1
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Salah satu faktor keberhasilan pendidikan adalah kemampuan guru yang
baik dalam mengajar. Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk meningkatkan kualitas diri dalam mengembangkan strategi mengajar yang mempengaruhi kepada keaktifan optimal belajar siswa Kemampuan yang salah satunya ingin saya tingkatkan adalah kemampuan penalaran matematis siswa di kelas. Untuk mengetahui model yang saya ujikan efektif atau tidak untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa, maka akan dikontrol atau dibandingkan dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan pembelajaran Learning Cycle (CL). . 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah apakah terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran CTL dan LC ? 1.3
Tujuan Masalah Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran
tentang kemampuan penalaran matematis siswa dengan 2 model pembelajaran yang berbeda. 1.4
Hipotesis Terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang
belajar dengan model pembelajaran CTL dan LC.
2
II. KAJIAN LITERATUR 2.1
Kemampuan Penalaran Matematis
1.
Pengertian Kemampuan Penalaran Matematis Kemampuan untuk
memahami
matematika.
menggunakan Dengan
nalar
sangatlah
mengembangkan
ide-ide
penting untuk dalam
suatu
permasalahan dapat terciptanya dugaan atau hipotesis untuk penyelesaiannya. Kemampuan penalaran ini dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Menurut Gilarso (Setyono, 2008) yang dimaksud dengan penalaran adalah suatu penjelasan yang menunjukkan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan. Menurut Nico (2012) penalaran adalah sebuah pemikiran untuk dapat menghasilkan suatu kesimpulan. Dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran adalah suatu penjelasan yang berasal dari proses berpikir yang menghasilkan kesimpulan, baik sebuah konsep maupun pengertian. Dengan kata lain, kemampuan penalaran ini terfokus terhadap kesimpulan dari penyerapan ide-ide yang telah dibuktikan secara ilmiah. 2.
Jenis Kemampuan Penalaran
a.
Penalaran induktif Menurut Smart (Nadia, 2011), “Penalaran induktif adalah penalaran yang
memberlakukan atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum”. Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi inderawi (pengamatan) atau empirik. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Inilah alasan eratnya kaitan antara logika induktif dengan istilah generalisasi. b.
Penalaran deduktif Matematika terkenal dengan penalaran deduktifnya, karena matematika
tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan saja. Menurut Maulana (2006, hlm. 29), “Bahwa kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada
3
kebenaran pernyataan-pernyataan lain. Dalam penalaran deduktif kebenaran setiap pernyataan harus didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang benar”. Menurut Sagala (2006, hlm. 76), Seperti telah dijelaskan di atas, terdapat dua jenis kemampuan penalaran, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Kemampuan penalaran berpengaruh pada kurikulum pendidikan, sehingga berkaitan dengan indikator pada setiap materi yang akan dibahas. Menurut Maulana (2011), indikator dalam kemampuan penalaran matematik adalah sebagai berikut: a.
Menarik kesimpulan logis.
b.
Memberi penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat, dan hubungan.
c.
Memperkirakan jawaban dan proses solusi.
d.
Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik.
e.
Menyusun dan menguji konjektur.
f.
Merumuskan lawan contoh.
g.
Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen.
h.
Menyusun argumen yang valid.
i.
Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematik.
2.2
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
1.
Pengertian Model Pembelajaran CTL Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti
“hubungan, konteks, suasana dan keadaan (kontekx)”. Adapun mengenai definisi tentang pembelajaran kontekstual banyak versi yang dapat ditemukan.
4
Lebih lanjut, Elain B. Johson (Rusman, 2014: 187) mengatakan, “Pembelajaran contextual teaching and learning adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari peserta didik. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat peserta didik aktif dalam meningkatkan kemampuan diri, sebab peserta didik berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkan dengan dunia nyata”. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan sebuah strategi pembelajaran yang dianggap tepat untuk diajarkan oleh guru dengan materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, materi yang disajikan guru akan lebih bermakna. Siswa akan menjadi peserta aktif dan membentuk hubungan antara pengetahuaan dan aplikasinya dalam kehidupan. 2.
