1
Simulasi kekerasan 1 -menelanjangi kerja kekerasan dalam pembangunanOleh : Imron Rosidin 2
Banyak hal mengerikan, menyeramkan dan durjana dari kekerasan. Mendengarnya ada dalam kehidupan selalu ingin disangkal. Hanya ada kerugian, kerusakan, tangis, darah dan nanah dari luka personal maupun kelompok ditawarkan oleh kekerasan. Wajahnya seolah serupa dengan paras setan dalam kitab-kitab suci, melahirkan kekerasan sama halnya bersekutu dengan setan, berarti pula melawan keagungan Tuhan.
Banyak hal indah dan menggoda yang ditawarkan pembangunan, layaknya surga milik Tuhan pembangunan digambarkan. Setiap orang yang menghuni negara terjamin hak-hak dan dilindungi tanggungjawabnya, merdeka untuk mengambil keputusan-keputusan personal maupun kolektif untuk menggapai langit-langit kesejahteraan hidup. Tidak ada konflik personal dan kelompok disertai kekerasan dalam kehidupannya. Warga dan negara memeran-fungsikan diri dengan adil dalam kehidupan sosial, keduanya bak pinang dibelah dua dalam harmoni kedamaian.
Pembangunan dan kekerasan merupakan kerja, keduanya bekerja pada sekitar manusia. Untuk kehidupan yang lebih baik, manusia dan sekitarnya melakukan kerja pembangunan. Sebaliknya, mengerjakan kekerasan menghantarkan manusia dan sekitarnya ke depan pintu gerbang kemusnahan. Keduanya tampak saling berhadapan dalam kehidupan sosial, pembangunan tidak boleh bersekutu dengan kekerasan, begitupula dengan kekerasan yang tidak boleh hadir dan menemani setia pembangunan.
Makalah ini dimaksudkan untuk, pertama, mengurai kembali apa kekerasan dan pembangunan. Kedua, menulusuri kembali jejak kerja simulasi kekerasan dalam pembangunan. Ketiga, meretas gagasan pembangunan Indonesia yang rentan kekerasan. ***
1
Ditulis pada 02 Dzulhijjah 1430 Hijriah sebagai tugas mata kuliah teori-teori (SP 6111), bagian dari tugas kelompok V “Pembangunan dan Etnisitas”. SAPPK - Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung, 2009. 2 Nomor Induk Mahasiswa 24009022, http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com,
[email protected],
[email protected]
2 Kekerasan Definisi kekerasan sangat beragam dalam bentuk yang berbeda pula (Galtung, 1975), terminologi dan definisi kekerasan akan lebih spesifik dalam bentuk dan dampak yang dihasilkannya. Kekerasan menurutnya di bedakan menjadi (1) kekerasan yang dilakukan secara langsung dan tidak langsung, (2) dikenakan secara kolektif maupun individual, (3) disahkan oleh hukum dan tidak disahkan oleh hukum, (4) dilakukan secara fisik maupun psikologis dan (5) bekerja dalam bentuk nyata maupun melalui simbol. Definisi-definisi lain dari perspekif sejarah, sosiologi dan antropologi lainnya dapat juga dilihat dari pandangan Hannah Arendt (1906–1975), Norbert Elias (1897–1990), Michel Foucault (1926–1984), Thomas Hobbes (1588–1679) dan Max Weber (1864–1920).
Kekerasan oleh Galtung (1975) di definisikan sebagai kondisi sedemikian rupa yang mempengaruhi realisasi jasmani dan mental aktual manusia sehingga berada di bawah realisasi potensialnya (sub-human). Galtung mengantarkan pemahaman yang lebih luas mengenai kekerasan, yang menurutnya tidak saja terlihat dalam bentuk tindakan memukul, melukai, menganiaya sampai dengan membunuh. Galtung lebih spesifik mengarahkan pemahaman kekerasan berdasarkan dampak yang dihasilkannya terhadap orang perorangan maupun kelompok yang dilakukan oleh orang perorangan maupun kelompok lainnya. Ada semacam hubungan memengaruhi antara tindakan dan dampak kekerasan yang ingin ditampilkan Galtung.
