TUGAS MATA KULIAH PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN APLIKASI KEPERAWATAN TRANSKULTURAL PADA KELOMPOK LANSIA
Dosen Pembimbing: Elida Ulfiana, S.Kep.,Ns., M.Kep Disusun oleh: Hanum Amalia Zulfa
131611133040
Dinda Dhia Aldin. K.
131611133041
Novia Tri Handika
131611133042
Kusnul Oktania
131611133043
Novalia Puspitasary
131611133044
Annisa FiqihI lmafiani
131611133045
Septin Srimentari Lely D
131611133046
Fitrianti Umayroh M
131611133047
Gita Shella Madjid
131611133049
Mudrika Novita Sari
131611133050
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Aplikasi Keperawatan Transkultural pada Kelompok Lansia” ini tepat waktu. Meskipun banyak hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjannya. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Elida Ulfiana S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang telah memberikan bimbingan, sehingga terselesaikannya makalah ini. 2. Teman-teman angkatan 2016 Program Studi S1 Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Semua pihak yang telah mendukung menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis butuhkan demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya.
Penulis, 17 November 2017
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1.Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2 1.3. Tujuan ............................................................................................................ 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3 2.1 Keperawatan Transkultural .............................................................................. 3 2.2 Lansia ............................................................................................................. 9 2.3 Asuhan Keperawatan Transkultural Lansia ................................................. 10 2.4 Kasus Lansia .................................................................................................. 16 2.5 Mitos dan Realita pada Lansia ........................................................................ 21 2.6 Asuhan Keperawatan Gangguan Sosial-cultural pada Lansia ........................ 22 BAB 3 PENUTUP...................................................................................................... 41 3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 41 3.2 Saran .............................................................................................................. 42 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 43
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak membawa perubahan bagi kehidupan manusia baik dalam perubahan sosial maupun pola hidup masyarakat termasuk juga dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam daerah tersbut mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir. Menjadi seorang perawat bukan merupakan tugas yang mudah. Perawat ditantang oleh perubahan yang ada, baik dari lingkungan maupun klien. Dari segi lingkungan,
perawat
selalu
dipertemukan
dengan
globalisasi.
Terjadinya
perpindahan penduduk menuntut perawat agar dapat menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya. Semakin banyak perpindahan penduduk, semakin beragam pula budaya disuatu negara, hal itulah yang menuntut perawat agar dapat melakukan asuhan keperawatan yang bersifat fleksibel di lingkungan yang tepat. Menurut WHO secara global pada tahun 2013 proporsi dari populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7 % dari total populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus menignkat seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Data WHO menunjukkan pada tahun 2000 usia harapan hidup orang didunia adalah 66 tahun, pada tahun 2012 naik menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun. Jumlah proporsi lansia di indonesia juga bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada tahun 2009 menunjukkan lansia berjumlah 7,49 % dari total populasi, tahun 2011 menjadi 7,69 %, dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia sebesar 8,1 % dari total populasi (WHO, 2015). Mengingat proyeksi penduduk lansia pada tahun 2020 akan meningkat maka keperawatan gerontik memiliki peran yang cukup besar di masa mendatang. Perawat perlu
1
membudayakan kegiatan penelitian dan pemanfaatan hasil-hasilnya dalam praktik klinik keperawatan untuk mempersiapkan pelayanan yang prima. Hubungan antara budaya dan kesehatan sangat erat hubungannya, salah satunya yaitu terdapat suatu masyarakat desa dapat bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi yang mereka miliki. Sebuah kultur atau kebudayaan dapat membentuk kebiasaan atau respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Oleh kerena itu, sangatlah penting bagi perawat atau tenaga kesehatan lain untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan tetapi juga membuat mereka mengerti megenai proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud keperawatan transkultural? 2. Apakah yang dimaksud dengan lansia? 3. Bagaimana aplikasi keperawatan transkultural lansia? 4. Apa saja kasus transcultural pada lansia? 5. Bagaimana mitos dan realita pada lansia? 6. Bagaimana asuhan keperawatan gangguan sosialcultural pada lansia?
1.3 Tujuan 1. Mengetahui yang dimaksud dengan keperawatan transkultural 2. Mengetahui yang dimaksud dengan lansia 3. Mengetahui aplikasi keperawatan transkultural pada lansia 4. Mengetahui kasus transcultural pada lansia 5. Mengetahui mitos dan realita pada lansia 6. Mengetahui asuhan keperawatan yang dilakukan pada gangguan sosialcultural yang dialami lansia
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keperawatan Transkultral 2.1.1
Definisi Keperawatan Transkultural Transkultural terdiri atas dua kata yaitu trans yang berarti bentuk terikat dan kultural memiliki arti berhubungan dengan budaya, sehingga transkultural berarti sesuatu yang saling terikat dan berhubungan dengan budaya. Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan yang berfokus pada analisis dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya (Leininger, 1978). Pelayanan keperawatan transkultural diperlukan khususnya seperti di negara Indonesia yang memiliki variasi suku dan budaya yang masih banyak diterapkan sampai era saat ini. Keperawatan transkultural merupakan ilmu dan kiat yang humanis, yang difokuskan oada perilaku individu atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat atau perilaku sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya (Leininger, 1984). Keperawatan transkultural bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Menurut Leininger (1978) tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kebudayaan ( kultur-culture) yang spesifik dan universal. Kebudayaan yang spesifik berarti kebudayan yang memiliki nilai dan norma dengan suatu ciri khas tertentu dan khusus, sedangkan kebudayaan universal adalah kebudaayaan yang diyakini oleh masyarakat memilki norma dan nilai dilakukan oleh hampir semua kebudayaan.
3
2.1.2
Konsep Keperawatan Transkultural Keperawatan Transkultural tidak terlepas beberapa aspek antara lain budaya, perbedaan budaya, etnosentris, etnis, ras, care, caring, cultural care, cultural imposition. Budaya/ kultur merupakan aturan tindakan yang disetujui
masyarakat
untuk
dipelajari,
sebagai
petujuk mengambil
keputusan, dan bertindak. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
Perbedaan budaya yang ada dapat menimbukan persepsi bahwa
budaya yang dimilikinya merupakan budaya yang terbaik daripada budaya lain, persepsi ini disebut etnosentris. Etnis merupakan penggolongan manusia dalam kelompok tertentu berdasarkan ciri-ciri dan kebiasaan pada kesehariannya. Ras adalah penggolongan manusia berdasarkan asal misalnya. Etnografi merupakan ilmu yang mengembangkan, mempelajari, dan meneliti mengenai perbedaan budaya.
2.1.3
Paradigma Paradigma keperawatan transcultural Leininger (1985) diartikan sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap konsep sentral keperawatan yaitu: manusia, sehat, lingkungan, dan keperwatan (Andrewand Boyle, 1995). Manusia merupakan individu atau kelompok yang memiliki kewenangan untuk menetapkan 4
pilihan dan melakukan pilihan berdasarkan nilai dan norma yang dianut. Kesehatan adalah aktifitas yang digunakan dalam menjga dan memelihara keadaan seimbang/ sehat. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995). Lingkungan merupakan keadaan sekitar yang menciptakan pengaruh bagi kepercayaan, perilaku, dan perkembangan individu.
Asuhan keperawatan merupakan
kegiatan dalam praktik
keperawatan yang didasarkan atas latar belakang budayanya.