Langkah-Langkah Model Contextual Teaching and Learning
1.
Kontruktivisme (contuctivism) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkontruksi” bukan
“menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. 2.
Menemukan (inquiry) Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari inquiry yaitu: (1) Merumuskan masalah, (2) Mengamati, (3) Menganalisis dan menyajikan hasil, dan (4) Mengkomunikasikan. 3.
Bertanya (Questioning) Kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran
yang
berbasis
inquiry,
yaitu
menggali
informasi.
5
Mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 4.
Masyarakat Belajar (learning community) Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen dalam kemampuan akademiknya. 5.
Pemodelan (modeling) Pemodelan
pada
dasarnya
membahas
gagasan
yang
dipikirkan,
mendemonstrasikan bagaimana guru agar para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswa melakukannya. 6.
Rekleksi (reflection) Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan
yang baru diterima. Kunci dari semua itu adalah bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran, guru menyisikan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. 7.
Penilaian yang sebenar-benarnya (authentic assesment) Penilaian menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan
harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. 2.3
Model Pembelajaran Learning Cycle (LC)
1.
Pengertian Model Pembelajaran LC Learning Cycle merupakan salah satu model pembelajaran yang
berlandaskan pada pandangan konstruktif. Pandangan ini berasumsi bahwa mengajar bukan sebagai proses di mana gagasan-gagasan guru diteruskan pada para peserta didik, melainkan sebagai proses untuk mengubah dan membangun gagasan-gagasan peserta didik yang sudah ada.
6
Terdapat istilah-istilah yang berbeda pada penamaan fase-fase dalam model Learning Cycle ini. Lawson (Wiratmo, 2000:28) menggunakan istilah exploration, concept introduction, dan concept application. Senada dengan yang diungkapkan Lawson, Dahar (1989:198) juga mengemukakan bahwa fase-fase dalam Learning Cycle, yaitu fase eksplorasi, fase pengenalan konsep, dan fase aplikasi konsep. Sedangkan Lorsbach (2002:1) menyatakan bahwa Learning Cycle mempunyai lima bagian yang saling berkaitan, dikenal dengan 5 E’s, yaitu: engage (mendorong), explore (mengeksplorasi), explain (menjelaskan), extend (memperluas), dan evaluate (mengevaluasi). Meskipun memiliki istilah yang berbeda, namun pada dasarnya fase-fase dalam Learning Cycle mempunyai tujuan yang sama, yaitu menggali ide-ide mahasiswa, mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap ide-ide tersebut, kemudian merefleksikannya secara eksplisit. 2.
Fase/Langkah Dalam pembelajaran Learning Cycle (CL)
(1)
Fase eksplorasi
Tujuan utama dari fase ini adalah untuk mengetahui
pengetahuan awal siswa. Guru menyajikan fakta atau fenomena yang berkaitan dengan konsep yang akan diajarkan. Selanjutnya siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, merencanakan, serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk meguji hipotesis-hipotesis itu. (2)
Fase pengenalan konsep Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan
beberapa hipotesis ditolak, sedangkan yang lain diterima, dan konsep-konsep dapat diperkenalkan. (3)
Fase aplikasi Fase ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk
lmenggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan pada fase kedua, aaA pola-pola penalaran yang terlibat, untuk menyelesaikan persoalan dengan konteks yang berbeda. Pembelajaran dengan model Learning Cycle melibatkan peran aktif mahasiswa
dengan
mengemukakan
memberikan
gagasan-gagasan
kesempatan yang
kepada
telah
mahasiswa
dimiliki,
mendiskusikan, serta menerapkan dalam konteks yang lebih luas.
untuk
mengujinya,
7
2.4
Hasil Penelitian Peningkatan Kemampuan Penalaran Adapun penelitian yang sudah dilakukan oleh Nuridawani (2015), dengan
judul “Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)” Dengan obejk penelitian dilakukan di siswa kelas VII MTsN Rukoh Banda Aceh. Sampel dalam penelitian ini adalah 60 siswa dan yang dianalisis datanya yaitu 30 siswa kelas eksperimen dan 30 siswa kontrol. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran Contextual Teaching and Learning, pencapaian kemampuan penalaran matematisnya lebih baik dari sebelumnya.
