UNIVERSITAS INDONESIA
Case Study Report: Studi Kasus Perkara No. 558/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel dan Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Acara Perdata Kelas C Paralel
Disusun oleh: Yehezkiel Romartogi
(1606909460)
Raindi Andreas
(1606909763)
Kevin Sebastian
(1606909681)
Davindra Fadhlurrahman
(1606910001)
Erwin Sunthony Sagala
(1606909284)
FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK MARET 2019
0
I.
PENDAHULUAN dan KASUS POSISI
A.
Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel Penulis melakukan observasi pada Rabu, 6 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara No. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel mengenai perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan pihak- pihak sebagai berikut: Penggugat
: Mohammad Maskur
Kuasa Hukum Penggugat
: - (tidak diberitahukan oleh Bagian Umum PN Jakarta
Selatan) Tergugat
:
1) Nyonya Hajah Lisma; 2) Abdilah Salam; 3) Solehudin Salam; 4) Zamzam Jamilah; 5) Dll. (tidak diberitahu oleh bagian Umum PN Jakarta Selatan). Majelis Hakim
:
1)
Toto Ridarto S.H., M.H. (Hakim Ketua);
2)
Asiyadi Sembiring S.H., M.H. (Hakim Anggota);
3)
Aralndi Triyogo S.H., M.H. (Hakim Anggota).
Panitera Pengganti: Muhammad Anwar S.H., M.H. Ruang Sidang No. 6 Bahwa hasil pengamatan pada persidangan yang penulis dapatkan perihal agenda persidangan Pembuktian oleh Tergugat yang terjadi pada Rabu, 6 Maret 2019 adalah sebagai berikut: 1) Majelis Hakim Tidak membuka sidang dalam hal mencabut skorsing dari sidang sebelumnya tidak disertai dengan ketukan palu untuk mencabut skorsing sidang. 2) Penggugat menyatakan bahwa ingin menghadirkan alat bukti yakni keterangan saksi dan Majelis Hakim menerima untuk bukti awal dihadirkan; 3) Majelis Hakim dalam hal memanggil saksi (tidak jelas dalam hal persona in standi karena suara yang tidak jelas), disertai dengan tidak sopan (membentak) 4) Majelis Hakim dalam hal menanyakan keterangan saksi, dengan nada tidak sopan (membentak) 1
5) Majelis Hakim setelah selesai dalam hal menanyakan keterangan saksi, telah memberikan kesempatan kepada Kuasa Hukum para pihak untuk bertanya, akan tetapi kedua Majelis Hakim Anggota tidur ketika pembuktian oleh para pihak dilakukan, dan Hakim Ketua memainkan Handphone dalam hal acara sidang tersebut. Kemudian setelah melihat kasus posisi perihal agenda persidangan pada Rabu, 6 Maret 2019 dalam perkara No. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel, penulis akan menjelaskan secara singkat terkait kasus posisi perkara perkara a quo tentang gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara Penggugat dan Para Tergugat a quo dalam hal khususnya sengketa kepemilikan tanah dan bangunan oleh para ahli waris (tergugat) an. Hj. Hussein Salam dengan pihak penggugat yang mengklaim ayah daripada Penggugat telah membeli tanah tersebut daripada ayah para tergugat an Hj. Hussein Salam (Alm.)
KASUS POSISI PERKARA 1. Bahwa pada sekitaran tahun 1970-an atau setidak - tidaknya pada beberapa puluh tahun lalu, bahwa terdapat setidak - tidaknya sebidang tanah seluas 230 M2 dan terdapat rumah yang berada di atas tanah tersebut, yang beralamat di Jl. Keselamatan No. 20, RT/RW 011/183, Jakarta Selatan atau setidak - tidaknya berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dimiliki atas nama Hj. Hussein Salam. 2. Bahwa pada sekitaran tahun tersebut, Hj. Hussein Salam selaku pemilik tanah dan bangunan rumah tersebut ingin menjual properti tersebut, dengan mengabari saksi Penggugat, dan meminta tolong untuk dicarikan pembeli atas properti tersebut. 3. Bahwa Saksi merupakan tetangga yang jarak rumahnya tidak jauh atau sekitaran berjarak 100 Meter dari properti tersebut dan merupakan teman sekaligus tetangga dari Hj. Hussein Salam. 4. Bahwa Saksi menawarkan kepada ayah dari Penggugat terkait properti tersebut dan mempertemukan Hj. Hussein Salam dan ayah dari Penggugat untuk melakukan transaksi jual beli. 5. Bahwa atas jasa tersebut, saksi diberikan sebagian dari hasil penjualan properti tersebut dan tidak mengetahui lebih lanjut terkait properti tersebut.
