Ppok Fiks-1.docx

  • Uploaded by: Noor Endah Lestari
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ppok Fiks-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,365
  • Pages: 31
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK Diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan Dokter Internsip

Presentan : dr. Noor Endah Lestari Pendamping : dr. Andari Retnowati Pembimbing: dr. Fadlia Sp.P M.Kes

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOLOPO KAB. MADIUN 2019

No. ID dan Nama Peserta:

dr. Noor Endah Lestari

No. ID dan Nama Peserta:

RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Topik :

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Tanggal Kasus :

22 Januari 2019

Nama Pasien :

Tn S

Nomor RM : 87193

Tanggal Presentasi :

2019

Pendamping :

Tempat Presentasi :

RSUD Dolopo, Kab. Madiun

dr. Andari Retnowati

Objektif Presentasi : Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan Pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak tadi pagi SMRS. Keluhan sesak nafas dirasakan terus menerus dan semakin memberat. Pasien mengatakan terdapat keluhan lain seperti batuk (+), berdahak (+) dahak dapat Deskripsi :

dikeluarkan berwarna putih tidak terdapat darah, nyeri dada sebelah kanan (+), pusing (-), demam (-), pilek (-), BAK dan BAB lancar. Pasien 1 minggu yang lalu datang ke Poli Paru untuk kontrol rutin penyakitnya. Untuk mengurangi keluhannya pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh Poli Paru, tidak terdapat riwayat pengobatan dengan OAT. Terdapat riwayat merokok sejak usia 10 tahun dan baru berhenti sekitar 4 bulan terakhir. Riwayat penyakit terdahulu sesak nafas sekitar 4 bulan terakhir (+), DM (-), HT (-), jantung (-), kolesterol (-), stroke (-). Pasien merasa nafasnya sangat sesak sehingga memutuskan untuk datang ke IGD RSUD Dolopo.

Tujuan : Bahan Bahasan :

Mengidentifikasi penyebab, perjalanan penyakit, gejala, diagnosis dan tata laksana dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Email

Pos

Cara Membahas Data Pasien

Diskusi Nama :

Presentasi dan Diskusi Tn S

Nama Klinik : RSUD Dolopo, Kab. Madiun

No. Reg: Telp : -

87193 Terdaftar sejak :

Data Utama untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak tadi pagi. Sesak nafas dirasakan terus menerus dan semakin memberat. Pasien mengatakan terdapat keluhan lain seperti batuk (+), berdahak (+) dahak dapat dikeluarkan berwarna putih tidak terdapat darah, nyeri dada sebelah kanan (+), pusing (-), demam (-), pilek (-), BAK dan BAB lancar. Terdapat riwayat merokok sejak usia 10 tahun dan baru berhenti sekitar 4 bulan terakhir. 2. Riwayat Pengobatan : Pasien datang ke Poli Paru untuk kontrol rutin penyakitnya. Untuk mengurangi keluhannya pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh Poli Paru, tidak terdapat riwayat pengobatan dengan OAT. 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit : Pasien sering merasakan keluhan yang sama yaitu sesak nafas, batuk berdahak dan dirasakan sudah sekitar 4 bulan terakhir (+), DM (-), HT (-), jantung (-), kolesterol (-), stroke (-). 4. Riwayat keluarga : Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien. 5. Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan. 6. Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai petani. Hasil Pembelajaran: 1.

Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

2.

Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

3.

Patologi, patogenesis dan patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

4.

Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

5.

Gejala Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

6.

Diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

7.

Diagnosa Banding Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

8.

Tatalaksana Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

9.

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

RANGKUMAN PEMBELAJARAN PORTOFOLIO Subjektif: - Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak tadi pagi. Sesak nafas dirasakan terus menerus dan semakin memberat. Pasien mengatakan terdapat keluhan lain seperti batuk (+), berdahak (+) dahak dapat dikeluarkan berarna putih tidak terdapat darah, nyeri dada sebelah kanan (+), pusing (-), demam (-), pilek (-), BAK dan BAB lancar. Terdapat riwayat merokok sejak usia 10 tahun dan baru berhenti sekitar 4 bulan terakhir. -

Pasien sering merasakan keluhan yang sama yaitu sesak nafas, batuk berdahak dan dirasakan sudah sekitar 4 bulan terakhir (+), DM (-), HT (-), jantung (-), kolesterol (-), stroke (-).

