Teks Editorial.docx

  • Uploaded by: Jati Kusuma
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Teks Editorial.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,392
  • Pages: 4
Telah kita ketahui bahwa mulai tahun 2006, kurikulum pendidikan Indonesia adalah KTSP. Kemudian ditahun 2013, kurikulum pendidikan Indonesia menjadi Kurikulum 2013, dan akan dirubah lagi menjadi Kurikulum Nasional. Tahukah Anda mengapa kurikulum pendidikan KTSP berganti menjadi Kurikulum 2013? Berdasarkan salah satu sumber yang saya temukan, perubahan kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 disebabkan karena adanya survei dari pihak “Trends in International Math and Science” oleh Global Institute pada tahun 2007, dimana berdasarkan survey tersebut hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sedangkan siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Indikator lain adalah Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar terakhir dari 65 negara peserta PISA. Kriteria penilaiannya adalah kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Penguasaan siswa indonesia hanya sampai level 3 sementara negara lain sampai level 4,5 dan 6. Kedua survey ini menunjukkan rendahnya mutu pendidikan kita.Alasan lain yang dikemukakan oleh mendiknas terkait rencana perubahan kurikulum selain menigkatkan daya nalar siswa, adalah upaya meningkatkan kreativitas, dan pendidikan karakter. Hal inilah yang menyebabkan perubahan KTSP ke Kurikulum 2013. Akan tetapi, perubahan KTSP menjadi Kurikulum 2013 tidak jarang menuai kontra. Perubahan kurikulum bukan menjadi satu-satunya jalan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Mengapa hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi dan mengapa kemampuan kognitif siswa Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain? Menurut saya, tentu jawabannya bukan semata-mata karena kesalahan kurikulum. Seharusnya apabila kita membandingkan kemampuan siswa Indonesia dengan siswa negara lain jangan sampai membandingkan langsung tentang kurikulum di kedua negara tersebut. Namun, perhatikan juga faktor pendukung kurikulumnya. Faktor kurikulum yang saya maksud adalah mengenai sarana dan prasarana serta kemampuan guru yang ada. Seharusnya sebelum melakukan perubahan kurikulum 2013, kurikulum yang memakan dana 2,94 T, harus diadakan perubahan dan perbaikan sarana-prasarana dan peningkatan kemampuan guru. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan, apabila sarana dan prasaran kurang mendukung serta kualitas guru yang tidak dapat mengikuti kurikulum 2013 ini, maka akan menghambat perkembangan kurikulum dalam dunia pendidikan itu sendiri. Kurikulum 2013 akan terkesan lebih menghabiskan energi saja tanpa diikuti dengan perkembangan yang berarti. Perkembangan kurikulum 2013 bahkan telah kita ketahui hanya diterapkan dibeberapa sekolah bukan? Tentu ini dikarenakan karena kurikulum 2013 ini tidak mampu diikuti oleh seluruh sekolah di Indonesia. Bahkan tercatat dalam data, bahwa

sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 hanya 6% dan sisanya menolak menggunakan kurikulum 2013, alias masih memilih menggunakan KTSP. Sehingga kurikulum pendidikan seharusnya tidak menimbulkan banyak masalah, maka menurut Kemendikbud yang dipimpin oleh Anies Barwedan, pihaknya akan menetapkan skenario penerapan Kurikulum Nasional secara utuh. Jadi kurikulum akan berganti lagi? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terselip dalam benak para stakeholder dunia pendidikan, termasuk saya. Saya berpikir bahwa penerapan kurikulum 2013 saja belum tuntas, kenapa harus ganti lagi? Bahkan menurut salah satu guru berkata, Indonesia sedang menerapkan kurikulum bingung. Gonta-ganti terus. Tiap periode pemerintahan berganti kurikulum juga ikut berganti. Itu terkesan bahwa pemerintah hanya ingin mencari eksistensi pada setiap periodenya. Mereka ingin diakui. Maka, pemerintah harus melakukan tindakan lebih lanjut untuk menghindari kesalahpaham ini. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan bahwa Kurikulum Nasional bukan pergantian kurikulum tetapi revisidari Kurikulum 2013. Anies menjelaskan ada beberapa pertimbangan bahwa Kemendikbud tetap menggunakan sebutan Kurikulum 2013. Diantaranya adalah supaya tidak memunculkan kesan bahwa pemerintah membuat kurikulum baru. Semoga pernyataan dari Pak Anies Baswedan ini sama dan sependapat dengan pemikiran para guru dan siswa. Sehingga, sebelum melakukan pergantian kurikulum pendidikan di Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan faktor pendukung dan perhambatnya. Jangan sampai anggaran 2,94 T hanya menjadi sebuah proyek yang hanya menghabiskan anggaran dan energi saja. Dengan adanya pergantian kurikulum pendidikan Indonesia yang sudah beberapa kali ini, semoga juga tidak membuat bingung para guru dan siswanya. Mudah-mudahan kita semua, para stakeholderdunia pendidikan, tetap fokus untuk menjalankan pendidikan yang ada. Tetap ingin maju dan meningkatkan kualitas dengan berbagai macam kurikulum yang ada.

Mulai hari Senin (29/12) masyarakat Ibu Kota menjalani tata aturan yang baru lagi. Mulai kemarin peraturan three in one tidak lagi hanya berlaku pagi hari, tetapi juga sore hari. Setiap mobil yang melintasi jalan-jalan utama Jakarta minimal harus ditumpangi tiga orang. Pada pagi hari, aturan itu berlaku pukul 07.00 hingga 10.00, sementara petang hari mulai pukul 16.00 hingga 19.00.

Ketika rencana itu mulai dilontarkan, sudah muncul keberatan dari masyarakat. Bukan hanya peraturan itu dinilai memberatkan, tetapi sejak konsep three in one diterapkan pada pagi hari saja, efektivitas sangatlah rendah. Yang muncul adalah joki-joki yang berdiri menawarkan jasa di sepanjang jalan utama itu. Namun, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tetap pada sikapnya. Peraturan tetap akan diberlakukan dengan sebulan masa sosialisasi. Tentunya terlalu dini untuk mengevaluasi efektivitas peraturan itu. Namun, dari evaluasi awal, para pengemudi tidak mempedulikan aturan baru itu. Petugas DLLAJR pun tidak mengambil tindakan apapun terhadap para joki. Mengapa peraturan itu tidak efektif? Pertama, karena soal disiplin. Masyarakat kita, termasuk juga masyarakat Jakarta, sangat rendah tingkat disiplinnya. Mereka selalu mencari cara untuk mengakali peraturan, apalagi masyarakat tidak mendukung peraturan pembatasan itu. Ancaman hukuman bukanlah sesuatu yang ditakuti karena masyarakat paham bahwa hal yang satu itu merupakan kelemahan lain dari bangsa kita. Masyarakat pun tahu bagaimana caranya terhindar dari ancaman hukuman, yang dikenal sangat tidak tegas itu. Alasan kedua adalah tidak adanya alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan jasa transportasi yang bisa menjamin mobilitas mereka. Kita tahu, Pemerintah Provinsi DKI sedang mempersiapkan sistem bus dengan jalur khusus atau busway. Namun, selain sistem transportasi alternatif itu belum berjalan, konsepnya tidak utuh untuk bisa menjamin kebutuhan tranportasi masyarakat. Sekarang ini justru berkembang pertanyaan baru, apakah kebijakan Primprov DKI itu tidak justru akan berlawanan dengan kebijakan Gubernur Sutiyoso yang sangat kuat keinginannya untuk membuat Jakarta tertib. Ia mencoba membatasi orang untuk bisa masuk Jakarta dan menggusur masyarakat maupun pedagang kaki lima yang menempati lahan yang bukan hak mereka. Namun, bagaimana orang tidak tertarik untuk masuk Jakarta kalau semua kesempatan itu mudah didapat di Ibu Kota. Meski pertarungan hidupnya keras, lebih mudah mendapatkan uang di Jakarta dibandingkan dengan di daerah. Di Jakarta menjadi penjaga toilet di hotel ataupun di mall saja bisa dapat beberapa puluh ribu rupiah sehari. Jadi, tukang parkir liar, asal bisa teriak-teriak, dengan mudah dapat seribu atau dua ribu rupiah. Bahkan menjaga tempat perputaran jalan pun, di Jakarta bisa dapat uang Peluang itu ditambah lagi dengan menjadi joki. Bagi kalangan pengusaha yang harus keluarmasuk jalan utama Jakarta, apa susahnya untuk menambah satu pegawai yang bisa

