SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA Pengertian Sejarah – Sejarah mungkin bagian dari masa lalu. Meski demikian, sejarah memiliki makna penting karena mempengaruhi kehidupan yang ada saat ini. Tidak heran jika belajar sejarah adalah hal yang amat penting. Tak hanya tentang pengertian sejarah, tapi juga pelajaran yang bisa diambil dari perjuangan masa lalu sehingga bisa menjadi pembenahan untuk saat ini. Banyak yang bertanya-tanya, apa pengertian sejarah sebenarnya. Pengertian sejarah secara umum yakni peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu. Sebetulnya sejarah memiliki makna yang sangat luas dimana memiliki unsur dan juga ciri tertentu. Ruang lingkup dari sejarah mulai dari sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah dan juga sejarah sebagai seni. Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli :
Muhammad Yamin Pengertian teks cerita sejarah menurut Muh Yamin yakni ilmu pengetahuan yang susunannya atas hasil dari penyelidikan berbagai peristiwa dan bisa dibuktikan dengan kenyataan. Moh Hatta Selanjutnya Moh Hatta juga memiliki definisi sendiri dari sejarah. Beliau menjelaskan jika sejarah adalah dalam wujud terkait masa lampau. Sejarah juga termasuk pemahaman di masa lampau yang mengandung ragam dinamika. Moh Ali Moh Ali mendefinisikan sejarah sebagai keseluruhan perubahan dan juga kejadian yang benar terjadi adanya. Sejarah sendiri merupakan ilmu yang menyelidiki perubahan yang terjadi di waktu lampau. Rohiati Wiriatmaja Pengertian sejarah menurut para ahli yakni dari Rohiati Wiriatmaja menjelaskan jika sejarah adalah sebuah disiplin ilmu yang bisa menjanjikan moral, kebijaksanaan, etika, nilai kultur dan juga spiritual. Nugroho Notosusanto Nugroho Notosusanto memaknai sejarah sebagai peristiwa yang ada sangkutannya dengan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat dan terjadi di masa lalu.
Tak hanya pengertian sejarah menurut para ahli di Indonesia saja. Anda juga harus tahu pandangan para ahli dunia terkait makna sejarah, diantaranya.
Pengertian Sejarah Menurut Tokoh Dunia :
Aristoteles Sejarah adalah sistem yang meneliti kejadian sejak awal dan tersusun dalam sebuah kronologi. Sejarah memiliki catatan, record serta bukti konkrit yang bisa menjelaskannya. Herodotus Pengertian sejarah menurut Herodotus dimaknai sebagai kajian untuk bisa menceritakan perputaran jatuh bangun tokoh peradaban dan masyarakat. Perlu Anda tahu jika Herodotus dikenal menjadi Father of History. Benedetto Croce Pengertian sejarah dari Benedetto Croce yakni rekaman kreasi pada jiwa manusia dalam semua bidang. Bidang ini termasuk teoritikal dan juga praktikal. Sedangkan untuk kreasi spiritual hanya terjadi dan lahir di hati dan pikiran budayawan, manusia jenius, pemburu agama dan pemikir. J.V. Bryce J.V Bryce mendefinisikan sejarah sebagai catatan dari pemikiran, perkataan hingga perbuatan manusia. W.H Walsh W.H Walsh menyatakan jika sejarah lebih menitikberatkan di pencatatan yang penting dan berarti saja. Hal ini meliputi tindakan serta pengalaman manusia pada masa lampau yang memiliki makna penting. (sumber : http://pengertianparaahli.com/pengertian-sejarah/ )
Pengertian Korupsi – Korupsi atau rasuah adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli bahasa, corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin yang lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan korupsi (Indonesia). Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan di seluruh dunia ini rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi tentu berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya. Dari sudut pandang ekonomi, para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta. Dari pengertian korupsi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Atau tindakan penyelewengan atau penggelapan uang baik itu uang Negara atau uang lainnya yang dilakukan untuk keuntungan pribai atau orang lain. Bisa juga diartikan sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pengertian Korupsi Menurut Undang Undang UU No 31 Tahun 1999 Pengertian korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. UU No 20 Tahun 2001 Pengertian Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara UU No 24 Tahun 1960 Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan. (sumber : https://indocropcircles.wordpress.com/2017/09/14/sejarah-singkat-awal-mula-kasuskorupsi-di-indonesia/ )
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragediyang teramat dahsyat. Era Sebelum Indonesia Merdeka Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-RanggawuniMahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lainlain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia. Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda. Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup,
lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba. Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya. Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup. Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain. Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”. Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulahyang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan. Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lainlain. Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan. Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”. Seperti apakah bentuk-bentuk pelanggaran CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lainlain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda. 2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda) 3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi). 4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya. 5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul. 6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih
banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak mengenal kornpromi. Era Pasca Kemerdekaan Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan. Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden. Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda). Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”. Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad
Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi. Era Orde Baru Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaanperusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali. Era Reformasi Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas
korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN. Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi. Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara. Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
(sumber : http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html )
BERIKUT INI ADALAH 10 KASUS KORUPSI TERBESAR DALAM SEJARAH BANGSA INDONESIA
1. Gayus Tambunan, Bukannya di Penjara Malah Jalan-Jalan
Total Kerugian Negara : 1.700 Milyar
Lama Hukuman : 28 Tahun
Kasus korupsi di dirjen pajak yaitu tersangka Gayus Tambunan memang salah satu yang paling fenomenal. Tertangkapnya Gayus, yang bekerja sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, telah mencoreng lembaga tempatnya bekerja. Nilai korupsinya fantastis, puluhan miliaran rupiah ada di brankas bank atas nama istrinya. Ironisnya, ketika harusnya mendekam di penjara. Justru Gayus dikabarkan asyik jalan-jalan, salah satunya ketika ia tertangkap kamera tengah menonton tennis di bali dengan menggunakan wig palsu. Belakangan, foto Gayus kembali beredar di media sosial. Kali ini dia kedapatan sedang makan di sebuah restoran bersama dua orang wanita.