-

Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien.

-

Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.

Objektif Keadaan Umum

Tampak Lemah

Kesadaran

Compos Mentis

Status gizi

Normal

Tekanan Darah

160/100 mmHg

Nadi

96 kali/menit

Nafas

48 x/menit

Suhu

36 ºC

BB/TB/BMI

52kg / 155 cm / 21,64

Kepala/leher

Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Edema (-/-) pembesaran KGB (-)

Paru

Inspeksi

:

Simetris

ki=ka Palpasi : fremitus ki=ka

Perkusi:

sonor

ki=ka Jantung

Auskultasi: ves (+)/(+), rh (+)/(+), wh (-)/(-) Inspeksi: Iktus tidak terlihat Palpasi: Iktus teraba ICS V Auskultasi: Irama regular, murmur (-), gallop ()

Abdomen

Inspeksi: Perut distended (-) Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (-), turgor kembali cepat Perkusi: Timpani Auskultasi : Bising usus (+) Normal Akral hangat. Edema (-) Dry skin (-)

Ekstremitas

Pemeriksaan laboratorium (22 Januari 2019) : Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Eritrosit

4.57

4.00 - 6.20

Haemoglobin

13.8 g/dl

11,0 – 17,0 g/dl

Hematokrit

43.4 %

35,0 - 55,0%

Leukosit

10.8

4.00-12.00

Limfosit

6.6 %

Monosit

3.7 %

Granulosit Trombosit

86.8 % 206

H

50 – 80% 150 – 400

GDA

217

H

70 – 125

BUN

15

Kreatinin

1.27

H

0,5 – 0,9

Asam Urat

8.22

H

2,1 – 5,7

SGO

79

H

< 50

T

32

L

25 – 50% 2 – 10 %

4,7 - 23,0

SGPT EKG (22 Januari 2019)

Kesimpulan : Sinus Takikardi, HR 125x/menit

< 50

Rongent thorax

Kesan : emphysema pulmonum

Diagnosis : Berdasarkan

subjektif,

objektif

dan

pemeriksaan

laboratorium, pasien didiagnosa dengan : 1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik eksaserbasi akut. 2. HT stage II Penatalaksanaan (22 Januari 2019) -

O2 6-8 lpm

-

Nebul ventolin tiap 8 jam

-

IVFD Asering 20 tpm

-

Inj Ceftriaxon 2x1 gram

-

Inj Methyl Prednisolon 2x125 mg

-

Inj Ranitidin 2x1

Follow up : 23 Januari 2019 S: demam (-), sesak (+), batuk (+), dahak (+), perut agak perih (+)

penunjang

O: GCS: 456, TD 116/79, Nadi: 93x/menit, nafas: 32x/menit, T: 36.2ºC, SpO2 98% Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (+/+) A : Penyakit Paru Obstruktif Kronik eksaserbasi akut + HT stage II terkontrol + dispepsi P: Terapi: -

O2 2-3 lpm

-

Nebul ventolin tiap 8 jam

-

IVFD Asering + drip 1 ampul aminofilin 14 tpm

-

Inj Ceftriaxon 2x1 gram

-

Inj Methyl Prednisolon 2x125 mg

-

Inj Ranitidin 2x1

-

Inj lapibal 1x1

-

R2 (salbutamol 0,5 mg, ambroxol 30 mg, codein 10 mg, CTM ½ tab) 2x1

-

Sucralfat syr 3x1 C

24 Januari 2019 S: demam (-), sesak (+) sudah berkurang, batuk (+) sudah berkurang, dahak (+) O: GCS: 456, TD 122/70, Nadi: 73x/menit, nafas: 28x/menit, T: 36.8ºC, SpO2 98% Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (+/+) minimal A : Penyakit Paru Obstruktif Kronik eksaserbasi akut + HT stage II terkontrol + dispepsi P: Terapi: -

