REFLEKSI KASUS EPILEPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Kepaniteraan Klinis Ilmu Syaraf RSUD Tidar Magelang
Diajukan kepada : dr. TH Suryono, Sp. S
Disusun oleh : Roosvenda Rahmah Bahardinny 20110310019
BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015
ANAMNESIS I. IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Status II. III.
IV.
: Ny. N : 51 tahun : Perempuan : Islam : Pedagang keliling : Menikah
KELUHAN UTAMA Mengeluh kejang apabila kurang tidur dan terlalu lelah. KELUHAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN UTAMA Saat kejang tangan terasa seperti kedua tangan menghentak satu kali, dan tidak berulangulang. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien datang ke poli syaraf RSUD Tidar Magelang dengan keluhan sekitar 2 bulan yang lalu ketika pasien sedang mencuci baju merasakan kejang. Saat kejang pasien sadar dan tangan terasa seperti kedua tangan menghentak satu kali, dan tidak berulang-ulang. Pasien mengeluhkan bahwa kejang yang dirasakan terjadi karena kurang tidur ataupun kelelahan. Pasien sadar penuh, tidak mengeluh mual, muntah dan nyeri kepala.
V.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat penyakit serupa : disangkal Riwayat trauma : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat penyakit DM : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal Riwayat stroke : disangkal
VI.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat penyakit serupa : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat penyakit DM : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal Riwayat stroke : disangkal
PEMERIKSAAN FISIK I.
STATUS 1. Kesan Umum Kesadaran GCS Vital sign Tekanan darah
: Compos mentis : 15 E4M6V5 : 130/80 mmHg
Nadi Pernafasan Suhu 2. Status Internus Kepala Leher Thorax Abdomen Ekstremitas 3. Status neurologis
: 80x/menit : 20x/menit : 37°C : CA -/- SI -/: tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan
a. N.I ( OLFAKTORIUS)
Subjektif Dengan bahan
: anosmia (-) : tidak dilakukan
b. N II ( OPTIKUS)
tajam penglihatan : tidak dilakukan
lapang penglihatan : normal
melihat warna
: normal
funduskopi
: tidak dilakukan
c. N.III (OKULOMOTORIUS), N.IV (TROKLEARIS ), N.VI (ABDUCENS ) Pergerakan bulbus Nistagmus Eksoftalmus Strabismus Pupil Refleks terhadap sinar Refleks konvergensi Melihat kembar
Dx N bulat,isokor,ø 3mm + + -
Sx N bulat,isokor,ø 3mm + + -
d. N V ( TRIGEMINUS ) Sensibilitas taktil dan nyeri muka
: tidak dilakukan
Membuka mulut
: tidak dilakukan
Mengunyah
: tidak dilakukan
Menggigit
: tidak dilakukan
Refleks kornea
: +/+
e. N VII (FACIALIS) Dx Mengerutkan dahi tidak dilakukan Menutup mata tidak dilakukan Menahan rangsang tidak dilakukan
Sx tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
membuka mata Menyeringai Mencucu/bersiul Pengecapan lidah 2/3
tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
f. N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS) Pemeriksaan dengan suara TES WEBER TES RINNE
Dx + tidak dilakukan tidak dilakukan
g. N IX (GLOSSOPHARINGEUS) Pengecapan 1/3 posterior lidah : tidak dilakukan Arkus faring Sengau
: simetris : (-)
h. N X ( VAGUS ) Arkus faring
: simetris
Berbicara
: normal, artikulasi jelas
Menelan
: baik
Nadi
: 80 x/menit
i. N XI (ACCESORIUS ) Mengangkat bahu
: normal
Memalingkan kepala
: normal
j. N XII ( HYPLOGOSSUS ) Pergerakan lidah : tidak dilakukan Tremor lidah
: (-)
Artikulasi
: jelas
Sx + tidak dilakukan tidak dilakukan
Lidah
: simetris
Badan dan Anggota Gerak 1. BADAN MOTORIK Respirasi Duduk
: normal : normal
SENSIBILITAS Taktil
: tidak dilakukan
Nyeri
: tidak dilakukan
Thermi
: tidak dilakukan
2. ANGGOTA GERAK ATAS MOTORIK Motorik Pergerakan Kekuatan Tonus Trofi Klonus
Dx Normal (5) Normotonus Eutrofi baik
Sx Normal (5) Normotonus Eutrofi Baik
SENSIBILITAS Taktil Nyeri Thermi
Dx tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
Sx tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan
REFLEK Biceps Triceps Hoffman Trommer
Dx tidak dilakukan
3. ANGGOTA GERAK BAWAH
Sx tidak dilakukan
MOTORIK Motorik Pergerakan Kekuatan Tonus Klonus Trofi
Dx normal (5) Normotonus Eutrofi
Sx Normal (5) Normotonus Eutrofi
SENSIBILITAS Taktil Nyeri Thermi
Dx tidak dilakukan
Sx tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
REFLEK Patella Achilles Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Schaeffer Gonda Bing Rossolimo Mendel-Bechtrew
II.