2.1.4
Proses Keperawatan Transkultural Model konsep asuhan keperawatan oleh Leininger terpacu dalam bidang budaya yang digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Asuhan keperawatan terdiri atas tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.1.4.1 Pengkajian Pengkajian merupakan proses
pengumpulan
data
mengenai masalah kesehatan. Pengkajian
adalah
mengumpulkan
proses
data
mengidentifikasi
untuk masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pada
tahap
ini
dirancang
berdasarkan 7 komponen pada “Sunrise Model” antara lain
5
Gambar 1 Sunrise Model
faktor teknologi, agama dan falsafah hidup, sosial dan keterikatan keluarga, nilai-nilai budaya dan gaya hidup, kebijakan dan peraturan yang berlaku, ekonomi, dan pendidikan. a. Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternative misalnya penggunaan herbal dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini. b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan,
6
makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri. e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. f. Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. g. Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali. 2.1.4.2 Diagnosa Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Diagnosa keperawatan merupakan respon klien sesuai budaya yang dicegah, diubah, atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang 7
ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosio-kultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. 2.1.4.3 Intervensi dan Implementasi Perencanaan
dan
pelaksanaan
dalam
keperawatan
transkultural
memerlukan strategi yang tepat. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan
adalah
perlindungan
atau
mempertahankan
budaya,
mengakomodasi/negoasiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu: mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. a. Cultural care preservation atau
maintenance
atau mempertahankan
budaya dilakukan apabila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Tahap yang harus dilakukan dalam penerapan strategi ini antara lain identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat, bersikap tenang
dan
tidak
terburu-buru
saat
berinteraksi
dengan
klien,
mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat. b. Cultural care accomodation atau negotiation atau negosiasi budaya dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih sehat. Langkah yang harus dilakukan yaitu gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien, melibatkan keluarga dalam perencanaan perawatan, apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.
8
c. Cultural care repartening/reconstruction atau restrukturisasi budaya dilakukan apabila budaya dapat mengakibatkan kerugian bagi kesehatan. Tahapan untuk melakukan strategi ini antara lain memberi kesempatan pada
klien
untuk
memahami
informasi
yang
diberikan
dan
melaksanakannya, menentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok, gunakan pihak ketiga bila perlu, terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua, berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan. 2.1.4.4 Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari asuhan keperawatan budaya klien mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien 2.2 Lansia Lansia merupakan tahapan akhir perkembangan pada kehidupan manusia. Menurut UU No. 13/ Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Keperawatan pada lasia diperlukan dengan tujuan memenuhi kenyamanan, memepertahankan fungsi tubuh serta membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai. Pelaksanaan keperawatan lansia melalui pendekatan secara menyeluruh dengan aspek bio, psiko, sosio, spiritual dan juga aspek budaya/kultural. Kebudayaan memiliki ciri khas dan bersifat diturunkan ke generasi berikutnya. Nenek dan kakek sering melakukan dan mengajarrkan tradisi dan budaya yang telah dipelajari kepada anak dan cucunya untuk mempertahankannya dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di 9
era modern saat ini, banyak ditemukan lansia yang mempertahankan kebiasaan, tradisi, keadaan, dan budaya yang dipercayai ssehingga tidak jarang ditemukan lansia masih menggunakan cara-cara tradisional untuk menjalankan aktivitas keseharian. Contoh budaya yang masih dilakukan oleh lansia saat ini adalah menyirih. Kegiatan turun menurun ini dilakukan oleh lansia di sebgain pulanu Jawa.
2.3 Aplikasi Keperawatan Transkultural Lansia 2.3.1
Menyirih Pada Lansia di Jawa Tengah Menyirih atau mengunyah sirih merupakan tradisi masyarakat dengan menggunakan bahan dasar yaitu sirih (Piper betle leaves), biji buah pinang (Area catechu), gambir (Uncaria gambir), kapur (Calsium hidroksid), dan tambahan lain seperti tembakau atau susur yang semakin melengkapi bahan dasar dari menyirih (Thomas, 1992 dalam Iptika, 2014). Kebiasaan menyirih atau menginang ini sudah dilakukan secara turun temurun dan kebiasaan menyirih atau menginang banyak dilakukan oleh wanita maupun pria usia dewasa akhir maupun yang sudah lanjut usia atau lansia. Menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di kawasan Asia Tenggara, tradisi mengunyah sirih sudah dimulai sejak 3000 tahun yang lalu. Tradisi mengunyah sirih tidak dapat dipastikan dari mana asalnya. Berdasarkan catatan perjalanan marcopolo, yang dikenal sebagai penjajah pada abad ke-13 mencatat bahwa masyarakat Kepulauan Nusantara banyak yang mengkonsumsi sirih (Damyanti, 2005). Di Indonesia kebiasaan mengunyah sirih merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia diantaranya terdapat jumlah yang cukup banyak di pedesaan. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang dilakukan turun temurun pada sebagian besar penduduk di pedesaan yang mulanya berkaitan erat dengan alat adat kebiasaan setempat. Adat kebiasaan 10
ini dilakukan pada saat upacara kedaerahan atau pada acara yang bersifat ritual keagamaan (Samura, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Inggris pada imigran dari Asia Selatan yang mengunyah sirih pinang, didapati bahwa mereka yang mengunyah sirih pinang karena memberikan rasa yang menyegarkan, sebagai makanan ringan, membantu menghilangkan stress dan dipercaya dapat memperkuat gigi dan gusi (Flora et al.,2012). International Agency For Research On Cancer (IARC) menyebutkan bahwa mengunyah pinang berdampak pada kesehatan dan berpotensi menyebabkan kanker. Penelitian yang dilakukan oleh Parmar, et al tahun 2009 menunjukan data tingginya pengunyah sirih pinang yang menderita perdarahan gusi, bau nafas, kesulitan dalam membuka mulut dan menelan makanan yang padat, rasa terbakar pada jaringan lunak dan luka bernanah pada rongga mulut (Parmer et al.,2009). Budaya menyirih di Indonesia salah satunya terdapat di Desa Magelung Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal telah lama ada dan masih dilestarikan sampai sekarang, ini dibuktikan dengan masih banyaknya lansia wanita yang menyirih. Kebanyakan dari mereka yang menyirih telah berumur >60 tahun. Mereka menyirih bukan tanpa alasan, selain karena sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang terdahulu, beberapa masyarakat mengatakan bahwa mereka menyirih karena melakukan kegiatan menyirih memiliki manfaat yang besar diantaranya adalah gigi menjadi kuat, tidak mudah keropos, tidak bau mulut, gigi tidak mudah berlubang, dan memberikan warna merah alami pada bibir mereka, selain bermanfaat untuk kesehatan gigi, khasiat penambah stamina, pikiran menjadi tenang dan saat bekerja tidak mudah lelah. Akan tetapi, kebanyakan dari para lansia yang menyirih tidak mengetahui dampak negatif dari menyirih.
