Riset (peminatan Lainnya).pdf

  • Uploaded by: Yehezkiel Romartogi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Riset (peminatan Lainnya).pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,064
  • Pages: 8
447

BEBERAPA PERSOALAN HUKUM BERKENAAN DENGAN PERJANJIAN JOINT VENTURE DI INDONESIA Oleh : Prof. Mr. Dr. S. Gautama Kontradikasi peodapat mengenai persoalan 'p ilib. an hukum dalam perjanjian joint venture sampai kini masih berlangsung. Ada sebagian kalangan mengusul ka. bahwo jib lerjodi sengkela onloro pibak dolom perjanjian perdagangan intemasional ito, hendaknya di selesaikan lewst hukum negaranya masing.masing atau memilih penyelesaian melaloi badan hakim parti kelir atau arbitrase, seringkali berpedoman pada Rule of Consiliation and Arbitration dari ICC Paris. Akhirnya beberapa persoalan yoridis yang berkailan dengan perjanjian Joint Venture, akan di bahas dalam tulisan ini.

1. Perjanjian joint venture (usaha patungan) antara pengusaha Indonesia dan partner luar negeri merupakan suatu kontrak dagang yang bersifat "internasional".' Karena pada perjanjian ini para pihak yang membuatnya masing-masing tunduk pada hukum nasional yang berlainan. Dengan demikian je\askan adanya "unsuI asingH2, yang disebabkan karena nasionalitas masing-masing pihak yang berbeda. Misalnya perjanjian usaha patungan J ini diadakan antara pengusaha Indonesia disatu pihak dan pengusaha Jepang di lain pihak . Hukum negara manakah yimg berlaku untuk perjanjian joint venture yang mereka buat ini: Hukum Jepang .) Disampaikan pada Seminar International Chamber of Commerce dan Kamar Dagang Indonesia di Jakarta. 20 Maret 1990. I. "Jnrcrnasionar disini diartikan sehagai Kosmopolitis. Stperti orang bicara tentang "International School", n " In!ernationa~ Markel", "International Village dan sebagainya. bukan seperti "antarnegara- dalam "hukum antamegara (international public)" arau -Law of Nation~ . Bdgk. S. Gautama, Hukum perdata Internasionallndonesia, buku kesatu (dari seri delapan buku), PT Kinta (1961), eel. pertama, kemudian dicetak ulang oleh Alumni Sandung no. 8. 2. "Unsur asing" atau "foreign element '" ini yang mcmbuat hubungan perdata "nasional'" berlaku men;adi bersifal "Hukum Perdara Internasional", S. GaUlama, Pengantar Hukum Perdata Internasiona1lndonesia. -BINA CIPTA..., Bandung, eel. perlan:ta (1977) kemudian dicetak kembali, no. 3. 3. Perumusan "joint venture ~greement " ini lazimnya dipergunakan uDtuk "perjanjian kerjasama antara dua atau Iebih pihak untuk maksud usaha dagang rertentu, dengan persetujuan nyata untuk mendirikan suaw perseroan dag~ng dengan moda1, policy management dan prosedur tertentu yang menegaskan hak dan kewajiban masing-mas.ing pihak~. Violeta Ca1vo-Drilan dalam "'Seminar on International business law and practices~. Manila 30 Juni I Juli 1987 merumuskannya sebagai berikut : . . A joint venture is tbe joining together of two or more parties for a specific business purpose, where it is expressly agreed to form a corporation with particular capita1 structure, management policies and procedures and with the rights and obligations oh the parties in such corporation being clearly determined~ (pada sub A).

Oktober 1990·

448

Hukum dan Pembangllnan

atau hllkum Indonesia? Tiga pokok permasa/ahan yallgdi/,>41!as . .' ,; .. 2. Permohonan t~ntan,g .~hukum ya~g harus di~erl~k,!kan" ini (the applicable law) adalah pokok permasalahan yang akan ditinjau dalam ulasah ini. Oisamping persoalan "pi/ihall hukum o/ehpara pihak " (choice of Jaw by the parties) akan ditinjau pula masalah berdekatan, yakni "pilihan forum peradi/an" (choice of fon,lm, choice of jurisdiction) dan "dispute settlement".