2. Ratu Atut, Mahalnya Penampilan Sang Ratu
Total Kerugian Negara : 79 Milyar
Lama Hukuman : 5,5 Tahun
Seorang wanita yang sekaligus Mantan Gubernur Banten ini, sangat menghebohkan publik ketika ia mulai diperiksa KPK. Atut terkenal menghabiskan banyak uang untuk penampilannya. Tasnya saja seharga Rp 450 juta, bagaimana tidak ironis ? Ia bahkan masih tampil Bak Ratu yang modis ketika diperiksa KPK dan saat menjalani persidangan.
3. Akil Mochtar, Orang yang Mengerti Hukum
Total Kerugian Negara : 181,5 Milyar
Lama Hukuman : Seumur Hidup
Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H, M.H. adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Tahun 2013, dia ditangkap KPK karena ada kasus dugaan suap mengarah pada dirinya dalam penanganan gugatan Pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Sangat ironis, yang seharusnya sangat menegrti hukum justru tersandung kasus korupsi.
4. Nazarudin
Total Kerugian Negara : 7 Milyar
Lama Hukuman : 13 Tahun
Korupsi gede-gedean yang di lakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terkuak pada tahun 2010. Korupsi Wisma Atlet ini juga menyeret beberapa politikus Demokrat lainnya. Nazaruddin sebelum tertangkap sempat kabur ke luar negeri setelah ditetapkan sebagai tersangka. Pada masa pelariannya, Nazaruddin sempat muncul melalui skype dan akhirnya ia tertangkap di Kolombia.
5. Suryadharma Ali
Total Kerugian Negara : 1.8 Milyar
Lama Hukuman : 6 Tahun
Kurang ironis apalagi coba, bagaimana jika seorang Menteri Agama saja bisa melakukan hal senista korupsi ? Ia telah menjadi tersangka kasus korupsi dana haji. Jelas sangat di sayangkan seorang pejabat kementrian agama dan di anggap mampu menjabat seorang menteri agama dan ketua partai yang berbasis islam PPP seharusnya tau dengan kesalahan yang dia lakukan.
6. OC Kaligis
Total Kerugian Negara : USD 27.000 & SGD 5.000
Lama Hukuman : 7 Tahun
OC Kaligis adalah seorang pengacara ternama yang menjadi tersangka dalam suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan. Ironisnya adalah, ia bisa terus tertawa lebar kepada seluruh media dan publik meski ia jelas terbukti bersalah. Bahkan saat dia terkena kasus ini, dia hampir di bela lebih dari 90 pengacara kondang untuk membebaskan dirinya dari tuntutan hukum negara.
7. Irjen Pol Djoko Susilo
Total Kerugian Negara : 121 Milyar
Lama Hukuman : 10 Tahun
Polisi telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yakni merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar dari proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri tahun 2011. Ia di jatuhi hukuman 10 tahun penjara atas kasus tersebut. Ironis kan, seorang Pak Polisi kok korupsi?
8. Ahmad Fathanah
Total Kerugian Negara : Tak Terhingga
Lama Hukuman : 14 Tahun
Ia adalah tersangka kasus suap kuota impor daging sapi tahun 2013. Kasus ini sempat sangat naik ke permukaan publik, kasus ini juga menyeret Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera periode 2009-2014. Ironisnya, uang korupsi ini mengalir ke perempuan-perempuan cantik di sekitarnya untuk di lakukan lagi pencucian uang, serta ikut dalam human trafficking
9. Andi Mallarangeng
Total Kerugian Negara : 4 Milyar & USD 500.000
Lama Hukuman : 4 Tahun
Ia menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Ia kemudian mengundurkan dari jabatannya setelah ditetapkannya ia sebagai tersangka dalam kasus proyek pusat olahraga Hambalang Bogor, Jawa Barat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ironis kan, saat sangat krisis terhadap prestasi olahraga, ia malah korupsi haduh.
Dan ada satu lagi koruptor Indonesia yang membuat Jagat Maya gempar cetar membahana Siapa lagi kalau bukan Papa minta saham,
10. Setya Novanto
Total Kerugian Negara : 574 Milyar
Lama Hukuman : 15 Tahun
Uniknya dalam kasus Setya Novanto ini netizen pun, ikut geram menanggapi kasus korupsinya karena hanya gara-gara Meme beberapa netizen dilaporkan ke polisi melalui pengacaranya saat itu, frederich yunadi.
ini menandakan sebagai pembatasan akses demokrasi masyarakat terhadap kritik pedas dan kebebasan berpendapat di media sosial. Hal lucu yang lain adalah ketika drama Setya Novanto menabrak tiang listrik lebih dari itu tiang listrik itu menjadi tempat wisata foto selfie netizen.
( sumber : https://nyimakdulu.com/2018/01/26/10-kasus-korupsi-pejabat-indonesiaterheboh-sepanjang-masa-infokita-nyimakdulu-com/ )
DAFTAR PUSTAKA
Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model.
Budiyanto., 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008. Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption Perceptions Index – Immediate Release. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mauro, Paolo (1995), ”Corruption and Growth”, The Quarterly Journal of Economics, August 1995.