11
Dalam budaya menyirih, dapat dikaitkan dengan 7 komponen dalam teori madeleine leininger maka beberapa diantaranya yaitu faktor keagamaan dan falsafah hidup. Menyirih merupakan suatu kepercayaan dan pandangan masyarakat lansia Kecamatan Magelung yang dapat memberikan beberapa manfaat dalam kesehatan gigi dan gusi. Sebagai seorang perawat diperlukan pengkajian tentang beberapa manfaat yang didapat dari budaya lansia yang menyirih. Selanjutnya yaitu faktor social dan keterikatan keluarga. Dalam budaya menyirih di Megelung telah menjadi tradisi turun temurun dari keluarga atau orang tua yang sebelumnya telah menyirih serta sebagian besar penduduk di pedesaan yang mulanya berkaitan erat dengan alat adat kebiasaan setempat. Kemudian faktor nilai budaya dan gaya hidup yaitu konsep diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Budaya menyirih merupakan salah satu cara lansia untuk mendapatkan gigi dan gusi yang sehat, tetapi lansia tersebut tidak mengetahui dampak negatif yang akan didapat jika menyirih. Faktor ekonomi menyirih sangatlah berpengaruh bagi lansia, karena dengan menyirih mungkin dapat meningkatkan kualitas kesehatan gigi dan gusi secara efektif. Selanjutnya faktor pendidikan yaitu berhubungan dengan latar belakang pendidikan individu dalam menempuh jalur pendidikan formal. Dalam hasil penelitian dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat khususnya usia lansia tidak mengetahui kandungan atau zat bahaya dalam menyirih. 2.3.2
Budaya Menginang di Provinsi Kalimantan Selatan Menginang atau menyirih adalah istilah yang dipakai untuk menyebut kebiasaan mengunyah paduan daun sirih, pinang dan kapur. Asal usul dari tradisi menyirih tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tradisi ini dimulai, akan tetapi diperkirakan sudah ada sejak kuang lebih 2000 tahun silam. Tradisi diperkirakan berasal dari india , dan dikenal oleh masyarakat Asia –Tenggara, kemudian menyebar ke Indonesia. Bukti arkeologi tertua ditemukan pada ‘Gua Roh’ di bagian utara-barat Thailand, yang 12
diperkirakan sisa-sisa tenaman ini berusia sejak 10.000 SM (Rooney F. Dawn,1995). Kabupaten Tapin pada tahun 2012 memiliki 12 kecamatan yang salah satunya yaitu kecamatan Lokpaikat masyarakatnya banyak yang memegang tradisi kebudayaan, salah satunya adalah kebiasaan menginang. Kebiasaan menginang di daerah tersebut dianggap sebagai kebutuhan yang setara dengan kebutuhan pangan dan lebih banyak dilakukan oleh para wanita yang sudah berusia lanjut. Istilah lain menginang antara lain besugi, besisik, menyepah,menyusur dan menginag. Jika kita kaitkan dengan 7 komponen dalam teori medeleine leininger maka beberapa diantaranya ada kaitannya yakni factor nilai-nilai budaya. Menginang adalah kebiasaan yang diyakini oleh masyarakat untuk dapat memberikan manfaat bahwa daun sirih (Piper betle Linn), mengandung kandungan minyak atsiri
yang berfungsi sebagai zat
antibakteri, menyembuhkan luka-luka kecil di mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan perdarahan dan sebagai obat kumur . Perawat perlu pengkajian tentang manfaat positif apakah yang didapat dari budaya menginang ini dan konsep diri masyarakat itu sendiri. Kandungan pinang salah satunya nitrosamine adalah alkaloids yang merupakan pemicu tumor pada manusi. Alkaloids ada enam jenis, empat jenis diantaranya arecoline, araecadine.\, guvacine, dan guvacoline . Arecadine yang bersifat sebagai promotor
terjadinya
tumor.
Arecoline
jenis3-(methylnitrosamino)
propionaldehyde jika dikonsumsi bersamaan dengan ekstrak dari kapur dapat menghasilkan radikal reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan DNA. Kapur yang digunakan untuk menginang dapat meningkatkan pH menjadi 10. Hal tersebut dapat memicu terbentuknya jenis oksigen reaktif (radikal bebas) memicu pertumbuhan sel yang bersifat karsinogenik apabila dikonsumsi bersama komponen menginang lainnya.
13
2.3.3
Budaya Sirep Pada Lansia di Suku Tengger Sirep merupakan salah satu tindakan tradisional orang Jawa Timur Indonesia khususnya suku Tengger. Sirep merupakan intervensi tradisional dengan menggunakan mantra untuk memenuhi kebutuhan tidur manusia. Sirep adalah kegiatan yang mempromosikan komunikasi efektif ke dalam pre-frontal, sehingga hipotalamus mensekresikan neurotransmiter seperti relasi kortikotropin yakni faktor yang bisa menghasilkan aktivitas untuk disekresikan kelenjar pituitari adenokortikootropik dan kelenjar adrenal. Lansia di Indonesia adalah seseorang yang memiliki usia lebih dari 60 tahun. Lansia pada umumnya sering mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Lansia di Indonesia sebesar 11,34% dari populasi. Di Jawa Timur, jumlah lansia sekitar 11, 40%, di mana yang kedua tertinggi setelah Yogyakarta. Gangguan tidur pada lansia dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit pada lansia. Philip et al (1999) melaporkan bahwa 85% lansia mengalami kegagalan tidur pada malam hari (Warwicker, P., Goodship, TH, & Goodship 1997). Lansia sering mengalami insomnia, gangguan ritme tidur, fase pemendekan gerakan mata yang cepat tidur (REM), juga disertai dengan fase perpanjangan tidak-cepat tidur gerakan mata (N - REM) (Risch, N., & Merikangas 1996; Hayflick L 2004). Sirep dapat meningkatkan kualitas tidur dan jumlah tidur. Klien lansia bisa memperbaiki gangguan tidur, sehinggga klien dengan mudah memulai tidur dan tingkat kortisol serum dapat seimbang (Yayasan Bali Galang 2002). Sirep merupakan tindakan komunikasi pribadi yang efektif dan mampu menaikkan tingkat
sugestibilitas, sehingga klien tidak
mendapatkan gangguan tidur dan lansia mencapai kondisi harapan yang kuat serta kortisol menjadi seimbang (Yayasan bali Galang 2003). Sirep bermanfaat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur lansia yang mengalami gangguan tidur atau insomnia. Sirep juga mampu mengurangi masalah tidur dan kebutuhan tidur pada lansia. 14
Jika kita kaitkan dengan 7 komponen dalam teori medeleine leininger maka beberapa diantaranya ada kaitannya yakni factor keagamaan dan falsafah hidup ( Religous and Philosofical Factors) Agama merupakan suatu symbol atau tanda yang merupakan kepercayaan, pandangan serta alat untuk menjalani kehidupan yang realistis bagi para pemeluknya maisngmasing. Sirep merupakan suatu kepercayaan dan cara yan diyakini oleh masyarakat tulung agung untuk dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan kualitas tidur sebagai kebutuhan hidup manusia. Sebagai perawat diperlukan pengkajian tentang manfaat positif apakah yang didapat dari budaya sirep ini dan konsep diri masyarakat itu sendiri. Kemudian budaya sirep ini berkaitan juga dengan faktor nilai budaya dan gaya hidup (Cultural Values and Lifeways) yakni konsep diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan buruk. Budaya sirep merupakan sarana masyarakat untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik bagi lansia dan merupakan aktivitas sehari-hari masyarakat. Faktor ekonomi ( economical Faktor ) masyarakat juga erat kaitannya dengan budaya sirep. Umumnya lansia yang memiliki penyakit dengan tingkat keparahan tertentu yang mengalami gangguan tidur yang dikarenakan stress yang berlebihan dan biaya menjadi beban yang berat. Sehingga sirep dinilai mampu mengurangi dan menyembuhkan secara efektif gangguan tidur yang dialami lansia tersebut. Dan yang terakhir ialah faktor pendidikan (educational factor) yakni berhubungan dengan latar belakang pendidikan individu yakni riwayat pendidilan lansia dalam menempuh jalur pendidikan formal. Semakin tinggi pendidikan individu, maka keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah, dapat diterima oleh akal sehat dan mampu beradaptasi dengan budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Budaya sirep merupakan budaya yang didukung oleh penelitian ilmiah yang mampu diterima oleh akal sehat dan dapat diadaptasi oleh masyarakat tulung
15
agung dan mampu membaur dengan nilai dan norma yang sesuai di masyarakat.
