Silsilah Rasail : [ Bagian ke 2 ] “ Bintang itu Mulai Meredup ”
1
Setelah sekian waktu..., menunggu jeda berlalu... Seperti kataku..., dalam Silsilah Rasail Jilid ke satu... “Di penghujung risalah singkat pertama ini...., perkenankanlah aku sebagai kawan, murid, sekaligus pengagum Ustadz Hardi untuk menyampaikan beberapa “ganjalan” di dalam hati.... Semoga jawabnya ada di ujung pena Ustadz Hardi....”
Kuharap kau baca suratku..., kau pikirkan hingga hatimu tak ragu... Kuharap hatimu tak sekeras batu..., tak sekedar ikuti hawa nafsu... Kususun ini untukmu..., karna kau pernah jadi guruku... Tak penting siapa daku..., biarpun mungkin dicap majhul & palsu... Kuharap kau tak tulis malzamah baru...,yang buat kita jadi padhu... Hewan-hewan yang lucu & seru..., kau selipkan untuk musuhmu... Silakan liat halaman depan..., ada gambar tempe untuk santapan... Cukup pengantarku sekian..., buka halaman lanjut kupersilakan...
2
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ
Ustadz Hardi Si Penderita Schweigger Ludovici Syndrome Sekadar mukaddimah singkat… Sungguh membicarakan sosok Ustadz Hardi bin Sukaya tak akan pernah habis... ’Ajaaib wa Gharaaib… Sungguh benar-benar akan membingungkan orang berakal… Dalam bahasa sederhana, Ustadz Hardi bin Sukaya bisa jadi menderita penyakit kejiwaan… Schweigger Ludovici Syndrome … Ya...na’am.... Schweigger Ludovici Syndrome. Sindroma ini ditandai dengan wajah memerah dan terdiam (memendam dendam) ketika pendapatnya tidak disetujui oleh lawan bicara... Lantas, dia akan menandai lawan bicara yang tidak sependapat dengannya menjadi musuh besar… Pada tahap lebih lanjut, sindroma yang dia rasakan
akan
mendorongnya
melakukan
upaya-upaya
untuk
menghancurkan pribadi lawan bicaranya… Keadaan ini akan diperparah bila si penderita mengalami tanaaqudhaat (pernyataanpernyataan yang saling bertentangan)… Silakan membaca tulisan
sahabat lama, Akhi Fillah Abi
Mahfudzh “Catatan Ringan untuk tulisan Abu Fairuz”… Atau, bila anda berminat, silakan membaca karya Ustadz Hardi yang setumpuk itu. Namun pembaca jangan menyesal karena habis waktu dan energi, sebab terus terang saja bahwa tulisan itu tak
3
berbobot... Tulisan itu sarat sekali dengan ‘adamu muwaafaqatid dalil bi wajhil istidlaal wal haal (tidak ada ketepatan antara argumen, cara memahami argumen serta masalah yang sedang dibahas)… Pasti anda akan sependapat dengan saya… Allahumma Sallim… sallim… Al ‘Afiyata ya Allah yaa Rahiim… Penderita sindroma semacam ini akan merasakan
kepuasan
batin dan ketenangan jiwa apabila hasil olah pikirnya mendapatkan pujian dan tersebar luas… Tidak ada lagi tolak ukur untuk menentukan lawan atau kawan. Bisa jadi, yang dahulu kawan akan dijadikan lawan dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi kawannya lagi… atau sebaliknya…. Allahul Musta’aan… Berikut ini komentar pendek untuk Ustadz Hardi bin Sukaya… menambah sederet bukti bahwa dia memang mengalami Schweigger Ludovici Syndrome.… yaitu kelembutan berubah menuju rigiditas alias kaku dan frigiditas alias dingin…. Nalurinya lebih menyenangi kehidupan hewan dan binatang…. dalam patah-patah hurufnya ”Turun Sejenak dari Arena Gulat …”. ‘abdul Kariim bin Hardjawijata bin Resadimeja, Demang di Trenggalek Jawa Timur (kawan, murid, sekaligus pengagum Ustadz Hardi)
4
Lembar Halaman Muka Bismillahirrahmaanirrahiim…… Waktu asar sudah tiba… Amat cerah petang itu… Langit tiada awan berarak, hening, jernih sangat memukau… Matahari bersinar terang, tiada segumpal awan pun menghalanginya... Dirinya beradu wajah, berkaca di sungai yang mengalir, memacak diri berhias rona yang mulai lembayung.... Lereng bukit dan pucuk pepohonan bagai disepuh rupanya… Tetapi lembah dan lereng, tempat nan landai berpendar cahaya buram… Di lembah itulah letak sebuah perkampungan, tak jauh dari pusat kota Trenggalek… Dalam sebuah surau, di tepi sungai, terdengar orang membaca Al Qur’an dengan tartil… Suaranya amat merdu, turun naik beraturan… Apatah lagi suara sendu merdu merayu itu teriring gemericik air sungai nan mengalir... Sungguh makin terasa meneduhkan hati... Seakan dari sungai itulah asal suara mengalun... Lamat-lamat menghilang, timbul, antara ada dengan tiada…
5
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. 17:44)
____________________________________________ ______________________________
6
Ada rasa dalam “Turun sejenak dari arena gulat” Membaca syair “Turun sejenak dari arena gulat” hanyalah membuat peluh bercucur di muka...Tak manfaat ku dapat, waktu habis
terbuang...