menemani dia bekerja. Dengan satu sopir dan satu ajudan, maka ia bisa bebas keluar-masuk jalan utama. Inilah yang sebenarnya kita ingin ingatkan. Peraturan itu seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan segala segi secara matang. Peraturan itu juga harus mendapat dukungan dari masyarakat agar bisa berjalan efektif. Untuk apa peraturan dibuat kalau kemudian hanya untuk dilanggar. Begitu banyak peraturan yang kita buat, pada akhirnya tidak bisa diterapkan karena tidak dirasakan sebagai kebutuhan bersama oleh seluruh rakyat. Ketika peraturan itu tidak bisa efektif dilaksanakan, yang akhirnya menjadi korban adalah si pembuat peraturan itu sendiri. Setidaknya wibawanya menjadi turun karena peraturan yang dibuat ternyata tidak bergigi. Peraturan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat. Selain soal three in one, yang juga menjadi pembicaraan ramai masyarakat adalah soal bunga bank. Kita ketahui bahwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sekitar dua pekan lalu kembali membahas soal apakah bunga bank itu tergolong riba atau tidak. Putusan Komisi Fatwa MUI sendiri kemudian menggolongkan bunga bank itu sebagai riba. Tetapi segera ditambahkan bahwa haramnya bunga bank itu hanya berlaku di kotakota yang sudah memiliki Bank Syariah. Keputusan Komisi Fatwa MUI itu seharusnya dibawa dulu ke Sidang Lengkap MUI, yang melibatkan seluruh ulama, sebelum menjadi fatwa yang menjadi pegangan seluruh umat. Namun, keputusan itu sudah dikeluarkan terlebih dahulu ke masyarakat, apalagi media pun terjebak seakan-akan itu sudah menjadi fatwa MUI. Namun, di sini kita menangkap adanya kearifan pada jajaran pimpinan MUI. Keputusan Komisi Fatwa itu tidak dianulir, tetapi pembahasannya dalam sidang lengkap MUI ditunda sampai diperoleh waktu yang memadai untuk bisa membahas masukan Komisi Fatwa itu secara menyeluruh. Pimpinan MUI sangat menyadari bahwa persoalan ini bukanlah masalah mudah sebab bukan hanya berkaitan dengan urusan ekonomi, tetapi juga kehidupan masyarakat banyak. Dengan tradisi yang sudah panjang, tidak sedikit umat muslim yang bekerja di bidang itu. Kalaupun sekarang harus diubah menjadi Bank Syariah, apakah sistemnya bisa cepat berubah dan menunjang perkembangan Bank Syariah itu sendiri. Begitu banyak aspek yang harus dilihat sehingga pada tempatnya bila MUI menunda keputusan itu. Sebab, pada akhirnya, sebuah peraturan itu bukan hanya harus bagus di atas kertas, tetapi sungguh bermanfaat bagi kehi-dupan masyarakat yang menjalankannya.

Related Documents

Teks Doa.docx
June 2020 21
Teks Pengacara
May 2020 42
Teks Sholawat.docx
June 2020 22
Teks Pengerusi
June 2020 22
Teks Negosiasi.docx
December 2019 34
Teks Merdeka.docx
December 2019 39

More Documents from "ABdul Halim"