Republik Kuliner

  • Uploaded by: sabil
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Republik Kuliner as PDF for free.

More details

  • Words: 1,194
  • Pages: 4
Republik Kuliner -gagasan advokasi untuk aulia_hafazOleh : Roni Basa Pasir Mulya, 29 Rabiul Uula 1429 14:57:25

Umumnya tempat makan yang biasa dikunjungi, Republik Kuliner menyajikan varian makanan kuliner yang murah meriah sebagaimana trend masakan saat ini. Seorang teman mengajak saya untuk sekedar melepas lelah-penat bekerja dengan kulinerasi di republik kuliner, sambil mengenang roman aktifitas yang pernah kami alami. Begitulah malam itu kepenatan dibuang jauh dari raga. Kilasan roman aktifitas seakan baru kemarin kami lalui. Saat-saat dimana kami harus tetap menjaga ruang berkesadaran untuk tetap meyakini dan bergerak mengusung cita-cita profetik dengan berbatas fasilitas dan aksessibilitas. Dilema, problematika, dinamika dan dialektika dari sisi kehidupan yang akhirnya menghantarkan kami menjadi identitas yang berkembang dengan entitas khas. Saya kira tidak seorangpun diantara kami yang mengira dapat berjumpa dalam kondisi saat ini. Masing-masing kami sangat disibukkan dengan tanggungjawab pekerjaan, sangat sedikit waktu yang disisihkan untuk menjelajahi kembali dengan serius ranah idealisme yang pernah kami usung bersama-sama. Jauh dalam alam kesadaran saya, pertemuan kami tentunya tidak akan pernah ada jika itu sekedar berkaitan dengan jejak langkah yang pernah diukir bersama-sama melewati luka dan suka; romantisme. Sebagian orang mengganggap romantisme hanyalah medium penyesatan fikiran sehingga logika beserta rasionalisasinya menjadi tidak bekerja. Ada semacam ikatan idiologis yang berangsur menjadi ikatan sejarah menyatukan kami untuk berkumpul. Siapa kira gerakan menumbangkan orde baru dengan platform reformasi justru berawal dari budaya berkumpul kelompok-kelompok kecil dan terpisah mahasiswa. Dari satu kamar kos ke kamar kos lainnya, membangun kesadaran individu yang lantas men-inisiasi gagasan membangun kesadaran kolektif. Rongga akademis segera mungkin dimanfaatkan olehnya sebagai wahana untuk membangun budaya berkesadaran yang selama ini memilih mendekam disudut kamar pasungan sejarah kebangsaan. Kamar yang disediakan oleh republik bagi kebhineka-an publiknya jika menyatakan diri memiliki perbedaan. Ironis. Founding father pun demikian adanya. Bergerak dengan gelombang kecil dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lainnya, menggagas isu kemerdekaan. Atasnya gerakan membangun kesadaran tertumpah ruah melalui famlet, selebaran, buletin, koran-koran lokal sampai dengan coretan cat membakar semangat yang ditorehkan pada tembok-tembok gudang, kantor-kantor administrasi negara dan juga gerbong kereta api. Mohammad Hatta pada Daulat Rakyat (20-30 September 1932) menyatakan secara lugas “segala perjuangan yang tidak disokong oleh paham dan iman rakyat tidak akan membawa hasil”. Cukup sudah ketegasan itu menggambarkan bahwa usaha terpenting dari gerakan massa apalagi jika itu berkaitan dengan kepentingan kolektif yang berakar dari realitas ialah membangun pemahaman bersama tentang realitas yang akhirnya menuntut penyelesaian kolektif –berapapun kolektifitas itu jumlahnya.

cakra bagaskara manjer kawuryan

Saya kira bukan jumlah yang paling menentukan hasil yang akan dicapai oleh gerakan massa. Bukan pula tentang skala dampak yang akan menentukan seberapa berpengaruh gerakan massa bagi kebijakan publik sebagai akhir perjalanan dari prosesi transfomasi sosial sebuah republik berkebangsaan. Paulo Freire selayaknya tidak harus dikenal sebagai tokoh yang meletakan pondasi dasar gagasan pendidikan kritis, sebab baginya mengajarkan masyarakat tani di pedalaman brazil tempatnya dilahirkan- untuk dapat membaca dan menulis adalah hal terpenting untuk menggugah ruh kesadaran. Tidak jauh sebelumnya, Erich Formm yang dikenal sebagai tokoh psiko analis juga tidak seharusnya melulu ditandai sebagai tokoh pembebasan. Sebab baginya mewartakan kepada masyarakatnya tentang adanya kondisi bermasyarakat yang “ditundukan” (subjugtion) akibat relasinya dengan kekuasaan benar-benar nyata. Tercatatat juga Sartre, Louis Althusser, Mounier, Ortega Y Gasset, Unamuno, Martin Luther King Jr, Ernesto “Che” Guevara, Johan Galtung sampai dengan Mahatma Gandhi dianggap sebagai figur revolusioner yang berkemampuan menghadirkan ratusan massa yang siap digerakan untuk sebuah perubahan –dengan kontra fisik sekalipun. Sejatinya mereka tak lebih figur-figur yang menempatkan “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consciousness) sebagai pusat dan muasal transformasi sosial yang ditandai dengan gerakan sosial –gerakan massa sebagai bagiannya, yang menuntut terjadinya keberimbangan kuasa antara kekuasaan dan yang dikuasai apapun kontek pendekatannya. Mengenai “kesadarannya kesadaran” saya beranggapan hal ini menggambarkan sebuah proses dimana individu menyadari hal terpenting bukanlah pemahaman yang lahir dari menghafal baik itu terpaksa, dipaksa, tidak sadar dipaksa atau bahkan sadar dipaksa tetapi karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”. Pernyataan-pernyataan berkesadaran dalam bentuk kata-kata selanjutnya menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dengan seksama dan utama dalam gerakan transformasi sosial. Kata ialah kuasa, kuasa atas segala kesadaran. Karena kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang disadari atau disadari maknanya, disitulah arti memahami realitas, dari situlah ia telah berperan, andil merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dinyatakan sebagai bentuk pengucapan dari dunia kesadaran yang kritis, bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan slogan-slogan, namun berasal dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhananya. Saya dan teman-teman yang berkumpul di republik kuliner mungkin tidak tengah membahas gagasan gerakan massa kearah transformasi sosial. Justru –mungkin- sebaliknya, gagasangagasan yang sangat pragmatis-profitable kearah kesejahteraan ekonomi berkehidupan. Namun nyatanya kata menghantarkan kami melakukan refleksi atas pengalaman-pengalaman pribadi dan dari itu semua kami belajar atas pentingnya melakukan perubahan. Perubahan terpenting ialah perubahan terhadap sikap berkesadaran akan hidup dan kehidupan senyatanya. Dan tentunya hal ini jauh dari hingar bingar gerakan massa dengan tema revolusionernya.