Mungkin
orang
hendak
berucap,”Bukankah
bersyair itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya badan jauh jua karenanya?”... Ingat pula, tapi ada jua orang berujar, “Bersyair itu hanya perintang-rintang duduk… Tidak masuk hati, melainkan untuk mematahkan lidah dalam bahasa itu saja”… Amboi… Bila kiranya “jamuan” untuk sastrawan “tirai” yang memikat, diubahkanlah menjadi syair-syair Arab… Memilih sebuah samudra dari “samudra-samudra” Buhuur 1 … Bolehlah orang nak memilih Bahr Al Kaamil,”mutafaa’ilun” hendak diulang enam kali… Atau
orang
nak
mencoba
Bahr
As
Sarii’
karena
tergegas,”mustaf’ilun mustaf’ilun maf’uulaatu” silahkan diulang dua kali… Atau orang ingin memilih ”keledai” para pujangga Bahr Ar Rajaz, mengulang enam kali “mustaf’ilun”… Hendak turun rehat aku dari arena gulat tuk membaca tumpukan syair “Turun sejenak dari arena gulat”… Bukannya aku beristirahat, namun tenang hati menjadi hilang, begitu pun nikmat
1
Dalam bahasa arab, bait-bait syair telah ditentukan bentuk dan rumusnya. Bentuk dan rumus itu dinamakan buhuur, bentuk jamak dari bahr. Bahr banyak macamnya, sesuai dengan tujuan dan kepandaian si penyair.
7
nyata tak ku dapat… Justru jiwaku semakin menggelora untuk turut serta dalam arena “gulat”… Janganlah tuan memuji… Yang memuji tentulah lebih berhak tuk dipuji… Yang dipuji tidaklah lebih baik dari yang memuji… Aku beranikan diri berhias kata, bukan lain karena terikut guru tercinta, Ustadz Hardi yang rupanya sudah pandai menyusun katakata….
Membaca “Turun Sejenak” hanya menimbulkan luka nyeri di dada… Beginikah hasil menimba ilmu dari majelis alim ulama’…?? Saat membaca aku dalam kecemasan yang amat sangat… Tegak resah... dudukpun gelisah, sedikit pun tiada senang berdiam diri…. Bukannya lembut berperibahasa malah dengan bangga memilih kasar dalam berkata…
__________________________________________ _____________________________
8
Selaksa Doa buat Asatidzah Salafiyyiin Nusantara Pisang emas bawa berlayar masak sebiji di atas peti Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua Hancur badan dikandung tanah budi baik terkenang jua Teruntuk Asatidzah Salafiyyin Indonesia yang aku cintai… Asatidzah yang amat baik budi pekertinya itu… Dengan sabar dan tulus ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya… Biarpun apa jua yang terjadi atas diri Asatidzah… Asatidzah tidak pernah berputus asa, karena Asatidzah maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau kesengsaraan itu kerap kali membawa nikmat… Iman tetaplah teguh dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana yang datang kepada Asatidzah…
9
Karena pengharapan Asatidzah yang tidak putus-putus itu, selalu Asatidzah mengikhtiarkan diri akan memperbaiki jalan hidup… Aku minta terima kasih banyak-banyak akan nasihat Asatidzah selama ini…. Selama hayat dikandung badan takkan aku lupa-lupakan….. Segala pengajaran Asatidzah, setitik menjadi laut, sekepal menjadi gununglah bagi aku hendaknya….. Mudah-mudahan segala nasihat Asatidzah itu menjadi darah dagingku….