2.4 Kasus Lansia 2.4.1
Pandangan yang Menghormati Lansia Peran dan kedudukan lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan mengenai orang lanjut usia. Perbedaan pandangan terhadap usia lanjut akan membuat sikap dan penghargaan terhadap orang lansia akan berbeda dalam keluarga dan masyarakat. Menurut
Swasono
(1989)
berbagai
kehidupan
kebudayaan
menetapkan usia tua dan peranan serta fungsi sosialnya menuntut nilai-nilai, anggapan dan ukuran yang berbeda-beda. Namun, demikian secara universal terdapat pandangan bahwa seorang lansia dianggap sebagai sumber terkumpulnya kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian penduduk lansia dianggap memiliki kelebihan, keahlian tertentu dan dengan pengalaman yang demikian luas sehingga mereka harus dihormati.
2.4.2
Masyarakat Mongolia Pada masyarakat Mongolia menurut Onon “kehormatan dan kekayaan diberikan kepada orang-orang biasa. Namun, usia tua yang matang adalah anugerah surga” (Foster & Anderson 1986). Berdasarkan hal ini, tidak ada seorangpun yang berusaha untuk menyembunyikan usianya yang tua. Semua orang mengharapkan masa-masa dimana orang lansia menerima penghormatan dan penghargaan tersebut. Studi Antropologis dalam banyak komunitas, seperti dalam masyarakat yang ‘tertutup’ (closed corporate) seperti orang Indian, aktivitas-aktivitas ritual tahunan yang besar memberikan “tangga” atau jalan dimana laki-laki melalui pengabdian mereka yang terus-menerus kepada 16
masyarakat, lambat-laun mencapai status ”pimpinan” atau orang tua yang dihormati, seorang individu yang kaya akan jasa dan prestise ( Foster & Anderson 1986).
2.4.3
Masyarakat Jepang Saat ini jepang berada pada pintu menuju masyarakat dengan jumlah Lansia yang besar (Super Aged Society). Berdasarkan sensus nasional Jepang tahun 2003, jumlah total Lansia saat ini adalah 127.690.000 atau 19% (Japan Statistic Bureau) dari jumlah total penduduk Jepang, sebagai tambahan jumlah total anak usia dibawah 14 tahun adalah 13%. Kondisi ini terbalik dengan Indonesia dimana jumlah anak-anak berada jauh diatas jumlah populasi Lansia. Usia harapan hidup yang dicapai Lansia di Jepang untuk pria adalah 78,32 tahun dan 85,23 tahun untuk wanita (Yoshida, 2003). Jepang adalah negara yang masih menghormati lansia sebagai orang yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Penghormatan ini terlihat dari bagaimana Jepang berusaha memberikan fasilitas-fasilitas dan pelayanan kesehatan yang sangat baik bagi para lansia. Dapat kita temukan lansia dengan mudahnya hampir disetiap fasilitas umum di Jepang, mulai dari pusat perbelanjaan, di pameran lukisan, tempat wisata bahkan perpustakaan umum. Jepang memang menyediakan fasilitas khusus untuk para Lansia dan orang cacat untuk memudahkan mereka menggunakan fasilitas tersebut, sebagai contoh adalah pada sarana transportasi umum seperti bus dan kereta, dapat kita lihat adanya tempat duduk yang diprioritaskan untuk lansia dan orang cacat yang digunakan sebagaimana mestinya. lansia di Jepang dapat beraktifitas layaknya semua orang, mereka tetap bersosialisasi satu sama lain dan terlihat enerjik. Di
Indonesia
fasilitas-fasilitas
untuk
lansia
masih
kurang
memadai. Aktifitas Lansia di Indonesia lebih banyak berfokus pada kegiatan 17
spiritual keagamaan, mereka mengharapkan ketenangan suasana di hari tua mereka. Tentu saja hal ini sangatlah positif dan perlu untuk dilanjutkan. Namun, jangan sampai Lansia tidak dapat beraktifitas keluar rumah karena memang tidak disiapkan fasilitas yang dapat membantu mereka. Terdapat perbedaan latar belakang, budaya, perkembangan sosial ekonomi dan paradigma tentang “age and aging” dari dua negara ini. Jepang adalah negara berkembang yang sudah mengatur dengan baik pelayanan kesehatan untuk lansia. Indonesia masih jauh tertinggal karena memang saat ini prioritas pelayanan kesehatan Indonesia masih berfokus pada pelayanan kesehatan Ibu dan anak juga penyakit infeksi.
2.4.4
Masyarakat Indonesia Deskripsi etnografi suku bangsa di Indonesia memberi gambaran tentang kedudukan orang tua dalam sistem kekerabatan dan masyarakatnya. Orang lansia merupakan kelompok sosial yang dihormati dan dihargai. Sikap dan perlakuan terhadap orang-orang tua dinyatakan secara simbolik dalam upacara perkawinan (Swasono, 1989). Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka memiliki jaminan sosial yang paling baik yaitu anak dan saudara-saudara lainnya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat megurus dirinya sendiri. Nilai yang masih berlaku dalam masyarakat bahwa anak wajib memberikan kasih sayang kepada orangtuanya sebagaimana pernah mereka dapatkan sewaktu mereka masih kecil.
2.4.5
Masyarakat Nias Pada suku bangsa Nias, masa tua dalam keluarga dianggap saatnya menjadi penasehat, dihormati oleh segenap anggota keluarga dan komunitas 18
dan menjadi seorang yang dalam legenda suku bangsa Nias disebut Todo Hia. Nasehatnya selalu dipatuhi karena dianggap sebagai orang yang patut dipercayai dan bijaksana. Seseorang yang telah berumur tua memiliki banyak pengalaman dan menjadi sumber cerita, legenda dan mitos (Laiya 1983:54). Masa tua diistilahkan di Nias bawa lewato yang berarti pintu gerbang kuburan. Menurut mereka, kematian telah dekat bagi mereka. Karena itu anak-anak dan keturunannya selalu memelihara mereka dengan baik dan hati-hati. Anak-anak akan menyuguhkan makanan yang baik dan pakaian yang baik dan pantas dan mematuhi perintah mereka serta melayani mereka dengan hormat (Laiya 1983: 55).
2.4.6
Masyarakat Jawa Pada suku bangsa Jawa orang-orang tua dipandang berhak atas penghormatan yang tinggi dan banyak yang hidup menghabiskan umurnya semata-mata
dengan
menerima
penghormatan,
karena
kelebihan
pengetahuan mereka akan masalah kebatinan dan masalah praktis. Tetapi bagi mereka yang jompo dan pikun penghormatan bisa menjadi berkurang (Geertz
1985:149).
Hubungan
penghormatan
dapat
dilihat
dalam
penggunaan bahasa yang tinggi (krami) ketika berbicara kepada orang tua, dan dalam keluarga priyayi tradisional orang malahan menyembah dahulu sebelum berbicara (Koentjaraningrat 1994 :273). Kehidupan orang tua pada umumnya tenang. Mereka sangat berguna untuk mengasuh anak-anak di dalam keluarga, dan biasanya terdapat hubungan yang hangat dan tidak canggung antara mereka yang lebih tua dan yang lebih muda di rumah.
