BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara sosial (Steinberg, 2002). Skizofrenia merupakan gangguan pikiran berupa kombinasi dari halusinasi, delusi dan berpikir teratur. Kemampuan penderita skizofrenia untuk berfungsi normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung menurun dari waktu ke waktu, penyakit ini merupakan kondisi kronis yang memerlukan pengobatan seumur hidup (Ikawati, 2014). Menurut World Health Organization (WHO), masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang serius. WHO menyatakan paling tidak ada 1 dari 4 orang mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa (Yulian dan Muhlisin, 2008). Skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahunnya terdapat 300.000 pasien skizofrenia mengalami episode akut, 20% - 50% pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri dan 10% diantaranya mati bunuh diri. Angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada umumnya (Yosep, 2011). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai angka 1.027.763 jiwa dengan prevalensi sebesar 1,7 per mil. Prevalensi skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7 per mil, untuk Riau sendiri prevalensi gangguan jiwa sebesar 0,9 per mil (Anonima,
1
2013). Berdasarkan data di RSJ Tampan penyakit skizofrenia merupakan penyakit dengan urutan pertama dari 10 besar penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Berdasarkan daftar kunjungan rawat jalan pada bulan Januari sampai bulan Mei tahun 2018 berjumlah 5.799 pasien. Dari data tersebut didapat jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu berjumlah 4.005 pasien dan jenis kelamin perempuan berjumlah 1.794 pasien. Telah dilakukan penelitian oleh Kaunang dkk (2015) terhadap pasien skizofrenia rawat jalan dipoliklinik jiwa Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia. Kepatuhan minum obat pasien yang berobat jalan di poliklinik jiwa membawa dampak yang baik bagi pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan pasien yang kambuh dalam 1 tahun, hal ini menunjukkan bahwa keluarga berpengaruh dan berperan penting untuk mendorong pasien agar patuh dalam pengobatan dan mendampingi pasien saat minum obat, sehingga prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Maharani dan Hardisal (2017) yang dilakukan pada keluarga pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau, Berdasarkan hasil pada penelitian menunjukkan sebagian besar kekambuhan pada pasien skizofrenia sebanyak 61%, keluarga dengan pengetahuan yang rendah sebanyak 65%, keluarga yang tidak memberikan dukungan sebesar 59% dan pasien yang tidak patuh minum obat sebanyak 62%. Dari hasil uji statistik menggunakan
2
chi-square diperoleh P Value = 0.001 (< α = 0.05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia. Menurut hasil penelitian Sudarsih (2017) yang dilakukan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara kejadian gejala esktrapiramidal terhadap kepatuhan minum obat pasien skizofrenia, berbeda maknanya dengan penelitian yang dilakukan oleh Pelealu dkk (2018) hasil menunjukkan bahwa 25% sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat teratur. Pasien dengan diagnosis skizofrenia yang tidak patuh minum obat diperkirakan akan kambuh 30% - 40% dalam waktu 6 bulan, 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua setelah pulang dari rumah sakit, serta kekambuhan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa tampan merupakan rumah sakit jiwa tipe B milik pemerintah yang diresmikan oleh mentri kesehatan pada tanggal 5 Juli 1984 dan pada tahun 2002 sudah ditetapkan menjadi rumah sakit jiwa tipe A dibawah pemerintah daerah provindi Riau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ Tampan Provinsi Riau. Dengan adanya penelitian inidiharapkan dapat menjadi gambaran bagi RSJ Tampan terhadap kepatuhan pasien agar meningkatkan kinerjanya sehingga mengurangi angka kekambuhan pada pasien rawat jalan di RSJ Tampan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Skizofrenia
2.1.1
Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah penyakit prevasif yang mempengaruhi lingkup yang luas
dari proses psikologis, mencakup kognisi, afek dan perilaku (Aranggo dkk, 2002). Orang-orang dengan skizofrenia menunjukkan kemunduran yang jelas dalam fungsi pekerjaan dan sosial. Mereka mengalami kesulitan memulai pembicaraan, membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan atau memperhatikan kebersihan pribadi mereka, namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang selalu muncul pada penderita skizofrenia. Terdapat perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan oleh pola-pola perilaku yang berbeda (Nevid dkk, 2005). Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi dan perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik. Pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Berbagai perspektif teoritis yang luas seperti psikoanalisis, tidak berdampak besar pada penelitian skizofrenia (Davison dkk, 2006).
4
2.1.2
Etiologi Skizofrenia Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun
kategori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan. Pasien skizofrenia menunjukkan presentasi klinis, respons terhadap terapi dan perjalanan penyakit yang berbeda-beda (Sadock dan Sadock, 2010). Penyebab skizofrenia telah menjadi subjek perdebatan yang panjang. Studi menunjukkan bahwa genetika, perkembangan janin dalam kandungan, lingkungan awal, neurobiologi dan faktor sosial merupakan penyebab penting. Meskipun tidak ada penyebab umum skizofrenia yang dapat diidentifikasi pada semua individu yang di diagnosis dengan kondisi tersebut, saat ini sebagian besar peneliti dan dokter percaya bahwa skizofrenia merupakan dipengaruhi oleh faktor kerentanan otak dan peristiwa kehidupan (Ikawati, 2014). 2.1.3
Epidemiologi Skizofrenia Di negara Amerika Serikat kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami
skizofrenia selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang di sponsori National Institute Of Mental Health (NIMH) melaporkan seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9%. Menurut DSM-IV-TR, insidensi sebesar tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik, skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dengan angka insiden serta secara kasar merata diseluruh dunia (Sadock dan Sadock, 2010). Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih banyak mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotik akut, baik dalam jenis atau
5
tingkat keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80% dari pasien skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun resiko skizofrenia lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Resiko skizofrenia seumur hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu orang tua dengan skizofrenia dan 35% -40% untuk anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia (Ikawati, 2014). 2.1.4
Patofisiologi Skizofrenia Teori neurokimia tentang skizofrenia berkembang dengan menganalisis
efek antipsikotik dan propsikotik obat pada manusia dan hewan percobaan. Teori ini terutama berpusat pada peran dopamin dan glutamat pada patofisiologi skizofrenia, walaupun peran serotonin juga mendapat perhatian, terutama selama 10 tahun terakhir. Dalam hipotesis dopamin dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan mesokortis syaraf dopamin, overaktivitas syaraf dopamin pada jalur mesokortis menyebabkan gejala negatif, kognitif dan afektif (Ikawati, 2014). 2.1.5
Gejala Skizofrenia Gejala karakteristik skizofrenia ini seringkali diklasifikasikan pada dua
kategori besar, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Perbedaan gejala positif dan gejala negatif dapan dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Deskripsi gejala pisotif dan negatif skizofrenia menurut DSM-IV. Gejala Positif
Gejala Negatif
Delusi (khayalan)
Alogia
(kehilangan
kemampuan
berfikir atau berbicara) Halusinasi
Perasaan / emosi menjadi tumpul
6
Perilaku aneh, tidak terorganisir
Avolition (kehilangan motivasi)
Bicara tidak teratur, topik melompat- Anhedonia / asosiality (kurangnya lompat dan tidak saling berhubungan
kemampuan
untuk
merasakan
kesenangan, mengisolasi diri dari kehidupan sosial Ilusi
Tidak mampu berkonsetrasi
Selain itu, dikenal juga gejala kognitif, gejala ini hampir menyerupai gejala negatif dan kadang sulit dikenali kecuali dengan suatu tes khusus. Gejala kognitif ditandai dengan kurangnya kemampuan untuk memahami informasi dan menggunakannya untuk membuat keputusan, kesulitan dalam fokus atau perhatian, bermasalah dengan fungsi memori serta gejala ini sering membuat penderita kesulitan untuk menjalani hidup normal dan mencari nafkah. 2.1.6
Klasifikasi Skizofrenia DSM-IV-TR mengklasifikasi skizofrenia menjadi 5 subtipe :
1) Tipe Paranoid Skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia tipe paranoid menunjukkan regresi kemampuan mental, respons emosional dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati dan terkadang bersikap bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka secara kuat pada situasi sosial.
7
b) Tipe Disorganized Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan regresi nyata keperilaku primitif, tak terinhibisi dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Gangguan pikir menonjol dan kontak dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledek tanpa alasan jelas. c) Tipe Katatonik Gambaran klasik tipe katatonik adalah gangguan nyata fungsi motorik, gangguan ini dapat mencakup stupor, negativisme, rigiditas, eksitasi atau berpostur. Kadang-kadang, pasien menunjukkan perubahan yang sangat cepat antara eksitasi dan stupor ekstrem. Pasien memerlukan pengawasan yang cermat untuk mencegah mereka menyakiti diri sendiri atau orang lain dan perawatan medis diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hipereksia atau cedera yang disebabkan diri sendiri. d) Tipe Tak Terdiferensiasi Seringkali pasien yang jelas-jelas skizofrenia tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke satu atau tipe lain. DSM-IV-TR mengklasifikasi pasien ini sebagai skizofrenia tipe tak terdiferensiasi. e) Tipe Residual Menurut DSM-IV-TR, skizofrenia tipe residual ditandai dengan bukti kontinu adanya gangguan skizofrenik tanpa serangkaian lengkap gejala aktif atau gejala yang memadai untuk memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Emosi
8
menumpul, penarikan sosial, perilakueksentrik, pemikiran tidak logis dan asosiasi longgar ringan, seringkali tampak pada tipe residual. Jika terjadi waham atau halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek yang kuat (Sadock dan Sadock, 2010). 2.1.7
Penatalaksanaan Skizofrenia (Ikawati, 2014).
1.
Tujuan terapi Tujuan terapi skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien dan
mencegah kekambuhan. 2.
Sasaran terapi Sasaran terapinya bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit. Pada
fase akut, sasarannya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotikdan meningkatkan fungsi normal pasien. Sedangkan pada fase stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat. 3.