O2 2-3 lpm

-

Nebul ventolin tiap 8 jam

-

IVFD Asering + drip 1 ampul aminofilin 14 tpm

-

Inj Ceftriaxon 2x1 gram

-

Inj Methyl Prednisolon 2x125 mg

-

Inj Ranitidin 2x1

-

Inj lapibal 1x1

-

R2 (salbutamol 0,5 mg, ambroxol 30 mg, codein 10 mg, CTM ½ tab) 2x1

-

Sucralfat syr 3x1 C

25 Januari 2019 S: demam (-), sesak (+) sudah berkurang, batuk (+) sudah berkurang, dahak (+) O: GCS: 456, TD 112/76, Nadi: 77x/menit, nafas: 22x/menit, T: 36.1ºC, SpO2 98% Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (+/+) minimal, Wheezing (-/-) A : Penyakit Paru Obstruktif Kronik eksaserbasi akut + HT stage II terkontrol + dispepsi P: ACC KRS Terapi pulang: -

Cefixime 2x100 mg

-

R1 (aminofilin 100 mg,salbutamol 1 mg, ambroxol 30 mg, codein 10 mg, CTM ½ tab) 2x1

-

Methyl prednisolon 4 mg 3x1

-

Ranitidin 1-0-1

-

Sucralfat syr 3x1 C

-

Seretide discus 250 mcg (salmeterol xinafoate 50 mcg, fluticasone propionate 250 mcg) 1-0-1

Konsultasi Konsultasi dilakukan dengan spesialis penyakit paru untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pendidikan Dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakitnya, penyebab dan penatalaksanaan serta prognosisnya. Rujukan Saat ini pasien belum perlu dirujuk.

TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah penyakit yang umumnya dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis di saluran pernafasan dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi seluruhnya terhadap tingkat keparahan pada pasien. Karakteristik hambatan aliran udara kronis dari PPOK disebabkan oleh campuran penyakit bronkiolitis kronik dan emphysema, kontribusi relatif yang bervariasi dari manusia satu ke manusia lainnya. Peradangan kronis menyebabkan perubahan struktural dan penyempitan bronkiolus. Hancurnya parenkim paru-paru, juga oleh proses inflamasi menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada bronkiolus dan berkurangnya elastisitas paru, perubahan ini mengurangi kemampuan saluran nafas untuk tetap terbuka selama ekspirasi. Hambatan aliran udara paling baik diukur dengan spirometri, karena ini adalah tes fungsi paru yang dapat dilakukan secara luas. Sebelumnya

banyak

definisi

PPOK

telah

menekankan

istilah

"emphysema" dan "bronchitis kronis," yang tidak termasuk dalam definisi yang digunakan dalam laporan GOLD saat ini atau sebelumnya. Emfisema, atau kerusakan permukaan alveolus, adalah istilah patologis yang sering (tetapi salah) digunakan secara klinis dan menggambarkan hanya satu dari beberapa kelainan struktural yang muncul pada pasien dengan PPOK. Bronkitis kronis, atau adanya batuk dan produksi dahak setidaknya selama 3 bulan masing-masing dua tahun berturut-turut, tetap merupakan istilah yang berguna secara klinis dan epidemiologis. Namun, penting untuk mengetahui bahwa batuk kronis dan produksi dahak (bronkitis kronis) adalah penyakit yang dapat mendahului atau mengikuti perkembangan hambatan aliran udara dan dapat terkait dengan pengembangan dan / atau percepatan hambatan aliran udara tetap. Bronkitis kronis juga terjadi pada pasien dengan spirometri normal.

2. Faktor Risiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a. Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan

:

0-200

- Sedang

:

200-600

- Berat

:

>600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja 3. Hipereaktiviti bronkus 4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang 5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia 3. Patologi, patogenesis dan patofisiologi