Hubungan memengaruhi antara tindakan, dampak dan begitu seterusnya berulang kali tanpa ujung menghasilkan tindakan yang oleh Camara (1998) digambarkan layaknya spiral – kekerasan. Spiral kekerasan menggambarkan bagaimana hubungan memengaruhi antar kondisi sub human, pemberontakan dan sikap represi, sebagai berikut:
Gambar 1. Spiral Kekerasan (Dom Helder Camara, 1997)
3 Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan yang mengakibatkan adanya kondisi sub human (kekerasan nomor satu). Kondisi ini yang selanjutnya memicu kekerasan nomor dua, yaitu pemberontakan di kalangan masyarakat atau kelompok-kelompok dalam kondisi sub human. Munculnya kekerasan nomor dua untuk melawan kekerasan nomor satu menjadikan penguasa atau negara berhak dan memiliki kewenangan untuk memelihara ketertiban meskipun dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan, inilah kekerasan nomor tiga. Ketiga kekerasan tersebut alih-alih parsial bekerja dan dampaknya, justeru membangun jejalin kerja dalam satu waktu yang bersamaan. Camara menegaskan bagaiamana kekerasan menimbulkan kekerasan lainnya (violence beget violence). Bentuk-bentuk kekerasan oleh Galtung (1975) digambarkan dalam bentuk segitiga dengan keterikatan erat satu sama lainnya, seperti digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Segitiga Kekerasan (Galtung, 1975)
Dalam kasus konflik antara kelompok masyarakat dan negara disertai kekerasan yang dilakukan oleh kedua pihak, Arendt (1958) melihat kekerasan dilahirkan sebab adanya gap antara kekuatan dan tanggungjawab pada kelompok masyarakat maupun negara, termasuk di dalamnya gap yang terjadi pada relasi sosial keduanya. Dalam pemahaman Arendt manusia adalah subyek syarat kepentingan, dan oleh syaratnya kepentingan manusia maka kekerasan demi kekerasan tidak dapat terhindarkan guna mendapatkan kebebasan untuk memenuhi segala kepentingan manusia.
Seakan sepakat dengan apa yang diyakini oleh Arendt, Yasraf (2004) berpendapat, ketika negara menjadi agen kekerasan dam kejahatan terhadap masyarakat, maka kejahatan akan menemukan tempat persembunyiannya yang sempurna-criminalis perfectus.
4 Tadjoedin (2002) mengelompokan aksi kekerasan dalam pembangunan berdasarkan jenis kelompok yang terlibat menjadi empat kategori: 1. Kekerasan komunal (communal violence): yaitu kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat/komunal atau bisa berupa satu kelompok diserang oleh kelompok lain. 2. Kekerasan separatis (separatist violence): yaitu kekerasan sosial antara negara dan masyarakat (daerah) yang berakar pada masalah separatisme daerah, yaitu gerakan yang dimotivasi oleh keinginan sebagian masyarakat di daerah-daerah tertentu untuk memisahkan diri dari negara 3. Kekerasan negara-masyarakat (state-community violence): yaitu kekerasan antara negara dan masyarakat yang mengekspresikan protes dan ketidakpuasan mereka kepada institusi negara tanpa motif separatisme 4. Kekerasan hubungan industrial (industrial relations violence): yaitu kekerasan sosial yang terjadi dalam masalah hubungan industrial. Hubungan industrial disini bisa bersifat eksternal atau internal. Kekerasan hubungan industrial ‘eksternal’ berarti konflik antara masyarakat dengan perusahaan, sedang ‘internal’ berarti konflik antara buruh dengan perusahaan (konflik perburuhan).
Dari sudut pandang antropologis, Marshana Windhu (1997) melihat kekerasan sebagai adanya perbedaan antara harapan ideal (cita-cita untuk hidup lebih baik) dengan potensi yang dimiliki kelompok masyarakat yang tidak terlembagakan.Windhu melihat adanya tindakan menyengaja yang dilakukan pihak di luar satu kelompok masyarakat yang menjadikan potensi kelompok masyarakat tidak maksimal digunakan menuju cita-cita kehidupan yang lebih baik.
