Suara Merdeka Edisi Cetak
Page 1 of 3
Berita Aktual SM Cetak Suara Warga Entertainmen Gaya Kejawen Layar Lelaki Sehat Sport Wanita Home Berita Utama Semarang & Sekitarnya Lintas Muria
WACANA 16 Februari 2008 DBD dan Perspektif Pelayanan Publik
Oleh Sutopo Patria Jati
Lintas Pantura Lintas Solo Lintas KeduBanyumas Yogyakarta Internasional Ekonomi & Bisnis Wacana Olahraga Hiburan & Seni Hukum Perempuan Ragam Pendidikan Kesehatan Teknologi Kampus
MASYARAKAT seringkali mengeluhkan respon lambat pemerintah dalam menanga demam berdarah dengue (DBD) yang telah merenggut nyawa anggota keluarga merek Keluhan ini memperkuat fenomena bahwa demi memperoleh hak pelayanan kesehata dalam kasus DBD, ternyata masyarakat masih harus bersusah payah.
Hak masyarakat memperoleh pelayanan dasar menjadi inti dari konsep pelayanan pub yang mana draft rancangan aturannya (RUU Pelayanan Publik) masih alot digodok di Agaknya hal itu masih menjadi ”barang aneh” bagi sebagian besar penentu kebijakan, pemberi pelayanan kesehatan, maupun masyarakat sebagai penerima manfaat. Bagaimana implikasi kebijakan pelayanan publik terhadap penanganan kasus DBD ya terjadi di masyarakat?
Ada semangat perubahan yang mendasar yang perlu disiapkan oleh penentu kebijakan pemberi pelayanan dalam kasus DBD terkait akan ditetapkannya kebijakan pelayanan Setidaknya pesan dari Presiden SBY saat di Semarang (2006) bisa menggambarkan ko ideal dari pemberian layanan kepada masyarakat.
Dia menegaskan ”Mulai hari ini saya mengajak lembaga negara dan swasta, baik di pu maupun daerah, untuk menggunakan motto: Permudahlah Semua Urusan. Jangan dihi lagi seloroh atau cemooh masa lalu yang mengatakan, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah. Itu harus dihentikan” Peristiwa ini boleh jadi termasuk salah satu milestone dari upaya pengimplementasian kebijakan pelayanan publik di Indonesia, seandainya pemerintah sejak saat itu benar konsisten dan konsekuen menjalankannya. Sesuai draft RUU Pelayanan Publik, nantinya pemerintah dapat secara detail mengatu hanya azas, prinsip, standar, pembiayaan, dan prosedur penyelenggaraan dari pengelo kasus DBD, tapi juga bagaimana perilaku aparat dalam penyampaian pelayanan serta pembuatan maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik layanan D yang wajib dipublikasikan secara luas.
Diatur pula sistem pengawasan tidak saja internal, tetapi juga eksternal melalui lemba ombudsman atau melalui mekanisme pengaduan langsung dari masyarakat. Untuk me keberhasilan pelayanan kasus DBD akan digunakan indeks kepuasan masyarakat yang dilakukan secara periodik.
file://D:\Dokumen\artikel SM ku\ARTIKEL KORAN\Artikelku di SM\Suara Merdeka-DB... 12/8/2008
Suara Merdeka Edisi Cetak
Page 2 of 3
Sangsi terhadap Sanksi
Salah satu bagian penting yang perlu dicermati dari implikasi kebijakan pelayanan pub dalam kasus DBD adalah klausul mengenai sanksi administratif yang akan diatur seca khusus untuk mengatasi pelanggaran yang terjadi. Bentuk sanksi bisa berupa peringatan atau denda dan/atau ganti rugi bagi penyelengga Sedangkan bagi aparat dapat berbentuk peringatan sampai pemecatan jika terbukti me kesalahan. Kalau perlu dapat dilanjutkan pemrosesan ke lembaga peradilan umum. Pro gugatan ini dapat dilakukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tetapi, berdasarkan pengalaman, masyarakat justru menjadi sangsi terhadap efektivita yang diberikan. Sebab, selama ini hampir tak ada aparat atau penyelenggara pelayanan kasus DBD yang dihadapkan ke pengadilan. Repotnya lagi, untuk memproses gugatan pun, masyarakat cenderung terkendala dalam mekanisme pembuktiannya. Sebab logika hukum yang digunakan untuk pembuktian pelanggaran dalam layanan kesehatan masih berorientasi pada proses; bukan hasil akh pelayanan yang diberikan.
