Referat Rhinosinusitis Kronis.docx

  • Uploaded by: Mira Maulani Fatima
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Rhinosinusitis Kronis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,946
  • Pages: 42
Referat

RHINOSINUSITIS KRONIK

Disusun Oleh: Muhammad Fahmi, S.Ked 04084821820011 Syah Fitri, S.Ked 04054821820028 Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026

Pembimbing:

dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L, FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN 2018

LEMBAR PENGESAHAN

Referat Rhinosinusitis Kronik

Disusun oleh: Muhammad Fahmi, S.Ked

04084821820011

Syah Fitri, S.Ked

04054821820028

Silvi Silvania, S.Ked

04054821820026

Dosen Pembimbing: dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L, FICS

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 13 Agustus 2018 – 17 September 2018.

Palembang, Agustus 2018 Pembimbing,

dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L, FICS

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Rhinosinusitis Kronik” sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Universitas Sriwijaya. Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Yoan Levia Magdi, Sp.T.H.T.K.L, FICS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya referat ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.

Palembang, Agustus 2018

Penulis

iii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2 2.1

Rhinosinusitis Kronik ............................................................................. 2

2.1.1

Anatomi Rongga Hidung ........................................................................ 5

2.1.2

Epidemiologi ........................................................................................... 13

2.1.3

Etiologi, Patofisiologi dan Histopatologi ................................................ 13

2.1.5

Diagnosis................................................................................................. 21

2.1.6

Tatalaksana ............................................................................................. 26

2.1.7

Komplikasi .............................................................................................. 32

2.1.8

Prognosis ................................................................................................. 34

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

iv

BAB I PENDAHULUAN Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rhinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rhinitis. Gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruh sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus maksila dan etmoid adalah sinus yang paling sering terkena, sedangkan sinus frontal jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi.1 Rhinosinusitis dibagi menjadi 4 yaitu rhinosinusitis akut, akut rekuren, subakut, kronik dan kronik eksaserbasi akut.2 Rhinosinusitis kronik adalah rhinosinusitis yang berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Etiologi dan patofisiologi rhinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik.14 Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya. Bahaya dari rhinosinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Penggunaan antibiotik jangka pendek bermanfaat pada rhinosinusitis tanpa komplikasi.2 Maka dari itu kemampuan diagnosis secara cepat dan tepat sangat dibutuhkan sehingga dapat dilakukan manajemen penatalaksanaan yang sesuai untuk mengobati rhinosinusitis.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rhinosinusitis Kronik Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal. Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama.5 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.8 Fakta tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.8 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rhinosinusitis daripada sinusitis. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

2

Gambar 1. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.9

Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi rhinosinusitis tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya, antara lain :8,9 1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus, Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa, keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut 2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), disebut rhinosinusitis kronik bila rhinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas

3

minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rhinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rhinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rhinosinusitis perlu menjadi diferensial diagnosa. Tabel 1.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rhinosinusitis kronik, terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).10 Major factors Minor factors Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive history for rhinosinusitis in absence of another major symptom) Facial congestion, fullness Nasal obstruction/blockage Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Hyposmia/anosmia Purulence in nasal cavity on examination Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not constitute a strongly supportive history for acute in the absence of another major nasal symptom or sign

Headache Fever (all nonacute) Hal itosis Fatigue Dental pain Cough Ear pain/pressure/ fullness

3. Definisi rhinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun 2007 yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip) :8 ± nyeri fasial / pressure ± penurunan / hilangnya daya penciuman dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain 3.1 Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius

4

3.2 CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal. Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rhinosinusitis dapat dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi. EP3OS 2007 menyatakan bahwa rhinosinusitis kronik merupakan kelompok primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rhinosinusitis kronik.8,11 Alasan rasional rhinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.11 Pembahasan pada makalah ini akan dikhususkan pada rhinosinusitis kronik tanpa disertai polip nasi yang terjadi pada orang dewasa.

2.1.1 Anatomi Rongga Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.6 Vestibulum nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak di belakang nares.7 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaltu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis Os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis Os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.6

5

Gambar 2. Septum Nasi

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dan labirin etmoid.6

Gambar 3. Cavum Nasi Anterior

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dan letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Meautus nasi inferior merupakan muara dari ujung bawah duutus nasolakrimalis.7 Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang

6

di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.6

Gambar 4. Dinding Lateral Cavum Nasi

Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dan yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dan invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.6

Gambar 5. Sinus Paranasal: 1. Sinus Frontal 2. Sinus Etmoid 3. Sinus Sfenoid 4. Sinus Maksila

7

SINUS MAKSILA Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk pyramid dan terletak di dalam korpus maksilaris di belakang pipi.