Patologi Perubahan patologi pada PPOK ditemukan di saluran pernafasan, parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan patologis termasuk peradangan kronis, dengan peningkatan jumlah jenis sel inflamasi spesifik di berbagai bagian paru-paru, dan perubahan struktural yang dihasilkan dari cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural di saluran pernafasan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit dan pada lama berhentinya merokok. Patogenesis Peradangan pada saluran pernapasan pada pasien PPOK tampaknya merupakan modifikasi dari respon inflamasi pada saluran pernapasan terhadap iritan kronis seperti asap rokok. Mekanisme peningkatan peradangan ini belum dipahami tetapi mungkin ditentukan secara genetik. PPOK pada pasien dapat muncul meski tanpa merokok, tetapi respon inflamasi pada pasien

seperti ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan proteinase yang berlebih di paru-paru dapat memodifikasi peradangan paru-paru lebih lanjut. Mekanisme ini mengarah pada perubahan patologis yang khas pada PPOK. Peradangan paru bertahan setelah berhenti merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigen dan mikroorganisme persisten mungkin memainkan peran. Stres oksidatif. Stres oksidatif dapat merupakan mekanisme penguat penting dalam PPOK. Biomarker dari stres oksidatif (misal Hidrogen peroksida, 8isoprostane) meningkat dalam uap napas yang dihembuskan, dahak, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stres oksidatif semakin meningkat pada eksaserbasi. Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikel yang terhirup lainnya, dan dilepaskan dari sel-sel inflamasi yang aktif seperti makrofag dan neutrofil. Didapatkan pula pengurangan antioksidan endogen pada pasien PPOK sebagai akibat dari pengurangan faktor transkripsi yang disebut Nrf2 yang mengatur banyak gen antioksidan. Ketidakseimbangan Protease-Antiprotease. Terdapat bukti kuat untuk ketidakseimbangan di paru-paru pada pasien PPOK antara protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease yang melindunginya. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel-sel epitel, meningkat pada pasien PPOK. Bukti menunjukkan bahwa mereka dapat berinteraksi satu sama lain. Destruksi elastin protease yaitu komponen jaringan ikat utama dalam parenkim paruparu, diyakini sebagai fitur penting dari emfisema dan cenderung bersifat ireversibel. Sel Radang. PPOK ditandai dengan pola peradangan spesifik yang melibatkan peningkatan jumlah limfosit Tc1 CD8 + (sitotoksik) yang hanya ada pada perokok yang menderita penyakit itu. Sel-sel ini, bersama dengan neutrofil dan makrofag, melepaskan mediator inflamasi dan enzim, serta berinteraksi dengan sel struktural di saluran pernafasan, parenkim paru dan pembuluh

darah paru. Mediator Peradangan. Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaksis), memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan). Perbedaan Peradangan Antara PPOK dan Asma. Meskipun PPOK dan asma dikaitkan dengan peradangan kronis pada saluran pernapasan, ada perbedaan pada sel-sel inflamasi dan mediator yang terlibat dalam dua penyakit ini, yang menjelaskan perbedaan dalam efek fisiologis, gejala, dan respon terhadap terapi. Beberapa pasien PPOK memiliki ciri-ciri yang konsisten dengan asma dan dapat memiliki pola inflamasi campuran dengan peningkatan eosinofil. Patofisiologi Saat ini terdapat pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit yang mendasari PPOK mengarah ke karakteristik kelainan fisiologis dan gejala yang muncul. Misalnya, peradangan dan penyempitan saluran nafas perifer

menyebabkan

penurunan

FEV1.

Destruksi

parenkim

karena

emphysema juga berkontribusi terhadap hambatan aliran udara dan menyebabkan penurunan pertukaran udara. Hambatan Aliran Udara dan Udara yang Terperangkap. Luasnya peradangan, fibrosis, dan eksudat pada lumen di bronkiolus berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1 / FVC, serta percepatan penurunan FEV1. Obstruksi saluran pernafasan perifer ini semakin menyebabkan terperangkapnya udara selama ekspirasi yang menyebabkan hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih terkait dengan kelainan pertukaran udara dibandingkan dengan penurunan FEV1, ia juga berkontribusi pada terperangkapnya udara selama ekspirasi. Hal ini terutama terjadi karena perlekatan alveolar pada bronkiolus hancur ketika penyakit menjadi lebih parah. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi sehingga kapasitas residual