Strategi terapi Ada tiga tahap pengobatan dan pemulihan skizofrenia, yaitu yang ditujukan
untuk mengatasi gejala yang parah pada episode akut dan yang berfokus pada peningkatan fungsi dan mencegah kambuh selama tahap pemeliharaan atau pemulihan penyakit. Tujuan pengobatan pada fase akut adalah untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi fase stabilisasi dilakukan setelah gejala psikotik akut telah dapat dikendalikan. Selama fase ini pasien sangat rentan terhadap kekambuhan. Tujuan
9
pengobatan terapi fase stabilisasi adalah untuk mencegah kekambuhan, mengurangi gejala dan mengarahkan pasien ke dalam tahap pemulihan yang lebih stabil.Terapi tahap pemeliharaan yaitu terapi pemulihan jangka panjang skizofrenia. Terapi fase pemeliharaan bertujuan untuk mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi resiko kekambuhan dan mengajarkan keterampilan untuk hidup seharihari. Terapi pemeliharaan biasanya melibatkan obat-obatan, terapi suportif, pendidikan keluarga dan konseling serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial. A.
Terapi Non Fakmakologi Terapi non farmakologi pada skizofrenia dapat dilakukan dengan
pendekatan psikososial dan Electro Convulsive Therapy (ECT). Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien. Ada beberapa jenis pendekatan psikososial untuk skizofrenia, antara lain adalah Program For Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga, Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan pelatihan keterampilan sosial. B.
Terapi Farmakologi
Penggolongan Antipsikotik (Anonim, 2012) 1.
Antipsikotik TipikalAntipsikotik tipikal terdiri dari klorpromazin dan derivat fenotiazin. Farmakodinamik : Efek farmakologi klorpromazin dan antipsikosis lainnya
meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom dan sistem endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor a-adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.
10
Farmakokinetik : Bioavailabilitas klorpromazin dan tioridazin berkisar antara 25%-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92% -99%) serta memiliki volume distribusi besar (lebih dari 7 L/kg). Metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir. Efek Samping : Batas keamanan klorpromazin cukup aman. Efek samping umumnya merupakanperluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi mungkin timbul berupa ikterus, dermatitis dan leukopeniareaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer. 2.
Antipsikosis Tipikal Lainnya, antara lain : a.
Haloperidol Farmakodinamik : Pada orang normal, efek haloperidol memperlihatkan
antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manik depresif dan skizofrenia. Farmakokinetik : Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal. Efek Samping : Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi, terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reversi
11
keadaan mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek teratogenik. b.
Dibenzoksazepin
Termasuk derivat senyawa ini adalah loksapin. Farmakodinamik
:
Loksapin
memiliki
efek
antiemetik,
sedatif,
antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan psikosis lainnya.. Farmakokinetik : Diabsorpsi baik per oral, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam (IM) dan 2 jam (oral). Waktu paruh loksapin ialah 3,4 jam. Metabolit utamanya memiliki waktu paruh yang lebih lama (9 jam). Efek Samping : Insiden reaksi ekstrapiramidal terletak antara fenotiazin alifatik dan fenotiazin piperazin. Seperti antipsikosis lainnya dapat menurunkan ambang bangkitan pasien, sehingga harus hati-hati digunakan pada pasien dengan riwayat kejang 3.
Antipsikosis Atipikal Dibenzodiazepin a.
Klozapin Farmakokinetik : Klozapin diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Efek Samping : Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada pengobatan klozapin.
12
b.
Risperidon Farmakodinamik : Risperidon mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Farmakokinetik : Bioavailabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di plasma risperidon terikat dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%. risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat urin dan sebagian kecil lewat feses. Efek Samping : Insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah, peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal. c.
Olanzapin Farmakodinamik : Struktur kimianya mirip dengan klozapin. Olanzapin
memiliki afinitas terhadap reseptor serotonin (5HT2), reseptor dopamin (D2, D3, D4 dan D5), muskarinik, histamin (H1) dan reseptor alfa 1. Farmakokinetik : Olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme dihepar oleh enzim CYP 2D6 dan dieksekresi lewat urin. Efek Samping : Efek samping yang sering dilaporkan adalah peningkatan berat badan dan gangguan metabolik yaitu intoleransi glukosa, hiperglikemia dan hiperlipidemia. d.
Quetiapin Farmakodinamik : Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin
(D2), serotonin (5HT2) dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin
13
5HT1A yang diperkirakan mendasari efektifvitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia. Farmakokinetik : Absorbsinya cepat setelah pemberian oral, kadar plasma maksimal tercapai setelah 1-2 jam pemberian. Ikatan protein sekitar 83%. Metabolismenya lewat hati oleh enzim CYP3A4. Ekskresi sebagian besar lewat urin dan sebagian kecil lewat feses. Efek Samping : Umumnya sakit kepala, somnolen dan dizziness. Juga memiliki efek samping peningkatan berat badan, gangguan metabolik dan hiperprolaktinemia, sedangkan efek samping ekstrapiramidalnya minimal. e.
Ziprasidon Farmakodinamik : Obat ini memperlihatkan afinitas terhadap reseptor
serotonin (5HT2A) dan dopamin (D2). Farmakokinetik
:
Absorbsinya
cepat
setelah
pemberian
oral.
Metabolismenya dihati dan diekskresi sebagian kecil lewat urin dan sebagian besar lewat feses. Ikatan protein plasmanya kuat berkisar 99%. Efek Samping : Gangguan kardiovaskular perlu berhati-hati dalam penggunaan obat ini. 2.2
Kepatuhan
2.2.1
Definisi Kepatuhan Kepatuhan didefinisikan sebagai seberapa jauh perilaku seseorang dalam
hal menggunakan obat, mengikuti diet atau mengubah gaya hidup sesuai dengan nasihat medis atau saran kesehatan. Kata kepatuhan sendiri mengindikasikan pasien harus mengikuti perintah dokter dan mematuhi petunjuk-petunjuk dokter.
14
Sebenarnya defenisi kepatuhan didalam kamus adalah tunduk pada keinginan orang lain (Rantucci, 2007). 2.2.2
Faktor Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan pengobatan pasien dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu
(Siregar dan Endang, 2006) : 1.
Pasien kurang paham tentang tujuan dan manfaat pengobatan
2.
Pasien tidak mengerti tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan
3.
Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit
4.
Mahalnya harga obat
5.
Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat
6.
Keadaan penyakit
7.
Efek merugikan
2.2.3
Strategi Untuk Mencegah Ketidakpatuhan Strategi tersebut antara lain sebagai berikut(Rantucci, 2007) :
1) Bekerja sama dengan dokter untuk menyederhanakan jadwal pemakaian obat dengan mengurangi jumlah interval dosis per hari dan mengatur regimen dosis agar lebih sesuai dengan kegiatan rutin pasien. 2) Memberikan alat pengingat dan pengatur pemakaian obat (misalnya, wadah tablet yang dilengkapi alarm atau tempat obat yang tersusun sesuai pendosisan) dan grafik terpisah untuk mengecek penggunaan obat. 3) Mengingatkan pasien melalui telepon tentang pengulangan resep.
15
4) Melibatkan pasangan pasien atau anggota keluarga lainnya untuk mengingat dan mendorong pasien menggunakan obat yang diresepkan. 2.2.4 Cara Mengukur Kepatuhan Terdapat dua metode yang digunakan untuk mengukur kepatuhan yaitu : 1.
Metode Langsung Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan dengan
observasi pengobatan secara langsung, pengukuran konsentrasi obat, dan metabolitnya didalam darah atau urin serta mengukur biologic marker yang ditambahkan pada formulasi obat. Kelemahan metode ini adalah biaya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan pasien. 2.
Metode Tidak Langsung Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menanyakan pasien tentang
cara pasien menggunakan obat, menilai respon klinik melakukan perhitungan obat (pill count), menilai angka refilling presciptions, mengumpulkan kuesioner pasien, menggunakan electric medication monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan menanyakan kepada orang tuanya (Osterberg dan Blaschke, 2005). 2.3
Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Berdasarkan klasifikasi tersebut rumah sakit jiwa (RSJ) Tampan termasuk kedalam rumah sakit khusus (Anonim, 2010).Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan Provinsi Riau dibangun pada tahun 1980 beroperasi pada tanggal 5 Juli 1984, diresmikan pada tanggal 21 Maret 1987 oleh bapak Soewardjono Soerjaningrat Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Sejak
16
tahun 2002 RSJ Tampan ditetapkan sebagai Rumah Sakit Jiwa Daerah Tipe A dibawah Pemerintah Provinsi Riau. Prasarana yang dimiliki oleh RSJ Tampan meliputi : unit rawat inap sebanyak 7 bangsal dengan kapasitas 182 tempat tidur, unit rawat jalan, unit rawat darurat, unit rehabilitasi dan unit kesehatan masyarakat serta fasilitas penunjang seperti laboratorium, radiologi, apotek, instalasi gizi, instalasi pemeliharaan sarana rumah sakit, loundry dan gudang (Anonimb, 2013). Berdasarkan data daftar penyakit 10 terbesar dirumah sakit jiwa tampan yang berobat jalan dari bulan Januari sampai Mei. Penyakit skizofrenia merupakan penyakit dengan urutan pertama yang paling banyak diderita oleh masyarakat yang ada diprovinsi Riau. Dimana pada urutan pertama adalah penyakit skizofrenia paranoid, diurutan kedua yaitu skizofrenia tak terinci, selanjutnya untuk urutan ketiga yaitu autisme kanak-kanak, diurutan keempat yaitu kelainan kecemasan umum, diurutan kelima yaitu kelainan psikotik akut mirip skizofrenia, diurutan keenam yaitu kelainan cemas campur depresi, diurutan ketujuh yaitu kelainan jiwa lain akibat kerusakan otak, diurutan kedelapan yaitu gangren pulpa, diurutan kesembilan yaitu kelainan psikotik non organik jenis lain dan penyakit terkhir adalah retardasi mental sedang akibat kerusakan tingkah laku nyata dan memerlukan perhatian dan pengobatan. Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa menginap di rumah sakit (Anonim, 2003).