2.4.7
Suku Minangkabau Pada suku bangsa Minangkabau, orang tua dalam keluarga luas matrilineal dipandang sebagai orang yang patut dihormati. Orang tua laki19
laki memperoleh gelar kehormatan dan menjadi pemimpin bagi keluarga luasnya atau kampungnya. Laki-laki tua (mamak) memberikan nasehat untuk semua masalah terutama masalah adat (Navis 1984). Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito (jika pergi tempat bertanya, jika pulang tempat mengadu. Kedudukan dan Peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai apalagi dianggap memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat menjadikan lansia secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika lansia dianggap peranan yang tidak diinginkan dalam masyarakat. Penelitian
Edi
Indrizal
(2005)
mengenai
orang
lansia
di
Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib malu anak-kemenakan, keluarga, kerabat atau bahkan orang sekampung. Namun, dalam kondisi yang berubah dalam masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya perubahan struktur keluarga luas ke keluarga inti, pola menetap neolokal, membawa konsekuensi perubahan fungsi struktur keluarga dan hubungan sosial dalam masyarakat Minangkabau. Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga membawa implikasi terhadap kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak memperoleh masalah tersendiri di dalam masyarakat Minangkabau, tampaknya
lebih
dominan
masalah
sosial
dibandingkan
menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
20
masalah
2.5 Mitos dan Realita pada Lansia Banyak mitos-mitos yang berkaitan dengan proses lanjut usia (Mubarak dkk., 2009): 1.
Mitos kedamaian dan ketenangan Pada usia lanjut, lansia dapat santai sambil menikmati hasil kerja dan jerih
payah
pada usia muda.Badai dan berbagai cobaan kehidupan seakan
akan sudah dilewati. Kenyataannya malah sebaliknya, lansia penuh dengan stres, kemiskinan, berbagai keluhan,dan penderitaan karena penyakit. 2.
Mitos konservatif dan kemunduran pandangan Usia lanjut pada umumnya bersifat konservatif, tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam, ketinggalan zaman, merindukan masa lal u, kembali ke masaanak-anak, sulit berubah, keras kepala, dan bawel. Kenyataannya tidak semua lansia bersifatdan berperilaku demikian. Sebagian tetap segar, berpandangan ke depan, inovatif, sertakreatif.
3.
Mitos berpenyakitan Lansia dipandang sebagai masa degeneratif biologis yang disertai oleh berbagai penderitaan
akibat berbagai
proses penyakit.
Kenyataannya
memang proses penuaan disertaidengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme, sehingga rawan terhadap penyakit,tetapi masa sekarang banyak penyakit yang dapat dikontrol dan diobati. 4.
Mitos senilitas Usia lanjut dipandang sebagai masa demensia (pikun) yang disebabkan oleh kerusakan bagian tertentu dari otak. Kenyataannya tidak semua lansia dalam proses penuaan mengalami kerusakan otak. Mereka masih tetap sehat, segar,dan banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat.
5.
Mitos ketidakproduktifan Usia lanjut dipandang sebagai usia yang tidak produktif. Kenyataannya tidak demikian, masih banyak lansia yang mencapai kematangan dari 21
produktivitas mental dan materialnya yang tinggi.disimpulkan bahwa penambahan usia dapat diterangkan dengan perubahan dari kepuasan hidup,moral, kebahagiaan atau stress psikologis. Konsep diri pada lansia dikaitkan dengan perilakulansia, dimana akibat peningkatan umur lansia cenderung menjadi introvet (menarik diri), lansiaingin mengungkapkan pengalaman hidup yang selama ini ia alami, tetapi keluargamenganggapnya sebagai orang yang cerewet dan cenderung menghindari, sehingga lansiatersebut menjadi pendiam dan menarik diri, proses ini membentuk persepsi seseorang tentangtubuhnya,
persepsi
ini
mencakup
tentang
perubahan fisik psikologis dan psikososial.
2.6 Asuhan Keperawatan Gangguan Sosial-cultural pada Lansia 2.6.1 Definisi Proses asuhan keperawatan pada usia lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan
untuk
memberikan
bantuan,
bimbingan,
pengawasan,
perlindungan dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti (Depkes, 1993).
2.6.2 Klasifikasi Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif, antara lain; 1. Lanjut usia aktif, asuhan keperawatan dapat berupa dukungan tentang personal hygiene, kebersihan gigi dan mulut atau pembersihan gigi palsu, kebersihan diri termasuk kepala, rambut, badan, kuku, mata, serta telinga; 22
kebersihan lingkungan seperti tempat tidur dan ruangan; makanan sesuai, misalnya porsi kecil bergizi, bervariasi dan mudah dicerna, dan kesegaran jasmani. 2. Lanjut usia pasif, yang tergantung pada orang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama seperti pada lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas.
2.6.3 Pendekatan Perawatan Lansia 1.
Pendekatan fisik Perawatan yang memperhatikan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan progrevitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni: 1. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri. 2. Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan
dengan
keberhasilan
perorangan
untuk
memepertahankan kesehatannya. Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Di samping itu, kemunduran kondisi fisik akibat proses ketuaan, dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari 23
luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting karena meskipun tidak selalu, keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala-gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang para klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif. Adapun komponen pendekatan
fisik yang lebih mendasar adalah
memperhatikan dan membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan termasuk memilih dan menentukan makanan, minum, melakuan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan, melindungi kulit dan kecelakaan. Toleransi terhadap kekurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus dicegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan makan terlalu banyak dan jangan melakukan gerak badan yang berlebihan. 2. Pendekatan psikis Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”, yaitu Sabar, Simpatik, dan Service. Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat
24
harus selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya. Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya. Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan berlanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi , berkurangnya kegairahan keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa atau kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuantujuan tertentu. Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia. 3.
Pendekatan social Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia dan lanjut usia dan perawat sendiri.
25
Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain. Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar dan majalah. Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para klien lanjut usia. Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar merasa masih ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakan kontak dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai
hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap
mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda. 4.