_______________________________________________________ _______________________________
10
Sebening Embun Pagi Sebening itu Harapan Wahai Ustadz Hardi…. Meskipun engkau hanyalah diperalat Abu Turab, tapi percayalah engkau, bahwa kejadian fitnah ini tiada mengharumkan namamu… Biarpun tiada salah, tapi kata Turaabiyyuun tetap saja salah… Tak mau bertepuk sebelah tangan… Yang akan datang aku harap jangan hendaknya terjadi terus macam ini… Aku tiada sudi melihat orang suka berkelahi… Kebanyakan aku lihat anak-anak muda semacam Ustadz Hardi ini, kalau sudah berilmu sedikit amat sombong dan congkak… Tidak berpucuk di atas enau lagi... Pikirnya, tak ada yang lebih daripada dia… Lebih-lebih kalau ia pandai menulis… Dicari-carinya selisih supaya ia dapat menulis, hendak memperlihatkan kecekatannya. Salah-salah sedikit hendak dibantah saja semua orang… Wahai Ustadz Hardi…. Padamu aku harap jangan teruskan tabiat yang demikian… Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri… Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya… Daripada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula… Tirulah ilmu padi, kian berisi kian runduk… Begitulah yang aku sukai dalam pergaulan bersama… Satu pun tak ada faedahnya memegahkan diri, hendak memperlihatkan pandai begini, tahu begitu…
11
Wahai Ustadz Hardi…. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja... Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja… Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu… Berani karena benar, takut karena salah… Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah… Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran… Wahai Ustadz Hardi…. Anak muda, seperti Ustadz Hardi, biasanya lekas naik darah… Hal itu seboleh-bolehnya ditahan… Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar.... Begitu pula halnya dengan hawa nafsu... Hawa nafsu itu tak ada batasnya… Dialah yang kerap kali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan… Jika tak pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa… Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang kedelapan—jika ada langit yang kedelapan… Oleh karena itu, biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas… Hendaklah pandai-pandai memegang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini…. Pikir itu pelita hati... Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu buruk baiknya… Pandai-pandailah diri meniti buih. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya lagi…
12
Wahai Ustadz Hardi…. Lihat-lihat kawan seiring, kata orang….. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat… Jauhi segala percederaan... Bercampur dengan orang alim… Tak dapat tiada kita alim pula… Bergaul dengan Abu Turab, sekurang-kurangnya jadi ajar… Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan… Jangan dengan sembarang orang saja berteman… Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita… Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai…
__________________________________________________________ _______________________________
13
Di Dalam Surat Masih Ada Surat Teruntuk Ustadz Hardi, Pemuda dari Purwosari Kudus
Bismillah...ku mulai surat di dalam surat ini....
Wahai Ustadz Hardi... Masih terngiang di gendang telingaku... tutur lisanmu bercerita... Tentang Pak Koyo, ayahndamu tercinta... Ayah yang ‘kan kau baktikan dirimu untuknya..... Berat....ya...terasa betapa berat.... Betapa berat hatinya demi mendengar keputusanmu meninggalkan bangku kuliah... Ayahmu yang telah pensiun dari Diknas Kota Kudus...meninggalkan sejarah sebagai seorang guru bahkan pimpinan sekolah.... Remuk redam, hancur tak terbilang hati ayahmu.... Entah bagaimana cara untuk menjahit lobus hatinya yang tersayat... Merajut parenkim-parenkim hatinya yang terkoyak.....
....dan...lalu....
Engkau tetap tegar, bersikukuh dalam pendirian.... Ayahmu pun menerima.... Ayahmu pun menerima keputusanmu, Ustadz Hardi..... Membawamu ke Ma’had Minhajus Sunnah, Muntilan.... Kata-katamu benar-benar tersimpan indah dalam relung hati ayahmu... Terbayang oleh ayahmu engkau kan kembali pulang menjadi alim ulama.... Berharap engkau menjadi pelita di tengah kegelapan hati umat muslim Indonesia....