1,7

Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.1 Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dan segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akarakar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.1

SINUS FRONTAL Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dan sel-sel resesus frontal atau dan selsel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dan pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya

8

mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.1 Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuklekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi. sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dan orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dan sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.1 Sinus frontalis bermuara kedalam meatus nasi medius melalui infundibulum.7

SINUS ETMOID Sinus etmoidales terdapat di dalam os etmoidale, di antara hisung dan orbita.7 Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir inidianggap paling penting, karena dapatmerupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1 Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dan sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya

9

lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1 Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibufum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1 Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dan rongga orbita. Lapian tipis yang memisahkan sinus ini dengan orbita menyebabkan infeksi dapat dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.1,7

SINUS SFENOID Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dan 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1

10

KOMPLEKS OSTIO-MEATAL Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muaramuara saluran dan sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostiomeatal (KOM), terdiri dan infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1

Gambar 6. Kompleks Ostio-meatal

SISTEM MUKOSILIAR Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalurjalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dan sinus. Lendir yang berasal dan kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dan kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di posterosuperior muara tuba. lnilah sebabnya pada sinustis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.1

11

2.1.2 Fisiologi Sinus Paranasal Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,7 Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang Iebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara totaldalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.1 Sebagai penahan suhu (thermal insulators) sinus paranasal berfungsi melindungi orbita dan fosaserebri dan suhu rongga hidung yang berubah ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organorgan yang dilindungi. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dan berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnyasinus pada hewanhewan tingkat rendah.1 Sebagai peredam perubahan tekanan udara, fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau

12

membuang ingus. Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dan rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dan meatus medius, tempat yang paling strategis.1

2.1.3 Epidemiologi Epidemiologi rhinosinusitis di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 12% populasi Amerika Serikat (sekitar 1 dari 8 orang dewasa) dilaporkan didiagnosis menderita rhinosinusitis. Rhinosinusitis lebih sering terjadi daripada hay fever (7%), bronkitis (4%), atau penyakit obstruksi paru kronik (4%).3 Kebanyakan sinusitis akut disebabkan oleh virus, seperti rhinovirus, corona virus, dan virus influenza. 2% pasien yang terinfeksi virus akan mengalami infeksi bakteri sekunder.4 Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rhinosinusitis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan perempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah maksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13 kasus (11%) etmoidalis, rhinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi dektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea sebanyak 34 kasus (28,8%).7

2.1.4 Etiologi, Patofisiologi dan Histopatologi Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: “ Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi. 12

13

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik.14 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rhinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.11

Gambar 7. Siklus patologis rhinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya adalah rhinosinusitis kronik.13

Etiologi rhinosinusitis akut dan rhinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada rhinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama.13 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rhinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rhinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rhinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa 14

polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”.9 Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rhinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”. 9,13 Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rhinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.9,13 James Baraniuk (2002)

mengklasifikasikan

bermacam

kemungkinan

patofisiologi

penyebab

rhinosinusitis kronik menjadi rhinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rhinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).13 Rhinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.13 Tabel 2. Faktor etiologi rhinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.9,13

Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation Immunodeficiency Smoking Concha bullosa Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle turbinate Ciliary dysfunction Viruses Haller cells Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells Autoimmune disease Fungi Scarring Granulomatous disorders

Stress

Bone inflammation Craniofacial anomalies Foreign bodies Dental disease Mechanical trauma Barotrauma

15

Faktor Genetik / Fisiologik Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi rhinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara asma dengan rhinosinusitis kronik.13 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya hubungan tersebut.12 Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rhinosinusitis kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T, maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat.12 Defisiensi IgG adalah yang paling sering menjadi penyebab bagi rhinosinusitis kronik.12,13 Pada individu dengan HIV, rhinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih berat namun resisten terhadap terapi.13 Garcia-Rodriques dkk (1999) melaporkan adanya korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan probabilitas rhinosinusitis.8,13 Juga disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp, Pseudomonas aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.12 Keadaan hiperimun seperti pada sindroma vaskulitis ChurgStrauss dan sindroma Job dapat juga menjadi predisposisi bagi rhinosinusitis kronik.13,9 Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rhinosinusitis kronik adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren. Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai hubungan dengan rhinosinusitis onset dini.12,13 Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis, sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer, berkaitan dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan timbulnya rhinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen pada pasien kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rhinosinusitis kronik.2 Pada diskinesia siliar primer dan

16

sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi faktor penyebab rhinosinusitis. 12,13,9 Faktor Lingkungan Hubungan antara rinitis alergi dengan rhinosinusitis telah banyak dipelajari dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti. Pada pasien dengan rhinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %. Pada pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel. Namun bagaimana alergi bisa mengakibatkan rhinosinusitis kronik, hingga hari ini belum diketahui secara jelas. Stammberger 1991 menyatakan bahwa: ‘udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi mukus dan infeksi’. Namun hal ini lebih mengarah kepada rhinosinusitis akut sedangkan sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi rhinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.12,13 Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan rhinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen volatil organik, dll. Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular primer.13 Peranan virus dalam menyebabkan rhinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan peningkatan insiden rhinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens mukosiliar. Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial

17

virus) didapatkan pada pasien rhinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus endoskopik.13 Walau ada hipotesis bahwa rhinosinusitis kronik berkembang dari rhinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.13 Gambaran bakteriologi rhinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan rhinosinusitis akut.12,13 Pada rhinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S.aureus, Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rhinosinusitis akut,

kuman

predominan

antara

lain

S.pneumoniae,

H.influenzae

dan

M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab rhinosinusitis kronik baik pada orang dewasa maupun anak. Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 % sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %. Kuman anaerob banyak terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.13 Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi rhinosinusitis kronik. Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida yang disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi koloni bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk rhinosinusitis kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba poten. Cryer dkk (2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa sinus yang terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron. Biofilm juga ditemukan pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.13 Peranan bakteri anaerob pada rhinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995). Kemampuan potensial bakteri aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996). Resistensi kuman Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28 hingga 44 %.9,13

18

Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang berlaku sebagai agen infeksius. Pada individu yang suseptibel, bakteri superantigen seperti staphylococcal enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting cell. Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang dapat mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T (berkisar antara 5–30 %) yang kontras dengan antigen topikal konvensional (kurang dari 0,01 %). Pada jalur tradisional, antigen difagosit oleh APC (antigen presenting cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang kemudian diproses pada permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan dimulailah respon inflamasi. Superantigen mempunyai kemampuan memintas proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti TNF-α, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang menstimulasi produksi antibodi superantigen.8,14 Hipotesis Schubert (2001) menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen disertai persistensi mikroba, produksi superantigen dan respon sel limfosit T merupakan komponen fundamental yang menyatukan berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-limfositik pada patogenesis rhinosinusitis kronik.12,13 Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien rhinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rhinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif. Bentuk rhinosinusitis karena jamur antara lain: sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent (biasanya

19

terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan rhinosinusitis alergi fungal / AFS (allergic fungal rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal.1,12,14,16,17 AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE, eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan IL-13.12,13 Faktor Struktural Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.1,2 Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.12,13 Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rhinosinusitis kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik.8 Beberapa studi menunjukkan bahwa ‘perubahan osteitis’ dimulai dari meningkatnya vaskularisasi, infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-scan terlihat adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular. Penebalan tulang iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi pada tulang yang berpengaruh pada inflamasi mukosa.12,13 Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rhinosinusitis kronik. Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rhinosinusitis kronik adalah iritasi mukosa. Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen, polusi udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR (human

20

leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-macrophagecolony stimulating factor), IL-8 dan TNF-α (tumor necrosing factor alpha) ikut dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.12,13 Gambaran histopatologi mukosa rhinosinusitis kronik menunjukkan adanya penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan infiltrasi sel mononuklear. Proses inflamasi pada rhinosinusitis dibagi menjadi golongan inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius. Inflamasi infeksius umumnya terjadi pada rhinosinusitis akut sedangkan pada rhinosinusitis kronik terjadi inflamasi noninfeksius.13 Pada berbagai penelitian yang dilakukan ditemukan sel-sel inflamatori dan mediator rhinosinusitis kronik. Dibawah ini akan dijabarkan berbagai sel inflamasi dan mediator yang ditemukan pada rhinosinusitis kronik.

Gambar 8. Skema perubahan sel epitel respiratorik yang terjadi setelah terpapar benda asing, diikuti berbagai proses yang melibatkan sel limfosit

2.1.5 Diagnosis

21

Berdasarkan definisi rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR 1996, terdapat

faktor

klinis/

gejala

mayor

dan

minor

yang diperlukan

untuk

diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rhinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3.14 Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya. Tabel 3. Kriteria diagnosis rhinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.14

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE) Physical findings (on of the following must be present) Duration >12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid symptoms (as described swelling on anterior rhinoscopy (with by 1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal endoscopy 3. Generalized or localized edema, erythema, or granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve the middle meatus, imaging is required for diagnosis 4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or computerized tomography)b

Diagnosis rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:14 1) Buntu hidung, kongesti atau sesak 2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen 3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan

22

4) Penurunan / hilangnya penciuman Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.1 Yang menjadi pembeda antara kelompok rhinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.12,14

Anamnesis Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rhinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rhinosinusitis kronik adalah: 1) Obstruksi nasal Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya 2) Sekret / discharge nasal Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip 3) Abnormalitas penciuman

23

Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rhinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius 4) Nyeri / tekanan fasial Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rhinosinusitis akut, pada rhinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif. Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)12,14

Pemeriksaan Fisik 

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)1,2,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rhinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.



Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.14

Pemeriksaan Penunjang 

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.14

24



Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.18 Untuk rhinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.14



Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rhinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada rhinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh gambaran CT-scan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.



Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain: 1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi 2. Tes alergi 3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron dan nitrit oksida 4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri 5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

25

Gambar 9. CT-scan penampang koronal menunjukkan rhinosinusitis kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.14

2.1.6 Tatalaksana Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.15 Terapi Medikamentosa Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa

adalah

kembalinya

fungsi

mengembalikan kondisi normal rongga hidung.15 26

drainase

ostium

sinus

dengan

Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:16 1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain: a. Amoksisilin + asam klavulanat b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime c. Florokuinolon : ciprofloksasin d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin e. Klindamisin f. Metronidazole 2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi 3. Terapi penunjang lainnya meliputi: a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik b. Antihistamin c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil d. Mukolitik e. Antagonis leukotrien f. Imunoterapi g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup.20,21

27

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah; Penghidu terganggu/ hilang Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Tersedia Endoskopi

direkomendasikan

Polip

Tidak ada polip

Pikirkan diagnosis lain :            

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Gangguan penciuman Gejala Orbita Edema Periorbita Pendorongan letak bola mata Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal Endoskopi tidak

Investigasi dan

tersedia

intervensi secepatnya

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior Ikuti skema polip

Ikuti skema

hidung

Rhinosinusitis

Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan

kronik Steroid topikal

Rujuk Dokter Spesialis

Cuci hidung

THT jika Operasi

Antihistamin jika alergi

Dipertimbangkan

Reevaluasi setelah 4 minggu

Perbaikan

Lanjutkan terapi

Tidak ada perbaikan

Rujuk spesialis THT

Gambar 10. Skema penatalaksanaan rhinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007

28

Pertimbangkan diagnosis lain :

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa

          

hidung tersumbat atau pilek yang tidak jernih; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala; Gangguan Penghidu Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi:

Pertimbangkan Tomografi Komputer Tes Alergi

Ringan VAS 0-3

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal Sedang atau berat VAS >3-10

Steroid

topikal

Intranasal

Gagal setelah 3 bulan

Steroid topikal Cuci hidung

cuci

Perlu investigasi dan intervensi cepat

Kultur & resistensi Kuman

Makrolid jangka panjang Perbaikan Gagal setelah 3 bulan Tindak

lanjut

Jangka

Panjang + cuci hidung Steroid topikal± Makrolide jangka panjang Tomografi Komputer

Operasi

Gambar 11. Skema penatalaksanaan berbasis bukti rhinosinusitis kronik tanpa polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

29

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa

Pertimbangkan diagnosis lain :           

hidung tersumbat atau sekret hidung berwarnar; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala; Gangguan Penghidu Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi:

Pertimbangkan Tomografi Komputer Tes Alergi Pertimbangkan

diagnosis

Ringan VAS 0-3

dan

Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal

Sedang VAS 3-7

Berat VAS > 10 Perlu investigasi dan

Steroid topikal

Steroid topikal tetes

(spray)

intervensi

Steroid oral jangka

hidung

pendek Steroid topikal

Dievaluasi setelah 3 Evaluasi setelah 1

bulan

bulan Perbaikan

Tidak membaik Perbaikan

Tidak membaik

Lanjutkan Steroid Tomografi Komputer

Topikal

Tindak lanjut

Evaluasi setiap 6

Operasi

Cuci hidung

bulan

Steroid topikal + oral Antibiotika

Gambar 12.

jangka

Skema penatalaksanaan rhinosinusitis kronik dengan polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

30

Terapi Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:16,18 1. Sinus maksila: a. Irigasi sinus (antrum lavage) b. Nasal antrostomi c. Operasi Caldwell-Luc 2. Sinus etmoid: a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral 3. Sinus frontal: a. Intranasal, ekstranasal b. Frontal sinus septoplasty c. Fronto-etmoidektomi 4. Sinus sfenoid : a. Trans nasal b. Trans sfenoidal 5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah: a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronik b.

Poliposis nasi

c.

Mukokel sinus paranasal

d.

Mikosis sinus paranasal

e.

Benda asing

f.

Osteoma kecil

g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas) h.

Dekompresi orbita / n.optikus

31

i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel j.

Atresia koanae

k.

Dakriosistorinotomi

l.

Kontrol epistaksis

m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base. 16,18

2.1.7 Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata setelah ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita dan intrakranial.22 1. Komplikasi Orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paing sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Terdapat lima tahapan pada komplikasi maksila. a.

Peradangan atau reaksi edema yang ringan.terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.

b.

Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

c.

Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantra periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

d.

Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Disertai gejala sisa neritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

32

e.

Trombosis sinus kavernosus. Merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk suatu trombofeblitis septik.

2. Komplikasi Intrakranial a.

Meningitis Akut Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanajang saluran vena atau langsung dari sinus yang berekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem udara etmoidalis.

b. Abses Dura Adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium. Seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien hanya mengeluhkan sakit kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu meningkakan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara durameter dan araknoid atau permukaan otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang membandel dan dengan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsanganmeningen. Gejala utama tidak timbul sebelum intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang subaraknoid. c. Abses Otak Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian lokasi abses yang sering adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri. Pada ttitik inilah akhir saluran vena permukaan otak bergabung dengan akhir saluran vena serebralis bagian sentral.22

33

3. Osteomielitis dan abses subperiosteal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anakanak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. 4. Kelainan Paru Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.17

2.1.8 Prognosis Sinusitis kronik dihubungkan dengan eksaserbasi asma dan komplikasi serius lainnya seperti abses otak dan meningitis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari sinusitis. Penatalaksanaan secara dini dalam menangani sinusitis kronik dapat menurunkan mortilitas dan morbiditas. FESS dapat memperbaiki konisi sinus dan 80-90% gejala dapat komplit atau moderate dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat.

34

BAB III KESIMPULAN

Rhinosinusitis kronik adalah rhinosinusitis yang berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Rhinosinusitis sering terjadi pada penderita hay fever, bronkitis kronik atau penyakit paru obstruktif kronik. Rhinosinusitis akut paling sering disebabkan oleh virus. Sedangkan rhinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”. Patofisiologi rhinosinusitis kronik pada orang dewasa bersifat multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat dibedakan menjadi faktor fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor struktural. Diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat hidung tersumbat, sekret hidung yang purulen (post nasal drip) atau rasa nyeri/tertekan pada bagian tertentu di wajah. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior atau posterior dapat membantu diagnosis.. Prinsip penatalaksanaan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada rhinosinusitis bakterial akut, sementara pada rhinosinusitis viral akut dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan rhinosinusitis bervariasi tergantung akut atau kroniknya penyakit. Diagnosis dan penatalaksanaan rhinosinusitis harus dilakukan dengan tepat untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.

35

DAFTAR PUSTAKA

1.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restutu RD. editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2012:p127-30.

2.

Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussai SS, Sien MM. Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and Treatment. Malaysia: International Journal of Pharmaceutical Science Invention ISSN;2015:p30-6

3.

Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, Brook I, Kumar KA, Kremper M, Orlandi RR, Palmer JN, Patel ZM,Petera A, Walsh SA, Corrigan MD. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis. USA: American Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery Foundation;2015:p1-39.

4.

Metcalfe W, Moorhouse T. Rhinosinusitis and Its Treatment. London: The Pharmateucal Journal;2012.289:p599-602.

5. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34. 6.

Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani, RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restutu RD. editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2012:p127-30.

7.

Snell, RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008:p35-42.

8. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.

36

9. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281. 10. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34. 11. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa, 2007;1-12. 12. Fokkens W, Lund V, Mullol J, European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps Group European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2007. Rhinology. 2007;45(suppl 20):1-139. 13. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129 14. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416. 15. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65. 16. Kristyono I, Selvianti. Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik tanpa Polip Nasi pada Orang Dewasa. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ. Airlangga, 2013. 17. Rosenfeld, R.M., et al.. Clinical Practice Guideline: Adult Sinusitis. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation. 2007. (137): S1-S31. 18. Simmen D,Jones N. Manual of Endoscopic Sinus Surgery and its extended application. Germany: George Thieme Verlag.2005. p. 86

37

19. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal 20. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165. 21. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 219-229. 22. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; 1-4.

38

Related Documents

Rhinosinusitis - Nensi.docx
November 2019 16
Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20

More Documents from "Fairuz Majid"