Semua masalah i,ni lazimnya diketemukan dalam suatu joint venture agreement yang' dibuat di Indonesia. Pilihan Hukum

Oalam .perjanjian joint venture yang dibuat antara pengllsaha Indonesia dan pengusaha luar negeri misalnya pengusaha Singapura dikemukakan klausula,mengenai hukum yang diperlakukan. Misalnya terdapat perumusan sebagaiberikut : "For the implementation of this contract Singapore Law will be applied". Sebagai contoh konkrit lainnya dapat disebut disini kontrak-kontrak yang .pernah ' dibuat oleh Pertamina dengan partner-partner luar negeri. Misalnya LNG Contract 1973, pasal berbunyi : "This cotttract shall be governed by and interpreted in accordance with the laws of the State of New York, United State5 of America" .4 Oi sini ditunjuk kepada perundangundangan negara bagian New York, hal mana tepat adanya. Karena dalam sistem hukum Amerika Serikat tiap-tiap negara bagian mempunyai hllkum perdata dan dagang-nya secara sendiri-sendiri. Tidak ada suatu hukum perdatal dagang Amerika Serikat. tetapi yang ada ialah hukum perdata:' dagang dari negara-negara bagian masing-masing. Mengenai kemampuan para pihak untuk memilih sendiri hukum yang berlaku untuk . kontrak mereka ini, pada waktu sekarang sudah tidak diragukan lagi. Tetapi beberapa puluh tahun berselang hal ini pernab disangsikan. Apakab para pihak dengan perjanjian mereka ini dapat melIentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi mereka. Jika demikian, apakab mereka ini tidak akan dianggap seolab-olab menjadi pembuat undang-undang ? Apakah dengan demikian mereka ini tidak duduk-duduk di kursi pembuat undang-undang ? Tetapi sekarang ini, antara para sarjana . dioidang HlIkum Perdata Internasional (disingkat "HPI") tidak ada lagi yang meragukannya. Yang masib dipermasalahkan hanya mengenai Iuas bidangnya yang terbuka untuk pilihan hukum ini. Apakah dapat sembarang macam hukum dipilih oleh para pihak, atau hanya sistim hukum yang mempunyai hubungan tertentu, dengan kontrak yang dibuat. Misalnya ~.

ullluk l'ontoh-cQluoh pcrjanjian Penamin,l dengan ~Kontrak l)i\gal1~ [mernasio!lal ~ ,

l)eru~ahaatl-pt!rusahaal1

a~ing

iail1nH. lill:n

..;ct. kc -2 ··. \!ullln; ~ Sandung (\9RJ) b.\h I : "8I:'b>:r3IH per"~lalan prakti., berkenaan J(,Hg~n kOlltr:
S. Gauwma,

