Budaya Kekerasan Di Indonesia

  • Uploaded by: Khaerul Umam Noer
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Budaya Kekerasan Di Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 529
  • Pages: 2
Budaya Kekerasan di Indonesia: ada apa sebenarnya? Hari minggu (1 Juni 2008) menjadi mimpi buruk bangsa ini. Sesama anak bangsa saling menyerang di Taman Monas, padahal sebagian besar dari mereka sedang merayakan hari lahir Pancasila. Adalah Front Pembela Islam (FPI) dikabarkan menyerbu AKKBB di Monas. Menurut FPI mereka menyerang karena AKKBB ditunggangi oleh tujuan lain, yakni mendukung Ahmadiyah. Apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia? Mengapa pula agama justru menjadi tameng sekaligus senjata untuk menyerang? Mengapa agama juga dijadikan sebagai justifikasi atas serangan tersebut. Saya teringat dalam sebuah buku yang ditulis oleh Dan Brown yang menyebutkan kesamaan antara pemeluk agama yang fanatik dengan tentara yang siap berperang. Secara pribadi saya menolak tindakan yang dilakukan oleh FPI, saya pun menolak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Saya pernah berkata pada teman saya, bahwa justifikasi perang atas dasar agama hanya dapat dilakukan dengan dua syarat: Pertama, Tuhan sendiri yang menyampaikan secara langsung bahwa satu golongan harus diperangi atau golongan tersebut menyerang terlebih dahulu. Bagaimana dengan kasus FPI? Teman saya berkata bahwa tindakan tersebut menjadikan FPI sebagai sasaran jihad baru. Persoalannya adalah, jika setiap orang berperang atas nama Tuhan, apakah ada jaminan yang dia lakukan disetujui oleh-Nya dan mendapatkan pahala di sisi-Nya. Harusnya ada persoalan lain yang menyangkut kebringasan FPI. Sejenak saya terpekur dan menyadari, bahwa bukan hanya FPI yang memiliki budaya kekerasan. Saya harus mengakui bahwa Indonesia memang memiliki budaya kekerasan dalam masyarakatnya. FPI boleh jadi termasuk kelompok yang membonceng agama dalam melaksanakan budaya kekerasan, ada pula yang menggunakan unsur kesukuan seperti Front Betawi Rempug (FBR), ada pula yang menggunakan unsur budaya lokal seperti perilaku carok yang dilakukan oleh orang Madura. Satu hal yang harus diingat bahwa budaya kekerasan bukan lah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Saya meyakini bahwa tidak ada orang secara tiba-tiba melakukan tindak pembunuhan tanpa disertai motif di baliknya. Tindakan carok selalu dilakukan karena terjadinya pelecehan harga diri laki-laki madura sehingga menimbulkan rasa todus dan malo. Persoalannya adalah, saya tidak meyakini ada preseden tertentu yang menyulut perilaku amukan FPI. Tentu saja saya harus adil pada FPI, toh masih banyak organisasi yang lebih brengsek. Budaya kekerasan tidak harus dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya atau antarkelompok, namun dapat juga terjadi antara individu dan kelompok. Saya misalnya, walaupun sesama orang Betawi, tapi saya paling anti terhadap mereka yang tergabung dalam organisasi massa yang membawa kebetawian sebagai identitas. Tentu saja sikap saya ada pemicunya. Dalam banyak kesempatan saya merasakan bahwa mereka yang tergabung dalam organisasi betawi, apakah itu FBR, FSMB, POB dan lainnya tidak membawa nilai betawi atau memahami nilai betawi secara utuh sehingga yang dimunculkan justru sosok betawi yang beringas. Saya juga mencela mereka yang secara sepihak menjadikan agama sebagai bumper mereka. Meskipun saya tidak setuju terhadap gerakan Ahmadiyah, tapi saya curiga bahwa mereka yang saat ini menggoyang Ahmadiyah iri terhadap akses ekonomi yang dimiliki Ahmadiyah. Dalam satu milis saya

pernah mengusulkan agar Ahmadiyah dijadikan sebagai agama baru, tapi kemudian saya menyadari implikasi usul tersebut. Jika Ahmadiyah jadi agama baru yang diakui, apakah hal ini tidak membuat iri golongan mistik kejawen, sebab kalau mau jujur, Ahmadiyah itu kan produk import dari luar. Kembali ke kasus budaya kekerasan, nampaknya budaya kekerasan tidak hanya muncul sebagai bagian dari konfigurasi kebudayaan yang ada di Indonesia

Related Documents


More Documents from ""