Pendekatan spiritual Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama bila klien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni Setyobudhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa takut semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian pengalaman 26
selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang sering menyertainya, dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di manakah letak kelemahan dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat selanjutnya akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual, sudah seelayaknya perawat dan tim berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut usia ini dapat diringankan penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung memberikan bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya seperti membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban terhadap agama yang dianutnya. Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan keluarga, maka perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah yang menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera menghubungi seorang rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhankeluhannya maupun pengakuan-pengakuannya. Umumnya pada waktu kematian akan datang, agama atau kepercayaan seseorang merupakan faktor yang penting sekali. Pada waktu inilah kehadiran seorang imam sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat lanjut usia bukan hanya terhadap fisik, yakni membantu mereka dalam keterbatasan fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
2.6.4 Tujuan Asuhan Keperawatan Lansia 1. Agar lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
27
2. Mempertahankan kesehatan dan kemampuan dari mereka yang usianya telah lanjut usia dan jalan perawatan dan pencegahan. 3. Membantu mempertahankan serta membesarkan semangat hidup klien lanjut usia. 4. Merawat dan menolong klien lanjut usia yang menderita penyakit atau mengalami gangguan tertentu (kronis maupun akut). 5. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosa yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai suatu kelainan tertentu. 6. Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia yang menderita suatu penyakit atau gangguan , masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu pertolongan
2.6.5 Fokus Keperawatan Lansia 1. Peningkatan kesehatan (health promotion). 2. Pencegahan penyakit (preventif). 3. Mengoptimalkan fungsi mental. 4. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum 5. Mampu menerima perubahan yang tejadi dengan lingkungannya (menyangkut penggunaan teknologi dan transportasi). 2.6.6 Askep Kelompok Lansia Data Inti a. Riwayat Kesehatan Kelompok Data dikaji melalui wawancara kepada anggota kelompok b. Data demografi Menkaji jumlah komunitas berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, suku dan agama. c. Vital statistik Angka kematian Penyebab kematian 28
Angka pertambahan anggota Angka kematian d. Status kesehatan kelompok Berdasarkan kelompok lansia Berdasarkan kelompok khusus di masyarakat (ibu hamil, pekerja industri, kelompok penderita penyakit kronis, menular) 1. Keluhan yang dirasakan saat ini Pusing Nyeri pinggang Nyeri sendi Sesak nafas Demam Mual dan muntah Diare Kurang nafsu Batuk makan Sulit tidur Cepat lelah Cemas/stress Jantung berdebar Nyeri lambung debar 2. Tanda-tanda vital Tekanan darah Nadi, repiratory rate 3. Kejadian penyakit saat ini ISPA Penyakit mata Hipertensi Penyakit rheumatik Diabetes melitus Penyakit jantung Stroke Gangguan jiwa Penyakit ginjal Kelumpuhan Penyakit asthma Penyakit menahun TB paru lainnya Penyakit kulit 4. Riwayat penyakit keluarga 5. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari Pola pemenuhan nutrisi Pola pemenuhan cairan Pola istirahat tidur Pola eliminasi Pola aktifitas gerak Pola pemenuhan kebersihan diri 6. Status psikososial Komunikasi dengan sumber-sumber kesehatan
29
Hubungan dengan orang lain Peran di masyarakat Kesedihan yang dirasakan Stabilitas emosi Penelantaran anak/lansia Perlakuan yang salah dalam kelompok/perilaku tindak kekerasan 7. Status pertumbuhan dan perkembangan 8. Pola pemanfatan fasilitas kesehatan 9. Pola pencegahan terhdap penyakit dan perawatan kesehatan 10. Pola perilaku tidak sehat Merokok Minum kopi Minum alkohol Penyalahgunaan obat tanpa resep Penyalahgunaan obat terlarang Pola konsumsi tinggi garam, lemak, purin 3
Data Lingkungan Fisik a. Pemukiman 1) Luas bagunan 2) Bentuk bangunan (rumah, petak, asrama, paviliun) 3) Jenis bangunan: permanen, semi permanen, non permanen 4) Atap rumah: genting, seng, welit, ijuk, kayu, asbes 5) Dinding: tembok, kayu, bambu 6) Lantai: semen, tegal, keramik, tanah, kayu 7) Ventilasi: kurang/lebih dari 15% luas lantai 8) Pencahayaan: baik,kurang 9) Penerangan: baik, kurang 10) Keberhasilan: baik, kurang 11) Pengaturan ruangan dan peraabot: baik, kurang 12) Kelengkapan alat rumah tangga: lengkap, tidak b. Sanitasi 1) Penyediaan air bersih (MCK) 2) Penyediaan air minum 3) Pengolaan jamban; jenis, jumlah, jarak dengan sumber air 4) Sarana pembuangan limbah (SPAL) 5) Pengelolaan sampah
31
6) Polusi air, udara, tanah, suara 7) Sumber polusi; pabrik, rumah tangga c. Fasilitas 1) Peternakan, perikanan 2) Pekarangan 3) Sarana olahraga 4) Taman, lapangan 5) Ruang pertemuan 6) Sarana hubiran 7) Sarana indah d. Batas-batas wilayah e. Kondisi geografis 4
5
6
Pelayanan Kesehatan dan Sosial a. Pelayanan kesehatan Lokasi sarana kesehatan Sumber daya yang dimiliki (tenaga kesehatan dan kader) Jumlah kunjungan Sistem rujukan b. Fasilitas sosial (paasar, toko) Lokasi Kepemilikan Kecukupan Ekonomi a. Jenis pekerjaan b. Jumlah penghasilan rata-rata tiap bulan c. Jumlah pengeluaran rata-rata tiap bulan d. Jumlah pekerja dibawah umur, ibu di rumah yangan dan usia lanjut Keamanan dan Transportasi a. Keamanan: 1) Sistem keamanan ligkungan 2) Penanggulangan kebakaran 3) Penanggulangan bencana 4) Penaggulagan polisi udara air, tanah b. Transportasi: 1) Kondisi jalan 32
2) Jenis transportasi yang dimiliki 7
Politik dan Pemerintaahan c. Sistem pengorganisasian d. Struktur organisasi e. Kelompok organisasi komunitas f. Peran serta kelompok organisasi dalam kesehatan
8
Sistem Komunikasi a. Sarana umum komunikasi b. Jenis dan alat komunikasi yang digunakan dala komunitas c. Cara pemyebaran informasi 9 Pendidikan a. Tingkht pendidikan komunitas b. Fasilitas penndidikan yang tersedia (formal dan informal) 1) Jenis pendidikan yang diadakan di komunitas 2) Sumber daya yang tersedia c. Jenis bahasa yang digunakan 10 Rekreasi a. Kebiasaan rekreasi b. Fasilitas tempat rekreasi 2.7 Kasus Lansia pada Suku Sunda. Dalam budaya sunda, ada satu peribahasa penting yang menjadi filsafat dasar dalam kehidupan suku sunda yaitu, Indung anu ngandung, bapa anu ngayuga, artinya adalah seorang ibu yang telah mengandung kita Sembilan bulan lamanya dengan susah payah dan setelah lahir maka ayah yang membimbing, menjaga dan menghidupi. Dengan demikian penghargaan masyarakat sunda pada orangtua begitu besar. Sehingga sebagai anak, cucu dan kerabat harus memberi dukungan kepada orang tua dan menjadikan orangtua sebagai pusat tempat kembali atau peribahasa sundanya “indung anu dijunjung, bapa anu dipuja”. Sebagaimana peribahasa lainnya juga yang menjadi salah satu pedoman hidup orang Sunda “Ari munjung ulah-ka gunung, muja ulah ka nu bala; ari munjung kudu ka indung, muja mah kudu ka bapa” (yang harus disembah itu bukanlah gunung atau tempat-tempat angker, 33
melainkan ibu dan ayah sendiri). Dalam nilai tata budaya Sunda tersebut tergambar bahwa penghargaan kepada orang tua dalam segala bentuknya merupakan nilai yang tinggi dan sebagai kewajiban kelompok generasi yang lebih muda.