2
6. Bahwa setelah transaksi tersebut itu, dikarenakan tidak pernah digunakan oleh keluarga daripada Penggugat, Maka Properti tersebut ditempati oleh Para Tergugat selaku ahli waris daripada Hj. Hussein Salam yaitu Abdilah Salam, Solehudin Salam, dan ZamZam Jamilah yang masih berpikir bahwa properti tersebut milik daripada Hj. Hussein Salam dan merasa bahwa para tergugat berhak atas hak waris terkait objek perkara a quo. 7. Bahwa pada sekitaran awal tahun 2000-an, Hj. Hussein Salam telah meninggal dunia dan sekitaran tahun 2018, Penggugat memiliki maksud untuk menggunakan properti tersebut. 8. Bahwa Penggugat baru mengetahui bahwa properti tersebut ditempati oleh orang lain (Para Tergugat). Dan terjadi perdebatan (cekcok) antara Penggugat dan Para Tergugat. 9. Bahwa setelah itu, maka Penggugat karena melihat itikad tidak baik dari para Tergugat, maka Penggugat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara a quo. 10. Bahwa dalam acara persidangan pembuktian, baru diketahui bahwa Saksi Penggugat tidak mengetahui terkait adanya perjanjian jual beli secara tertulis, maupun tidak mengetahui terkait surat - surat Hak Milik yang terdaftar dalam Notaris, akan tetapi Saksi mengetahui bahwa memang telah benar terjadi transaksi jual beli dengan Saksi selaku perantara transaksi jual beli tersebut.
B. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel Penulis melakukan observasi pada Kamis, 28 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara No. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel dengan agenda pembacaan Putusan, mengenai perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dengan pihakpihak sebagai berikut: Penggugat
: Dr. Minggrainy Sumichan
Kuasa Hukum Penggugat : - (tidak diberitahukan oleh Bagian Umum PN Jakarta Selatan) Tergugat
:
1). PT. Otomas Multifinance (Tergugat 1) 2). KPKNL Jakarta (Tergugat 2) Kuasa Hukum Tergugat
:
3
1) Vega L. Octavia, S.E., S.H., M.H., dan dkk, dari kantor Advokat Okto Boboy dan Rekan di MTH Square Lantai UG, Citywalk B, Jl. M.T. Haryono Kavling 10, Jakarta Timur berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 7 Mei 2018 Majelis Hakim
:
1) Achmad Guntur S.H. (Hakim Ketua); 2) Dedy Hermawan S.H., M.H. (Hakim Anggota); 3) Indirawati S.H., M.H. (Hakim Anggota). Panitera Pengganti: Matius B. Situru S.H. Mediator (gagal dalam mediasi) : Mery Taat Anggarasih, S.H., M.H. tertanggal 7 Juni 2018 Bahwa hasil daripada pengamatan kelompok kami pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019 pada persidangan a quo ditemukan fakta-fakta sebagai berikut: 1. Bahwa persidangan dengan acara PUTUSAN AKHIR berjalan dengan baik dan tidak ada cacat secara etika para pihak yang tertib dalam menjalankan peradilan. 2. Akan tetapi, terdapat hal - hal yang menurut kelompok kami tidak sesuai, yaitu dalam hal setelah pembacaan putusan yang menolak keseluruhan Gugatan dan menyatakan gugatan penggugat ditolak, akan tetapi sidang tidak ditutup dengan ketukan palu sebanyak 3 kali.