Negara, dalam hal ini menjadi mesin kejahatan, yang didalamnya kejahatan (kekerasan, penculikan, pemerasan premanisme bahkan pembunuhan) menjadi bagian struktural dalam pelanggengan kekuasaan. Monopoli kekerasan yang dilakukan oleh negara menurut Yasraf bekerja dengan halus dan perlahan melalui permainan hukum pada tingkat bahasa, tanda dan citra; simulakrum keadilan. Seolah-olah kekerasan dan kejahatan itu hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang antipemerintah, seolah-olah kekerasan itu murni terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan, seolah-olah kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan kejatuhan rezim yang berkuasa.
5 Pembangunan Fromm (1995) melalui pendekatan “humanistic pshycoanalysis” memaparkan adanya proses pengembangan orientasi yang dialami masing-masing manusia untuk mengembangkan diri ke arah kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran sebelumnya dalam “Fear of Freedom” (Fromm, 1942) mengenai apa yang disebutnya “libido development”. Manusia menurut Fromm, untuk kepentingan pengembangan diri dan kehidupannya, memiliki potensi untuk mencipta dan menghancurkan, mencintai dan membenci, keduanya bukan merupakan perihal yang terpisah dan independen satu sama lain. Gagasan instingsifitas manusia adalah pengajuan Fromm untuk mengurai keberadaan manusia dalam dinamika kehidupan sosial, bahwa kelampauan manusia (masa-masa dimana manusia berada dalam ke-purba-an beserta tindakan-tindakan berdasar ke-purba-annya)
Semua konsep pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Manusia (Kartasasmita, 1996). Karena, pada dasarnya manusia berkeinginan untuk membangun kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya dengan berlandaskan pada kemampuannya dan dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Konsep-konsep pembangunan di Dunia Ketiga (Dunia Pertama adalah kelompok negara barat dan Dunia Kedua adalah kelompok negara komunis) berkembang menurut paham ekonomi politik yang garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang mengikuti strategi ekonomi pasar dan strategi ekonomi sosialis. Dalam kenyataannya, pada awalnya meskipun tidak berada dalam kubu komunis, negara berperan besar dalam perekonomian dan pembangunan negara-negara berkembang. Hal itu dapat dimengerti karena institusi-institusi lain belumlah terlalu berkembang. Pelibatan warga dan negara tentu saja niscaya bagi pembangunan. Warga memerlukan politik (kebijakan) yang didelegasikan kepada negara untuk menyelenggarakan pembangunan, negara dengan demikian, memiliki tanggungjawab untuk mensejahterakan warga atas nama pembangunan (Arendt, 1958). Membicarakan hubungan antara negara dan masyarakat pada hakikatnya adalah membicarakan suatu hubungan kekuasaan, ialah antara yang berkekuasaan dan yang dikuasai. Dalam banyak pembicaraan, “negara” - yang terpersonifikasi dalam rupa para pejabat penyelenggara kekuasaan negara, baik yang berkedudukan dalam jajaran yang sipil maupun yang militer - itulah yang sering diidentifikasi sebagai sang penguasa.
6 Sementara itu, yang seringkali hendak diidentifikasi sebagai pihak yang dikuasai tidaklah lain daripada si “masyarakat”, atau tepatnya para “warga masyarakat” (yang dalam banyak perbincangan sehari-hari disebut 'rakyat').
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang modern, hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat bukan lagi model klasik-otokratik . Sepanjang sejarah dalam dua abad terakhir ini hubungan itu kian digeserkan ke model yang demokratik, dengan keyakinan bahwa kekuasaan negara tidaklah bersifat kodrati, melainkan hak-hak manusia individual warga negara itulah yang asasi dan asali. Adalah proposisi paradigmatik model demokratik menegaskan bahwasanya seluruh kekuasaan para pejabat negara itu adalah dan hanyalah derivat saja dari hak-hak asasi manusia warganya, yang oleh sebab itu haruslah diterima sebagai sesuatu yang limitatif sifatnya.
Konsep demokrasi - yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein) berkonsekuensi logis pada konsep bahwa sejak dalam statusnya yang di dalam kodrati, sampaipun ke statusnya sebagai warga negara, manusia-manusia itu memiliki hak-hak yang karena sifatnya yang asasi tidak akan mungkin diambil alih, diingkari dan atau dilanggar (inalienable, inderogable, inviolable) oleh siapapun yang tengah berkuasa.
