KONSEP DASAR PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN NAPZA*) A. NAPZA 1. PEMBAGIAN JENIS a)
Narkotika i) Definisi. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau buatan baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi dan menghilangkan nyeri dan dapat menyebabkan ketergantungan1). ii) Penggolongan Narkotika dapat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu: (1) Golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi
serta
mempunyai
potensi
sangat
tinggi
ketergantungan, seperti heroin (putauw), ganja (mariyuana), cocain. (2) Golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan sebagai pilihan terakhir serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan, seperti morphin, pethidine dan opium. (3) Golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan *)
banyak
digunakan
dalam
terapi
dan/atau
tujuan
Sutopo Patria Jati
1
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, seperti codein dan etimorphin. b)
Psikotropika. Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1997 pasal 1, yang dimaksud psikotropika adalah zat
atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku 2). Psikotropika dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu: i) Golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi
amat
kuat
mengakibatkan
sindroma
ketergantungan, seperti ectasy, lisergida dan psilosibina. ii) Golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai
potensi
kuat
mengakibatkan
sindroma
ketergantungan, seperti amfetamin dan shabu-shabu. iii) Golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak
digunakan
pengetahuan
serta
dalam
terapi
mempunyai
dan potensi
atau
untuk
sedang
tujuan
ilmu
mengakibatkan
sindroma ketergantungan, seperti amobarbital dan flunitrazepam. iv) Golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu
2
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan
sindroma ketergantungan, seperti babibital, diazepam dan nitrazepam. Zat psikotropika yang sering disalah gunakan (menurut WHO 1992) adalah:
1)
-
Alkohol: semua minuman beralkohol.
-
Opioida: heroin, morfin, pethidin, candu.
-
Kanabinoida: ganja, hashish.
-
Sedativa/hipnotika: obat penenang/obat tidur.
-
Kokain: daun koka, serbuk kokain, crack.
-
Stimulansia lain, termasuk kafein, ectacy dan shabu-shabu.
-
Halusinigenatika: LSD, mushroom, mescalin.
-
Tembakau (mengandung nikotin).
-
Pelarut yang mudah menguap seperti aseton dan lem.
-
Multipel (kombinasi) dan lain-lain, misalnya kombinasi heroin dan shabu-shabu.
c)
Zat Adiktif Zat adiktif adalah zat atau bahan yang bukan narkotika atau psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan, seperti aseton, bensin dan etanol dalam minuman berakohol 3). Minuman beralkohol dikelompokkan dalam golongan sebagai berikut: -
Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 1% sampai 5%.Contoh: anker bir.
3
-
Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 5% sampai dengan 20%. Contoh: whisky.
-
Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol lebih dari 20% sampai 55%. Contoh: arak orang tua.
Undang-Undang yang mengatur tentang pengamanan zat adiktif ini tertuang didalam pasal 44 UU Kesehatan No 23 Tahun 1992. 2) Penanganan Korban Penyalahgunaan Napza Bagi para korban penyalahgunaa NAPZA, perlu dilakukan penanganan yang serius dan tuntas. Dimaksudkan tuntas yaitu korban dapat mentas dan tidak kambuh kembali kedalam masalah penyalahgunaan lagi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 24 – 27 yang mengatur tentang Kesehatan Jiwa. Perincian
prosedur
yang
dapat
dilakukan
dalam
penanganan
penyalahgunaan NAPZA adalah sebagai berikut: 1. Detoksifikasi. Proses
detoksifikasi
dapat
dilakukan
dengan
cara
medik-
psikiatrik/psikologik. Untuk menghilangkan racun dalam tubuh korban oleh dokter diberikan pengobatan. Salah satu cara pengobatan yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater, yaitu menggunakan metode pengobatan memberikan obat major tranquilizer untuk mengatasi gangguan neurotransmiter (sinyal penghantar syaraf) pada susunan
4
syaraf otak. Ringkasan metode yang disebut Terapi (detoksifikasi) Opiat (heroin/putaw) tanpa anaestesi adalah: a) Metode detoksifikasi ini tidak hanya untuk heroin (putauw), melainkan juga berlaku untuk zat-zat lainnya seperti ganja, kokain, alkohol, amphetamin dan zat adiktif lain. b) Terapi medik, dalam terapi ini diberikan jenis obat major tranquilizer yang ditujukan terhadap gangguan
sistim neuro-transmitter susunan syaraf
pusat (otak). Selain itu diberikan juga analgetika nonopiat (onat anti nyeri yang tidak mengandung opiat atau turunannya), tidak diberikan obatobatan yang bersifat adiktif, namun diberikan obat anti depresi, bila diperlukan. Bila ditemukan komplikasi pada organ paru, lever dan lainnya diberikan obat sesuai dengan kelainan dari organ tersebut. c) Metode detoksifikasi ini dapat dilakukan di rumah maupun di Rumah Sakit. i) Bila dirawat di rumah selain harus minum sesuai petunjuk dokter, pasien tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bertemu dengan teman,, menelepon dan tidak boleh merokok. ii) Bila dirawat di Rumah Sakit selain harus minum obat, pasien ditunggui keluarga dan tidak boleh ada teman yang menengok , sehingga dapat mencegah masuknya NAPZA ke kamar pasien termasuk rokok. Keuntungan jika pasien dirawat di Rumah Sakit adalah pada pasien dapat
dilakukan
sekaligus
pemeriksaan
fisik,
rontgen,
EKG,
5
laboratorium untuk menemukan adanya komplikasi medik, dan juga kunjungan dari agamawan. d)
Metode detoksifikasi ini menggunakan sistim blok total (absentia totalis), artinya pasien tidak boleh lagi menggunakan Napza atau turunannya.Untuk menghilangkan gejala putus zat, digunakan obatobat penawar.
e)
Sehubungan dengan butir d diatas, maka proses detoksifikasi yang terjadi adalah sebagai berikut: (i)
Pasien akan lebih banyak ditidurkan, bukan dibius.