fungsional meningkat, khususnya selama olahraga (hiperinflasi dinamis), menghasilkan peningkatan dispnea dan keterbatasan kapasitas olahraga. Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap penurunan sifat kontraktil intrinsik otot pernapasan; yang menghasilkan peningkatan regulasi sitokin proinflamasi lokal. Diperkirakan bahwa hiperinflasi berkembang pada awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea saat aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas perifer mengurangi terperangkapnya udara, sehingga mengurangi volume paru-paru dan meningkatkan gejala dan kapasitas latihan. Abnormalitas Pertukaran Udara. Kelainan pertukaran udara menghasilkan hipoksemia dan hiperkapnia, dan memiliki beberapa mekanisme pada PPOK. Secara umum, transfer udara untuk oksigen dan karbon dioksida memburuk pada perkembangan penyakit ini. Berkurangnya pertukaran udara juga bisa disebabkan oleh berkurangnya pernafasan paksa. Hal ini dapat menyebabkan retensi karbon dioksida ketika dikombinasikan dengan berkurangnya pertukaran udara oleh nafas yang berat karena obstruksi hebat dan hiperinflasi serta kerusakan otot pernafasan. Abnormalitas pada ventilasi alveolar dan berkurangnya vaskuler paru semakin memperburuk kelainan VA / Q. Hipersekresi Mukus. Hipersekresi mukus, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah gambaran bronkitis kronis dan tidak selalu terkait dengan hambatan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan kelenjar submukosa yang membesar sebagai respons terhadap iritasi saluran napas kronis oleh asap rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease menstimulasi hipersekresi mukus dan banyak dari mereka memberikan efek melalui aktivasi epidermal growth factor receptor (EGFR).

Hipertensi Pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada akhir perjalanan PPOK dan terutama disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonalis kecil, yang akhirnya menghasilkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia tunika intima dan kemudian hipertrofi / hiperplasia otot polos. Terdapat respon inflamasi pada pembuluh yang mirip dengan yang terlihat di saluran nafas dan disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal progresif dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan. Eksaserbasi. Gejala eksaserbasi pernafasan sering terjadi pada pasien dengan PPOK, dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (yang mungkin hidup berdampingan), polutan lingkungan, atau faktor yang tidak diketahui. Pasien dengan infeksi bakteri dan virus memiliki respons yang khas dengan peningkatan peradangan. Selama eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi, udara terperangkap, aliran ekspirasi berkurang, sehingga menyebabkan dispnea meningkat. Terdapat juga perburukan kelainan VA / Q, yang dapat menyebabkan hipoksemia. Kondisi lain (pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut) dapat menyerupai atau memperburuk eksaserbasi PPOK. Fitur Sistemik. Semakin diakui bahwa banyak pasien dengan PPOK memiliki komorbiditas yang berdampak besar pada kualitas dan kelangsungan hidup. Hambatan aliran udara dan hiperinflasi memengaruhi fungsi jantung dan pertukaran udara. Mediator inflamasi dalam sirkulasi dapat berkontribusi pada pengecilan otot rangka dan cachexia, dan dapat menimbulkan atau memperburuk komorbiditas lain seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindrom metabolik, dan depresi.

4.

Klasifikasi a. Saat stabil

PPOK ringan :

-

Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi sputum Sesak nafas derajat sesak 1 sampai 2 PPOK sedang :

-

Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi sputum Sesak nafasderajat 3 PPOK berat :

-

Sesak nafas derajat 4 dan 5 Eksaserbasi lebih sering terjadi PPOK sangat berat :

-

Sesak nafas derajat 4 dan 5 dengan gagal nafas kronik Eksaserbasi lebih sering terjadi Disertai komplikasi kor pulmonal atau gagal jantung kanan b. Derajat berat hambatan aliran udara

5.

Gejala Gejala khas PPOK adalah dispnea kronik progresif, batuk, dan produksi dahak yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Batuk kronis dan produksi sputum dapat mendahului perkembangan hambatan aliran udara selama bertahun-tahun. Individu, terutama mereka yang terpapar faktor risiko PPOK,