Pengelolaan kesejahteraan, betapapun demokrasi terpenuhi, tetaplah tidak mampu menutup kerentanan terjadinya kekerasan pada proses pembangunan sebuah negara. Alih-alih demokrasi mampu menampung dan menyalurkan keadilan, konflik kepentingan dari dan kepada masyarakat agar aspirasi dan keadilannya terpenuhi memenuhi ruang demokrasi. Pembangunan dengan demikian memang sangat rentan dengan tindak kekerasan.
Dari paparan di atas, pembangunan dalam sebuah negara bukan merupakan bagian parsial dari kehidupan sosial masyarakat, apalagi jika masyarakat sebuah negara terkelompok berdasarkan agama, kelompok, suku dan ras. Perbedaan persepsi dan praktik-praktik antara masyarakat dan negara tentang penyelenggaran kebijakan oleh negara sangat mungkin terjadi dalam pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan oleh negara dan masyarakatnya dengan demikian memungkinkan terjadinya kekerasan yang berbanding lurus dengan dinamika pembangunannya. Lantas seperti apa kekerasan bekerja dalam pembangunan?, bagaimana kekerasan bekerja dalam pembangunan?
7 Simulasi kekerasan dan Post violence Hubungan masyarakat dan negara dalam pembangunan sebagai komponen utama pencapaian kondisi kehidupan lebih baik-yang telah dipaparkan sebelumnya- inilah yang menjadi fokus dalam makalah ini sebagai usaha untuk menelusuri bekerjanya kekerasan dalam pembangunan melalui pendekatan simulasi kekerasan.
Oxford Advanced Learner’s mengartikan simulasi sebagai (1) sebuah situasi yang di dalamnya kondisi tertentu diciptakan secara artifisial (lewat komputer) dalam rangka mendapatkan pengalaman tentang sesuatu yang ada dalam realitas dan (2) tindakan berpretensi seakan-akan sesuatu itu nyata, padahal tidak. Baudrillard (1983) menjelaskan bahwa simulasi adalah sesuatu yang tidak menduplikasi sesuatu yang lainnya sebagai model rujukannya, tetapi menduplikasi dirinya sendiri. “…sesuatu itu dikatakan simulasi, selama ia berlawanan dengan representasi”, demikian yang ditegaskan oleh Baudrillard.
Dalam pandangan Baudrillard, simulasi bukanlah ke-seolah-olah-an (as if) yang lebih nyata dari kenyataan yang disalinnya, yang tetap merujuk kepada kenyataan. Simulasi melepaskan dirinya dari realitas, lantas mendefinisikan dirinya berdasarkan apa yang ia inginkan tampak (image) sebagai realitas. Simulasi, dalam hal ini, menjelaskan penciptaan sebuah kondisi tertentu (wahana teknologi, media, sosial, politik, budaya) secara artifisial 3 –dengan menggunakan teknologi mutakhir- sehingga benar-benar dapat dilihat dan dialami sebagai sebuah fakta yang nyata, padahal ia tidak lebih dari hasil manipulasi teknologis.
Baudrillard tidak membatasi istilah simulasi hanya untuk menjelaskan fenomena teknologis tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena yang sangat luas seperti simulasi sosial, politik, hukum, media, teror, perang, skandal, seni, musik, televisi, seksualitas dan bahkan spiritualitas. Melalui proses duplikasi (copy) dengan menggunakan ikon (icon), simulasi telah menghantarkan manusia dalam kondisi seolah-olah (as if) yang awalnya ditandai oleh keserupaan (resemblance) dari yang asli (original) yang dianggap lebih tinggi dari nilai sesungguhnya.
3
Artifisial disini menggambarkan kondisi yang serba permukaan, dangkal dan serta tidak mampu lagi menemukan jalan kembali ke arah realitas alamiah, kekayaan kultural dan kedalaman pengalaman transedenta. Yuliar(2009) menggambarkan kondisi ini sebagai adanya efek amplifikasi atau reduksi yang ditandai dengan hilangnya pengalaman indrawi manusia (agen human) saat ektivitasnya telah didelgasikan kepada artefak teknologi.
