkan pada tanggal 9 September 2015. Sedangkan paket kedua merupakan kelanjutan dari paket pertama. Paket kedua ini diterbitkan pada tanggal 30 September 2015. Isi kedua paket ini masih memiliki
cakupan atau arahan yang relatif sama. Intinya, peluncuran/penerbitan kedua paket ini adalah untuk mengatur mengenai menjaga stabilitas nilai Rupiah, memperkuat likuiditas Rupiah, serta guna memperkuat pengelolaan supply dan demand valas. Untuk mempertahankan stabilitas rupiah, Bank Indonesia hadir untuk melakukan intervensi di pasar spot hingga pasar forward. Dengan intervensi di pasar forward ini, pemerintah mampu mengendalikan dan menyeimbangkan jumlah penawaran dan permintaan di pasar forward. Jika keseimbangan di pasar forward ini mampu terjaga, maka secara langsung juga akan mengurangi tekanan di pasar Spot. Selain itu, kebijakan mengelola supply dan demand valas di pasar forward juga dapat mendorong transaksi valas berupa jual valas/rupiah. Kebijakan yang ada di era masa pemerintah Joko Widodo ini juga lebih menekankan pada stabilitas ekspor dan impor di Indonesia. Menurut beliau, jumlah ekspor barang dan jasa dari Indonesia harus semakin diperkuat dan ditingkatkan. Beliau juga mengurangi pajak ekpor agar industri karya dalam negeri dapat semakin gencar dan produktif dalam melakukan ekpor. Cara lain yang diterapkan oleh beliau adalah dengan membuka peluang terhadap perusahaan asing untuk menanamkan modal atau berinvestasi di Indonesia. Kucuran dana asing ini dinilai dapat memperkuat industri di dalam negeri. Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan peraturan yang mewajibkan setiap transaksi dalam negeri harus menggunakan mata uang Rupiah. Jika diatas kita sudah berbicara banyak mengenai cara maupun kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan pemerintah untuk turut menjaga stabilitas nilai rupiah, maka selanjutnya akan dibahas mengenai dampak dari nilai tukar rupiah terhadap perekonomian nasional. Pergeseran nilai tukar rupiah dapat membawa dampak-dampak yang saling berhubungan satu sama lain. Jika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka dampak yang akan dirasakan pertama kali adalah oleh industri dalam negeri yang menggunakan bahan/faktor produksi yang harus diimpor dari negara lain. Tentunya harga faktor produksi menjadi lebih tinggi sehingga mau tidak mau, biaya produksi menjadi ikut meninggkat untuk mencegah kerugian perusahaan. Dampak selanjutnya akan dirasakan oleh masyarakat dan para pekerja di perusahaan tersebut. Tentunya untuk mengurangi biaya produksi, perusahaan terpaksa melakukan PHK terhadap sebagian para pekerjanya. sehingga angka pengangguran pun meningkat. Dengan angka
pengangguran yang semakin tinggi, maka semakin banyak masyarakat yang tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Diperparah dengan semakin tingginya harga produk di pasaran sehingga tentunya daya beli/ konsumsi masyarakat menurun. Dengan menurunnya daya beli masyarakat, maka tentunya pertumbuhan ekonomi nasional akan mengalami penurunan. Jika nilai tukar rupiah semakin menguat atau perkasa, maka biaya produksi suatu produk dapat semakin ditekan karena harga faktor produksi yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri juga mengalami penurunan. Hal ini berdampak positif terhadap industri dalam negeri karena tentunya dapat semakin produktif dan gencar melakukan kegiatan ekspor ke negara-negara lain. Jika ekspor meningkat melebihi jumlah impor di suatu negara, maka pendapatan nasional negara tersebut juga akan mengalami peningkatan. Selain dampak terhadap industri, dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat luas. Jika perusahaan dapat semakin produktif memproduksi, maka tentunya kebutuhan akan tenaga kerja juga semakin tinggi, sehingga akan memperluas lapangan pekerjaan yang tersedia bagi masyarakat. Selain itu, jika penawaran produk di pasaran tinggi, maka harga barang di pasaran akan cenderung turun sehingga inflasi dapat terhindari. Jika penghasilan masyarakat meningkat dan harga kebutuhan masyarakat turun, maka tentunya daya beli/konsumsi masyarakat akan meningkat. Jika daya beli masyarakat mengalami peningkatan, maka pertumbuhan ekonomi nasional juga akan mengalami peningkatan.