17
2.4
Rekam Medik(Siregar, 2004) Rekam medik adalah sejarah singkat, jelas dan akurat dari kehidupan dan
kesakitan penderita yang ditulis dari sudut pandang medis, sedangkan definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap. Adapun kegunaan dari rekam medik, yaitu: 1.
Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.
2.
Merupakan suatu sarana komunikasi antardokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
3.
Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama tinggal di rumah sakit.
4.
Sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.
5.
Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
6.
Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
7.
Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita.
18
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada 02 Januari – 02 Februari 2019 di Ruang
Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. 3.2
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode deskriptif
analitik. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan cross-sectional untuk melihat hubungan kepatuhan minum obat terhadap prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia. 3.3
Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien skizofrenia yang berobat jalan di RSJ Tampan Provinsi Riau pada bulan 02 Januari sampai 02 Februari tahun 2019. 3.3.2
Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah 98 orang pasien dan keluarga pasien
skizofrenia di RSJ Tampan Provinsi Riau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling. Accidental sampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila pasien yang ditemui cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012).
19
Kriteria Inklusi : a.
Data rekam medik pasien skizofrenia tanpa penyakit penyerta
b.
Pasien yang berusia >18 tahun
c.
Pasien bersedia menjadi responden dalam penelitian
d.
Pasien rawat jalan minimal 6 bulan setelah rawat inap
Kriteria Ekslusi : a.
Data rekam medik pasien yang tidak lengkap
b.
Data kuesioner yang tidak lengkap
3.4
Prosedur Penelitian
3.4.1
Pengurusan Izin Pengurusan izin ini dimulai dengan peneliti mengajukan surat permohonan
izin untuk penelitian kepada bagian administrasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau yang akan ditujukan kepada Rumah Sakit Jiwa Tampan. Kemudian mengurus administrasi di bagian Tata Usaha dan Direktur Rumah Sakit Jiwa Tampan. Dilanjutkan dengan pengurusan administrasi dibagian Instalasi Rekam Medik di Rumah Sakit JiwaTampan, selanjutnya dilakukan pengurusan administrasi dibagian Bidang Keperawatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Tampan. Kemudian dilakukan pengurusan administrasi dibagian Bidang Poli Jiwa Rumah Sakit Jiwa Tampan. 3.4.2
Penyusunan Kuesioner Kuesioner yang digunakan terdiri dari kuesioner data sosio-demografi
responden dan kuesioner kepatuhan responden. a. Kuesioner data sosio-demografi
20
Kuesioner data sosio-demografi terdiri dari umur, jenis kelamin, jenjang pendidikan dan riwayat keluarga. b. Kuesioner kepatuhan terapi Kuesioner terdiri dari 8 pertanyaan yaitu menggunakan kuesioner terstandar dengan skala Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8). 3.4.3
Pengambilan dan Pengumpulan Data
1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung pada pasien dan keluarga pasien dengan menggunakan kuesioner sosiodemografi responden yang (terdiri dari jenis kelamin, umur, jenjang pendidikan dan riwayat keluarga) dan kuesioner kepatuhan pasien yaitu kuesioner MMAS-8. 2. Data Sekunder Data sekunder pada penelitian ini adalah data rekam medik pasien skizofrenia rawat jalan di RSJ Tampan. 3.4.4
Analisis Data
A.
Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012). Analisis univariat meliputi : 1) Data sosio-demografi a. Jumlah dan persentase responden berdasarkan rentang usia b. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin
21
c. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan d. Jumlah dan persentase responden berdasarkan riwayat keluarga 2) Data Tingkat Kepatuhan Pengukuran tingkat kepatuhan dilakukan dengan pengisian kuesioner Morisky Medication Adherence Scale yang sudah terstandar kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Kuesioner berjumlah 8 pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Pengukuran skor Morisky Medication Adherence Scale untuk pertanyaan dari nomor 1 - 7 untuk “Ya” bernilai 1 dan “Tidak” bernilai 0. Pertanyaan nomor 8 untuk jawaban “A” bernilai 1 dan “B-E” bernilai 0. Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kepatuhan No.
Tingkat Kepatuhan
Skor
1.
Kepatuhan rendah
<5
2.
Kepatuhan sedang
6-7
3.
Kepatuhan tinggi
8
3) Data Tingkat Kekambuhan a) Jumlah
dan
persentase
pasien
skizofrenia
berdasarkan
kejadian
kekambuhan pasien skizofrenia. B.
Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas
dan variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkat kepatuhan sedangkan untuk variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian kekambuhan.
22
Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan P <0,05. 3.5
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Bebas :
Variabel Terikat :
Tingkat kepatuhan
Prevalensi kekambuhan
1. Rendah = < 5
1. Tidak pernah
= 0
2. Sedang = 6-7
2. Pernah
=>1
3. Tinggi
= 8 Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
3.6
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah data rekam medik dan
kuesioner. 3.7
Etika Penelitian Pengambilan data di RSJ Tampan Provinsi Riau mengikuti etika anonimity
(tanpa nama) dan confidentially (kerahasiaan) dengan menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden. Ananomity adalah penggunaan subjek penelitian dilakukan dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama pasien dan hanya menuliskan coding (kode) pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan, Sedangkan confidentiality berarti peneliti memberikan jaminan kerahasiaan, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan pasien (Notoatmodjo, 2012).
23
3.8
Definisi Operasional
1.
Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
2.
Jumlah dan persentase responden berdasarkan rentang usia (Hurlock, 2009): a. Dewasa awal
: 18 tahun – 40 tahun
b. Dewasa madya
: 41 tahun – 60 tahun
c. Dewasa lanjut
: > 61 tahun
3. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pendidikan terakhir : a. Pendidikan dasar
: SD
b. Pendidikan menengah
: SMP dan SMA
c. Pendidikan tinggi
: Perguruan tinggi
4. Jumlah dan persentase responden berdasarkan riwayat keluarga : a. Tidak memiliki riwayat b. Memiliki riwayat 5. Jumlah dan persentase pasien berdasarkan kepatuhan minum obat : a. Kepatuhan rendah
:<5
b. Kepatuhan sedang
:6-7
c. Kepatuhan tinggi
:8
6. Jumlah dan persentase pasien berdasarkan kejadian kekambuhan : a. Tidak pernah
:0
b. Pernah
:>1
24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil
4.1.1
Analisis Univariat
1.
Hasil Analisis Data Sosiodemografi Responden
Tabel 3. Hasil Analisis Data Sosiodemografi Responden NO. Karakteristik Sosiodemografi 1. Jenis Kelamin 2.
Rentang Usia
3.
Tingkat Pendidikan
4.
Riwayat Keluarga
Keterangan Laki-laki Perempuan Dewasa awal Dewasa madya Dewasa lanjut Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pendidikan tinggi Memiliki Tidak memiliki
Total
2.
Jumlah (n) 53 45 48 43 7 27 65
Persentase (%) 54,0 45,9 48,9 43,8 7,1 27,5 66,3
6 22 76
6,1 22,4 77,5
98
Hasil Analisis Tingkat Kepatuhan Terapi Responden
Tabel 4. Hasil Analisis Tingkat Kepatuhan Terapi Responden NO. 1. 2. 3.
Tingkat Kepatuhan Kepatuhan Rendah Kepatuhan Sedang Kepatuhan Tinggi Total
Jumlah (n) 23 37 38 98
25
Persentase (%) 23,4 37,7 38,7
3.
Hasil Analisis Kejadian Kekambuhan Responden
Tabel 5. Hasil Analisis Kejadian Kekambuhan Responden NO. Kejadian Kekambuhan 1. Pernah Kambuh 2. Tidak Pernah Kambuh Total
Jumlah (n) 34 64 98
Persentase 34,6 65,3
4.1.2 Analisis Bivariat Tabel 6. Hasil Analisis Tingkat Kepatuhan Terhadap Kejadian Kekambuhan Menggunakan Uji Chi Square. NO. 1.
4.2
Keterangan
Nilai P
Hubungan tingkat kepatuhan terapi 0,000 terhadap kejadian kekambuhan melalui media kuesioner
Hasil Signifikan
Pembahasan Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Tampan kelurahan simpang
baru kecamatan tampan Pekanbaru Riau, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ Tampan Provinsi Riau. Sampel pada penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien. Total sampel yang didapat pada periode 02 Januari – 02 Februari 2019 adalah 105 responden dan didapat 98 responden yang menjadi kriteria inklusi dikarenakan 7 responden yang tidak memiliki nomor rekam medik sehingga dimasukkan ke kriteria eksklusi. Penelitian ini dilakukan pada setiap hari kerja yaitu pada hari senin sampai hari jumat.
26
4.2.1 Analisis Univariat 4.2.1.1 Analisis Karakteristik Sosiodemografi Responden 1. Analisis Berdasarkan Jenis Kelamin Analisis berdasarkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 kategori yaitu laki-laki dan perempuan, pengelompokan responden yang dibagi menjadi 2 kategori dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian skizofrenia pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada tabel 3 halaman 25, dari total keseluruhan yang berjumlah 98 orang responden yang berobat jalan di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Responden dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 53 (54%) orang dan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 45 (45,9%) orang responden. Berdasarkan hasil dapat dilihat jumlah responden dengan jenis kelamin lakilaki lebih banyak dibandingkan responden dengan jenis kelamin perempuan, hal ini terjadi karena laki-laki menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup. Setelah dilakukan wawancara pada responden, banyak faktor yang memicu pasien terkena gangguan jiwa. Banyak pasien yang mengaku mengalami depresi dan tekanan, ada beberapa pasien yang di bully, mengalami kesurupan dan narkoba. Jenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan menunjukkan resiko tinggi mengalami skizofrenia sebab laki-laki cenderung memiliki produksi hormon stress yang berlebihan. Onset laki-laki lebih muda dari wanita dan mengalami pubertas lebih lambat artinya laki-laki memiliki kerentanan
27
untuk menderita kelainan jiwa lebih besar dibandingkan perempuan (Adamo, 2007). Erlina (2010) mengemukakan bahwa skizofrenia terbanyak dialami oleh laki-laki dengan proporsi 72% yang mana jenis kelamin laki-laki memiliki resiko 2,37 kali lebih besar mengalami skizofrenia dengan nilai P = 0,011. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andira dan Nuralita (2018) yang dilakukan di rumah sakit jiwa di kota medan, menurut hasil terdapat perbedaan yang signifikan gejala depresi antara laki-laki (64,1) dan perempuan (40,9) diperoleh nilai p = 0,01 (P = < 0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh wahyudi dan fibriana (2016) yang melihat faktor resiko terjadinya skizofrenia di puskesmas kota semarang, berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,002 (P = < 0,05) hal ini dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian skizofrenia. Berdasarkan nilai risk estimate didapat nilai OR = 6.038 (OR = > 1) berarti bahwa sampel jenis kelamin laki-laki memiliki faktor resiko 6,038 kali untuk terkena skizofrenia dibanding sampel berjenis kelamin perempuan. 2. Analisis Berdasarkan Rentang Usia Analisis berdasarkan rentang usia dibagi menjadi 3 kategori menurut (Hurlock, 2009) yaitu dewasa awal (18 - 40 tahun), dewasa madya (41 - 60 tahun) dan dewasa lanjut ( > 60 tahun), responden dibagi menjadi 3 kategori dengan tujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan jumlah responden berdasarkan umur, dimana pada kelompok umur produktif pada umumnya lebih aktif dibandingkan kelompok dengan umur tidak produktif. Dari total keseluruhan responden yang
28
berjumlah 98 orang, responden terbanyak adalah responden mempunyai rentang usia dewasa awal (18 - 40 tahun) yaitu berjumlah 48 (48,9%) responden, responden yang memiliki rentang usia dewasa madya (41 - 60 tahun) berjumlah 43 (43,8%) responden dan responden dengan rentang usia dewasa lanjut (> 60 tahun) adalah yang berjumlah paling sedikit yaitu berjumlah 7 (7,1%) responden. Rentang usia dewasa awal yaitu pada umur 18 – 40 tahun adalah rentang usia remaja atau awal dewasa yang mana pada masa remaja lebih rentang terkena gangguan jiwa karena banyaknya faktor pemicu. Salah satu faktor pemicu terjadinya skizofrenia adalah faktor lingkungan, tekanan terhadap lingkungan dapat memicu stress seperti hubungan yang tidak baik terhadap teman atau tetangga dan lingkungan pekerjaan. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling banyak dialami oleh beberapa orang dibandingkan penderita gangguan jiwa lainnya. Pada umumnya menyerang pada usia produktif dan banyak terkena diusia 15 – 44 tahun (Davison, 2006). Skizofrenia biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau awal dewasa, angka kejadian pada wanita sama dengan pria tetapi onset pada umumnya lebih awal (pria : 15 – 24 tahun dan wanita : 25 – 35 tahun) (Ikawati, 2014). 3. Analisis Data Berdasarkan Tingkat Pendidikan Analisis data berdasarkan tingkat pendidikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu pendidikan dasar (sekolah dasar), pendidikan menengah (sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas) dan pendidikan tinggi (sarjana) dibagi menjadi 3 kategori dengan tujuan untuk melihat seberapa banyak jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan mulai dari rendah sampai tinggi.
29
Berdasarkan hasil yang terlihat pada tabel 3 halaman 26, didapat responden terbanyak memiliki tingkat pendidikan menengah (sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas) yang berjumlah 65 (66,3%) orang, responden dengan tingkat pendidikan dasar (sekolah dasar) berjumlah 27 (27,5%) orang dan yang paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi) yang berjumlah 6 (6,1%) orang responden. Pada hasil penelitian berdasarkan tingkat pendidikan, menunjukkan data bahwa pasien memiliki jenjang pendidikan terbanyak adalah pada tingkat pendidikan menengah (sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas). Hal ini dikaitkan dengan onset dari skizofrenia, yaitu pada umur 18 – 40 tahun, sehingga pasien tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi bila terkena skizofrenia pada usia tersebut. Kemampuan bersosialisasi dan menerima informasi dari luar secara tepat sangat mempengaruhi seseorang dalam menjalankan pendidikan, bila pasien sudah menderita skizofrenia hal ini akan mempersulitnya untuk mengikuti pendidikan formal. Angka kejadian skizofrenia pada wanita dan pria sama, menurut Ikawati (2014) onset pada pria umumnya lebih awal (15 – 25 th) dan wanita (25 – 35 th). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dan Fibriana (2016) yang didapat hasil pengujian menggunakan chi square diperoleh nilai P = 0,705 (P = > 0,05) hal ini dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian skizofrenia. Menurut nilai risk estimate diperoleh nilai OR = 1,886 (OR = > 1) berarti sampel yang memiliki tingkat pendidikan rendah beresiko 1,886 kali menderita penyakit skizofrenia dibandingakan dengan yang berpendidikan tinggi.
30
Hal yang sama diperoleh pula oleh Handayani (2015) dalam hasil penelitiannya didapat nilai P value 1,000 yang artinya tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian skizofrenia dengan nilai RP 1,005 (0,845 – 1,194) yang berarti tingkat pendidikan rendah bukan merupakan faktor resiko terjadinya skizofrenia. 4. Analisis Data Berdasarkan Riwayat Keluarga Analisis data berdasarkan riwayat keluarga dibagi menjadi 2 kategori yaitu memiliki riwayat keluarga dan tidak memiliki riwayat keluarga dengan tujuan untuk melihat jumlah responden yang memiliki riwayat keluarga maupun jumlah responden yang tidak memiliki riwayat keluarga. Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 3 halaman 26 diketahui lebih banyak responden yang tidak memiliki riwayat penyakit dari keluarga yang berjumlah lebih sedikit yaitu 76 (77,5%) responden dibandingkan dengan responden yang memiliki riwayat keluarga berjumlah 22 (22,4%) responden. Pada hasil ini sejalan dengan Ikawati (2014) yang menyebutkan lebih dari 80% pasien skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun resiko skizofrenia lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Resiko skizofrenia seumur hidup adalah 13% untuk anak dengan satu orang tua menderita skizofrenia dan 35% - 40% untuk anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia. Menurut teori Hawari (2010) menyebutkan skizofrenia diturunkan karena adanya gen resesif pada diri seseorang. Perkawinan antara pasangan yang memiliki gen resesif skizofrenia menghasilkan 36% kemungkinan diturunkan ke anaknya sehingga peran gen dalam kejadian skizofrenia sangat
31
kompleks dan masih dipengaruhi oleh faktor lain seperti kondisi ketika masih dalam kandungan. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dan Fibriana (2016) yang melihat faktor resiko terjadinya skizofrenia dilihat dari hasil Chi Square dengan nilai P = 0,772 (> 0,05) sehingga dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara riwayat keturunan dengan kejadian skizofrenia. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk (2015) tidak sejalan dengan hasil pada penelitian ini, karena pada hasil penelitian handayani didapat nilai P value 0,048 artinya terdapat hubungan antara faktor keturunan dengan kejadian skizofrenia dan didapat nilai RP 1,195 (0,874 - 1,225) yang berarti pasien dengan riwayat keluarga skizofrenia beresiko 1,195 kali lebih besar terkena skizofrenia. 4.2.1.2 Analisis Karakteristik Tingkat Kepatuhan Terapi Responden Analisis karakteristik tingkat kepatuhan terapi responden dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : kepatuhan rendah (nilai skor < 5), kepatuhan sedang (nilai skor 6 – 7) dan kepatuhan tinggi (nilai skor 8). Dibagi menjadi 3 kategori dengan tujuan untuk melihat jumlah responden yang memiliki tingkat kepatuhan rendah, tingkat kepatuhan sedang dan tingkat kepatuhan tinggi. Analisis tingkat kepatuhan dilakukan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner kepatuhan terapi. Berdasarkan tabel 4 halaman 26 terlihat bahwa responden yang berobat jalan di rumah sakit jiwa tampan memiliki tingkat kepatuhan tinggi yaitu berjumlah 38 (38,7%) responden dan responden dengan tingkat kepatuhan sedang berjumlah
32
37 (37,7%) responden, sedangkan responden dengan tingkat kepatuhan rendah berjumlah 23 (23,4%) orang responden. Pada hasil wawancara terlihat bahwa responden terbanyak adalah responden dengan tingkat kepatuhan tinggi. Responden dengan tingkat kepatuhan tinggi selalu kontrol untuk mengambil obat di rumah sakit. Dari penelitian ternyata keluarga pasien sangat berpengaruh dan selalu mendukung pasien seperti selalu menemani responden ke rumah sakit jiwa dan membantunya untuk selalu tepat waktu dalam meminum obat, sedangkan responden dengan tingkat kepatuhan sedang mengaku tidak nyaman untuk selalu meminum obatnya dan sering merasa bosan, responden dengan tingkat kepatuhan rendah kebanyakan mengaku lupa untuk selalu meminum obat dan perlu diingatkan oleh keluarga pasien. Pada saat wawancara kepada responden dapat diketahui bahwa pasien setiap bulannya melakukan berobat jalan sesuai dengan tanggal yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit, hal ini dikarenakan ketergantungan pasien akan pengobatan yang dilakukan, pada saat tidak mengkonsumsi obat pasien mengaku mengalami beberapa gejala kekambuhan. Keluarga berperan penting dalam pengobatan pasien sehingga membantu pasien meningkatkan kepatuhan terapinya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rawa, dkk (2017) yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr VL Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara dengan sampel sebanyak 66 responden. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lingkungan keluarga dengan kepatuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr VL Ratumbuysang Sulawesi Utara. Dengan melihat hasil uji statistik Chi Square didapat nilai P = 0,002 ( < 0,05).
33
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiati, dkk (2017) yang menyatakan bahwa pasien yang tidak patuh pengobatan lebih berisiko mengalami kekambuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Erwina, dkk (2015) yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Sanin Padang, untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia. Menggunakan uji korelasi spearman terdapat hubungan yang signifikan antara efek samping terhadap kepatuhan responden dengan nilai P = value 0,035 yang berarti semakin mengganggu efek samping yang dialami maka semakin tidak patuh pasien dalam berobat. 4.2.1.3 Analisis Karakteristik Kejadian Kekambuhan Responden Analisis kejadian kekambuhan pada responden dibagi menjadi 2 kategori yaitu tidak pernah kambuh (0) dan pernah kambuh ( > 1) dengan tujuan untuk melihat jumlah responden yang pernah mengalami kekambuhan dan yang tidak pernah mengalami kekambuhan. Berdasarkan hasil yang didapat pada tabel 5 halaman 26 terlihat bahwa lebih banyak responden yang tidak pernah mengalami kekambuhan yaitu berjumlah 64 (65,3%) responden sedangkan responden yang pernah mengalami kekambuhan berjumlah 34 (34,6%) orang responden. Hasil yang didapat berbanding lurus dengan hasil analisis tingkat kepatuhan yang diperoleh yaitu semakin patuh pasien maka semakin kecil resiko kekambuhannya. Hal ini karena responden patuh dalam meminum obat yang terlihat pada tabel 4 halaman 26 bahwa banyak responden memiliki kepatuhan tinggi yang dipengaruhi oleh peran keluarga dan dukungan dari keluarga kepada pasien. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kekambuhan adalah ketidakpatuhan pasien
34
dalam pengobatan, menurut Dewi, dkk (2009) insiden kambuh pasien skizofrenia sangat tinggi yaitu 60 – 75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi. Pratama, dkk (2015) yang melihat hubungan keluarga terhadap kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Aceh, berdasarkan hasil analisis chi square menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien skizofrenia, didapat P value = 0,000 (α<0,05). Berdasarkan hasil uji statistic juga menunjukkan Ratio Prevalence (RP) 7,4 (95%) CL : 1,96 – 27,6 artinya pasien dengan dukungan keluarga yang buruk akan memiliki resiko 6 kali untuk mengalami kekambuhan dibandingkan dengan pasien yang memiliki dukungan keluarga yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Maharani dan Hardisal (2017) dari hasil uji statistik Chi Square diperoleh p value = 0,037 (< 0,05). Dari hasil nilai OR = 2,672 (95 %) CL (1.144 – 6.241) artinya bahwa responden dengan pengetahuan keluarga rendah akan beresiko 2,6 kali mengalami kekambuhan dibanding pasien dengan pengetahuan keluarga yang tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam meningkatkan derajat kesehatan. Selain itu faktor dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square diperoleh p value = 0,022 (< 0,05). Dari hasil nilai OR = 2,861 (95%) CL (1.243 – 6.581) yang berarti responden dengan dukungan keluarga yang tidak mendukung beresiko 2,8 kali mengalami kekambuhan dibandingkan responden yang mendapat dukungan dari keluarganya.
35
4.2.2 Analisis Bivariat Pada tabel 6 terdapat 26 variabel yang diuji yaitu variabel kepatuhan dan variabel kekambuhan. Kepatuhan dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu kepatuhan rendah, kepatuhan sedang dan kepatuhan tinggi sedangkan kekambuhan dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu tidak pernah kambuh dan pernah kambuh. Pada analisis bivariat dilakukan pengujian menggunakan uji statistic yaitu uji Chi Square untuk melihat adanya hubungan antara kepatuhan minum obat terhadap kekambuhan pasien. Setelah dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square, maka diperoleh nilai P = < 0,005 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau terhadap kejadian kekambuhan. Pada tabel 6 halaman 26 dapat terlihat jumlah responden yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 38 orang dan responden dengan kepatuhan tinggi yang tidak pernah mengalami kekambuhan berjumlah 37 orang sedangkan responden yang pernah mengalami kekambuhan berjumlah 1 orang. Responden yang memiliki tingkat kepatuhan sedang berjumlah 37 orang dan responden dengan kepatuhan sedang yang tidak pernah mengalami kekambuhan berjumlah 23 orang sedangkan responden yang pernah mengalami kekambuhan berjumlah 14 orang. Responden yang memiliki kepatuhan rendah berjumlah 23 orang dan responden dengan kepatuhan rendah yang tidak pernah mengalami kekambuhan berjumlah 4 orang sedangkan responden yang pernah mengalami kekambuhan berjumlah 19 orang.
36
Pada tabel 6 halaman 26 dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat kepatuhan tinggi hanya 1 responden saja yang pernah mengalami kekambuhan, sedangkan responden dengan tingkat kepatuhan sedang hampir setengahnya mengalami kekambuhan dan responden dengan tingkat kepatuhan rendah hamper seluruhnya mengalami kekambuhan. Berdasarkan data terlihat bahwa kepatuhan minum obat yang tinggi pada pasien skizofrenia mempengaruhi kejadian kekambuhannya sehingga semakin patuh pasien meminum obat maka semakin kecil resiko terjadinya kekambuhan, sebaliknya jika semakin tidak patuh pasien dalam meminum obat maka semakin besar pula resiko terjadinya kekambuhan pada pasien skizofrenia. karena penyakit ini memerlukan pengobatan seumur hidup sehingga pasien harus patuh dalam pengobatan, dalam hal ini peran keluarga sangat penting dalam proses pengobatan pasien. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaunang, dkk (2018) di Rumah Sakit Jiwa Ratumbuysang Manado, dengan jumlah responden 88 orang yang diteliti didapat 80 (90,9%)responden yang memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi dan 8 (9,1%) responden dengan tingkat kepatuhan minum obat yang rendah. Sedangkan untuk prevalensi kekambuhannya terdapat 67 (76,3%) responden yang tidak pernah mengalami kekambuhan dan 21 (23,7%) responden yang mengalami kekambuhan. Dari hasil uji statistic menggunakan chi square diperoleh p value = 0,000 lebih kecil dari α 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ Ratumbuysang Manado.
37
Kepatuhan minum obat pasien skizofrenia tidak lepas dari peran penting keluarga, sehingga pasien patuh pada pengobatan dan kejadian kekambuhannya berkurang maka pasien tidak akan di rawat dirumah sakit lagi dan hanya perlu melakukan rawat jalan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliantika, dkk (2012) untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Berdasarkan tabel hasil dilihat hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia, terlihat dukungan keluarga yang buruk menyebabkan pasien menjadi tidak patuh dalam terapi, sedangkan dukungan keluarga yang baik akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat. Menurut Pratama, dkk (2015) kepatuhan minum obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia. Berdasarkan hasil analisis menggunakan chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia, dengan nilai p value = 0,000 (α< 0,05). Berdasarkan nilai Ratio Prevalence : 11 (95%) CL : 1,69 – 76,7 yang berarti pasien yang tidak patuh minum obat akan memiliki resiko 11 kali mengalami kekambuhan dibandingkan dengan pasien yang patuh minum obat. Penelitian yang dilakukan oleh Raharjo, dkk (2014) yang melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr Amino Gondohutomo Semarang, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia dengan nilai p value = 0,000.
38
Tenaga medis berperan penting dalam pengobatan pada pasien skizofrenia. Setelah dilakukan wawancara pada pasien banyak pasien yang mengatakan bahwa tenaga medis (dokter dan perawat) selalu mengingatkan pasien untuk meminum obat dan untuk tidak putus obat. Hal inilah yang membantu pasien untuk meningkatkan kepatuhan terapi sehingga mengurangi resiko kekambuhan karena komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga medis dapat membuat pasien merasa nyaman dan merasa mendapat dukungan lebih. Menurut Undang-Undang no 3 tahun 1966 tentang perawatan dan pengobatan penderita penyakit jiwa. Telah dijelaskan bahwa perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita jiwa diatur oleh mentri kesehatan. Oleh karena itu, setiap pasien mempunyai hak untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Menurut penelitian Novita (2012) hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi seorang perawat menjalin hubungan yang baik dengan pasien ganggaun jiwa merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Seorang perawat wajib untuk memberikan rasa nyaman pada penderita dengan memberikan sapaan, pujian dan melakukan hubungan saling percaya terhadap pasien dan keluarga pasien. Perawat harus bertindak komunikatif pada penderita dengan melakukan komunikasi yang dapat dipahami oleh pasien.
39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian didapat hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kepatuhan minum obat terhadap pervalensi kekambuhan pada pasien skizofrenia yang berobat jalan di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau dengan menggunakan uji statistik Chi Square yang didapat nilai P = 0,000 (P < 0,005). 5.2
Saran
a.
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan agar melakukan penelitian dengan
melibatkan keluarga pasien agar dapat melihat dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pasien skizorenia di Rumah Sakit Jiawa Tampan Provinsi Riau. b.
Bagi pihak rumah sakit, diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan
atau acuan untuk memberikan terapi yang tepat dan efektif terhadap pasien sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan.
40
DAFTAR PUSTAKA Adamo dan Peter, J. 2007. The Genotype and Weight Lose. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Andira, S dan Nuralita, S. N. 2018. Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin Terhadap Simtom Depresi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Kota Medan Sumatera Utara Pada Tahun 2017. Buletin Farmatera. 3 (2). 1 12. Anonim. 1966. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1966 Tentang Perawatan dan Pengobatan Penderita Penyakit Jiwa. Presiden Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 2003. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 560 Tahun 2003 Tentang Pola Tarif Perjan Rumah Sakit.Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Departemen Kesehatan. Jakarta. Anonim. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/Menkes/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan. Jakarta. Anonim. 2012. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Anonima. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tentang Kesehatan Jiwa. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Anonimb. 2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja RSJ Tampan. RSJ Tampan Propinsi Riau. Pekanbaru. Aranggo, J. A dan Van Vleck, L. D. 2002. Size of beef cows: early ideas. new developments. Genet. Mol.Res.1 (1). 51 - 63. Davison, G. C., Neale, J. M. dan Kring, A. M. 2006. Psikologi Abnormal. Edisi 9. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Dewi, Ratna dan Carla. 2009. Riwayat Gangguan Jiwa Pada Keluarga Dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sarjito. Yogyakarta. Jurnal Kedokteran Masyarakat. 25(4). 176 – 179. Dipiro, T. J., Yee, C. G., Matzke, R. G., Wells, G. B., Posey, L. M. 2005. Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach Sixth Edition. McGrawHILL. New York.
41
Erlina. 2010. Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Prof HB Saanin Padang Sumatra Barat. Jurnal Kedokteran Masyarakat. 71. Erwina, I., Putri, E, D., dan Wenny, B, P. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr HB Sanin Padang. Jurnal Keperawatan.11 (1). 72 - 78. Handayani, L., Febriani., Ramadhani, A., dan Saufi, A. 2015. Faktor Resiko Kejadian Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. Humanitas.13 (2). 135 – 148. Hawari, D. 2012. Skizofrenia Edisi Ketiga Pendekatan Holistik (BPSS) Bio Psiko Sosial Spiritual. Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Hurlock, E. B. 2009. Psikologi Pengembangan : Suatu Perkembangan Sepanjang Rentan Kehidupan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Ikawati, Z. 2014. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Bursa Ilmu. Yogyakarta. Kaunang, I., Kanine, E. dan Kallo, V. 2015. Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Prevalensi Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia yang Berobat Jalan di Ruang Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. Jurnal Keperawatan. 2 (2). 1-7. Maharani, R dan Hardisal. 2017. Faktor Yang Berhubungan dengan Kekambuhan Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Menara Ilmu. 11 (77). 1-11. Nevid, S. J., Rathus, A. S. dan Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi 5. Penerbit Erlangga. Jakarta. Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Novita, M. 2012. Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Skipsi. Fakultas Keperawatan. Universitas Sumatera Utara. Osterberg, L. dan Blaschke, T. 2005. Adherence To Medication.The New England Journal Of medicin., 353 (5). 487-97. Pelealu, A., Bidjuni, H. dan Wowiling, F. 2018. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. Jurnal Keperawatan. 6 (1). 1-9. Pratama, Y., Syahrial. Dan Ishak, S. 2015. Hubungan Keluarga Pasien Terhadap Kekambuhan Skizofrenia di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Jiwa Aceh. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 15 (2). 77 – 86.
42
Rantucci, M. J. 2007. Komunikasi Apoteker-Pasie. Edisi 2. Kedokteran EGC. Jakarta. Raharjo, A, B., Rochmawati, D, H. dan Purnomo. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Amino Gundohutomo Semarang. Jurnal Keperawatan dan kebidanan. 5 (1). 1 – 6. Rawa, F., Rattu, M., dan Posangi, J. 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr VL Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Keperawatan. 3 (2). 1 – 14. Sadock, B. J dan Sadock, V. A. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2.Jakarta. Setiadi, A. I. 2006. Masalah Psikiatri. Penerbit Refika Aditama. Bandung. Setiati,. Sumarni, DW dan Suryawati. 2017. Dukungan Sosial dan Kepatuhan Pengobatan Dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Purworejo. BKM Journal Of Community Medicine and Public Health. 33(6). 305 – 310. Siregar, C. J. P. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan. EGC. Jakarta. Siregar, C. J. P. dan Endang, S. 2006. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Steinberg, L. D. 2002. Adolescence. Sixth Edition. Mc-Graw-HILL : New York. Sudarsih, T. S. 2017. Analisis Pengaruh Efek Samping Ekstrapiramidal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau. Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian.Alfabeta. Bandung. Wahyudi, A. dan Fibriana, A. I. 2016. Faktor Terjadinya Skizofrenia (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Pati). Public Health Persfective Journal. 1(1). 1 – 12. Yosep, I. 2011. Keperawatan Jiwa. PT. Refika Aditama. Bandung. Yulian, V. dan Muhlisin, A. 2008. Hubungan Antara Support System keluarga dengan kepatuhan Berobat Klien Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Jurnal Keperawatan. (4). 213-220 Yuliantika,. Jumaini. dan Sabrian, F. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Jurnal Keperawatan. 4 (3). 1 – 13.
43
Lampiran 1. Skema Kerja Penelitian
Mengajukan surat permohonan izin untuk penelitian kepada bagian administrasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
Pengurusan izin penelitian di Rumah Sakit Jiwa Tampan Bagian Tata Usaha
Pengurusan izin penelitian di Rumah Sakit Jiwa Tampan Direktur Rumah Sakit jiwa Tampan
Pengurusan izin penelitian di Rumah Sakit Jiwa Tampan Bagian Instalasi Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pengurusan izin penelitian di Rumah Sakit Jiwa Tampan Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pengurusan izin penelitian di Rumah Sakit Jiwa Tampan Bagian poli jiwa Rumah Sakit Jiwa Tampan
Memberikan kuesioner dan wawancara pasien dan atau keluarga pasien
Kriteria ekslusi
Kriteria inklusi
Analisis data Gambar 2. Skema Kerja Penelitian
44
Lampiran 2. Skema Pengambilan Dan Pengumpulan Data 98 Data Kuesioner dan Rekam Medik Pasien Skizofrenia
Wawancara menggunakan kuesioner kepatuhan
Wawancara menggunakan lembar sosiodemografi pasien
Analisis Data
Univariat
Bivariat
1. Jumlah dan persentase (%) berdasarkan Sosiodemografi ( jenis kelamin, rentang usia, tingkat pendidikan, riwayat kekambuhan dan riwayat keluarga) 2. Jumlah dan persentase (%) berdasarkan tingkat kepatuhan 3. Jumlah dan persentase (%) berdasarkan kejadian kekambuhan
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kejadian kekambuhan responden dengan menggunakan uji statistic chi square.
Gambar 3. Skema Pengambilan Dan Pengumpulan Data
45
Lampiran 3. Algoritma Terapi Skizofrenia
Tahap 1: Coba SGA tunggal : Serangan
Aripiprazol, olanzapin, qutiapin, risperidon atau
MAX 12
pertama atau
ziprasidon
minggu
belum pernah menggunakan SGA Sebelumnya
MAX 12 Tahap 2 : Coba SGA tunggal lain selain pada
minggu
tahap 1 Respon parsial atau tidak ada Tahap 2A : Coba FGA atau
Tahap 3 : Coba FGA atau
SGA yang lain
SGA yang lain Respon parsial atau tidak ada
Respon parsial atau tidak ada
Tahap 4 : Klozapin Tidak ada respon
Menolak klozapin
Tahap 5 : Coba satu obat FGA atau SGA yang belum dicoba
Tidak ada respon
Tahap 6 : Terapi kombinasi SGA + FGA, kombinasi SGA. (FGA atau SGA + ECT, (FGA atau SGA + agen lain ) Gambar 4. Algoritma Terapi Skizofrenia (Dipiro et al, 2005) SGA : Second Generation Antipsikotik; ETC : Electroconvulsive FGA : Firts Generation Antipsikotik
46
Lampiran 4. Hasil Analisis Data Bivariat Tabel 7. Hasil Uji Chi Square Tingkat Kepatuhan dan Kejadian Kekambuhan Kepatuhan * Kekambuhan Crosstabulation Kekambuhan Tidak Pernah Kepatuhan
Tinggi
Count Expected Count
Sedang
Count Expected Count
Rendah
Total
Count Expected Count
Total
37
1
38
24.8
13.2
38.0
23
14
37
24.2
12.8
37.0
4
19
23
15.0
8.0
23.0
64
34
98
64.0
34.0
98.0
Count Expected Count
Pernah
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
40.708a
2
.000
Likelihood Ratio
46.940
2
.000
Linear-by-Linear Association
40.068
1
.000
N of Valid Cases
98
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,98.
47
Lampiran 5. Diagram Hasil Analisis Data Univariat
54
53
52 50 48 46
45
44 42 40 laki-laki
perempuan
Gambar 5. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis Kelamin
60 50
48 43
40 30 20
7
10 0 dewasa awal
dewasa madya
dewasa lanjut
Gambar 6. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Rentang Usia
48
70
65
60 50 40 27
30 20 10
6
0 dasar
menengah
tinggi
Gambar 7. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat Pendidikan
80
76
70 60 50 40 30
22
20 10 0 memiliki riwayat
tidak memiliki riwayat
Gambar 8. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Riwayat Keluarga
49
60
55
50
43
40 30 20 10 0 pernah
tidak pernah
Gambar 9. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Kejadian Kekambuhan
50
47
45 38
40
35 30 25 20 15
13
10 5 0 rendah
sedang
tinggi
Gambar 10. Persentase Pasien Skizofrenia Berdasarkan Tingkat Kepatuhan
50
Lampiran 6. Surat Izin Pra Penelitian
Gambar 11. Surat Izin Pra Penelitian
51
Lampiran 7. Surat Izin Penelitian
52
Gambar 12. Surat Izin Penelitian
53
Lampiran 8. Surat Selesai Penelitian
Gambar 13. Surat Selesai Penelitian
54
Lampiran 9. Lembar Permohonan Permintaan Menjadi Responden PERMOHONAN PERMINTAAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth : Bapak/Ibu responden penelitian Di Kota Pekanbaru Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama
: Faricha Ulfa
Alamat
: Pekanbaru Dengan ini menyatakan bahwa saya mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Riau, akan mengadakan penelitian dengan judul “HUBUNGAN KEPATUHAN
MINUM
OBAT
TERHADAP
PREVALENSI
KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA YANG BEROBAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA TAMPAN PROVINSI RIAU”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Tampan. Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi pasien, kerahasiaan semua informasi yang diberikan oleh Bapak/Ibu responden akan dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika Bapak/Ibu tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada paksaan atau ancaman apapun bagi Bapak/Ibu. Apabila Bapak/Ibu menyetujui dan bersedia menjadi responden, maka dengan ini saya mohon kesediaanya untuk menandatangani lembar persetujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu sebagai responden saya ucapkan terima kasih. Peneliti
Faricha Ulfa
55
Lampiran 10. Lembar Persetujuan Responden LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
Alamat
: Saya yang menyatakan telah memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya
terhadap penelitian yang akan dilakukan dan mengerti atas informasi tersebut. Saya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner dengan jujur. Saya juga bersedia memberikan pernyataan saya untuk dijadikan bahan penelitian. Demikian surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Pekanbaru,......................2019
Responden
(...................................)
56
Lampiran 11. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT TERHADAP PREVALENSI KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIAYANG BEROBAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWATAMPAN PROVINSI RIAU Petunjuk Pengisian Bagian A : berilah tanda (√) pada jawaban yang anda maksud. A. SOSIO-DEMOGRAFI RESPONDEN 5
Jenis Kelamin
:
o Laki-laki o Perempuan 6
Umur Pasien
:
o 18 tahun – 40 tahun o 41 tahun – 60 tahun o > 60 tahun 7
Pendidikan Terakhir
:
o SD o SMP / Sederajat o SMA / Sederajat o Perguruan tinggi 8
Riwayat Keluarga : o Memiliki riwayat o Tidak memiliki riwayat 5. Riwayat Kekambuhan : o Pernah o Tidak Pernah 6. Jika Pernah Kambuh : o Sudah Berapa Kali o Apa Gejala Yang Terlihat
57
Lampiran 11 . Kuesioner Penelitian Lanjutan Tabel 8. Kuesioner Kepatuhan NO.
Pertanyaan
Ya
1.
Apakah anda selalu ingat untuk meminum obat untuk skizofrenia anda ?
2.
Kadang-kadang orang lupa minum obat karena alasan tertentu. Coba anda ingat-ingat lagi apakah dalam dua minggu terakhir anda minum obat skizofrenia anda ? Jika anda merasa keadaan anda bertambah membaik dengan meminum obat anda, apakah anda tetap meminum obat skizofrenia tersebut ? Ketika anda berpergian atau meninggalkan rumah untuk waktu yang lama, apakah anda selalu membawa obat skizofrenia anda ? Apakah kemarin anda meminum obat skizofrenia anda ? Jika anda merasa kondisi anda memburuk, apakah anda tetap meminum obat skizofrenia anda ? Meminum obat setiap hari kadang membuat orang tidak nyaman, apakah anda nyaman atau tidak memiliki masalah dalam mematuhi pengobatan tersebut ?
3.
4.
5. 6. 7.
8.
Apakah anda selalu mengingat waktu dalam penggunaan obat ? YA, jika a. Selalu / sering TIDAK, jika b. Sekali-sekali c. Terkadang d. Biasanya e. Tidak pernah Tulis : Ya (bila memilih : b/c/d/e: Tidak (bila memilih a) TOTAL SKOR
58
Tidak
Lampiran 12. Lembar Pengumpulan Data Tabel 9. Lembar Pengumpulan Data
NO
KODE
1.
SKZ1
2. 3.
SKZ2 SKZ3
JK Usia L
P L
DA
DA DA
tingkat riwayat kejadian pendidikan keluarga kekambuhan S1
SMA SMA
Memiliki
Tidak Tidak
tidak pernah
Pernah tidak pernah
4.
SKZ4
L
DA
SMP
Tidak
Tidak pernah
5.
SKZ5
L
DA
S1
Tidak
Pernah
6.
SKZ6
L
DM
SD
Tidak
Pernah
7.
SKZ7
L
DL
SD
Tidak
Tidak pernah
8.
SKZ8
P
DM
SMA
memiliki
Pernah
9.
SKZ9
L
DA
SMP
tidak
Tidak pernah
10.
SKZ10
L
DM
SD
tidak
Pernah
11.
SKZ11
P
DM
SD
tidak
tidak pernah
59
Diagnosis Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skziofrenia residual Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia
59
Obat HLP 2X1 KLZ 1X1 RPD 1x1,THD 1x1/2, CPZ 1X1, KLZ 1X1 HLP 2X1, RPD 2X1, THD 1X1 HLP 2X1, RPD 2X1, THD 1X1, CPZ 1X1/2 KZP 2X1, HLP 1X1 KZP 2X1, HLP 1X1, Vit B RPD 2X1/2 HLP 2X1, OLZ 1X1, THD 1X1 HLP 2X1, RPD 1X1 RPZ 2X1, KLZ 1X1, THD 1X1 HLP 2X1, THD 2X1, CPZ 1X1/2
skor kepatuhan 8
skor Lama kekambuhan berobat 0
2
5
8
0
8
0
7
1
5
4
6
0
5
3
7
0
5
5
7
0
3 TH 12 TH 5 BLN 2 TH 1 TH 2 BLN 1 TH 1 BLN 5 TH 11 BLN 6 TH 1BLN 3 TH 4 BLN 3 TH 7 BLN 2 TH
12.
SKZ12
P
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
13.
SKZ13
P
DM
SMA
memiliki
Pernah
14.
SKZ14
L
DA
SMP
Tidak
tidak pernah
15.
SKZ15
P
DM
SD
Tidak
Pernah
16.
SKZ16
L
DA
SMA
memiliki
tidak pernah
17.
SKZ17
P
DA
SMA
Tidak
Pernah
60
18.
SKZ18
P
DM
SMP
Tidak
Pernah
19.
SKZ19
L
DA
SMP
Tidak
tidak pernah
20.
SKZ20
P
DA
SMP
Tidak
Pernah
21.
22. 23.
SKZ21
SKZ22 SKZ23
L
P P
DM
DM DA
SMP
SMP SMA
Tidak
Tidak Tidak
Tidak pernah
tidak pernah tidak pernah
Skizofrenia RPD 2X1/2, HLP paranoid 2X1 Skizofrenia HLP 2X1, THD tak terinci 2X1, CPZ 1X1/2 Skizofrenia CPZ 1X1, THD paranoid 1X1, TFP 2X1 RPD 1X1/2, Skizofrenia THD 1X1/2 Skizofrenia TFP 2X1, THD tak terinci 1X1, CPZ 1X1/4 Skizofrenia KZP 2X1, HLP residual 1X1, VIT B 1X1 HLP 3X1, CPZ Skizofrenia 1X1, KLZ 1X1, paranoid THD 1X1 Skizofrenia CPZ 1X1, THD paranoid 1X1, TFP 2X1 Skizofrenia RPD 1X1 tak terinci HLP 2X1, RPD Skizofrenia 1X1, KLZ 2X1, paranoid THD 1X1 OLZ 1X1, KLZ Skizofrenia 1X1, THD 1X1, tak terinci VIT B Skizofrenia RPD 1X1/2, residual THD 1X1/2
60
8
0
3
7
8
0
6
2
7
0
5
2
3 TH 2 BLN 13 TH 5 BLN 2 TH 3 TH 1 TH 19 TH 21 TH
6
2
6
0
5
3
8
0
4 TH 10 BLN 7 BLN 8 TH 4 BLN 2 TH
7 7
0 0
1 TH 2 BLN
61
24.
SKZ24
L
DA
SMP
Tidak
Tidak pernah
25.
SKZ25
L
DM
SMP
Tidak
pernah
26.
SKZ26
P
DM
SD
Tidak
tidak pernah
27.
SKZ27
P
DA
SMA
memiliki
tidak pernah
28.
SKZ28
L
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
29.
SKZ29
P
DM
SD
memiliki
pernah
30.
SKZ30
L
DM
SMA
Tidak
tidak pernah
31.
SKZ31
P
DA
SD
Tidak
tidak pernah
Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia Skizofrenia Skizofrenia paranoid skizofrenia Skizofrenia
32.
SKZ32
L
DM
SD
Tidak
pernah
33.
SKZ33
P
DA
SMP
Tidak
pernah
34.
SKZ34
P
DM
SMA
memiliki
pernah
35.
SKZ35
L
DL
SMA
Tidak
pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci skizofrenia Skizofrenia paranoid
61
HLP 1X1, CPZ 1X1, THD 1X1 HLP 2X1, THD 1X1, CPZ 1X1/2 HLP 2X1, CPZ 1X1 RPD 1X1/2, THD 1X1/2 RPD 1X1/2, HLP 2X1,THD 1X1/2 OLZ 1X1/4, THD 2X1, DZP 2X1/2 RPD 1X1/2, HLP 2X1 HLP 2X1, THD 1X1, VIT B 1X1 OLZ dan DZP HLP 2X1, CPZ 1X1/2, THD 1X1/2 TFP 1X1, THD 1X1/2, KLZ 1X1/2 DZP 1X1, HLP 1X1 AMI 2X1, CLB 1X1
7
0
5
4
8
0
4
0
6
0
5
1
7
0
8
0
1 TH 1 BLN 5 TH 1 BLN 6 BLN 5 TH 4 TH 3 BLN 15 TH 5 BLN 2 TH 2 TH
6
5
6
3
5
5
5
10
2 TH 3 BLN 9 BLN 4 TH 7 TH
36.
SKZ36
P
DA
SMA
memiliki
tidak pernah
37.
SKZ37
P
DM
SMP
Tidak
tidak pernah
38.
SKZ38
L
DM
SMP
Tidak
tidak pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia
39.
62
SKZ39
P
DM
SMA
Tidak
pernah
40.
SKZ40
P
DA
SD
Tidak
pernah
41.
SKZ41
P
DA
SMA
Tidak
pernah
42.
SKZ42
P
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
43.
SKZ43
L
DA
SD
Tidak
pernah
44.
SKZ44
P
DM
SD
memiliki
pernah
45.
SKZ45
L
DA
SD
Tidak
tidak pernah
46.
SKZ46
P
DM
SD
Tidak
tidak pernah
47.
SKZ47
P
DA
S1
Tidak
tidak pernah
48.
SKZ48
L
DM
SD
Tidak
pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid
62
HLP 2X1/2, CPZ 1X1, HEX 1X1 HLP 1X1, CPZ 1X1/2 RPD 2X1, CLZ 2X1, HEX 1X1 RPD 2X1 THD 1X1/2 CPZ 1X1 THD 1X1, HLP 2X1, KLZ 1X1/2 HLP 2X1/2, THD 1X1 OLZ 1X1, DZP 1X1 TFP 2X1, THD 1X1/2, CPZ 1X1 RPD 2X1, CPZ 1X1/2, DZP 1X1 RPD 2X1, CPZ 1X1/2, THD 1X1 CPZ 1X1, AMI 1X1 RPD 2X1, KLZ 1X1, THD 1X1 CPZ 1X1/2, RPD 2X1, HLP 2X1, VIT B 2X1
6
0
7
0
8
0
7
2
4
4
5
2
8
0
5
1
5
2
7
0
8
0
8
0
6
4
5 TH 10 BLN 1 TH 3 TH 4 BLN 4 TH 4 TH 2 TH 10 TH 3 TH 10 BLN 2 TH 7 BLN 1 TH 7 BLN 1 TH 5 BLN 21TH
49. 50.
SKZ49 DKZ50
L L
DM DM
SMA SMA
Tidak Tidak
tidak pernah tidak pernah
Skizofrenia lainnya Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid
51. 52.
SKZ51 SKZ52
P L
DM DM
S1 SD
Tidak Tidak
tidak pernah tidak pernah
63
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia paranoid
53. 54.
SKZ53 SKZ54
P P
DM DM
SMA SD
memiliki Tidak
pernah pernah
55.
SKZ55
L
DA
SD
memiliki
pernah
56.
SKZ56
P
DM
SMA
memiliki
pernah
57. 58.
SKZ57 SKZ58
P L
DM DM
SMP SD
Tidak Tidak
tidak pernah tidak pernah
Skizofrenia lainnya Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid
63
RPD 2X1, KLZ 2X1/2, THD 2X1/2 LUM 2X1, FNT 1X1, DZP 1X2 RPD 2X1, KLZ 1X1/1, THD 1X1/2 DZP 1X1/2 HLP 3X1, CPZ 1X1, THD 1X1 RPD 2X1, THD 1X1, HEX 2X1/2, VIT B 1X1 HLP 1X1 TFP 2X1, THD 1X1/2, CPZ 1X1, DZP 1X1 AMI 2X1/2, HLP 1X1, CLB 2X1/2 HLP 2X1, ALP 1X1, THD 2X1, CPZ 1X1, HLP 2X1 CPZ 1X1/2
7
0
8
0
1 TH 9 BLN 12 BLN 2 TH 10 BLN
8 8
0 0
9 TH 10 BLN 7 BLN
7
1
2
4
6
10
7
1
7
0
1 TH 7 BLN 5 TH 7 TH 8 BLN 10 BLN
6
0
2 TH 1 BLN
59.
SKZ59
L
DL
SMA
Tidak
tidak pernah
60.
SKZ60
P
DM
SD
Tidak
pernah
61.
SKZ61
L
DA
S1
memiliki
tidak pernah
62.
SKZ62
L
DM
SD
Tidak
tidak pernah
63.
SKZ63
L
DM
SD
Tidak
tidak pernah
64
64.
SKZ64
P
DA
S1
memiliki
Tidak pernah
65.
SKZ65
L
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
66.
SKZ66
P
DA
SMP
Tidak
pernah
67.
SKZ67
P
DL
SD
memiliki
pernah
68.
SKZ68
L
DA
SMP
Tidak
tidak pernah
69.
SKZ69
P
DL
SMA
Tidak
tidak pernah
70.
SKZ70
L
DA
SMA
tidak
tidak pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia tipe manik Skizofrenia tak terinci Skizofrenia residual Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia residual Skizofrenia Skizofrenia paranoid
64
THD 1X1/2, KLZ 1X1, HLP 1X1 HLP 1X1, CPZ 1X1 RPS 2X1, KLZ 1X1, THD 1X1 KLZ 1X1, LPZ 2X1/1 HLP 3X1, CPZ 1X1, THD 1X1 HLP 2X1, OLZ 2X1, CPZ 3X1, KLZ 1X1/2 HLP 1X2, THD 1X1/2, DZP 1X1 STZ 1X1, KLZ 1X1 RPD 2X1, CPZ 1X1/2, THD 1X1/2 RPD 1X1/2, THD 1X1/2 AMI 1X1/4, ALX 1X1/2, RPD 2X1, CPZ 1X1/2, THD 1X1
8
0
5
3
8
0
6
0
8
0
7
0
8
0
7
1
5
3
8
0
7
0
8
0
5 TH 5 BLN 7 TH BLN 3 TH 8 BLN 11 BLN 15 TH 3 TH 6 BLN 1 TH 3 TH 8 BLN 7 TH 5 BLN 8 BLN 21 TH 3 TH
71. 72.
65
SKZ71 SKZ72
L P
DA DM
SMP SMA
memiliki tidak
tidak pernah pernah
73.
SKZ73
P
DM
SMP
tidak
Tidak pernah
74.
SKZ74
P
DA
SMA
tidak
Tidak pernah
75.
SKZ75
L
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
76.
SKZ76
L
DA
SMP
Tidak
Tidak pernah
77.
SKZ77
P
DA
SMA
Tidak
Tidak pernah
78.
SKZ78
L
DA
SMA
Tidak
tidak pernah
79.
DSKZ79
P
DM
SD
memiliki
tidak pernah
80.
SKZ80
L
DM
SMA
tidak
tidak pernah
81.
SKZ81
P
DM
SMA
tidak
tidak pernah
82.
SKZ82
L
DM
SMP
tidak
pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tipe manik Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid skziofrenia Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid
65
HLP 1X1, CPZ 1X1, KLZ 1X1, VIT B 1X1 RPD 1X1, AMI 2X1, CLZ 1X2 HLP 2X1, CPZ 1X1 RPD 2X1 CPZ 1-2X HLP 2X1 CPZ 1X1/2 HLP 2X1, KLP 1X1 HLP 2X1 KLZ 1x1 RPD 2X1 RPD 1X1/2 KLZ 1X1 HLP 2X1, THD 2X1, CPZ 1X1/2 HLP 1X2, THD 1X1/2, DZP 1X1 RPD 2X1, THD 1X1, CPZ 1X1 HLP 2X1 CPZ 1X1/2 THD 1X1
8
0
8
1
8
0
8
0
8
0
8
0
4
0
8
0
3
0
8
0
8
0
8 TH 5 BLN 4 TH 5 TH 1 BLN 9 BLN 16 TH 3 TH 4 BLN TH
2
5
3 TH 5 TH 8 BLN 1 TH 2 BLN 3 TH 3 BLN 4 TH 10 BLN
83.
P
DM
SMA
tidak
pernah
84.
SKZ84
L
DM
SMA
tidak
tidak pernah
85.
SKZ85
P
DL
SMP
tidak
tidak pernah
86. 66
SKZ83
87.
SKZ86 SKZ87
L L
DA DA
SMP SD
tidak tidak
pernah Tidak pernah
88.
SKZ88
P
DA
SD
tidak
tidak pernah
89.
SKZ89
L
DA
SMA
tidak
pernah
90.
SKZ90
L
DA
SMP
memiliki
tidak pernah
91.
SKZ91
L
DA
SMA
tidak
tidak pernah
92.
SKZ92
L
DA
SMP
memiliki
tidak pernah
93.
SKZ93
L
DM
SMA
memiliki
pernah
Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia residual Skizofrenia residual Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia Skizofrenia paranoid Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid
66
HLP 2X1 KLZ 1X1 THD 1X1/2 HLP 2X1 CPZ 1X1/2 THD 1X1 HLP 1X1/2 THD 1X1/2 KLZ 1X1/2 THD 1X1, VIT B 1X1 CPZ 1X1 RPD 1X1 HLP 2X1 KLZ 1X1 THD 1X1/2 CPZ 2X1, THD 1X1, HLP 2X1 RPD 2X1, OLZ 2X1 HLP 2X1 THD 1X1 KLZ 2X1 HLP 1X1/2 HLP 2X1, THD 1X1, KLZ 1X1, VIT B 1X1
2 TH 7
1
8
0
8
0
11 BLN
7
4
8
0
8
0
7
2
8
0
8
0
8
0
2 TH 3 BLN 2 TH 10 BLN 3 TH 5 TH 2 BLN 4 TH 2 BLN 5 TH 2 TH 1 BLN 5 TH 6 TH
6
2
67
94.
SKZ94
L
DA
SMA
tidak
tidak pernah
95.
SKZ95
L
DA
SMP
tidak
tidak pernah
96.
SKZ96
L
DM
S1
tidak
tidak pernah
97.
SKZ97
L
DA
SMA
tidak
tidak pernah
98.
SKZ98
L
DA
SD
tidak
tidak pernah
Skizofrenia paranoid Skizofrenia residual Skizofrenia tak terinci Skizofrenia tak terinci Skizofrenia paranoid
Keterangan : L = laki-laki P = Perempuan DA = dewasa awal DM = dewasa madya DL = dewasa lanjut
67
HLP 2X1, THD 1X1 RPD 1X1 KLZ 1X1, RPD 1X1, VIT B HKP 2X1, THD 1X1 RPD 1X1, THD 1X1, CPZ 1X1/4
7
0
7
0
7
0
8
0
2
0
9 BLN 6 BLN 1 TH 8 BLN 2 TH