8 Simulasi selanjutnya melepaskan diri dari rujukan realitasnya dan menyuguhkan kondisi yang berbeda, inilah realitas yang melampaui realitas itu sendiri (hyperrealitas) 4 . Simulasi menawarkan kecabulan (obscene), artinya, kecabulan berkaitan dengan situasi ketika segala sesuatu ditampilkan diceritakan, dipertontonkan, difilmkan, ditelevisikan secara tanpa batas tanpa perlu ada lagi saringan. Ia ditunjuk telah cabul ketika ‘ke-seolaholahan’ ditawar-paksakan sebagai kebenaran. Disanalah kekerasan bersemayam pada saat realitas sengaja disembunyikan kebenarannya, kekerasan beranak pinak dan tumbuh membangun dirinya dalam ruang simulasi, me [R]evolusi diri sebagai pemilik wajah kebaikan bahkan lebih baik dari kebaikan itu sendiri (Post violence).
Ketika pengetahuan dan kebijaksanaan palsu digelar di atas sebuah institusi (negara, hukum, politik, ekonomi), maka yang tercipta adalah berbagai kekerasan simbolik pada tingkat wacana komunikasi sosial dan politik. Kekerasan berlangsung saat sebuah sistem kekuasaan menggunakan kekuasaan dan institusinya dalam mendefinisikan realitas sesuai dengan selera dan kepentingannya.
Sebelumnya telah dijelaskan betapa kekerasan seperti yang oleh Galtung didefinisikan sebagai kondisi sedemikian rupa yang mempengaruhi realisasi jasmani dan mental aktual manusia sehingga berada di bawah realisasi potensialnya (sub-human), maka simulasi kekerasan mengarah kepada hilangnya kesadaran manusia atas potensi jasmani dan mental aktualnya. Pada kasus kekerasan yang dimaksud Galtung, -meminjam istilah Freirre- pelaku kekerasan (oppressor) dan korban kekerasan (oppresed) kehilangan kesadaran atas kondisi kekerasan yang terjadi. Pelaku kekerasan tidak menyadari sikap dan tindakannya sebagai kekerasan, demikian pula sikap dan tindakan korban kekerasan yang tidak merasa pengaruh kekerasan. Dalam post violence siapa pelaku kekerasan dan siapa yang dikenai tindakan kekerasan tidak lagi dapat dibedakan. Dalam post violence kekerasan sedemikian rupa melakukan sikap dan tindakannya sendiri kepada “pelaku” dan “korban” yang sejatinya adalah “korban” tindakan kekerasan, sebab siapapun yang hilang kesadarannya atas kekerasan –dalam post violence- merupakan korban kekerasan.
4
Hyperealitas adalah sebuah kondisi yang didalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui, dalam pengertian diambil subtitusi- subtitusinya ,yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut “yang nyata”. “Hyper” memiliki padanan kata “post” untuk menjelaskan sebuah kondisi yang “melampaui” apa yang senyatanya kondisi.
9 Mengenai kesadaran sendiri, Freirre (1981) menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kelompok. Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. . Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan.
Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Masih menggunakan pemisalan permaslahan kemiskinan, kesadaran naif menunjuk sebagai yang “salah”. Kesadaran naif menggambarkan kemiskinan disebabkan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya “membangunan”.
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat.
Post violence meruntuhkan seluruh kesadaran atas kehadiran kekerasan dalam kehidupan sosial. Pelaku, korban bahkan kekerasan itu sendiri begitu sulit untuk diurai definisikan sebagai kenyataan. Sampai pada kondisi seperti ini, Freirre menyebutnya budaya bisu yang menenggelamkan (sub merge culture of silent), sebuah kondisi kultural masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasan sendiri sehingga diam dianngap suatu tindakan sopan dan harus ditaati, sebuah kondisi masyarakat terpasung (captive society).
Begitulah kecerdikan Post violence menundukan kekerasan, yang dibuktikan dengan biasnya definisi, bentuk, motif , modus operandi bahkan dampaknya sekalipun dalam kehidupan manusia. Melakukan tindakan kekerasan dalam post violence dapat berupa tindakan-tindakan kebaikan, tidak kurang, pun agama disertakan sebagai dasar tindakannya. Dampak tindakan kekerasan dalam Post violence tidak berupa kerugian-kerugian materil maupun non materiil, namun juga kemanfaatan-kemanfaatan yang berguna bagi kehidupan –sosial- manusia. Post violence tidak berselingkuh dengan teori-teori konspirasi apapun, ia hanya ada sebagai dirinya.
