Rhinosinusitis - Nensi.docx

  • Uploaded by: Widya Simanjuntak
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rhinosinusitis - Nensi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,116
  • Pages: 24
RHINOSINUSITIS

Disusun Oleh :

Widya G Simanjuntak 18010006

Pembimbing :

dr. DJUNI SIMATUPANG, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2019

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatakan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang masih melimpahkan berkat dan kasih - Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan bagaimana mestinya. Makalah ini berjudul RHINOSINUSITIS, ditulis guna memenuhi persyaratan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu THT Rumah Sakit dr. Djasamen Saragih Medan. Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan kepada dr. Djuni Simatupang, Sp.THT-KL sebagai pembimbing serta dokter-dokter lainnya yang telah banyak memberikan bimbingannya selama kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu THT. Penuls menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapakan ktirik dan saran dari pemabaca sekalian. Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang menggunakannya.

Medan, Januari 2019 Penulis,

Widya G Simanjuntak

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................

i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................

3

2.1. Anatomi ............................................................................................................

3

2.2. Histologi Sinus Paranasal .................................................................................

7

2.3.Fisiologi sinus paranasal ...................................................................................

9

2.4.Definisi rhinosinusitis ....................................................................................... 10 2.5.Etiologi .............................................................................................................. 10 2.6.Klasifikasi Rhinosinusitis ................................................................................. 11 2.7.Patofisiologi ...................................................................................................... 11 2.8.Gejala Klinik ..................................................................................................... 13 2.9.Diagnosis ........................................................................................................... 13 2.10.Penatalaksanaan .............................................................................................. 16 2.11.Komplikasi ...................................................................................................... 17 BAB 3 PENUTUP .................................................................................................. 20 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 21

ii

BAB 1 PENDAHULUAN

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan yang tampaknya mencerminkan dari peningkatan frekuensi rhinitis alergi dan yang menyebabkan beban keuangan yang besar pada masyarakat. Rhinosinusitis adalah istilah yang luas yang mencakup beberapa penyakit, termasuk rhinosinusitis akut, rhinosinusitis kronik dengan polip hidung atau tanpa polip hidung. Di Amerika Serikat, survei rumah tangga berbasis populasi yang dilakukan oleh National Center for Health menemukan prevalensi rinosinusitis dilaporkan sendiri 13% pada tahun 2009. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.1,2 Rhinosinusitis sering disebut sebagai sinusitis. Sinusitis terjadi ketika sinus tersumbat atau terlalu banyak lendir yang menyebabkan satu atau lebih rongga menjadi meradang atau bengkak. Rhinitis alergi atau asma dapat dikaitkan dengan sinusitis kronis. Di negara-negara Eropa Barat 40% dari anak-anak saat ini menderita rhinitis alergi sehingga menyebabkan obstruksi pada hidung. Akibatnya dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah.3,4 Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin

akan

terus

meningkat

prevalensinya.

Rhinosinusitis

dapat

mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini. Bahaya dari

1

rhinosinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap rhinosinusitis ini menjadi yang penting.5

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI Sinus paranasal adalah ruang berisi udara yang terletak di dalam tulang tengkorak dan wajah. Terdapat empat pasang sinus yaitu maksila, frontal, sphenoid, dan ethmoid. Masing-masing sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, mampu menghasilkan mukus, dan bersilia. Pada orang sehat sinus berisi udara. 3,6 Di setiap sisi ada empat sinus paranasal udara dalam empat tulang tengkorak: frontal, rahang, ethmoid dan sphenoid. Mereka dibagi menjadi dua kelompok:7 1. Anterior : sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di meatus tengah, membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari sinus maksila, frontal dan anterior sinus ethmoid. 2. Posterior : sinus yang terbuka kearah posterior dan superior pada basal lamella dari konka media. Terdiri dari sinus ethmoid dan sinus sphenoid. Posterior sinus etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid terbuka reses sphenoethmoidal.