cakra bagaskara manjer kawuryan

Sebab untuk itu yang terpenting bukanlah jumlah dan skala dampak yang akan dihasilkan melainkan sejauh mana setiap kita memahami realitas dengan kesadaran penuh tentangnya, meyakini bahwa realitas bukanlah sebuah keharusan (mapan), dan layaknya yang bukan keharusan maka kesemuanya dapat dirubah (anti kemapanan) dengan membuang seluruh rasa “ketakutan akan kemerdekaan” (fear of freedom). Memang gerakan berkesadaran –berbasis idiologi, ekonomi bahkan edukasi- dapat dilakukan dengan cara sporadis dengan mengumpulkan massa yang terukur jumlahnya. Kondisi kualitatif ideal yang setidaknya masih menjadi impian dari banyaknya upaya transformasi sosial saat ini. Secara teknis contohnya dengan memutar ulang film dokumenter atau film kontemporer yang mampu menghadirkan gambaran realitas yang dianggap tabu yang memungkinkan setiap individu tergugah untuk berkesadaran. Namun faktanya, teknis sedemikan sporadis hanya menghasilkan bentuk kesadaran kontemporer setemporer filmnya. Republik Kuliner, tempat kami berkumpul merepresentasikan sikap sahaja berkesadaran yang terlepas dari bentuk-bentuk keterikatan apapun, khususnya keterikatan tempat. Berkesadaran ialah suatu hal yang lintas tempat. Setiap kita yang memiliki “kesadarannya kesadaran” tidak akan membiarkan diri berada dalam ranah keterikatan idiom apapun. Sebab kesadaran ialah perihal sikap individu yang independen dengan relasi interdependensinya dengan individu lainnya. Dalam pengamatan saya yang banyak memiliki keterbatasan, dalam pendekatan gerakan massa- berbasis idiologis-profetik, membangun kesadaran kolektif ditandai dengan keharusan men-akomodir setiap kesadaran dalam bentuk-bentuk organisasi kelompok.berapapun jumlah invidunya. Sayangnya, semakin banyak jumlah individu yang tidak dibarengi dengan “pengelolaan kesadaran” menjadikan gerakan massa menemui bias substansinya. Banyaknya pengalaman membuktikan gerakan massa lebih sering memfokuskan diri untuk melakukan pengelolaan organisasi ketimbang pengelolaan substansi manakala basis massa-nya semakin beratus jumlahnya di beberapa tempat. Jika “berkesadaran” merupakan platform gerakan massa yang darinya diharapkan memamahbiak kesadaran kolektif atas realitas, maka menjadi sangat kontraproduktif jika kesemuanya harus patuh oleh mimpi indah yang ditawarkan oleh proses idiologisasi. Kesadaran sejatinya berada di ranah privacy, maka dari itu selayaknya ia terbebas dari isu idiologisasi. Terlepas dari perihal di atas, saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang mengajak saya meredakan penat melalui kulinerasi di Republik Kuliner. Makanannya memang kuliner banget, murah dan nyaman. Siapapun dapat meluangkan waktu untuk singgah di Republik Kuliner Jl. Merdeka No. 27 Lantai. 2 Bandung. Jujur saja paragraf terakhir ini memang pesan sponsor dari pemilik Republik Kuliner ☺. Hasta La Victoria Siempre… Allahu Akbar…!

cakra bagaskara manjer kawuryan

….Other part…..just keeping the voices…

cakra bagaskara manjer kawuryan

Related Documents

Republik Kuliner
December 2019 26
Wisata Kuliner
May 2020 18
Wisata Kuliner
May 2020 13
Kuliner Nusantara
May 2020 31
Resep Kuliner
November 2019 36
Republik Indonesia.docx
October 2019 28

More Documents from "Cucicuci Surabaya"

Hamukti Wiwaha
December 2019 35
Simulakra
December 2019 32
Zero Deforestation
December 2019 41
Manifesto Vagy
December 2019 29
Syair Mahabbah
December 2019 39