10 Simulasi kekerasan pembangunan dengan demikian menunjuk kepada kondisi tertentu atau kondisi yang mempengaruhi realisasi jasmani dan mental aktual manusia maupun kelompok dalam negara sehingga berada di bawah realisasi potensialnya (sub-human) dalam usahausaha masyarakat dan negara mencapai kehidupan lebih baik (pembangunan), dimana definisi, bentuk dan luas wilayah kerjanya tidak lagi mampu dipisahkan dari pembangunan itu sendiri. Kekerasan dalam pembangunan semakin sulit untuk diurai-definisikan sebab simulasi telah mereproduksi kekerasan tampak sebagai hal yang baik bagi pembangunan, bahkan mungkin mewakili dirinya sebagai pembangunan.
Post violence dalam simulasi pembangunan Relasi masyarakat dan negara, baik relasi kekuasan maupun interelasi 5 di dalam jaringan kerja antara keduanya dalam cita-cita pembangunan memiliki kekuatan stabil (nash equilibrium). 6 Masyarakat dan negara yang ditawarkan oleh pembangunan memiliki gambaran yang indah dimana satu sama lain bahu-membahu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi keduanya. Masyarakat, sebab telah mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk melakukan pengelolaan kesejahteraan, akan mendukung dengan totalitas kepada apapun yang dianggap negara perlu untuk pembangunan. Demikian pula negara, kekuasaan yang diembannya atas nama masyarakat, merasa perlu melakukan tindakantindakan apapun demi tercapainya cita-cita pembangunan.
Pembangunan dalam kondisi seperti itu, jelas tidak memperlihatkan adanya binnary opposition, 7 tindakan kekerasan tidak tampak dalam kehidupan sosial yang sejahtera. Kekerasan pada kondisi pembangunan seperti yang dicita-citakan oleh masyarakat dan negara mengutuk tindakan kekerasan, bahkan menolaknya ada sebagai sebuah kenyataan, tidak sampai disitu, kekerasan disepakati oleh masyarakat dan negara tidak pernah terjadi pada interelasi. Kekerasan bersembunyi rapih dalam tema pembangunan, bahkan berhasil melekatkan diri pada praktik-praktik pengelolaan kebijakan dan kekuasan atas nama kesejahteraan dan pencapaian hidup bersama yang lebih baik.
5
Pemahaman interelasi diawali dengan munculnya gagasan aksi. Aksi dalam pemahaman ini tidak semata terjadi karena aktor telah mengaktulisasikan potensi-potensi yang sudah lengkap ada pada dirinya. Lihat kembali Yuliar (2009) 6 Nash equilibrium menggambarkan situasi dimana dua kekuatan yang berlawanan mencapai suatu keadaan yang stabil. Hal ini tidak harus berarti bahwa kedua kekuatan yang berlawanan itu mempunyai kekuatan yang sama 7 Oposisi pasangan (binnary opposition): prinsip pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya.
11 Berbagai kekerasan yang dilakukan oleh negara memperlihatkan sangat kompleksnya pertautan antara kekuasaan dan kekerasan. Simulasi kekerasanpun diciptakan, tujuannya, adalah untuk menciptakan image, bahwa seluruh kekerasan merupakan satu tindakan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga selalu memunculkan image bahwa hanya kelompok tertentu saja yang dianggap melakukan kekerasan ditujukan kepada negara.
Kekerasan ini dilihat dalam kerangka post violence. Negara atau kelompok politik menciptakan skenario, misalnya tentang adanya ancaman (geng, preman, teroris, dukun santet) di dalam masyarakat, yang menciptakan rasa tidak aman dan ketakutan. Ancaman itu menimbulkan kecurigaan diantara kelompok masyarakat, sehingga menimbulkan konsolidasi sosial dalam masyarakat. Kekerasan diciptakan dengan membunuh seseorang anggota masyarakat (semisal tokoh masyarakat, pemangku adat atau pejabat pemerintah lokal) yang kemudian membangkitkan sentimen sosial, solidaritas sosial dan sikap defensif. Skenario yang sama diciptakan pula untuk menciptakan image adanya pertentangan sosial antara etnis, faktor ekonomi lebih mudah sebagai pemicu munculnya konflik sosial dan akhirnya berujung kepada kekerasan.