Kewajiban dan sanksi bagi penyelenggara dan aparat secara eksplisit memang tercantu dalam draft RUU Pelayanan Publik, tetapi dirasakan belum seimbang dengan ketidakj klausul menyangkut sistem penghargaan. Sungguh kurang adil jika aparat pengelola DBD dituntut selalu bekerja maksimal dan risiko, sedangkan hak dasar mereka terkait sistem penghargaannya ternyata belum dia secara tegas dan proporsional.
Kalau tidak waspada, implementasi dari kebijakan ini juga berpotensi menjadi bumer bagi aparat pengelola DBD, mengingat pemerintah belum mau dan mampu menyediak fasilitas dan anggaran secara memadai. Tidak heran jika saat ini kegiatan fogging, penyuluhan, kampanye 3M, survei jentik, d kegiatan lain tidak berjalan sesuai dengan standar. Sehingga jika masyarakat menggug posisi aparat pengelola DBD bisa menjadi runyam —terkait kemungkinan implikasi k borrow the servant, di mana mereka harus menanggung konsekuensi hukum karena ke pemerintah. Represif
Di sisi lain, masyarakat selaku penerima manfaat mestinya juga perlu diberikan klausu tentang apa saja yang menjadi kewajiban dan sanksi yang akan diberikan jika terbukti atau melakukan penyalahgunaan haknya. Ini akan menciptakan keseimbangan dan paradigma baru, bahwa konsep pemberdayaa masyarakat dalam kasus DBD tidak mesti hanya bersifat persuasif, tetapi ada kalanya pemaksaan yang cenderung represif. Pendekatan represif ternyata sudah lama diterapkan di Singapura (sejak 1968) dan Ma (1975), melalui The Destruction of Disease Breeding Insects Acts. Hasilnya pun terbu pengelolaan kasus DBD di kedua negeri jiran ini jauh lebih berhasil ketimbang Indone
Indonesia sebenarnya telah memiliki kebijakan yang bisa digunakan, salah satunya UU 4/1984 tentang Wabah. Tetapi sampai saat ini belum dijalankan dengan tegas, termasu sanksi hukumnya berupa ancaman denda atau penjara. Sudah saatnya pemerintah berani dan konsisten menerapkan kebijakan ini, sehingga b
file://D:\Dokumen\artikel SM ku\ARTIKEL KORAN\Artikelku di SM\Suara Merdeka-DB... 12/8/2008
Suara Merdeka Edisi Cetak
Page 3 of 3
kasus penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) oleh oknum warga ka demi mendapatkan perawatan gratis saat terkena DBD bisa diberu sanksi tegas, untuk memberikan efek jera.
Hal serupa bisa diberlakukan kepada sejumlah keluarga, terutama golongan menengah atas, yang menolak aparat kesehatan saat ingin memantau jentik nyamuk di rumahnya
Semua ini bisa menjadi pembelajaran awal kepada masyarakat agar lebih arif menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban mereka, sesuai dengan perspektif pelayanan p terutama dalam kasus DBD di Indonesia. (32) –– Sutopo Patria Jati, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undip. © 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved Groups
file://D:\Dokumen\artikel SM ku\ARTIKEL KORAN\Artikelku di SM\Suara Merdeka-DB... 12/8/2008