yang datang dengan gejala-gejala ini harus diperiksa untuk mencari penyebab yang mendasari dan mengambil intervensi yang tepat. Sebaliknya, hambatan aliran udara yang signifikan dapat berkembang tanpa batuk kronis dan produksi dahak. Meskipun PPOK didefinisikan berdasarkan hambatan aliran udara, dalam praktiknya keputusan untuk mencari bantuan medis (dan dengan demikian memungkinkan diagnosis dibuat) biasanya ditentukan oleh dampak gejala pada kehidupan sehari-hari pasien. Seseorang mungkin mencari pertolongan medis baik karena gejala kronis atau karena eksaserbasi yang pertama. Dispnea. Dispnea, gejala kardinal dari PPOK, adalah penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang terkait dengan penyakit ini. Pasienpasien PPOK menggambarkan dispnea sebagai suatu peningkatan upaya untuk bernafas, rasa berat atau terengah-engah. Namun, istilah yang digunakan untuk menggambarkan dispnea bervariasi baik oleh individu dan budaya masyarakat. Batuk. Batuk kronis, seringkali merupakan gejala pertama yang muncul dari PPOK, sering diabaikan oleh pasien karena dianggap sebagai akibat dari merokok dan / atau paparan lingkungan. Awalnya, batuk mungkin sangat jarang, tetapi kemudian muncul setiap hari, lalu menjadi sering sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK mungkin tidak produktif. Dalam beberapa kasus, hambatan aliran udara yang signifikan dapat berkembang tanpa adanya batuk. Produksi dahak. Pasien PPOK umumnya terjadi peningkatan jumlah produksi dahak setelah batuk hebat. Produksi dahak secara terus-menerus selama 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun berturut-turut (tanpa adanya kondisi lain yang dapat menjelaskannya) adalah definisi epidemiologis bronkitis kronis, tetapi ini adalah definisi yang agak kurang tepat yang tidak mencerminkan kisaran produksi dahak pada pasien PPOK. Produksi dahak seringkali sulit untuk dievaluasi

karena

pasien

lebih

sering

menelan

dahak

daripada

mengeluarkannya, suatu kebiasaan yang dipengaruhi oleh variasi budaya dan gender. Pasien dengan produksi dahak dalam jumlah besar mungkin memiliki bronkiektasis. Dahak yang purulen mencerminkan peningkatan mediator inflamasi,

dan

perkembangannya

dapat

mengidentifikasi

timbulnya

eksaserbasi bakteri. Wheezing dan Nyeri Dada. Wheezing dan nyeri dada adalah gejala tidak spesifik yang dapat muncul bervariasi. Wheezing dapat terdengar pada level laring dan tidak disertai dengan kelainan auskultasi. Wheezing inspirasi atau ekspirasi yang luas dapat pula muncul saat mendengarkan dada. Nyeri dada sering terjadi setelah aktivitas, kurang terlokalisasi, bersifat nyeri otot, dan dapat timbul dari kontraksi isometrik otot-otot interkostal. Tidak adanya wheezing atau nyeri dada tidak mengeksklusi dari diagnosis PPOK. Adanya gejala ini juga tidak mengkonfirmasi diagnosis asma. Ciri Tambahan pada Keparahan Penyakit. Kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah umum pada pasien dengan PPOK berat dan sangat parah. Gejala tersebut penting secara prognostik dan juga bisa menjadi tanda penyakit lain (mis., TBC, kanker paru-paru), dan karenanya harus selalu diselidiki. Batuk terjadi karena peningkatan cepat dalam tekanan intratoraks selama serangan batuk yang berkepanjangan. Batuk juga dapat menyebabkan patah tulang rusuk, yang kadang-kadang tanpa gejala. Pembengkakan pergelangan kaki mungkin merupakan satu-satunya penunjuk simptomatik pada perkembangan cor pulmonale. Gejala-gejala depresi dan / atau kegelisahan patut diselidiki secara spesifik dalam anamnesis karena gejala-gejala tersebut sering terjadi pada PPOK dan berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi dan status kesehatan yang lebih buruk. 6.

Diagnosa Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan : A. Gambaran klinis a. Anamnesis - Keluhan

- Riwayat penyakit

- Faktor predisposisi

b. Pemeriksaan fisis B. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan rutin b. Pemeriksaan khusus

A.

Gambaran Klinis a. Anamnesis - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja - Riwayat penyakit emfisema pada keluarga -Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara - Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan • Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah • Auskultasi - suara napas vesikuler normal, atau melemah - terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - ekspirasi memanjang - bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing

Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B.

Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan rutin 1. Faal paru • Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. - Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% • Uji bronkodilator - Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. - Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil 2. Darah rutin Hb, Ht, leukosit 3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran : - Hiperinflasi - Hiperlusen - Ruang retrosternal melebar - Diafragma mendatar - Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik : • Normal • Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin) 1. Faal paru - Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat - DLCO menurun pada emfisema - Raw meningkat pada bronkitis kronik - Sgaw meningkat - Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % 2. Uji latih kardiopulmoner - Sepeda statis (ergocycle) - Jentera (treadmill) - Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan 4. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari

selama

2minggu

yaitu

peningkatan

VEP1

pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid 5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai : - Gagal napas kronik stabil - Gagal napas akut pada gagal napas kronik 6. Radiologi - CT - Scan resolusi tinggi - Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat

emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos - Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru 7. Elektrokardiografi Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. 8. Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan 9. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia. 10. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. 7.

Diagnosa Banding • Asma • SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca tuberculosis) Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberculosis dengan lesi paru yang minimal. • Pneumotoraks • Gagal jantung kronik • Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

8.

Tatalaksana Tatalaksana PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing-masing sesuai dengan klasifikasi (derasat) beratnya. Secara umum tatalaksana PPOK adalah sebagai berikut : a. Pemberian obat-obatan 1. Bronkodilator Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik. 2. Anti inflamasi Pilihan utama bentuk methyl prednisolon untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bisa uji steroid positif. Pada ekaserbasi akut dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. 3. Antibiotik Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasidisesuaikan dengan pola kuman setempat.

4. Mukolitik Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental. 5. Antitusif Diberikan hanya bisa terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. b. Pengobatan penunjang 1. Rehabilitasi -

Edukasi

-

Berhenti merokok

-

Latihan fisik dan respirasi

-

Nutrisi

2. Terapi oksigen Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat

menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan.

Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup. 3. Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik invansif di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvansif digunakan di ruang rawat atau dirumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi eksaserbasi pada PPOK berat. 4. Operasi paru Dilakukan bufektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara maju). 5. Vaksinasi influensa Untuk megurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa diberikan pada : -

Usia diatas 60 tahun

-

PPOK sedang dan berat

9.

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 1. Gagal napas - Gagal napas kronik - Gagal napas akut pada gagal napas kronik 2. Infeksi berulang 3. Kor pulmonal Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan : - Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2 - Bronkodilator adekuat - Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur - Antioksidan - Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh : - Sesak napas dengan atau tanpa sianosis - Sputum bertambah dan purulen - Demam - Kesadaran menurun Infeksi berulang : Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada

kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah. Kor pulmonal : Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan

PEMBAHASAN KASUS

TEORI

Subjektif Pasien datang ke IGD dengan keluhan

Anamnesis

sesak nafas sejak tadi pagi SMRS. Sesak

perokok dengan atau tanpa gejala

nafas

pernapasan

dirasakan terus

menerus dan

-

Riwayat

merokok

atau

bekas

semakin memberat. Pasien mengatakan

- Riwayat terpajan zat iritan yang

terdapat keluhan lain seperti batuk (+),

bermakna di tempat kerja

berdahak (+) dahak dapat dikeluarkan

- Riwayat penyakit emfisema pada

berwarna putih tidak terdapat darah,

keluarga

nyeri dada sebelah kanan (+), pusing (-),

-Terdapat faktor predisposisi pada masa

demam (-), pilek (-), BAK dan BAB

bayi/anak, mis berat badan lahir rendah

lancar. Terdapat riwayat merokok

(BBLR), infeksi saluran napas berulang,

sejak usia 10 tahun dan baru berhenti

lingkungan asap rokok dan polusi udara

sekitar 4 bulan terakhir.