8
III. METODOLOGI PENELITIAN 2.1
Metode Penelitian Karena rumusan masalah, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif
dengan jenis eksperimen. Variabel-variabelnya adalah pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan model Learning Cycle sebagai variabel bebas (independen) dan kemampuan penalaran matematis siswa sebagai variabel terikat (dependen) 2.2
Desain Penelitian A
O
A
O
X
O O
Keterangan: A
: Subjek yang dipilih secara acak menurut kelas
O
: Pretest dan Posttest pada kelas dengan memilih bentuk tes kemampuan penalaran matematis
X
: Perlakuan pembelajaran matematika melalui pembelajaran Contextual Teaching anf Learning dan pembelajaran Learning Cycle.
3.3
Populasi dan Sampel Penelitian
1.
Populasi Populasi adalah keseluruhan data mengenai sekolompok objek yang
lengkap dan jelas yang mempunyai karakteristik tertentu (Sundayana,2016:22). 2.
Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,2017: 62).
9
3.5
Validitas dan Reabilitas
A.
Validitas Instrumen Validitas suatu instrumen menunjukkan tingkat ketepatan suatu instrumen
untuk mengukur apa yang harus diukur. Jadi validitas suatu instrumen berhubungan dengan tingkat akurasi dari suatu alat ukur mengukur apa yang akan diukur. Validitas kriterium, yaitu validitas yang ditinjau berdasarkan hubungannya dengan kategori tertentu. Tinggi-rendahnya koefisien validitas tes atau angket ditentukan berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi. Validitas kriterium terdiri dari: (1) Validitas banding (validitas bersama atau validitas yang ada sekarang), yaitu validitas tes yang diperoleh dengan cara menghitung koefisien korelasi antara nilai-nilai hasil tes yang akan diuji validitasnya dengan nilai-nilai hasil tes terstandar yang telah mencerminkan kemampuan siswa. Catatan: Dalam dunia pendidikan, biasanya diasumsikan bahwa nilai ratarata ulangan harian sebagai hasil dari tes terstandar. Langkah-langkah Pengujian Validitas Banding Tes (1)
Hitung koefisien korelasi antara skor hasil tes yang akan diuji validitasnya
dengan hasil tes yang terstandar yang dimiliki oleh orang yang sama dengan menggunakan rumus korelasi produk momen menggunakan angka kasar (korelasi produk momen Pearson), yaitu:
Dengan : 𝑟𝑥𝑦 adalah koefisien korelasi antara variable X dan variable Y 𝑥𝑖 adalah nilai data ke-i untuk kelompok variable X 𝑦𝑖 adalah nilai data ke-i untuk kelompok variable Y n adalah banyak data
10
(2)
Hitung koefisien valiliditas instrument yang diuji (rhitung) , yaing nilainya
sama dengan korelasi korelasi hasil langkah-1 x koefisien validitas instrument terstandar. (3)
Bandingkan nilai koefisien validitas hasil langkah-2 dengan nilai koefisien
korelasi Pearson / tabel Pearson (rtabel) pada taraf signifikansi α (biasanya dipilih 0,05) dan n = banyaknya data yang sesuai. (Lihat lampiran). Kriteria :
(4)
Instrumen valid, jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
Instrumen tidak valid, jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 Tentukan kategori dari validitas instrument yang mengacu pada
pengklasifikasian validitas yang dikemukakan oleh Guilford (1956, h.145) adalah sebagai berikut: 0,80 < 𝑟𝑥𝑦 ≤1,00
validitas sangat tinggi (sangat baik)
0,60 < 𝑟𝑥𝑦 ≤ 0,80
validitas tinggi (baik)
0,40 < 𝑟𝑥𝑦 ≤ 0,60
validitas sedang (cukup)
0,20 < 𝑟𝑥𝑦 ≤ 0,40
validitas rendah (kurang)
0,00 < 𝑟𝑥𝑦 ≤ 0,20
validitas sangat rendah (jelek)
𝑟𝑥𝑦 ≤ 0,00 B.