Beberupo

449

kontrak antara pedagang Indonesia dan Australia untuk membuat suatu joint venture di bidang industri penanaman modal asing, berdasarkan Undang-undang no. I tahuri 1967. Apakah hanya dapat dipilih antara hukum Indonesia dan hukum negara bagian Australia ter.tentu, atau dapat juga dipilih hukum negara Baltik atau negara Denmark, yang sarna sekali tidak mempunyai kaitan sedikitpun dengan perjanjian joint venture di Indonesia ini? Menurut pandangan yang dianut para sarjana HPI terbanyak, pilihan yang dilakukan harus mempunyaj kaitan tertentu dengan perjanjian yang dibuat. Akan tetapi, untuk perjanjian-perjanjian di bidang khusus, seperti misalnya kontrak-kontrak pengangkutan melalui kapallaut (maritime transactions) atau asuransi perkapallaut, adalah lazim bahwa dipakai sistim hukum dari Inggris yang terkenal maju di bidang maritime law ini. Sekalipun misalnya perjanjian yang dibuat adalah antara pedagang Indonesia dan maskapai perkapalan Taiwan (bukan Inggris). PiJihan forum penyelesaian sengketa. Berkenaan dengan persoalan pilihan hukum oleh para pihak ini, timbul dalam praktek hukum Indonesia berbagai masalah, yang mempunyai hubungan dengan forum peradiJan yang dipilih dalam rangka "settlement of disputes". Misalnya, dalam contoh perjanjian joint venture antara pengusaha Indonesia dan pengusaha Singapura, telah ditunjuk kepada hukum Singapura sebagai hukum yan berlaku. Ada Pengadilan Negeri yang menarlk kesimpulan, bahwa dalam hal timbul sengketa dan perkaranya diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya, bahwa Pengadilan negeri ini harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini dan karenanya menyatakan gugatan (yan! sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku untuk Indonesia, HIR - Reglemen Indonesia Diperbaiki - pasal lIS), telah diajukan ditempat domisili si tergugat. Satu dan lain, karena dalam perjanjian kerjasama bersangkutan telah dinyatakan 'Singapore Law· yang berlaku, dan oleh karena itu maka Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa sengketa seperti ini adalah "Pen,gadilan Singapura' (Singapore Court), padahal yang telah dimufakati oleh para pihak bukanlah demikian. Yang mereka kehendaki adalah hanya berlakunya hukum Singapura. Bukan, bahwa apabila timbul sengekta, maka Pengadilan Singapura sajalah yang dapat mengadili perkara ini. Jadi dicampuradukkan antaia 'pilihan sistim hukum oleh para pihak· dan 'plJihan forum peradiJan", choice of juridiction, yang bukan dikehendaki oleh para pihak. Dalam jalan pikiran Pengadilan yang keliru ini, dianggap sebagai "aneh', bahwa badan peradilan di Indonesia, dapat menyelesaikan suatu sengketa perdatal dagang dengan pemakaian hukum yang lain daripada sistim hukum Indonesia. Misalnya, pemah terjadi, belum lama berselang, bahwa dianggap sebagai hal yang ganjil bahwa perceraian antar suami istri yang status kewarganegaraannya asing, berkewarganegaraan Jerman, diputus oleh pengadilan negeri di Indonesia berdasarkan ketentuan Burgerliches Gesetzbuch Jerman. Bukankah di Indonesia dan di muka pengadilan di Indonesia, suatu persoalan perdata Oktober 1990

450

Hukum dan Pembangunan

hanya dapat diputuskan sesuai dengan hukum perdata Indonesia saja, dal) bukan ber'da~arkan sistim hukum Iuar negeri, ialah sistim hukum nasioilal smimi-istri yang sedang berperkara ini ? Padahal, pasal 16 ,A.B . untuk Indonesia sendiri, sebagai salah satu sendi HPI Indonesia menerifukan ' , , bahwa prinsip nasionalitas Y
..

jurisdiction'l.

Apakah pi/ihan hukum pcriu? Mengenai perlunya diutarakan pilihan hukum dalam perjanjian Internasional atau tidak, ada pula perbedaan pendapat. Seorang lawyer kenamaan Inggris selalu menasehatkan klien-kliennya untuk memilih hukum Ingggris untuk kontrak-kontrak liuernasional mereka. Waktu diabaikan, ,lawyer ini naik pitam dan berseru : "I cursed my clients! "6. Sebaliknya waktu membahas soal ikut tidaknya Jerman dalam konvensi HPI tentang Hukum Yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional, dalam rangka konperensi HPJ Den Haag tahun 1955, oleh para pedagang Jerman teiah dikemukakan, 5. 8dgk. pUlusan Pengadilan Negcri Jakarta PU~itl no. 495.119850 {gl 16·4·19l'16 jo,} I'utusan I'..:ngadilan Tinggi Jakarta no. 129/Pdl/1987/ PT DKI lSI. ;\0-4·1987. lloyd~ Balik International lid. !awan P.T. Djajami Ojaja o.

6. Lihat Bill Morllock. "lawyer, Heal Thyself! ~ , The autobiography of a' solicilOr (1939). h. 169.

Heberapo

4SJ

bahwa bagi mereka soal memilih hukum tidak terlalu dipentingkan. 7 Karena mereka sebenarnya hendak jual mesin mereka dan bukan bersikap sepeni para ahli hukum yang mementingkan pasal-pasal hukum saja. Yang penting bagi merck a adalah memperbesar omzet ekspor mesin-mesin mereka. Para pembeli dari negara berkembang umumnya sangat sensitif 'mengenai hukum nasional mereka. Jika terlalu memaksa dipakainya hukum Jerman, nanti banyak kontrak-kontrak penjualan mesin kepada pengusaha- , pengusaha negar berkembang akan kandas! Padahal menurut angka statistik hanya kurang lebih dua persen daripada kontrak dagang yang dibual oleh pedagang-pedagang Jerman dengan pedagang asing, ternyata menjadi perkara. Mayoritas ,9S Of, tidak mengalami kesulitan. Daripada memusingkan kepala dengan masalah memilih hukum, mereka anjurkan untuk dipakai saja "Klausu/a Arbitrase" menurut ICC Paris dan ditentukan suatu tempal di luar negeri sebagai tempat pemeriksaan arbilrase ini. Dengan demikian secara diam-iliarn apabila timbul sengketa persoalannya akan dibawa "keluar" dari sislim hukum negara si pembeli (dari nesara berkcmbang ini). Karena terdapat ketentuan arbitrase dari ICC, apabila tidak telah dinyatakan lain oleh para pihak sendiri, maka hukum dari tempat dimana arbitrase dilangsungkan adalah yang berlaku. Jadi dengan mempergunakan klausula arbitrase, pada hakekatnya dalam praktek, penyelcsaian sengketa bersangkutan akan terjadi menurut sistim hukum luar negeri (di luar hukum dari panner berkontraknya sendiri). Yang kita saksikan ialah bahwa arbitrase dipergunakan untuk menentukan masalah hukum yang harus diperlukan untuk kontrak sengketa. Settlement of disputes

Dengan menyinggung soal arbitrase ini, liba kita pada bagian ketiga dari pembahasan kita. Yakni persoalan "Settlement of disputes", yang juga selalu nampak pada kontrak-kontrak joint venture. DaJam salah satu pasal 'terakhi'r dari perjanjian usaha patungan, kita selalu menemui paSsl tentang "Dispute Settlement" ini. Dan rata-rata hampir selalu dipilih penyelesaian melalui badan "hakim partikelir" atau arbitrase. Sering kali dipilih arbitrase sesuai dengan Rules of Conciliaiion and Arbitration of the International Chamber of commerce (Paris). Arbitrase karena' khawatir terhadap sistim peradilan lokal

Mengapa pihak luar negeri selalu condong kepada penyelesaian melalui arbitrase ini? SaJah satu sebab utama, menurut hemat kami, adaJah kekhall'atiran pihak pengusaha luar negeri, terhadap sis tim hukum dan para hakim daTi negara-negara berkembang. Sistim hukum negara berkembang 7. 8dgk. Petersen, Die 8 Haager Konferenz, 24 abelsz (915), h. 1 dSI. · Slellungnahme Deutsche Rat fur inlernalionales Privatrecht ".

Oktober J990

452'

Hukum dan Pembangunan •

(termasuk 'Indonesia) dipandang .terlalu sulit u~tuk di inengerti. ', Pelaksana~nnya olel) baqan peradilan dik\lawatirkan ~terpengaruh oleh ber- ' bag,ai "faktor X". Tekanan art~er luar 'negerinya. Adi y~n:g mengatakan bahwa hukum' dari negara berkembang ini adalah "geIap gulita" .' J ika kita ' harus 'diadill menurutnya' ia seperti orang' yang mel om pat kelu'ar dalam 'gelap gulita ! ("Een ~proni het duister"). ' fliJk\lm negara ber- ' kern bang ini dii~aratkan sebai~i masuk dalam "rimoa" ("jungle")". Begitu' besarp.ya ketakut~n l?ihak luar neged terhadap sistim hukum di negani 'kita mis,unya, seperti pengusaha-pengusaha Jepang, yang seringkali menanyakan kepada kawi sebelum memulai persiapan untuk berperkara : "Apakah masih ada 'kemungkinan' bagi mereka u'ntuk menang, jika mengajukari ' pe~kara di muki pengadilan di Indon';i~ ' 7" : Setelah dijelaskan, bahwa di" bidang hukum perdata, tid"k ada perbedaan antara warga negara m~upun orang asing '("berdiri ,sarna tinggiduduk sarna rendahny~"), 'ses~ai ilengan k'e~' tentuan pitsal 1 KUH Perd. dan azas "audialteram partem" yang juga di- ' junjung tinggi dalam sistim azas berperk~ra dilndonesia, barulah"pihak pengusaha Jepang ini menjadi ' lebih tenang. Tetapi, jika: mereka harus memilih, maka, 'sesuai dengan contoh pedagang Jerman yang dikutip di atas:', mereka.lebih condong untuk memilih penyelesaiap sengketa dengan arbitrase di luar nelleri. ' " . • .