KASUS POSISI PERKARA 1. Bahwa telah terjadi perjanjian pembiayaan Multiguna antara penggugat dan tergugat dengan No. Pk.D804/CF/11/17/1 tertanggal 15 September 2017, dengan total kesepakatan pinjaman Rp. 495.000.000,00 (empat ratus sembilan puluh lima juta rupiah) dengan angsuran Rp. 20.212.500,00 (dua puluh juta dua ratus dua belas ribu lima ratus rupiah) yang dibayarkan selama 48 bulan dengan bunga 24% pertahun flat. 2. Bahwa yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak adalah mengenai kewajiban pembayaran angsuran hutang yang tidak dapat dilakukan oleh Penggugat yakni sebesar Rp 20.212.500 (dua puluh juta dua ratus dua belas ribu lima ratus rupiah) yang dibayarkan selama 48 bulan dengan bunga 24% pertahun flat. 3. Bahwa dengan surat permohonan Penggugat kepada Tergugat dalam perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang pada pokok intinya agar dilakukan restruksurisasi untuk mengurangi besarnya angsuran menjadi Rp 12.375.000,00 (dua belas juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan selama sisa jangka waktu pembayaran berdasarkan 4
suku bunga 5% pertahun dengan dalil bahwa: 1. Penggugat pada intinya meminta pembatalan perjanjian a quo dan dikarenakan dalam gugatannya dirasa bahwa telah melanggar Peraturan Undang - Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, serta 2. Penggugat tidak mampu membayar angsuran sebagaimana yang telah tertera sesuai perjanjian a quo dan meminta untuk dikurangi besaran angsurannya menjadi Rp. 12.375.000,00 (dua belas juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan dengan selama sisa jangka waktu pembayaran dengan suku bunga 5% pertahun dengan alasan bisnis yang dimiliki penggugat telah menurun drastis dan sudah tidak memiliki simpanan untuk menghidupi kehidupan keluarganya serta dalil tersebut menurut penggugat berdasarkan Undang Undang Perbankan. 4. Bahwa yang pada intinya, Majelis Hakim menolak seluruh gugatan Penggugat, dikarenakan Penggugat tidak jelas dalam dalil gugatannya dan Majelis merasa, bahwa dalil gugatan merupakan kedok penggugat untuk menghindar dari kewajibannya, dan menurut 163 HIR seharusnya Penggugat menjalankan kewajibannya.
II. TEORI dan ANALISA HASIL PENGAMATAN A. Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel 1. TEORI dan ANALISA TERHADAP PERKARA TERKAIT TAHAP PEMBUKTIAN Pembuktian adalah salah satu tahapan beracara dalam Hukum Acara Perdata dimana tahapan ini dilakukan setelah tahap jawab menjawab yakni tahap Jawaban atas gugatan penggugat, replik, dan duplik. Pembuktian didefinisikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan1.
1
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 50.
5
Tahap ini dianggap tahap terpenting guna membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu atau adanya hak yang dapat dijadikan dasar oleh Penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan serta pihak Tergugat dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil yang diajukan Penggugat. Tahapan ini juga dapat menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan dalam penyelesaian suatu perkara. Mengenai tahap pembuktian, terdapat instrumen-instrumen hukum yang mengaturnya
yakni
di
dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata) dari Pasal 1865 - Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314. Pada tahap pembuktian ini dikenal asas affirmandi incumbit probatio dimana siapa saja yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan dimana asas ini diatur dalam Pasal 163 HIR/283 RBg. Artinya, penggugatlah yang harus membuktikan pertama kali berkenaan dengan gugatan Penggugat kepada Tergugat. Berkenaan dengan alur persidangan, tahap pembuktian yang di dalamnya termasuk pemberian bukti awal baru dapat dilakukan setelah tahap jawab menjawab yakni pemberian jawaban dari Tergugat, Replik, dan Duplik2. Pembuktian didefinisikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan. Dalam persidangan ini, pemberian bukti awal itu sudah benar karena diberikan ketika persidangan masuk ke tahap
http://www.pn-depok.go.id/index.php/layanan-hukum/kepaniteraan-perdata/alur-persidangan-perdata-menu,
2
yang diakses dari pada 22 Maret 2019, pukul 19.00.