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS GTCS
IV.
Dx tidak dilakukan
TERAPI Medikamentosa o Kutoin o B complex o Clobazam
Sx tidak dilakukan
o Proneuron Monitor o Perbaikan gejala dan tanda Edukasi
V.
o
menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya
o
dianjurkan untuk minum obat teratur
o
kontrol ke dokter secara rutin dan apabila obat habis
o
menghindari faktor resiko (kurang tidur dan kelelahan)
PROGNOSA Ad sanam
: dubia ad bonam
Ad vital
: dubia ad bonam
Ad fungsional
: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A.
EPILEPSI Epilepsi adalah cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktuwaktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi, yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu : 1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya. 2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya. 3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan. Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
B.
Etiologi Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang
tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain. Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, C.
reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas. Faktor Risiko Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah : 1. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama 2. Kejang demam kompleks 3. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%, kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%. Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.
D.
Klasifikasi epilepsi 1. Bangkitan Parsial/fokal a. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) 1) Dengan gejala motorik. 2) Dengan gejala sensorik. 3) Dengan gejala otonomik. 4) Dengan gejala psikis. b. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) 1) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran. 2) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan. c. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik) 1) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum 2) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum 2. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) a. Bangkitan lena (absence ) Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. b. Bangkitan mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. c. Bangkitan tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi. d. Bangkitan atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. e. Bangkitan klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. f. Bangkitan tonik-klonik Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik. Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik). GTCS terdapat 2 jenis, yaitu : 1) GTCS primer Serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal mulai serangan. 2) GTCS sekunder Serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum. Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan sangat cepat sehingga tidak tampak secara klinis atau bahkan pada perekaman EEG.
Hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek congenital dan trauma saat lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma kepala, lesi desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alcohol, stroke, dan penyakit degenerative seperti Alzheimer. Penyakit metabolic yang berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia, hipoglikemia, dan disfungsi hepar yang berat. Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodormal yang terjadi selama beberapa jam atau hari sebelum bangkitan, seperti perubahan mood, gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, dan perasaan riang. Aura merupakan bagian dari serangan yang terjadi beberapa detik atau menit sebelum kesadaran menurun. Pasien dengan GTCS primer tidak mengalami aura. Aura mewakili bangkitan parsial sederhana, dan riwayat aura mengidentifikasi bangkitan parsial. E.
Patofisiologi Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut. Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran
yang
berlangsung
singkat,
kemudian
inhibisi
akan
menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian
besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi F.
mental. Diagnosis Ada 3 langkah, yaitu : 1. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi. 2. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana. 3. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut : 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : a. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan 1) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih. 2) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest ). 3) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, maupun deviasi mata. 4) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis. 5) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola bangkitan. b. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab. c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar bangkitan. d. Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. b. Elektro ensefalografi (EEG) Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity . Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya : 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku ( spike ), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. c. Rekaman video EEG Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi. d. Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan ( Computed Tomography Scan ) kepala dan MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) kepala merupakan pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. e. Pemeriksaan neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang G.
bukan epilepsi. Penatalaksanaan 1. Strategi terapi : Mencegah atau menurunkan lepasnya muatanlistrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter. 2. Prinsip umum terapi epilepsi : Monoterapi lebih baik mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan
kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi. Hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedative toleransi, efek pada intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama
pengobatan. Jika mungkin, mulai terapi dengan satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal baru
diberi sedative atau politerapi. Berikan terapi sesuai dengan jenis epilepsinya. Mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dengan kondisi klinis
pasien penting: kepatuhan pasien. Ada variasi individual terhadap respon obat antiepilepsi perlu pemantauan
ketat dan penyesuaian dosis. Jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan pelan-pelan dihentikan dan diganti dengan obat lain (jgn politerapi).