(ii)
Gejala mental dalam bentuk disorientasi (mengigau, bicara tidak nyambung dan sejenisnya) akan muncul bila pasien bangun yang kemudian ditidurkan lagi.
(iii)
Gejala putus zat (withdrawal symtoms/sakaw) akan hilang pada saat mulainya diberikan terapi medis tersebut diatas. Disorientasi akan hilang pada hari ketiga atau keempat.
(iv)
Kesadaran penuh dicapai pada hari kelima atau keenam.
(v)
Hasil tes urin akan bersih dari NAPZA melalui hari kelima atau ketujuh tergantung dosis, jenis atau kombinasi Napza yang digunakan.
(vi)
Bila tes urin negatif, maka proses detoksifikasi selesai, pasien boleh pulang dari rumah sakit dan selanjutnya berobat jalan atau mengikuti program pasca detoksifikasi / rehabilitasi.
2. Pengobatan medis untuk yang mengalami gangguan organobiologi.
6
Para penyalahgunaan NAPZA juga banyak yang mengalami gangguan syaraf, karena kerusakan otak, paru-paru, jantung, ginjal, lambung, usus dan alat kelamin. Kesemua itu perlu penanganan dari dokter. Penyakit yang juga berhubungan erat dengan ini adalah
Hepatitis B, Hepatitis C
dan AIDS/HIV. 3. Habilitasi mental-emosional. Habilitasi mental emosional berupa berbagai bentuk terapi atau kegiatan lain yang dapat diberikan kepada korban sesuai dengan kondisinya. Didalam penyembuhan tingkat ini disamping melanjutkan pengobatan atas penyakit organobiologis, juga dilakukan assesment atau penjajagan yang mendalam, psikotes dan psikoanalisis. Untuk kemudian ditentukan langkah-langkah selanjutnya. Pada kondisi yang masih rapuh ini sering terjadi kambuh atau relapse, dan ini rangkaian dari proses pemulihan. Dalam kejadian ini yang penting
adalah
mengidentifikasi
faktor
pencetus
relapse
dan
menanganinya dengan baik. 4. Rehabilitasi. Proses rehabilitasi bertujuan untuk mempersiapkan mantan penyalahguna NAPZA untuk kembali ke masyarakat. Macam-macam rehabilitasi yang diterapkan adalah: a. Rehabilitasi kehidupan beragama. b. Rehabilitasi fisik. c. Rehabilitasi rasa percaya diri dan harga diri.
7
d. Rehabilitasi vokasional/ketrampilan. e. Rehabilitasi edukasional/pendidikan. f. Rehabilitasi sosial. 5. Pengawasan Setelah mantan penyalahguna NAPZA dinyatakan boleh keluar dari tempat
rehabilitasi
dan
kembali
kemasyarakat,
perlu
dilakukan
pemantauan selama satu hingga dua tahun. Hal ini betujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan. 3) Standar Bangsal NAPZA a)
Pengertian. Standar
bangsal
NAPZA
adalah
penetapan
kebutuhan
untuk
pelayanan di bangsal NAPZA. Meliputi penentuan kebutuhan (jumlah, jenis dan spesifikasi) serta pengelolaannya dalam upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas. b)
Tujuan. Meningkatkan mutu pelayanan di bangsal NAPZA di RSJD Surakarta.
c)
Ruang Lingkup Kebutuhan yang dimaksud dalam standar ini terdiri dari: Standar SDM. Sumber daya manusia yang bekerja di bangsal NAPZA terdiri dari: psikiater, dokter ahli anaesthesia, dokter ahli penyakit dalam, dokter umum, psikolog, perawat jiwa, perawat anaesthesia, pekerja sosial, tenaga administrasi. Standar ruang.
8
Perlengkapan yang ada di ruangan pasien terdiri dari: -
Ruang detoxifikasi : ICU bed, AC, Kulkas, meja kursi
makan,
kamar mandi. -
Ruang VIP : tempat tidur, AC, kulkas, meja kursi makan, kamar mandi, sofa.
-
Ruang kelas I : tempat tidur, kulkas kecil, kipas angin, kamar mandi, meja kursi makan.
-
Ruang kelas II : tempat tidur, kipas angin, meja kursi makan.
Standar Alat kesehatan. Alat kesehatan yang terdapat di bangsal NAPZA terdiri dari: -
Detoxifikasi : tensi meter, timbangan badan, infus set, oksigin konsentrator/tabung oksigin, ambu bag/ventilator oksigin.
-
Rehabilitasi : tensi meter, timbangan badan.
Standar pelayanan. Pelayanan yang dilakukan anamnese,
pemeriksaan
di bangsal NAPZA jasmani,
pemeriksaan
meliputi psikiatrik,
evaluasi psikologi, evaluasi sosial, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang dan inform konsen. Standar pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di bangsal NAPZA meliputi pemeriksaan rontgen, laboratorium, brain mapping, EEG, EKG.
9
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ketua BNN, Aktualisasi Peran Masyarakat Menanggulangi Kejahatan Narkoba, Makalah, Jakarta, 2002
2.
Erwin M A, Aktualisasi Peran Aktif Masyarakat Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Makalah, Semarang, 2002
3.
Astuti P, Studi Kelayakan Proyek Pendirian Bangsal Khusus NAPZA RSJD Surakarta Ditinjau dari Aspek Keuangan, Skripsi, (Tidak dipublikasikan), 2003
10