14
Berharap dirimu sebagai lentera jalan hidup mereka.... Berharap engkau ‘kan sebagai guru (digugu lan ditiru).... Berapa banyak harapan yang telah digantung di ujung asanya....di usia yang mulai meredup....
...sebagai orang jawa, Tentu pak Koyo mengharapkan dirimu menjadi seorang pemimpin dengan sifat-sifat yang mulia.... Berjiwa surya, memancarkan sinar terang sebagai tanda kehidupan. Menumbuhkan daya hidup rakyatnya untuk membangun negerinya. Berjiwa candra 2 , memancarkan sinar di tengah gelap malam. Dia harus mampu memberi semangat rakyatnya di tengah suasana duka ataupun suka. Berjiwa kartika 3 , memancarkan sinar kemuliaan, berada di tempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah. Dia harus menjadi teladan perbuatan yang baik. Berjiwa angkasa, luas tak terbatas. Mampu menampung apa saja yang
datang
padanya.
Punya
ketulusan
batin
dan
kemampuan
mengendalikan diri, menampung pendapat rakyatnya. Berjiwa maruta 4 , selalu mengisi semua ruang kosong. Dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajatnya. Berjiwa samudra, betapapun luas...permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya. Berjiwa dahana 5 , berwibawa dan berani.
2
Candra adalah bulan. Kartika adalah bintang. 4 Maruta adalah angin. 5 Dahana adalah api. 3
15
Berjiwa bhumi, kuat dan murah hati serta tidak mengecewakan rakyatnya.
Sifat-sifat seperti inilah yang tentu diharapkan pak Koyo, sebagai priyayi
jawi dari engkau wahai Ustadz Hardi....
Namun.....
Entah bagaimana melukiskan perasaan Pak Koyo, ayah Ustadz Hardi apabila membaca tulisan anaknya yang benar-benar jauh dari sifat-sifat kepemimpinan... Aku katakan, bila membaca tulisan anaknya yang benarbenar jauh dari sifat-sifat kepemimpinan... Di dalam “Turun Sejenak” Ustadz Hardi dengan penuh percaya diri menyebut nama-nama binatang...sebagai bahasa hatinya...
Bagaimana perasaan Pak Koyo bila membaca,
“Ternyata lidah abu bakar berulat” “Kutahu ada pihak berlidah ulat” Allahu Akbar...seperti inikah ucapan seorang tholibul ilmi, apakah tak ada bahasa yang lebih lembut? Kemanakah lemah lembut yang dikenal darimu wahai Ustadz Hardi???
“Anjing menggonggong salafy tetap lewat”
Apakah tidak tersayat hati Pak Koyo yang membaca,
“Tidak mungkin terus melayani lalat” Kalau memang demikian, mengapa engkau masih saja menulis tentang “lalat-lalat”, jujurkah engkau dalam menulis atau engkau hendak berdusta?
16
“Bakar dan lari kayak tikus celurut” Sungguh kotor... Engkau telah melupakan sabda-sabda Rasul yang mengajarkan berbahasa yang indah....
“Kan tampak beda gunung agung dan siput” Jelas berbeda....antara seorang tholibul ilmi yang berbahasa santun dengan seorang pandir yang berbahasa kotor... Memang seperti inikah anak Pak Koyo? Yang menulis dengan bangga,
“Menghindari ular yang ingin memagut” “Dari ular naga sampai cacing perut” Tidak tahukah engkau bahwa “cacing perut” adalah kotor dan menjijikkan? Benar-benar parah Schweigger Ludovici Syndrome yang kau derita.... Sejak kapan pula nama ular naga yang hanya ada dalam alam dongeng jadi sumber inspirasimu ?... Nafsak, nafsak yaa Aba Fairuz....
Seharusnya sebagai seorang ayah akan kecewa pabila anaknya lincah berkata,
“Semoga tak berubah menjadi lalat” “Jangan pedulikan kehadiran lalat” “Tidak mungkin melayani lalat”
Lagi-lagi binatang kotor dan menjijikkan yang dipilih... Cukup wahai Ustadz Hardi...cukup...umat Islam Indonesia tidak membutuhkan bimbingan untuk
pandai
menyebutkan
nama-nama
hewan
yang
menjijikkan....Sayangilah dirimu sendiri...
17
Lebih lanjut Ustadz Hardi menyakiti perasaan saat ia menyusun syair,
“Juga jenis bunglon dan tikus mencicit” “Ada juga tipe ular dan parasit” “Bagai tikus kena siram elektrolit”
Layaknya pawang binatang melata, Ustadz Hardi bercerita,
“Yang senang dengan maker si ular bandot” “Mengira dirinya kobra yang memagut” “Memikat lalat tuk mencium dan lengket” “Rebut kacau dengan suara mencicit” “Baju bunglon bicaranya mulur mungkret”
Pandai ia mencaci orang lain... Duh...duh....betapa kecewa Pak Koyo.... Betapa kecewa hatinya....di usianya yang mulai meredup....
“Andai tampak wajahmu wahai topeng monyet”
Mari saudaraku pembaca.... kita menyimak ucapannya,
“Hasil kloning antara bunglon dan semut”
Sampai separah inikah Ustadz Hardi...hingga menganggap bunglon dapat dikloningkan dengan semut.... Allahul musta’aan. Apakah kau tengah mengigau wahai Ustadz?
Nampaknya Ustadz Hardi gemar bergaul dengan hewan yang lambat dalam berjalan, katanya... 18
“Sementara dia itu Cuma siput” “Lebih mulya daripada bantah semut”
Amat membuat bergidik kata-kata kasarnya... Aaaah....tentu Pak Koyo ‘kan kaget,
“Atau tetap di dammaj menjadi pacet” “Persis si fut miskin syukur adab monyet”
Kembali Ustadz Hardi berlagak sok paham dunia burung,
“Nukil talbis tanpa akal kayak betet” “Atau bahkan mirip beo yang cerewet”
Inilah Ahli Binatang yang melanjutkan studi ke Negeri Yaman.....
Yaa Subhaanallaah.... terang-terangan Ustadz Hardi meminta maaf karena hanya sedikit “teman-temannya” yang disebut... Bayangkan wahai Ustadz Hardi!!!...bagaimanakah perasaan Pak Koyo jika mengetahui anaknya menjadi Pemerhati Hewan... Dengan penuh kesombongan Ustadz Hardi menyapa...
“Afwan baru sedikit bisa direkrut” “Bintang dongeng 6 fable yang mestinya ikut” “Yang lengkap hingga bonbin terkejut”
6
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dongeng itu: 1.Cerita yang tidak benar-benar terjadi. 2.Mengatakan yang tidak benar; berdusta. Wahai Ustadz, dibenarkankah seseorang berucap dengan merujuk pada kisah-kisah dusta?
19
Kasih Suci Seorang Mbakyu Cobalah Ustadz Hardi nak ingat, pesan apa dari kakak satu rahim denganmu… Yang saat ini hidup mencari ketenangan dengan berjual jamur… Kakak perempuanmu yang slalu menyiramkan petuah dan nasehat… Ingatlah ketika engkau meninggalkan bangku kuliahmu… Apakah kakakmu pernah berkata pertanda besar harapan…. “ Adikku Hardi….
Pada ruang mataku, nyata kepadaku apa yang tersimpan dalam dadamu Adikku.... Tetapi apa yang ada padaku berlipat ganda daripada itu..... Harapanku besar, cita-citaku tinggi terhadapmu, Adikku! Kakak minta dengan sangat...., Harapan kakak yang mulia dan suci bersih itu, janganlah kiranya Adinda putuskan...... Jika Adinda abaikan, nyawa kakak tentangannya… Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat, menyimpai teguh untuk selama waktu…. berdiri kokoh diatas al haqq ”
_____________________________________________ ________________________
20
Khatimah / Penutup
Matahari telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, meninggalkan cahaya merah kuning laksana emas selepas disepuh di pinggir langit di sisi barat.... Burung-burung beterbangan pulang ke sarang.... Dengan tergesa-gesa sembari berkotek memanggil anak, masuklah induk ayam ke kandang, karena hari tlah samar muka.... Cengkerik mulai berkerik bersahutan, menyatakan hari tlah senja... Tahun mana musim pabila dan dengan jalan apakah lagi, maka dapat aku melihat Ustadz Hardi bin Sukaya… penuh harap dan asa….
Seakan sulit melupakan Bumi Trenggalek,Rabi’ul Akhir 1430 H, Walhamdulillah ‘abdul Kariim bin Hardjawijata bin Resadimeja, Demang di Trenggalek Jawa Timur (kawan, murid, sekaligus pengagum Ustadz Hardi)
21