Surat Untuk Guru 13 Berpikir Kritis

  • Uploaded by: Leo Sutrisno
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Surat Untuk Guru 13 Berpikir Kritis as PDF for free.

More details

  • Words: 541
  • Pages: 2
Surat untuk para guru 13; Berpikir kritis Leo Sutrisno

Anakku, Setia Nugraha, Engkau mengeluhkan para murid yang sukar diajak berpikir kritis. Mereka lebih senang kalau diberi contoh ketimbang melakukan sendiri. Mereka juga sangat sukar kalau diminta mengungkapkan gagasan sendiri dengan alasan takut kalau salah. Sesungguhnya, tidak hanya para siswa yang demikian, engkau dan kawan-kawan guru pun banyak yang demikian. Coba ingat-ingat pada saat mengikuti pelatihan. Betapa sering engkau meminta diberi contoh ketimbang melakukan sendiri. Apalagi, jika nara sumber datang dari Jakarta. Seolaholah mereka itu serba tahu dan serba benar. Semua yang disampaikan diterima begitu saja tanpa ada ’cadangan’ pertanyaan lagi. Kita berlindung pada adagium, bahwa orang Jakarta (pusat) adalah orang-orang yang terpilih, karena itu tidak mungkin keliru. Anakku, setiap orang berpikir, bukan?! Ini sifat alami manusia. Tetapi, sebagian dari buah pikiran kita itu bias, kurang lengkap, tergesa-gesa, kurang informatif, dan bahkan sering didasari oleh rasa syak-wasangka. Padahal, kualitas hidup kita, apa yang kita hasilkan, apa yang kita bangun, apa yang kita kerjakan tergantung sepenuhnya pada kualitas buah pikiran itu. Berpikir sebarang sangat besar resikonya, baik dalam nilai uang maupun dalam nilai hidup kita. Oleh karena itu, berpikir yang baik (Baca: berpikir kritis) perlu di-’budidaya’-kan secara sistematis dan sungguh-sungguh, tidak hanya di antara para siswa tetapi juga di antara para guru, dan bahkan di antara masyarakat luas. Tidak mudah memberi definisi yang tepat dan lengkap tentang berpikir kritis. Ada banyak ahli yang memberikan definisi atau penjelasan menurut sudut pandang masing-masing. Namun, secara intuitif, berpikir kritis itu merupakan salah satu cara berpikir seseorang (tentang sesuatu) yang menggunakan seluruh daya berpikirnya sehingga dihasilkan buah pikiran sendiri yang berbobot. Yang bersangkutan mampu mengidentifakasi tujuan, membuat inferensi, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, membuat asusmsi-asumsi, menyodorkan konsep-konsep utama, serta menunjukkan sudut

pandang yang digunakannya. Selain itu, ia dengan seksama memeriksa kejelasan, akurasi, presisi, relevansi, kedalaman, keluasan, signifikansi, serta ‘fairness’ data dan informasi yang diperolehnya. Kalau sifat-sifat ini dipenuhi maka akan dihasilkan suatu buah pikiran yang sungguh berkualitas, berbobot. Maaf, kata ’fairness’ terpaksa Bapak gunakan, karena hampir tidak ada padanan kata dalam bahasa Indnesia. Ada padanan makna negatifnya, ’unfair’, yaitu ’urik’ dalam bahasa Jawa. Kata urik berkonotasi ’curang’ dan ’licik’. Cara berpikir yang bebas dari sifat-sifat curang dan licik itu disebut ‘fair’. Seseorang yang buah pikir-nya berkulitas akan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang vital dan esensial dalam formulasi yang jernih dan bersih. Ia juga mampu mengumpulkan semua informasi yang relevan dan menafsirkannya secara efektif. Hasilnya adalah buah pikiran yang lengkap dan mendasar. Dengan sendirinya, ia juga mampu mengkomunikasikannya kepada khalayak efisien dan efektif. Orang-orang yang seperti inilah yang kita sebut memiliki kemampuan berpikir kritis. Ia menjadi ’boss’ bagi dirinya sendiri. Ia tidak teromabngambing oeh buah pikiran orang lain. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu berpikir kritis akan memperhambakan diri pada pikiran dan pandangan orang lain. Tanpa berpikir panjang ia langsung sepaham dsb. Namun, sering juga kurang bertanggung jawab jika di belakang hari terjadi sesuatu. Dengan dalih, ’hanya’ mengikuti apa pendapat orang lain maka yang bersangkutan melarikan diri dari tanggung jawab. Anakku, apa yang hendak kau pilih, mencoba berpikir kritis sehingga menjadi ’tuan’ bagi diri sendiri atau menjadi ’hamba’ dari orang lain, kemana angin bertiup ke sanalah robohnya. Pikirkan baik-baik pilihanmu. Masingmasing mengandung resiko. Saya kira cukup di sini dulu surat Bapak. Banyak salam dari ibumu. Doa kami berdua selalu menyertaimu. Bapak.

Related Documents


More Documents from "MahariPartawirya"