Lakukan monitoring kadar obat dalam darah jika mungkin, lakukan
penyesuaian dosis dengan melihat juga kondisi klinis pasien. 3. Tatalaksana terapi a. Non Farmakologis 1) Amati faktor pemicu. 2) Menghindari factor pemicu (jika ada), misalnya: stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll. b. Farmakologis : menggunakan obat-obat antiepilepsi. 1) OAE diberikan bila: a) Diagnosis epilepsy telah pasti (confirmed) b) Setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan c) Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul 2) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan (Tabel 1) atau jenis sindrom epilepsy 3) Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 2) 4) Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off), perlahan-lahan 5) Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama 6) Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila: a) Dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG b) Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes c) Pada pemeriksaan neurologikdijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak d) Terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan orang tua) e) Riwayat bangkitan simtomatik f) Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, strok, infeksi SSP g) Bangkitan pertama berupa status epileptikus Obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan. 1) Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
Fenitoin/Phenytoin biasa dalam bentuk garamnya yaitu Phenytoin Na dengan sediaan kapsul 50 mg dan 100 mg, serta ampul untuk suntik 100mg/2 ml. 2) Golongan Barbiturat: Fenobarbital, Primidon. Fenobarbital atau Phenobarbital tersedia dalam bentuk garamnya untuk sediaan suntik dengan kemasan ampul 200 mg / 2 ml. Juga ada yang dikombinasi dengan golongan hidantoin (Diphenylhidantoin) tersedia dalam bentuk tablet. 3) Golongan Oksazolidindion: Trimetadion. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine 4) Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam 5) Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na) 6) Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine Lamotrigine dapat menyebabakan ruam yang berakibat fatal sehingga menimbulkan cacat atau kematian. Beritahu dokter anda kalau anda minum juga obat golongan asam valproat, karena obat golongan ini dapat meningkatkan efek samping Lamotrigine. Selain sebagai obat epilepsi juga digunakan untuk memperpanjang periode serangan pada penderita depresi, mania dan perasaan yang abnormal lainnya pada penderita bipolar I. 7) Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin) Pregabalin digunakan untuk mengontrol serangan epilepsi. Obat epilepsi ini tidak menyembuhkan epilepsi dan hanya akan bekerja untuk mengontrol serangan epilepsi sepanjang minum obat epilepsi ini. Obat ini juga digunakan untuk nyeri syaraf yang disebabkan penyakit herpes (post herpetic neuralgia) dan nyeri akibat kerusakan syaraf karena diabetes. Pregabalin baru tersedia dalam bentuk kapsul 75 mg. 8) Lainnya: Fenasemid, Topiramate Topiramate merupakan obat epilepsi baru dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg dan 100 mg juga dalam bentuk kapsul sprinkle 15 mg, 25 mg dan 50 mg. Diminum sebelum atau sesudah makan dengan air segelas penuh. Jenis Obat Anti-Epilepsi Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom epilepsi dan efek samping OAE (selengkapnya lihat Tabel 1 dan Tabel 2) Tabel 1 Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Berdasarkan Jenis Bangkitan
JENIS BANGKITAN Bangkitan Umum TonikKlonik
OAE LINI PERTAMA Sodium Valproate Lamotrigine Topiramate Carbamazepine Sodium Valproate Lamotrigine
OAE LINI KEDUA Clobazam Levetiracetam Oxcarbazepine
Bangkitan Mioklonik
Sodium Valproate Topiramate
Bangkitan Tonik
Sodium Valproate Lamotrigine
Bangkitan Atonik
Sodium Valproate Lamotrigine
Bangkitan Fokal dengan/tanpa Umum Sekunder
Carbamazepine Oxcarbazepine Sodium Valproate Topiramate Lamotrigine
Clobazam Topiramate Levetiracetam Lamotrigine Piracetam Clobazam Levetiracetam Topiramate Clobazam Levetiracetam Topiramate Clobazam Gabapentin Levetiracetam Phenytoin Tiagabine
Bangkitan Lena
OAE LAIN YG DPT DIPERTIMBANGKN Clonazepam Phenobarbital Phenytoin Acetazolamide
Clobazam Topiramate
OAE YG SEBAIKX DIHINDRARI
Carbamazepine Gabapentin Oxcarbazepine Carbamazepine Gabapentin Oxcarbazepine Phenobarbital Phenytoin
Carbamazepine Oxcarbamazepine
Phenobarbital Acetazolamide
Carbamazepine Oxcarbazepine Phenytoin
Clonazepam Phenobarbital Acetazolamide
Tabel 2 Efek Samping Obat Anti-Epilepsi (Klasik) OBAT Carbamazepine Phenytoin
Valproic Acid Phenobarbital
Clonazepam
EFEK SAMPING TERKAIT DOSIS Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, netropenia, hiponatremia Nistagmus, ataksia, mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastik Tremor, berat badan bertambah, dyspepsia, mual, muntah, kebotakan, teratogenik Kelelahan, restlegless, depresi, insomnia (pd anak), distractability (pd anak), hiperkinesia (pd anak), irritability (pd anak) Kelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi (pd anak), hiperkinesia (pd anak)
c. Alogaritma Tatalaksana Epilepsi
IDIOSINKRASI Ruam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, efek hepatoksik, S.Steven-Johnson (SSJ),efek teratogenik Jerawat, coarse facies, hirsutism, lupus like syndrome, ruam, SSJ, Dupuytren’s contracture, efek hepatoksik, efek teratogenik Pankreatitis akut, efek hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati, udem perifer Ruam makulopapular, eksfoliasi, nekrosis epidermal toksik, efek hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytren’s contracture, teratogenik Ruam, trombositopenia
H.
Prognosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obatobat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA Brunner dan Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC. Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC, Jakarta. Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005, Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2. Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius, Jakarta. Panayiotopoulos CP., 2005. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management. London. Blondom Medical Publishing; 1- 26. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2003. Diganosis Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi (Perdossi), 2006.