- Batuk berulang dengan atau tanpa

Pasien sering merasakan keluhan yang

dahak

sama yaitu sesak nafas, batuk berdahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi

dan dirasakan sudah sekitar 4 bulan

mengi

terakhir (+), DM (-), HT (-), jantung (-), kolesterol (-), stroke (-). Objektif

Pemeriksaan

TD : 160/100 mmHg

• Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah

HR : 96 kali/menit

terkatup mencucu) RR : 48 x/menit

- Barrel chest (diameter antero -

T : 36 ºC

posterior dan transversal sebanding)

BB : 52kg

- Penggunaan otot bantu napas

Paru : ves (+)/(+), rh (+)/(+), wh (-)/(-)

- Hipertropi otot bantu napas

Abdomen : Perut distended (-), supel,

- Pelebaran sela iga

nyeri tekan epigastrium (-),

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan

turgor

kembali cepat

terlihat denyut vena jugularis di leher

Limfosit 6.6% L

dan edema tungkai

Granulosit 86.8% H

- Penampilan pink puffer atau blue bloater • Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung

mengecil,

letak

diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah • Auskultasi - suara napas vesikuler normal, atau melemah Kesan : emphysema pulmonum

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - ekspirasi memanjang - bunyi jantung terdengar jauh Darah rutin Hb, Ht, leukosit Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran : - Hiperinflasi - Hiperlusen - Ruang retrosternal melebar - Diafragma mendatar -

Jantung

menggantung

(jantung

pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik : • Normal • Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus Asessment : Penyakit

Paru

Hasil anamnesis riwayat merokok sejak Obstruktif

Kronik kecil, pemeriksaan fisik didapatkan sela

eksaserbasi akut

iga

melebar,

laboratorium

thorax

barrel

dan

foto

chest, rongent

emphysema pulmonum menunjukkan bahwa pasien mengarah ke PPOK. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten

biasanya

berhubungan

progresif

dengan

dan

peningkatan

respons inflamasi kronis di saluran pernafasan

dan

paru-paru

terhadap

partikel atau gas yang berbahaya. Peradangan kronis menyebabkan perubahan struktural dan penyempitan bronkiolus. Hancurnya parenkim paruparu,

juga

oleh

menyebabkan alveolar

proses

hilangnya

pada

inflamasi perlekatan

bronkiolus

dan

berkurangnya elastisitas paru, perubahan ini

mengurangi

nafas

untuk

kemampuan

tetap

saluran

terbuka

selama

penggunaan

dalam

ekspirasi. Planning -

O2 2-3 lpm

Tatalaksana 1. Bronkodilator Dianjurkan

-

IVFD Asering + drip 1 ampul

aminofilin 14 tpm -

Inj Ceftriaxon 2x1 gram

bentuk

inhalasi

eksaserbasi

kecuali

digunakan

pada

oral

atau

sistemik. -

Inj Ranitidin 2x1

-

Inj lapibal 1x1

Pilihan

-

R2 (salbutamol 0,5 mg, ambroxol 30

prednisolon

mg, codein 10 mg, CTM ½ tab) 2x1

jangka panjang pada PPOK stabil

-

Inj Methyl Prednisolon 2x125 mg

-

Nebul ventolin tiap 8 jam

2. Anti inflamasi utama

bentuk

untuk

methyl

penggunaan

hanya bisa uji steroid positif. Pada ekaserbasi akut dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. 3. Antibiotik Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang

untuk

pencegahan

eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasidisesuaikan dengan pola kuman setempat. 4. Mukolitik Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan

sebagai

pengobatan

simtomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental. 5. Antitusif Diberikan hanya bisa terdapat batuk yang

sangat

mengganggu.

Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Jakarta. 2. Agustin, H., Yunus, F., 2008, Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), J Respire Indo, Vol 28 No 3, Jakarta. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Pedoman dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Indonesia, Jakarta. 4. Suradi, 2007, Pidato Pengukuhan : Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Tinjauan Patogensis, Klinis, dan Sosial, Surakarta. 5. WHO,

2012,

Chronic

obstructive

pulmonary

disease

(COPD).

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/index.html 6. WHO. Global Surveilance, Prevention and Control of Chronic Respiratory Diseases 2007 7. Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media Litbangkes 2013;23:82-8. 8. PDPI.

PPOK

(Penyakit

Paru

Obstruktif

Kronik):

Diagnosis

dan

Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011. 9. GOLD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2016; Available from: www.goldcopd.org.

Related Documents

Ppok
June 2020 19
Ppok
October 2019 40
Ppok Iyas.docx
November 2019 21
Diagnosis Ppok
June 2020 14
Ppok .pptx
December 2019 30
Diagnosis Ppok
June 2020 13

More Documents from "Dawa Fauz"