6
Pembuktian, tepatnya setelah selesainya tahap jawab menjawab yang dimulai dari Jawaban atau Eksepsi, Replik, dan Duplik. Berdasarkan Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan : “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” 3 yang pada intinya menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan suatu gugatan perdata, maka ia harus membuktikan pertama atas dalilnya tersebut yang berarti beban pembuktian ada pada pendalil atau penggugat dalam suatu kasus perdata. Yang menurut kelompok kami sudah sesuai dalam persidangan yang kami observasi tersebut yang merupakan tahap acara persidangan pembuktian saksi yang dibawakan pertama kali oleh penggugat yang memiliki beban pembuktian, oleh karena beban pembuktian tersebut pada penggugat maka penggugatlah yang harus membuktikan terlebih dahulu dalam acara pembuktian. Dalam persidangan, pihak yang beracara selain hakim dan panitera tidak mengucapkan hal-hal yang perlu diucapkan secara keras dan jelas sehingga kami tim penulis sebagai pengamat tidak bisa mendengar dengan jelas apa saja hal-hal yang diucapkan oleh pihak Tergugat dan Penggugat. Tidak hanya kami sebagai pengamat yang tidak mendengar terlalu jelas apa saja yang diucapkan oleh pihak yang beracara, hakim saja sering kali meminta para pihak yang beracara untuk mengulangi hal-hal yang ingin mereka ucapkan ketika persidangan. Dalam pembuktian yang kami saksikan juga, terdapat beberapa pelanggaran kode etik dalam kekuasaan kehakiman karena pembuktian, merupakan suatu acara dalam membuat terang suatu perkara dan hakim harus benar - benar mengetahuinya agar dalam hal mengadilinya, hakim dapat mengadili dengan sebenar - benarnya dan seobjektif - objektifnya, akan tetapi dalam persidangan a quo, kedua Hakim Anggota tidur dan Hakim Ketua bermain Handphone. Hal ini jelas menurut salah seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hasril Hertanto bahwa dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 3
Artikel 163, Herzien Inlandsch Reglement.
7
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa baik dari para pihak yang diadili memiliki hak ingkar dan boleh untuk meminta pergantian Hakim yang sedang mengadili perkara a quo. Dalam kode etik kehakiman yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM pasal 4 ayat (5) yang isinya: “Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga
tercermin
ketidakberpihakan
Hakim
dan
lembaga
peradilan
(impartiality);”4 Yang disini jelas bahwa Hakim tidak menunjukkan dunia kehakiman sebagai penegak keadilan, karena bagaimanapun juga dalam acara pembuktian yang dimana seharusnya Hakim mengetahuinya untuk membuat terang suatu kasus, malahan Hakim bersikap acuh tak acuh untuk menegakkan keadilan, hal ini lah yang kelompok kami rasakan bahwa ternyata bagaimana jika suatu keadilan mau ditegakkan secara nyata dan terang sedangkan penegak keadilannya saja tidak memperlihatkan sikap untuk menunjukkan hal tersebut.
2. TEORI dan ANALISA TERHADAP PERKARA TERKAIT PENCABUTAN SKORSING SIDANG Bahwa dalam fakta - fakta persidangan sebagaimana yang penulis dapatkan dari hasil observasi secara langsung pada persidangan a quo tertanggal 6 Maret 2019, ditemukan terdapat beberapa kesalahan - kesalahan yang menurut penulis telah dijabarkan di bagian Kasus Posisi dan Pendahuluan. Bahwa dalam hal poin nomor 1 terkait Majelis Hakim yang tidak mencabut skorsing dengan tidak membuka persidangan a quo dan tidak melakukan ketukan palu sebagai tanda pencabutan skorsing tersebut, telah melanggar SOP (Standar Operasional Prosedur) Lembaga Peradilan Indonesia yang dikutip oleh Penulis berdasarkan SOP prosedur persidangan 4
Mahkamah Agung RI, KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, 2007, Pasal 4 ayat (5).