tidak valid
Reliabilitas Instrumen Reliabilaitas adalah tingkat ketetapan suatu instrumen mengukur apa yang
harus diukur. Ada tiga cara pelaksanaan untuk menguji reliabilitas suatu tes, yaitu: (1) tes tunggal (single test), (2) tes ulang (test retest), dan (3) tes ekuivalen (alternate test). 1.
Reliabilitas Tes Tunggal (Internal Consistency Reliability) Tes tunggal adalah tes yang terdiri dari satu set yang diberikan terhadap
sekelompok subjek dalam satu kali pengetesan, sehingga dari hasil pengetesan hanya diperoleh satu kelompok data. Ada dua teknik untuk perhitungan reliabilitas tes, yaitu: (1) Teknik Belah Dua (Split-Half Technique). Dilakukan dengan cara membagi tes menjadi dua bagian yang relatif sama (banyaknya soal sama),
11
sehingga masing-masing testi mempunyai dua macam skor, yaitu skor belahan pertama (awal / soal nomor ganjil) dan skor belahan kedua (akhir / soal nomor genap). Koefisien reliabilitas belahan tes dinotasikan dengan 𝑟11 dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus 22
(2) yaitu korelasi angka kasar Pearson. Selanjutnya koefisien reliabilitas keseluruhan tes dihitung menggunakan formula Spearman-Brown, yaitu:
Kategori koefisien reliabilitas (Guilford, 1956: 145) adalah sebagai berikut: 0,80 < 𝑟11≤ 1,00 reliabilitas sangat tinggi 0,60 < 𝑟11≤ 0,80 reliabilitas tinggi 0,40 < 𝑟11≤ 0,60 reliabilitas sedang 0,20 < 𝑟11≤ 0,40 reliabilitas rendah -1,00 ≤ 𝑟11≤ 0,20 reliabilitas sangat rendah (tidak reliable). 3.4
Instrumen
1.
Kubus ABCD.EFGH dengan panjang sisi 12 cm. Titik P adalah perpotongan diagonal bidang ABCD. Tentukan jarak titik P ke titik G
No soal 1.
Kunci Jawaban Penyelesaian : Diketahui : AC panjangnya 12√2
Skor
12
sementara PC adalah setengah dari AC Sehingga PC = 6√2 cm. CG = 12 cm
Jumlah
10
20
Pada kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 12 cm, titik P adalah tepat
2.
ditengah CG, tentukan jarak titik C ke garis AP!
No soal 2.
Kunci Jawaban
Skor
Penyelesaian : Diketahui :
10 Cari panjang AP terlebih dahulu,
10
dilanjutkan menentukan jarak C ke AP,
13
10
Jumlah
3.
30
Seseorang membuat aquarium dengan bentuk seperti kubus dengan sisi 50cm. Kemudian ia akan mengisi aquarium dengan air sebanyak ¾ dari volume akuarium tersebut. Berapakah volume air yang akan dimasukkan ke akuarium tersebut ?
No soal 3.