2.7.1 Metode Treatmen a. Pendekatan Budaya Lee dkk (2007) mengemukakan beberapa pendekatan budaya yang dilakukan sebagai usaha yang dilakukan konselor dalam menangani lansia, yaitu: 1. Reminiscence, yaitu Mengingat masa lalu, termasuk didalamnya mengingat (mempunyai memori), recalling (berbagi memori dengan yang lain), reviewing (mengevaluasi pentingnya mengingat berbagai pengalaman), dan rekonstruksi (memahami kondisi memori saat atau perubahannya; Gibson & Burnside, 2005). 2. Life Review yaitu diarahkan pada intervensi terstruktur yang melibatkan bimbingan pada klien untuk melihat kembali pengalaman atau kejadian dalam hidupnya, dan menceritakan kembali kisah kehidupannya dari mulai masa
muda
hingga
usia
tua
dengan
sasaran
mendapatkan
apresiasi/penghargaan yang besar (Gibson & Burnside, 2005). Konselor dapat bertanya kepada klien untuk merefleksikan periode penting atau kejadian khusus dalam hidupnya untuk membangkitkan memori bagi diskusi dan review. 3. Guided Autobiography yaitu sebagai pendekatan paling terstuktur dari semuanya. Bisa dilakukan dengan mengadakan intervensi individual atau kelompok, individu diarahkan untuk mengidentifikasi kejadian yang paling penting didalam hidup yang mereka alami dan kemudian direfleksikan. Dalam membimbing autobiograpi kelompok masing-masing individu menulis cerita kehidupannya; kemudian mereka membacanya dan berbagi hasil refleksi mereka melalui cerita dalam konteks dukungan kelompok 34
(Birren & Deutcman, 2005). Autobiograpi yang ditulis atau direkam, dikumpulkan, scarp books, catatan harian, foto-foto dan material lain dapat digunakan sebagai stimulus bagi reminiscence, life review dan guide autobiografi menjadi bagian yang sangat berguna dalam memecahkan masalah menurut Erickson (1963, 1985) dalam tahapan perkembangan dewasa dari ego integritas vs despair. Konselor dapat membantu klien mengidentifikasi kejadian-kejadian negative dan reframe mereka kedalam sesuatu yang lebih bermakna dan positif. b. Konseling kelompok Konseling kelompok adalah cara yang paling sering dilakukan dalam mengatasi permasalahan pada lansia. Haight dan Burnside (2005) dalam Lee,dkk (2007) menjelaskan prinsip-prinsip dalam konseling kelompok bagi lansia, yaitu: 1. Untuk memaksimalkan keefektifan konseling, pemimpin kelompok harus bersikap lebih aktif, directive dan lebih terbuka. 2. Berorientasi
pemecahan
masalah,
daripada
insight
atau
perubahan
kepribadian. 3. Pemimpin kelompok harus hadir dengan penuh/attend dan memperhatikan visi, pergerakan serta energy pada kelompok lansia. 4. Pemimpin kelompok harus memberikan dukungan psikologis kepada anggota kelompok; sehingga hal tersebut dapat meningkatkan rasa percaya diri pada anggota kelompok dan akan lebih mempersatukan kelompok. 5. Anggota dan pemimpin harus saling memberi dukungan terutama dalam meningkatkan self esteem/harga diri. 6. Mendatangi kelompok dengan tujuan yang jelas dan bersifat objektif. c. Konseling Spiritual Saat ini perhatian terhadap aspek spiritual dan agama tidak hanya dirasakan oleh warga Amerika saja, tetapi secara Internasional. Berdasarkan paparan diatas maka para konselor harus mempersiapkan konseling bagi klien yang 35
memperhatikan masalah spiritual dan agama serta para konselor juga harus mempersiapkan pelayanan bagi klien yang mempunyai perspektif tentang agama dan spiritual sebagai sumber
penyembuhan (healing) di dalam kehidupan
mereka. Salah satu klien yang akan ditangani adalah lansia yang salahsatu tugas utamanya adalah berhubungan dengan masalah eksistensi dan pemaknaan terhadap hidup. Sedangkan untuk setting kerja konseling spiritual, digambarkan Miller sebagai satu alur kegiatan bantuan yang dilakukan konselor professional dengan cara melihat atau melakukan penilaian terhadap cara pandang spiritual atau keberagamaan pasien yang ditandai dengan kuatnya isu keberagamaan pada pasien dan pasien merasa kurang nyaman jika melakukan konseling sekuler. Setelah hal tersebut terjadi, maka konseling yang digunakan oleh konselor tersebut adalah konseling religious yang nantinya akan menentukan terapi yang sesuai bagi pasien yaitu dengan cara menghormati nilai-nilai yang dianut klien, menghindari
hubungan
ganda,
berkolaborasi
dengan
pemuka
agama,
mengembangkan identitas spiritual klien serta memilih intervensi yang cocok bagi klien. Berdasarkan tujuan konseling spiritual diatas, hal yang membedakan konseling
spiritual
dengan
sekuler
adalah
keyakinan
bahwa
Tuhan
mengintervensi kehidupan manusia untuk menolongnya agar dapat mengatasi masalah, memelihara kesehatan, dan melakukan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. Dalaam proses memberikan bantuan terhadap klien, konselor spiritual memberikan dorongan kepada mereka agar lebih meyakini Tuhan karena keyakinan terhadap Tuhan dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya. Konselor memberikan keyakinan terhadap klien bahwa perubahan
terapeutik
yang
terjadi
yaitu
kesembuhan
dan perkembangan dirinya difasilitasi oleh keyakinan akan petunjuk dan cinta kasihNya (Yusuf, 2007:27). d. Teknik Konseling Spiritual
36
Richards dan Bergin (2007) dalam Yusuf (2007:31) memberikan intervensi konseling spiritual dengan doa, mengajarkan konsep-konsep spiritual, referensi kitab suci, pengalaman spiritual, konfrontasi spiritual, do’a bersama antara klien dan konselor, dorongan memaafkan, penggunaan komunitas atau kelompok beragama, do’a klien, biblioterapi keagamaan. Selanjutnya berkaitan dengan teknik ini, Richards dan Bergin (2007) dalam Yusuf (2007) merangkumnya dalam table dibawah ini: Tabel 1 Intervensi
Keterangan
Contoh Konselor mendo’akan klien agar dapat
1. Counselor Prayer
Pembacaan do’a
mengembangkan
bagi klien
pemahaman tentang masalah dirinya dan mampu mengatasinya. Konselor memberikan informasi agar klien berkembang kesadarannya tentang kebenaran, sikap
2. Pemberian informasi tentang konsep-
Pemberian informasi tentang
konsep spiritual
isu-isu teologis dan konsep-
(teaching spiritual
konsep spiritual.
Concepts)
cita kasih, dan kedamaian sebagai nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci dan membantu klien agar memandang dirinya serharga, sesuai dengan firman Tuhan tentang martabat dirinya.
37
Klien bersama konselor menelaah ayat-ayat dalam 3. Merujuk kepada kitab suci (Reference to Scripture)
kitab suci yang relevan Membaca kitab suci untuk
dengan masalah yang
memantapkan keyakinan.
dihadapinya, sehingga dapat mengcounter perasaannya yang tidak tepat (seperti sikap perfectionist) Konselor berbagi dengan
4. Pengungkapan
Konselor mengungkapkan
klien tentang pengalaman
spiritual diri
pengalaman spiritualnya
spiritualitasnya, dan
(Spiritual self
sendiri untuk mencoba
mencoba mengemukakan
diclosure)
mempengaruhi klien
model sebagai upaya untuk menguatkan klien. Konselor mengkronfontasi
5. Konfrontasi Spiritual (Spiritual Confrontation)
Mengkronfontasi klien yang terkait dengan keyakinan spiritualnya
klien mengenai ketidaksesuaian antara nilainilai agama yang diyakininya dengan perbuatannya. Konselor mengidentifikasi
6. Penilaian spiritual (Spiritual Assesment)
sejarah perkembangan Konselor menaksir status
keberagamaan klien, dan
spiritual atau keberagamaan
menaksir kadar perasaan
klien
klien dalam hubungannya dengan Tuhan, melalui skala penilaian spiritual
7. Do’a bersama
Do’a bersama klien dalam
38
Konselor mengajak klien
konselor dengan
pertemuan konseling
berdoa pada awal pertemuan
klien (Counselor
untuk memperoleh petunjuk
and Client
dan pertolongannya baik
prayer)
selama maupun setelah pertemuan Konselor mendiskusikan tentang bagaimana makna memaafkan baik terhadap
8. Dorongan
Berdiskusi tentang makna
diri sendiri (dari rasa
untuk memaafkan
memaafkan dan
bersalah) maupun terhadap
(Encouragement
mendorongnya untuk
orang lain dan bagaimana
for forgiveness)
memaafkan orang lain
menggunakan perbuatan memaafkan itu untuk memperbaiki hubungan yang retak.