Contoh lainnya adalah munculnya ancaman tindakan kekerasan yang rentan terjadi pada hari peringatan anti korupsi sedunia. Sebab adanya ancaman yang dapat merugikan kehidupan sosial akibat terjadinya kekerasan yang ditandai dengan kerusuhan massa, maka negara dalam hal ini memiliki kewenangan untuk menangkap dan mengadili perencana dan pelaku bahkan saat isu belum terbukti sama sekali.
Atas nama pembangunan, tindak kekerasan terhadap pedagang kaki lima yang menyertai relokasi pedagang layak diberlakukan untuk alasan-alasan keindahan dan ketertiban. Perangkat-perangkat hukum dan praktik penegakannya telah menjadikan kekerasan yang dilakukan oleh negara dan masyarakat terlihat sah dan wajar saja terjadi. Demikian juga penggusuran lahan masyarakat yang seringkali disertai dengan tindakan kekerasan, sah bahkan harus dilakukan demi terbebasnya Ibukota Negara dari ancaman banjir.
Tindakan kekerasan terhadap seorang perempuan baya akibat mencuri tiga buah cokelat pun sah dimata hukum dan diperbolehkan untuk memenjarakannya.
12 Lengkap sudah kekerasan menjelma dengan wajah kebaikan yang menyelimuti praktikpraktiknya dalam pembangunan. Banyak kasus yang memperlihatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara tidak tampak sebagai kekerasan sejatinya. Yang paling ironis dari segala bentuk kekerasan dalam interelasi sosial masyarakat dan negara dalam pembangunan adalah hilangnya kesadaran kolektif akan realitas kekerasan yang juga hadir dan berperan dalam pembangunan. Baik masyarakat maupun negara sepakat untuk menolak adanya bentuk kekerasan dalam pembangunan yang dicita-citakan bersama.
Wajah kekerasan tidak lagi hadir dalam bentuk buruk, mengerikan, menyeramkan dan durjana. Post violence manjadikan negara dan masyarakat sepakat bahwa kerugian, kerusakan, tangis, darah dan nanah dari luka personal maupun kelompok wajar saja terjadi demi pembangunan yang dicita-citakan. Kekerasan –dalam post violence- diwajarkan terjadi untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan pembangunan.
Kekerasan sempurna adalah kekerasan yang dengan jitu membunuh realitas, yang menikam kebenaran, yang menusuk keadilan atas nama pembangunan. Apakah kemudian post violence akan mengarahkan masyarakat dan negara dalam post development?. Pertanyaan ini patut selanjutnya diajukan secara kritis.
.
13 Rujukan: 1. Erich Fromm, The Sane Society. London and New York, 1995. 2. Erich Fromm, The Fear of Freedom. Britain, 1942. 3. Ginanjar Kartasasmita. Power dan Empowerment: sebuah telaah mengenai konsep pemberdayaan masyarakat. 1996. 4. Hanah Arendt. On Violence. Harcourt Brace. New York, 1970. 5. Hanah Arendt. The Human Condition. The University of Chicago Press, 1958. 6. I. Marshana Windhu. Kekusaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Kanisius, 1997. 7. Jean Baudrillard. Simulations, Semiotext(e). New York, 1983. 8. Johan Galtung. Violence, peace, and peace research, Journal of Peace Research, 1975. 9. Mansour Fakih, Roem Topatisamang, Toto Rahardjo. Pendidikan Popular. Membangun kesadaran kritis. Read Book, 2000. 10. Mohammad Zolfan Tadjoedin. Anatomi kekerasan sosial dalam konteks transisi: Kasus Indonesia 1990-2001. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR), 2002. 11. Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981. 12. Paulo Freire. Pedagogy of the Oppresed. New York:Praeger, 1986. 13. Sonny Yuliar. Tata kelola teknologi, perspektif teori jaringan aktor. Institut Teknologi Bandung, 2009. 14. Umberto Eco. Travel in Hyperreality. Picador, Londor. 1986. 15. Yasraf Amir Piliang. Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra, 2004. 16. Yasraf Amir Piliang. Dunia yang dilipat. Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan. Jalasutra, 1998.