2.1.1 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

3

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. Sinus maksila berbentuk pyramid.2 Dinding anterior

: permukaan fasial os maksila yang disebut fosa

kranina Dinding posterior

: permukaan infra-temporal maksila

Dinding medial

: lateral rongga hidung,

Dinding superior

: dasar orbita

Dinding inferior

: prosesus alveolaris dan palantum

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar (M3), bahkan akarakar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan infeksi.2

2.1.2 Sinus Frontalis Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal 2 x 2,4 x 2,8 cm besekat-sekat dan tepi sinus berkelok-kelok. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri. Sinus frontal berdrenase melalui ostium yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum.2

4

2.1.3 Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2,3 x 1,7 x 2 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkemabang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya:2 Superior

: fossa serebri media dan kelenjar hipofisis

Inferior

: atap nasofaring

Lateral

: sinus kavernosa dan arteri karotis interna

Posterior

: fosa serebri posterior daerah pons.

2.1.4 Sinus Etmoidalis Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fikus infeksi bagi sinus-sinus yang lain. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.2 Sinus etmoid berongga-rongga seperti sel sarang tawon, yang terdapat di dalam bagian os lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letak dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal yang berhugungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior

5

terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara sinus maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.2 Kompleks Osteo Meatal Komplek osteo meatal (KOM) merupakan ruang 3-dimensi yang berbatasan dengan papyracea lamina lateral, konka medial, reses frontal superior, dan sinus maksilaris ostium inferior. Ruang ini meliputi infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinutis, resesus frontalis, bula etmoid dan dan ostium sinus maksila.3 Peradangan kronis dan edema dari KOM menyebabkan obstruksi anatomis dan fungsional, yang menyebabkan peradangan kronis dari sinus mengalir ke daerah tersebut.2

6

Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal2

2.2 HISTOLOGI SINUS PARANASAL Sebagian besar epitel respirasi terdiri 5 jenis sel yang khas. Sel silindris bersilia adalah sel yang terbanyak. Setiap sel memiliki lebih kurang 300 silia pada permukaan apikalnya. Di bawah silia, selain terdapat badan-badan basal, banyak terdapat mitokondria kecil yang menyediakan ATP untuk pergerakan silia. Sel terbanyak kedua adalah sel goblet mukosa yaitu sel yang pada bagian apikalnya mengandung droplet mucus yang terdiri atas glikoprotein. Sel silindris selebihnya dikenal sebagai sel sikat karena banyaknya mikrovili pada permukaan apikalnya. Sel sikat mempunyai ujung saraf aferen pada permukaan basalnya dan dipandang sebagai reseptor semsorik. Sel basal adalah sel bulat kecil yang terletak di atas lamina basal namun tidak meluas sampai permukaan lumen epitel. Sel ini diduga merupakan sel induk generative yang mengalami mitosis dan kemudian 7

berkembang menjadi jenis sel yang lain. Jenis sel yang terakhir adalah sel granul kecil yang mirip dengan sel basal kecuali bahwa sel ini memiliki banyak granul berdiameter 100-300 nm dengan bagian pusat yang padat. Kajian histokimia mengungkapkan bahwa sel-sel ini merupakan populasi sel dari system neuroendokrin difus.7 Sinus paranasal adalah rongga tertutup dalam tulang yang dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan sedikit mengandung sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Mukus yang dihasilkan di dalam rongga-rongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.7

8

Gambar 2.2 Histologi Sinus Paranasal10

2.3 FISIOLOGI SINUS PARANASAL Sinus paranasal memiliki berbagai fungsi, yaitu:5 1. Meringankan berat kepala, Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan pertambhana berat 1% dari berat kepala. 2. Pelembab dan pemanasan menghirup udara Sinus berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organorgan yang dilindungi.

9

3. Meningkatkan resonansi suara Sinus berfungsi sebagai rongga resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. 4. Membantu produksi mucus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus dari meatus medius.

2.4 DEFINISI RHINOSINUSITIS Rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada selaput lendir hidung dan sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa asinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.5,8

2.5 ETIOLOGI Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang

10

timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.3,5 Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya.Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.3 Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.3

2.6 KLASIFIKASI RHINOSINUSITIS Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007, rhinosinusitis dapat terbagi atas:8 1. Rhinosinusitis akut: gejala berlangsung kurang dari 12 minggu. 2. Rhinosinusitis kronik: gejala berlangsung selama lebih dari 12 minggu tanpa resolusi lengkap.

2.7 PATOFISIOLOGI Klirens Mukosiliar pada KOM (Kompleks Ostei Meatal) menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan sinus. Mukus juga mengandung zat-zat antimikrobiotik yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Edema yang terjadi saat inflamasi pada rhinosinusitis akan menghambat pegerakan silia pada KOM akibat perlekatan dari mukosa siliar. Sekret yang terkumpul merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret

11

menjadi purulen. Keadaan ini disebut rhinosinusitis akut bakterial. Jika tidak diobati atau terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan berkembangnya bakteri anaerob. Perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentkan polip dan kista.5

Gambar 2.3 Patofisiologi rhinosinusitis11

12

2.8 GEJALA KLINIK Keluhan utama pada rhinosinusitis adalah hidung tersumbat yang disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan ingus yang purulent. Ingus sering kali turun ke tenggorok dimana pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan terlihat post nasal drip.5 Nyeri tekan pada sinus yang terkena merupakan ciri khas pada sinusitis akut. Neri pada pipi merupakan tanda sinusitis maksila, nyeri di ke dua bola mata menandakan sinusitiss etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitiss frontal. Nyeri alih ke gigi dan telinga bisa terjadi pada sinusitis maksila. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia atau anosmia, halitosis. Pada anak-anak gejala berupa batuk lebih bayak ditemukan dari hiposmia atau nyeri tekan pada wajah.5

2.9 DIAGNOSIS Diagnosis rinosisnusitis ditegakkan berdasarkan anamnesiss, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesiss perlu ditanyakan beberapa keluhan seperti nyeri pada wajah, hidung tersumbat, sekret pada hidung dan gangguan pada penciuman. Pada rinosinisitis bakterialis akut ditemukan 2 atau lebih dari gejala tersebut dan sudah berlangsung lebih dari 7 hari. Pada rhinosinusitis kronis, ditemukan 2 atau lebih gejala dan sudah berlangsung lebih dari 8 minggu.5 Pemeriksaan fisik dilakukan rinosokopi anterior dan rinoskop posterior. Tanda khas pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal adalah pus yang ditemukan di meatus media. Pus pada meatus superior ditemukan pada sinusitiss

13

etmoid posterior dan sfenoid. Pada rhinosinusitis akut ditemukan mukosa edema dan hiperemis.5 Pemeriksaan penunjang dilakukan foto polos , CT Scan, pemeriksaan tranluminasi, pemeriksaan mikrobiologi dan sinuskopi.5 1. Foto polos Posisi PA dan lateral, Waters umumnya hanya mampu menilai sinus-sinus besar seperti maksila dan frontal.

Gambar 2.4 Foto polos posisi Waters12 14

Gambar 2.5 Foto polos posisi lateral12

2. CT Scan CT merupakan gold standar dalam merupakan sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus.

Gambar 2.6 CT Scan sinus paranasal 15

3. Pemeriksaan transiluminasi Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sangat jarang digunakan 4. Pemeriksaan mikrobiologik Pemeriksaan mikrobilogik dilakukan untuk mendapat anti biotik yang tepat guna. Sekret dialbil dari meatus media atau meatus inferior. 5. Sinuskopi Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

2.10 PENATALAKSANAAN A. Rhinosinusitis Akut Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan rhinosinusitis akut. Amoksisilin merupakan terapi pilihan untuk bakteri gram positif dan negatif. Jika diperikirakan kuman telah resisten maka dapat diberikan amoksisilin-klavunat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.5,8 Antibiotik parenteral diberikan pada rhinosinusitis yang telah mengalami komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan terapi yang baik karena ceftriakson dapat menembus sawar darah otak. Pada rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan metronidazole atau klindamisin.

16

Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal. Antibiotik diberikan selam 1014 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.5,8 Terapi lain yang dapat diberikan jika diperlukan adalah analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl, dan antihistamin. Antihistamin hanya diberikan pada rhinosinusitis alergi. Analgetik dan kompres hangat dapat diberikan untuk mengurangi nyeri.5 Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasi tindakan ini berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.5

2.11 KOMPLIKASI Komplikasi

merupakan

hal

yang

sering

terjadi

dan

seringkali

membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.5,9 1. Komplikasi orbita Sinus

etmoidalis

merupakan

penyebab

komplikasi

pada

orbita.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan:9

17

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini. b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita tahap ini disertai gejala sisi neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasn gerak otot ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. 2. Komplikasi oseus/tulang Penyebab tersering dari infeksi tulang adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri takan dahi setempat yang sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga sering terjadi dan bertambah hebat bial terbentuk abses subperiosteal dimana telah terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.9

18

3. Komplikasi intrakranial a. Meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau lamina kribtiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.9 b. Abses dura. Terdapat kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.9 c. Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.9

19

BAB 3 PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada selaput lendir hidung dan sinus paranasal. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat disertai dengan rasa nyeri tekan pada wajah dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol (post nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut, dan kronik. Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan

rhinosinusitis akut.

Amoksisilin merupakan terapi pilihan untuk bakteri gram positif dan negatif. Jika diperikirakan kuman telah resisten maka dapat diberikan amoksisilin-klavunat atau golongan sefalosporin generasi kedua. Terapi lain yang dapat diberikan jika diperlukan adalah analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl, dan antihistamin. Antihistamin hanya diberikan pada rhinosinusitis alergi. Analgetik dan kompres hangat dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Komplikasi yang dapat ditemukan seperti; komplikasi orbita, tulang dan intrakranial.

20

DAFTAR PUSTAKA

1.

Bachet C, Pawankhar R, Zhang L, Bunnang C, Wokkens WJ, Hammilon DW et al, ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ J. 2014; 7(1): 25. 2. Munir N, Clark R, Ear nose and throat. 2013.Edisi 1. Hal 46-48. Penerbit UK 3. American Allergy Asthma and Immunology. Rhinosinusitis. 2015. http://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/conditionsdictionary/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx. 4. Stenner M, Rudack C, Diseases of the nose and paranasal sinuses in child. 2014. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014; 13: Doc10. 5. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.h.150-4. 6. Jungueira LC, Carneiro J, 2003. Histologi Dasar. Edisi 10. Penerbit buku kedokteran EGC. 7. Bansal M, Diseases of Ear, nose and Throat. 2013. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. Hal : 37-37. 8. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007. 9. Hilger, PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Buku ajar penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta; EGC; 1997.h.240-260. 10. Mescher AL, Junqueira’s, Basic Histology Text and Atlas. Chapter 17. Edisi 12. 2010. 11. Duggal, NM. Controversies in Medicine: An Integrative Approach to the Management of Cough and Cold Symptoms in Rhinosinusitis. Terdapat pada http://integrativemedicinereport.com/intg/intg0101article.html. 12. Thiagarajan, B. Role of X-ray in Rhinology. Stanley Medical College.

21

Related Documents


More Documents from "Anonymous aElJjdxPu"

Definisi Hz.docx
November 2019 26
Bab Ii.docx
November 2019 14
Presentation2.pptx
November 2019 14
Pathway Herpes Zoster.docx
November 2019 19
Amblyopia.docx
November 2019 11