in

,

Eksekusi putusan arbitrase Iuar negeri masih sukar Kiranya disini perlu kern bali diperhatikan timbulnya kesulitan dalam praktek berkenaan dengan peng~kuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri., Untuk keadaan di Indonesia, walaupun sudah dikelilarkan Keppres 198'1 'n'o, 34, dengan mana Republik indonesia turut serta' dalam Konv~nsi PBB mengenai "Recognition and Enforcement of foreign arbitrai' awards", dalam pra,ktek masih timbul kesulitan tentang pro'~es permintaan eksekusi putusan arbltrase luar negeri ini, Satu dan lain, karena in(murut pendapat Mahkamah Agung , daiam salah satu putusan, masih hiu'i i, die' nantikan dikeluarkannya Peraturan Pe/aksanaan (dalam bentuk peraturlln pemerintah, atau Perma, Peraturan Mahkamah Agung, atau • Permea" , ,peraturan Menkeh) yang memberi kepastian tentang cara pelaksanaall putusan arbitrase luar negeri oleh peradilan di Indonesia ini. Selama beliun dikeluarkan peratutan pelaksanaan ini, pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri di Indonesia masih tertahan. 9 8. Udbk. Van Boeschoten. C.D. dan Fokkema. D .. Eenvormis koopn!cht en i.p.r .. Pril.:ad"iezen Vcre\:nig ing "oor Handelsrecht. (1966) h. IDS d!'iL

9.

~gk. S. Gaulama. Indonesia dan Arbitra;;e itllttna'iional, Alumni (19M). bab III : Kcpmusan arbilra'ie luar negeri di dalam wilayah Rcpublik Indonesia· , h. b7 dSI .

~ Pcli\l... ~a naan

453

Beberapa

Pj}jhan arbitrase dihormati oleh Pengadilan Indonesia Di lain pihak adalah menggembirakan, bahwa dalam banyak keputusan dari Mahkamah Agung kita yang baru-baru ini telah dikumpulkan dalam "Himpunan Putusan len tang Arbitrase", ' jalan menyei!:saikan sengketa malalui arbitrase sudah "berakar" dalam sistim jurisprudensi Indonesia, hal mana adalah sesuai dengan apa yang ditentukan pula dalam New York Convention 1958, yang dilampirkan dalam Kepres 1981 no. 34 yakni, apabila ·terdapat klausula arbitrase dalam suatu perjanjian, maka hakim harus' menyatakan diri tidak berwenang untuk mengadili perkara ini dan mempersilahkan para pihak untuk melanjutkan perkara mereka melalui arbitrase. JO

Kemungkinan arbitrase lain daripada melalui ICC Dalam praktek di Indonesia pada perjanjian usaha patungan, klausula arbitrase yimg sering dipakai adalah arbitrase menurut ICC Rules. Tetapi sebenarnya ada alternatif lain. Memang tak dapat disangkal bahwa pada mulanya, di jaman penjajahan transaksi-transaksi dagang yang dilangsungkan adalah antara parapihak dalam wilayah jajahan ini dan pengusaha pihak pedagang dari negara penjajah sendiri atau perusahaan dagang yang dimiliki dan dikontrol seluruhnya oleh kantor-kantor pusat yang berkedudukan di negara induk itu. Dapat dimengerti, bahwa dalam keadaaan demikian lebih baik, bilamana sengketa arbitrase diselesaikan di ibukota negara-negara penjajah, misalnya di Amsterdam atau di London dimana juga berpusat Kamar-kamar Dagang Internasional. Lembaga-Iembaga sedemikian ini menurut kenyataannya memang berkembang di ibukota metropolitan bersangkutan. Ibukota-ibukota Eropa ini yang kita saksikan dapat memberikan fasilitas arbitrase dagang dan pusat-pusat arbitrase yang terkenal ini, misalnya di Amsterdam, ,the Netherlands Coffee Trade Association , Grain and Corn Trade Association, London Commodity Exchange Sugar Association of London, the London Courts of Arbitration dan sebagainya. Dalam hubungan inipun dapat disebut ICC di Paris. Lembagalembaga ini mempunyai peraturan tersendiri dan fasilitas-fasilitas . untuk melaksanakan arbitrase. Juga tersedia cara-cara untuk mengangkat. para arbiter' serta Ketua Dewan Arbitrase dari' Panel yangmereka sedtakan 'itu '! Arbitrase melalui ICC ini terwujud klirena para:' pihak ieIah mencantumkan dalam konttak mereka suatu arbitration clause, seperti apa yang diajukan; oleh ICC, yakni : ~.AlI
. \,-~>"l " .,I: .,t ', " .

.



'

1O•.j.Bd,~};>,! " ~J., ltutu.~_-pup~s.I\..M~J:c;_;m)..ah,..aspng nq,~l4~"K/$.ipll981.tgI,..i-J..J9:i2. P. .if" Ba.n . Jay~ la. Ahyu Foresry Company Ltd; no.794K/Sip/1982 dan no. 79SK/Sip/1982. Sukardi Kawilarang lao masing-masing P. T. Ramayana, P. T. Asuransi Indrapura, putusan no. 3992/Pdt/1985 perkara P. T. BalU Mulia Utama la. 5.S.C. (Samrapt et Brite Societe Anxiliane d'Enterproses Societe Routiere Colas): arbitrase menurut BANI atau ICC. ' -,

Oktober 1990

Hukum dan Pembangunan

454

tors appointed in accordarice with the Rules". Setelah berlangsung proses dekolon.isasi dirasakan perlu untuk mengadakan orie,ntasi kembaJi pada slstim penyelesaian sengketa yang dahulu hanya disalurkan melalui badan-badan arbitrase dari negara-negar!, maju ini."

Uncitral Arbitration Rules Maka dalam rangka usaha ini oleh PBB melalui United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) telah diterima dan dianjurkan supaya dapat dicapai, suatu kelompok peraturan arbitrase baru yang dikenal sebagai 'Vncitrl!l Arbitration Rules". Disamping itu ada pula usaha nyata dari negara-negara yang termasuk kelompok negara-negara Asia Afrika (termasuk Indonesia) untuk membentuk pusat-pusat arbitrase tersendiri, antaranya di Kuala Lumpur dan Kairo. Arbitrase melalui badanbadan AALCC (Asian African Legal consultative Committee) yang berpusat di Kuala Lumpur dan Kairo ini apabila tidak dikehendaki berlainan oleh para pihak, memakai Uncitral Arbitration Rules untuk menyelesaikan sengketa arbitrase dagang ini! "Superior bergaining position" dari para pengusaha negara-negara maju, kini mendapat imbangan dengan adanya Pusat-pusat Arbitrase dari negara-negara berkembang seperti Pusat-pusat Arbitrase AALCC di Kuala Lumpur dan kairo. UNCITRAL yang mempunyai sebagai tujuan "The Harmonization of International Trade Law" seperti ternyata dalam Resolusi General Assembly PBB tanggal 17 desember 1966 (Regulation No. 2205, XXI) antara lain mengadakan rekomendasi untuk secara regional, mendirikan pusai-pusat arbitrase. Dengan demikian diharapkan bahwa pusat-pusat arbitrase bukan hanya terdapat di ibukota negara maju saja !

.._- .. ~ ..... -..

II. I !h:ll Ic!)ih iauh un!uk

pr~

ini S. Gautama , o\rbilra'iC Dagallg Inlcrnasional. h. 60 ckl.

Serangan Musuh dapat dilumpuhkan Tapi tiada tentara yang dapat menahan sebuah ide yang tiba waktunya untuk menyatakan diri. (Victor Hugo)

Related Documents

Riset
May 2020 50
Pengantar Riset
December 2019 57

More Documents from "Lilis Lisnawati"