8
yang terdapat pada Pengadilan Negeri Nganjuk yang pada intinya menjelaskan bahwa dalam hal poin 17 dan 18 terkait apabila diperlukan untuk hakim mempertimbangkan dalam hal putusan sela, maka hakim dapat menskorsing sidang dan meninggalkan ruang sidang untuk pembahasan putusan sela tersebut, dan juga apabila hakim sudah selesai dan siap pembacaan putusan sela maka skorsing tersebut dicabut5. Penskorsingan atau penundaan dan pencabutan skorsing daripada persidangan tersebut dalam hasil riset oleh pada hukum online, yang ditandai dengan ketukan palu sebanyak 1 kali. Pun juga daripada hasil wawancara penulis terhadap salah satu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada waktu observasi SOP terkait ketukan palu sekali yang menandakan bahwa penundaan (skorsing) persidangan yang diakibatkan tidak siapnya dari para pihak ataupun Majelis Hakim dalam hal mengikuti acara persidangan, pun juga dalam hal mengatur untuk mengesahkan bukti - bukti yang terdapat pada persidangan, serta dalam hal menjatuhkan putusan juga diakhiri dengan ketukan palu sebanyak 1 kali6. Hal ini semata - mata bukan hanya sebagai suatu formalitas belaka dalam persidangan, karena berdasarkan keterangan Prof. Jimly Asshiddiqie dalam suatu acara pembacaan sumpah oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar, hal pengetukan palu menjadi penting karena ketukan palu tersebut merupakan suatu hal penanda legitimasi dalam proses persidangan, seperti halnya dalam proses persidangan yang ditunda dan diskorsing maka ketukan palu tersebut menandakan bahwa persidangan a quo ditunda dalam pemeriksaannya sampai pada waktu yang ditentukan dan penundaan tersebut memiliki legitimasi di mata hukum bahwa sidang tersebut berhenti sementara, sehingga ketika sidang selanjutnya dimulai yang dimana berdasarkan pengesahan (legitimasi) ketukan palu sebelumnya bahwa sidang diberhentikan sementara maka untuk membuka sidang kembali atau melanjutkan proses persidangan yang masih berjalan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka skorsing yang memiliki Kepaniteraan Pengadilan Negeri Nganjuk, “Tahap-tahap dan tata cara sidang perkara pidana di Pengadilan Negeri”, yang diakses dari http://www.pn-nganjuk.go.id/index.php/kepaniteraan/kepaniteraanpidana/proses-persidangan pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 19.00. 6 HukumOnline, “17 Perangkat Persidangan yang Layak Anda Ketahui”, yang diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b31e792b1a6/17-perangkat-persidangan-yang-layak-andaketahui pada 22 Maret 2019, pukul 19.30. 5
9
legitimasi tersebut hanya bisa dicabut dengan ketukan palu sebanyak 1 kali, sehingga pencabutan skorsing tersebut sah di mata hukum dengan memiliki legitimasi. Hal ini sama dengan logika berfikir terkait marwah ketukan palu yang menunjukan bahwa ketukan palu tersebut memiliki kekuatan hukum untuk eksekusi yaitu eksekusi baik selama perjalanan persidangan maupun eksekusi pokok perkara. Hal ini sesuai dengan pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman7 yang pada intinya sidang dibuka untuk umum demi menciptakan suatu transparansi proses memperjuangkan keadilan yang sah di mata hukum, analoginya adalah dalam suatu peradilan pada zaman dulu, simbol pedang merupakan simbol yang menunjukan eksekusi pengadilan pada zaman dahulu, nah dalam ruang waktu modern ini maka palu lah yang menggantikan pedang tersebut dalam hal eksekusi pemidanaan, akan tetapi bentuk eksekusi dari palu itu menjadi legitimasi suatu proses persidangan. Sehingga dalam masalah tahap acara ini, dikarenakan hakim tidak mencabut skorsing dengan ketukan palu maka persidangan dalam tahap acara pembuktian pertama, tidak memiliki legitimasi dan tidak sah di mata hukum sehingga dapat dianggap tidak pernah berlangsung persidangan terkait acara a quo pada Rabu, 6 Maret 2019.
7
Pemerintah Indonesia, Undang - Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8 tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358.
10
B. Perkara No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel 1. ANALISA DAN TEORI TERHADAP PENUTUPAN PERSIDANGAN Bahwa sama halnya dalam penjelasan sebagaimana yang dimaksud dalam Analisa Perkara No.558/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel, terkait maksud dan tujuan untuk apa dibuka dan ditutupnya persidangan dengan ketukan palu tersebut, menunjukkan suatu legitimasi keabsahan proses peradilan tersebut, yang menunjukkan apakah sidang tersebut telah memiliki kekuatan hukum atau tidak. Berbeda dengan pencabutan skorsing, penutupan sidang tersebut sama halnya dengan pembukaan sidang hal ini menunjukkan bahwa suatu proses persidangan (penjelasan M. Yahya Harahap) merupakan hal untuk menyatakan batal atau tidaknya demi hukum karena apabila tidak dibuka dengan hal tersebut, maka menurut penjelasan a quo, putusannya batal demi hukum. Pun juga berlaku untuk penutupan, apabila tidak ditutup dengan ketukan palu sebanyak 3 kali, maka putusannya batal demi hukum karena apabila tidak ditutup maka sidang tersebut dinyatakan belum selesai dan putusannya belum memiliki kekuatan legitimasi. Disinilah kelompok kami berpendapat bahwa, dalam persidangan No. 403/Pdt.G/2018/PN JKT.Sel putusan yang dimana
belum
ditutup
maka
putusannya
belom
memiliki
kekuatan
hukum
(persidangannya belum selesai) dan Putusan tersebut seharusnya Batal Demi Hukum.
11
3. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan Penulis, maka dapat disimpulkan beberapa hal baik terkait proses beracara maupun prosedural dalam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah cukup terbuka untuk informasi persidangan. Hal ini dapat Penulis simpulkan dari hasil pengamatan yang cukup mudah untuk mendapatkan data, baik Hakim maupun panitera tidak mempersulit dan memberikan informasi sudah sesuai dengan prosedur. Dalam hal proses beracaranya, masih terdapat beberapa hal yang luput dilakukan, seperti etika dalam ketukan palu yang masih dirasa sebagai formalitas suatu persidangan, padahal seharusnya Majelis Hakim dimanapun mengetahui tentang legitimasi ketukan palu yang menunjukan suatu sah tidaknya proses persidangan, karena apabila hal tersebut menjadi konsen daripada para pihak, maka para pihak dapat menganggap bahwa persidangan a quo tidak memiliki suatu kekuatan hukum. Hal itu dapat berdampak dengan suatu asas keadilan dalam acara persidangan Republik Indonesia. Pun juga dalam etika hakim, seperti hakim tidur yang tidak mendengarkan kesaksian yang secara nyata untuk membuat terang suatu keadilan. Hal ini berpengaruh terhadap keragu - raguan masyarakat terhadap satu - satunya lembaga tempat mencari keadilan “apakah dengan etika tersebut, apakah keadilan benar benar dapat diungkap senyata - nyatanya”. Saran Saran Penulis sekiranya agar waktu sidang yang telah diagendakan dan dipublikasikan dapat berjalan dengan tepat waktu, dan SOP persidangan serta hal - hal formil persidangan perlu lebih diperhatikan demi tegaknya keadilan bukan hanya sebagai suatu formalitas dan Mahkamah Agung seharusnya lebih tegas dan tidak hanya mengirimkan teguran - teguran semata yang menurut kelompok kami tidak akan jera karena Undang Undang (kekuasaan kehakiman) saja dilanggar apalagi Surat dari Mahkamah Agung Hasril Hertanto.
12