9. Penggunaan komunitas atau kelompok beragama (Use of religious
Konselor merujuk kepada Menggunakan kelompok beragama klien sebagai sumber terapi dari luar
community)
seorang ahli agama dari kelompok beragama klien untuk mendiskusikan masalah-masalah teologis atau spiritual yang khusus Konselor mendorong klien
10. Do’a klien (Client prayer)
Dorongan kepada klien untuk berdo’a
untuk berdo’a memperoleh petunjuk tentang bagaimana memecahkan masalah yang dihadapinya
11. Bibliotherapy keagamaan
Penggunaan literatur
Konselor mendorong klien
keagamaan
untuk membaca buku-buku
39
(Religious
atau referensi keagamaan.
bibliotherapy)
e. Implikasi Treatmen Secara Keseluruhan Pada tahun 1983, Myers mencatat bahwa hanya 36 % program pendidikan konselor yang menawarkan kursus dalam menangani lansia dan hanya 1-4 % lansia yang menerima layanan kesehatan mental. Rendahnya penggunaan layanan kesehatan mental adalah ciri dari kebiasaan yang negative antara klien atau konselor dan rendahnya pelatihan bagi pra praktisi kesehatan mental (Myers & Schwiebert, 1996). Sekarang, konseling gerontology melibatkan diri kedalam bagian dari konseling. Ada beberapa program pendidikan bagi konselor yang menawarkan pelatihan khusus dalam konseling gerontology. Konselor yang menangani klien lansia biasanya mempunyai aturan yang penting sebagai konselor atau pendidik yang meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, konselor kematian, konselor keluarga, dan layanan konselor pendidikan. (Johnson&Riker,
1982).
mengembangkan
minimum
American 10
Counselor
kompetensi
bagi
Association semua
telah konselor
dan 16 kompetensi minimal bagi konselor spesialis gerontology (Myers & Sweeney 1990). Kompetensi minimal bagi semua konselor terutama focus pada sikap dan pengetahuan konselor, dan kompetensi keterampilan yang menekankan pada konseling gerontology.
40
BAB III PENUTUP 3.3 Kesimpulan Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan yang berfokus pada analisis dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya (Leininger, 1978). Keperawatan transkultural bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Keperawatan Transkultural tidak terlepas beberapa aspek antara lain budaya, perbedaan budaya, etnosentris, etnis, ras, care, caring, cultural care, cultural imposition. Model konsep asuhan keperawatan oleh Leininger terpacu dalam bidang budaya yang digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Asuhan keperawatan terdiri atas tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Aplikasi Keperawatan Transkultural Lansia diantaranya, yaitu: menyirih pada lansia di Jawa Tengah, budaya menginang di Provinsi Kalimantan Selatan, budaya merokok pada lansia di Desa Muktiharjo Kabupaten Pati, budaya merokok pada lansia di Aceh, budaya sirep pada lansia di Suku Tengger, budaya makan orang lansia Suku Minangkabau. Proses asuhan keperawatan pada usia lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan. Asuhan keperawatan yang dilakukan dimulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi.
41
3.4 Saran Kita sebagai mahasiswa keperawatan seharusnya lebih mengembangkan pengetahuan tentang konsep keperawatan transkultural khususnya lansia yang ada di Indonesia, hal sebagai upaya menambah pengetahuan terkait budaya pasien jika nanti mahasiswa keperawatan bekerja di rumah sakit. Dengan memahami konsep keperawatan transkultural yang ada di Indonesia telah di rangkum dalam materi Aplikasi Keperawatan Transkultural pada Kelompok Lansia. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa keperawatan Universitas Airlangga mari kita pahamkan dalam keseharian kita tentang pemahaman aplikasi keperawatan transkultural pada kelompok lansia.
42
DAFTAR PUSTAKA
Andrew. M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed, Philadelphia, JB Lippincot Company Basford, Lynn & Oliver Slevin. 2006. Teori dan Praktik Keperawatan : Pendekatan Integral pada Asuhan Pasien. Jakarta : EGC Desi, Sofia Rhosma.2014. Buku Ajar Keperwatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish Effendi, Ferry, Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika Fitriani, E. (2012). POLA KEBIASAAN MAKAN ORANG LANJUT USIA (Studi Kasus:Penderita Penyakit Hipertensi Sukubangsa Minangkabau di Jakarta). Vol:XI No. 2 Hodikoh, Atik Setyowati.2015 KEMAMPUAN MERAWAT PADA IBU PASCASEKSIO SESAREA DAN HUBUNGANNYA DENGAN NILAI BUDAYA (Caring Ability of Postcaesarean Mothers and It’s Association with Cultural Value). Jurnal Ners. Vol. 10 No. 2 : 348–354 HS, I. (n.d.). KESEHATAN FISIK PADA LANSIA YANG MEROKOK DI GAMPONG PIYEUNG MON ARA ACEH BESAR. Idea Nursing Journal, Vol: III No.3. Indrizal, Edi. 2005. PROBLEMA ORNAG LANSIA TANPA ANAK DI DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU, SUMATERA BARAT. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. 29, No 1. Hal 69-92 Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc. Joni Haryanto, dkk. 2016. TINDAKAN TRADISIONAL: SIREP MEMPENGARUHI KADAR
KORTISOL,
IFN-
AND
IL-10
PADA
LANSIA
DENGAN
GANGGUAN TIDUR. Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 277-282. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts, Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies.
43
Musyafaatun, Arisdiani, T., & Hastuti, Y. D. (2017). GAMBARAN KARAKTERISTIK BIOGRAFIKAL DAN BUDAYA MENYIRIH PADA LANSIA WANITA. Jurnal Ilmiah Permas, Vol: 7 No.1 Hal 16-17. McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc. NANDA. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2005-2006. Philadelphia : NANDA International. Nugroho,Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik.Edisi2. Jakarta;EGC. Rahwie. 2007. PERAWATAN LANSIA DI JEPANG: CATATAN PENGALAMAN, PENGAMATAN DARI PEMBELAJARAN Rejeki, Sri. 2012. HERBAL dan KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN (Suatu Pendekatan Transkultural dalam Praktik Keperawatan Maternitas).Jurnal Unimus Retnaningsih, D. (2017). PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA LANSIA. Naskah Publikasi. Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section One Understanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006. Sari, R. P., Carabelly, A. N., & Apriasari, M. L. (2013). PREVALENSI LESI PRAGANAS PADA MUKOSA MULUT WANITA LANJUT USIA DENGAN MENGINANG DI KECAMATAN LOKPAIKAT KABUPATEN TAPIN PERIODE MEIOKTOBER 2013. PDGI, Vol: 63 No.1 Hal:31-34. Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. Jakarta; EGC. Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku : Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC
44