Kunci Jawaban
Skor
Penyelesaian : Diketahui sisi = 50cm V=s×s×s = 50cm × 50cm × 50cm = 125.000 𝑐𝑚3
10
Untuk mengetahui volume air yang akan dibutuhkan maka ; 𝑉𝑎𝑖𝑟 =
3 × 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 4 3
= 4 × 125.000 𝑐𝑚3
10
= 93750 𝑐𝑚3 atau Dalam satuan air adalah 1 liter = 1000 𝑐𝑚3 Sehingga, 93750 𝑐𝑚3 = 93,75 liter. Jadi, volume air yang akan dimasukkan ke dalam
10
akuarium adalah 93,75 liter. Jumlah
30
14
4.
Dua buah kubus masing-masing panjang rusuknya 6cm dan 10cm. Hitunglah perbandingan luas permukaan dua kubus tersebut !
No Soal 4.
Kunci Jawaban
Skor
Penyelesaian : 𝐿1 = 6𝑠 2 = 6. (6𝑐𝑚)2 = 216𝑐𝑚2
5
𝐿2 = 6𝑠 2 = 6. (10𝑐𝑚)2 = 600𝑐𝑚2
5
Maka ; 𝐿1 : 𝐿2 = 216 ∶ 600 = 9 ∶ 25 Jdi, perbandingan luas permukaan kubus yang panjang rusuknya 6cm dan 10cm adalah 9 : 25. Jumlah
5.
5 15
Wita ingin memberikan hadiah boneka kepada temannya yang berulang tahun. Boneka tersebut dimasukkan ke dalam kotak berbentuk kubus yang memiliki rusuk 30cm, kemudian kado tersebut akan dibungkus dengan kertas kado berukuran 50cm × 60cm. Kertas kado tersebut dijual pergulung, dimana tiap gulung berisi satu kertas. Berapa gulung kertas kado yang dibeli wita jika kertas kado tersebut dibeli dalam bentuk gulungan ? berapa biaya yang diperlukan wita jika harga kertas kado tersebut Rp. 1.250,00 per-gulung ?
No Soal 5.
Kunci Jawaban
Skor
Penyelasaian : Hal pertama yang harus ditung adalah luas permukaan kotak kado yang berbentuk kubus, yakni ; 𝐿𝑘𝑎𝑑𝑜 = 6𝑠 2 = 6. (30𝑐𝑚)2 = 5400𝑐𝑚2 Sekarang hitung Luas kertas kado dengan rumus luas persegi panjang, yakni : 𝐿𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 = 𝑝. 𝑙
8
15
= 50cm . 60cm = 3000𝑐𝑚2
8
Selanjutnya hitung berapa gulung kertas diperlukan, yakni : 𝐿
Jumlah kertas = 𝐿 𝑘𝑎𝑑𝑜
𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠
5400𝑐𝑚2
=
3000𝑐𝑚2
5 =
1,8 𝑔𝑢𝑙𝑢𝑛𝑔 (𝑑𝑖𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 2) Biaya yang diperlukan untuk membeli kertas yakni :
4
Biaya = 2gulung × 1.250 = 2.500,00 Jdi, untuk membungkus kado tersebut wita harus membeli kertas sebanyak 2gulung dan biaya yang diperlukan sebanyak Rp.2.500,00. Jumlah
25
16
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Johnson, Elaine B, 2014, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan kegiatan belajar menagajar mengasyikkan dan bermakna. Bandung: Kaifa. Lorsbach. (2002). The Learning Cycle as a Tool for Planning Science Instruction. Tersedia: www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.htm. Maulana. (2006). Konsep Dasar Matematika. Bandung: Royyan Press Maulana. (2011). Dasar-dasar Keilmuan dan Pembelajaran Matematika Sequel 1. Subang: Royyan Press. Nico.
(2012). Definisi Penalaran. [Online]. Tersedia http://nicokani.blogspot.com/2012/03/definisi-penalaran.html
di:
Nuridawan. (2015). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. Wiratmo, J. (2000). Analisis Eksplanasi Guru pada Penerapan Siklus Belajar dalam Pembelajaran Zat Aditif Makanan dengan Metode Praktikum. Tesis PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan.