Referat Radiologi Ba Fix.docx

  • Uploaded by: Anisa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Radiologi Ba Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,974
  • Pages: 40
REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Penyusun:

Anisa Ramadhanti (030.12.106) Siska Armaiti Futri (030.13.182)

Pembimbing: dr. Ratri Dianti, Sp.Rad dr. Srie Retno Endah, Sp.Rad, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 14 JANUARI 2019 – 15 FEBRUARI 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala kemudahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi di Rumah Sakit Daerah Budhi Asih dengan judul “Karsinoma Nasofaring”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.Ratri Dianti, Sp.Rad dan dr. Srie Retno Endah, Sp.Rad, M.Kes selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis menyusun referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi. Semoga referat ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para pembaca. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan dan masih perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Jakarta, 28 Januari 2019

Penulis

i

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Karsinoma Nasofaring”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Periode 14 Januari 2019 – 15 Februari 2019

Jakarta, 28 Januari 2019 Mengetahui,

dr. Ratri Dianti, Sp.Rad

dr. Srie Retno Endah,Sp.Rad, M.Kes

ii

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar ................................................................................................................................... i Lembar Pengesahan .......................................................................................................................... ii Daftar Isi ........................................................................................................................................... iii BAB I Pendahuluan ..........................................................................................................................1 BAB II Tinjauan Pustaka..................................................................................................................2 2.1 Anatomi Nasofaring ..........................................................................................................2 2.2 Histologi Nasofaring .........................................................................................................3 2.3 Fisiologi Nasofaring .........................................................................................................4 2.4 Definisi karsinoma nasofaring .......................................................................................5 2.5 Etiologi dan faktor resiko karsinoma nasofaring ......................................................5 2.6 Epidemiologi karsinoma nasofaring ............................................................................8 2.7 Patogenesis karsinoma nasofaring ................................................................................9 2.8 Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring ......................................................... 16 2.9 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring ............................................................. 26 2.10 Tatalaksana..................................................................................................................... 28 2.11 Diagnosis Banding ....................................................................................................... 28 2.12 Prognosis......................................................................................................................... 31 2.13 Follow up ....................................................................................................................... 31 BAB III Kesimpulan ..................................................................................................................... 33 Daftar Pustaka .................................................................................................................................. 34

iii

BAB I PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas servik uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. Hampir 90% dari karsinoma nasofaring adalah “Squamous cell carcinomas” dan 5% adalah melanomas, lymphomas, dan sarcomas. Penggolongan yang paling umum digunakan WHO dan histopathology, yang membagi tumor ini ke dalam tiga jenis: squamous cell carcinoma (type 1), nonkeratinizing carcinoma (type 2), and undifferentiated carcinoma (type 3). · presentasi klinis tergantung pada lokalisasi, dengan luka kecil menjadi asymptomatik. Diagnosa dini menentukan prognosis penderita, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit – langit dan terletak dibawah dasar tengkorak serta hubungan dengan banyak daerah penting didalam tengkorak dan ke lateral maupun posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Nasofaring Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita

membahas mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulomembranosa di belakang rongga hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga-rongga tersebut dan dengan esofagus. Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang berbentuk corong ( membesar di bagian atas dan mengecil dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii hingga menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang lebih 5 inci (13 cm). Secara anatomis, faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Nasofaring 2. Orofaring 3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas , belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. -

Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.

-

Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior dan terletak dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring.

-

Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius,

2

sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachis dan akan mengganggu pendengaran. -

Ke

arah

postero-superior

dari

torus

tubarius

terdapat

fossa

Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Nasofaring juga berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti: n. Glossopharingeus, n. Vagus dan n. Asesorius saraf spinal cranial dan vena jugularis interna. Faring mendapat darah dari berbagai sumber dan kadangkadang tidak beraturan. Yang terutama berasal dari cabang a. Karotis eksterna, serta dari cabang a. Maksilaris interna, yakni cabang palatine superior.17

Gambar 1. Anatomi nasofaring.17

3

2.2

Histologi Nasofaring Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10

tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai,tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.20

Gambar 2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring.20

2.3

Fisiologi telinga Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior

pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata – kata tertentu seperti “hak” dan akan terbuka pada saat respirasi. Fungsi Nasofaring

:

a. Sebagai jalan udara pada respirasi

4

b. Jalan udara ke tuba Eustachii c. Resonator d. Sebagai drainase sinus paranasal kavum timpani dan hidung Sekret dari nasofaring dapat bergerak ke bawah, hal ini dikarenakan gaya gravitasi, gerakan menelan, gerakan silia (kinosilia) dan gerakan usapan palatum molle.17

2.4

Definisi karsinoma nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel

nasofaring. Titik tengah tumor di dalam wilayah nasofaring paling sering dijumpai di fossa Rosenmuller, dari mana tumor dapat menginvasi ruang atau organ anatomi yang berdekatan.3 WHO mendefinisikan KNF sebagai karsinoma yang berasal di mukosa nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi skuamosa dari ultrastruktur atau pemeriksaan

mikroskopi

cahaya.

Definisi

ini

tidak

mengikutsertakan

adenokarsinoma dan karsinoma tipe kelenjar saliva.20 Komite Penaggulangan Kanker Nasional dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring juga mendefinisikan karsinoma nasofaring sebagai keganasan yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Tipe KNF terbanyak adalah keganasan sel skuamosa.1

2.5

Etiologi dan faktor resiko karsinoma nasofaring Etiologi karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

saling berinteraksi. Disparitas antarkelompok dengan faktor risiko tertentu telah dicatat bahkan sejak konferensi IARC tahun 1978, dimana diduga terdapat suatu agen yang memengaruhi populasi Tionghoa di Singapura, tetapi tidak mampu memberikan dampak pada populasi India dan Pakistan.22 Literatur terbaru telah

5

menemukan berbagai faktor risiko termasuk genetik, diet, higienitas, pekerjaan, medikasi, dan infeksi virus Epstein-Barr.7,9 2.5.1 Infeksi virus Epstein-Barr dan HPV Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin adalah faktor etiologi karsinoma nasofaring yang paling banyak dipelajari. Berdasarkan teknik hibridisasi in-situ terhadap RNA terkode EBV, virus tersebut terdeteksi hanya dalam sel tumor, tetapi tidak dalam epitel nasofaring normal.3 Meskipun berbagai penelitian menemukan hubungan kuat antara infeksi EBV dan KNF, peran infeksi EBV dalam patogenesis KNF masih belum jelas.7 Secara histopatologi, infeksi EBV memiliki hubungan dengan karsinoma nonkeratinisasi subtipe terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi, tetapi hubungan dengan karsinoma keratinisasi hanya ditemukan pada daerah berisiko tinggi. Pada KNF, virus berada pada fase laten, hanya terdapat pada sel tumor, dan tidak ditemukan di jaringan limfoid sekitar.15 Selama fase laten, EBV mengekspresikan beberapa gennya untuk menghindari deteksi sistem imun. Ekspresi gen laten pada sel terinfeksi EBV berada di bawah regulasi epigenetik. Beberapa tipe profil ekspresi gen laten di sel terinfeksi EBV telah diidentifikasi. Latensi tipe 0 dikenali pada sel B memori, dimana ekspresi gen EBV terbatas pada EBV-encoded small RNAs (EBER) tanpa adanya ekspresi protein EBV; EBV nuclear antigen 1 (EBNA1) hanya diekspresikan di sel B memori yang mengalami divisi. Pada KNF ditemukan virus dalam latensi tipe II.14 Ekspresi gen pada infeksi EBV laten tipe II mencakup EBER, EBNA1, LMP1, LMP2, BARF1, BARTs, dan BART-miRNAs. Secara umum ekspresi gen tersebut memengaruhi proliferasi sel, invasi virus, keberlangsungan hidup virus, perbaikan DNA, modulasi imunitas bawaan, resistensi terhadap apoptosis, checkpoint siklus sel, potensi invasi dan metastasis sel karsinoma, dan transformasi sel nonmaligna.14

6

Etiologi viral lainnya yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah human papillomavirus (HPV). Koinfeksi HPV dan EBV dapat memberikan dampak terhadap perubahan sel menjadi malignan. Infeksi HPV onkogenik yang didapat secara vertikal dari ibu ditemukan berperan penting sebagai agen etiologi KNF.3,23

2.5.2 Genetik Peran kerentanan genetik individu terhadap patogenesis KNF diindikasikan oleh insidensi KNF yang tinggi pada etnis tertentu. Hal ini lebih mencolok karena generasi kedua dan ketiga dari penduduk daerah berisiko tinggi yang telah emigrasi dan berasimilasi dengan budaya yang berbeda masih memiliki risiko KNF lebih tinggi dibanding penduduk sekitar.3,7 Kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi berisiko tinggi telah dilaporkan, terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus MHC kromosom 6p21. Gen HLA kelas I mengode protein yang dapat mengidentifikasi dan mempresentasikan antigen asing (termasuk peptida hasil kode EBV) kepada sel T sitotoksik untuk memicu respon imun terhadap sel yang terinfeksi virus.7 Beberapa penelitian kasus-kontrol telah menemukan hubungan antara polimorfisme genetik dan risiko KNF, dengan memengaruhi kerentanan genetik terhadap infeksi EBV dan/atau transformasi sel terinduksi karsinogen kimiawi. Peningkatan risiko KNF ditemukan berhubungan dengan polimorfisme genetik yang terlibat dalam metabolisme nitrosamin (CYP2E1, CYP2A6), detoksifikasi elektrofil karsinogenik (GSTM1), perbaikan DNA (XRCC1, hOGG1, NBS1, RAD51L1), jalur masuk EBV ke epitel nasofaring (PIGR), regulasi checkpoint siklus sel (MDM2, TP53), adhesi dan migrasi sel (MMP2), interleukin (IL1A, IL1B, IL2, IL8, dan IL10), toll-like receptors (TLR3, TLR4, TLR10).3,7

7

2.5.3 Lingkungan Studi epidemiologi skala besar mengusulkan adanya hubungan beberapa kebiasaan diet dan sosial dengan peningkatan risiko karsinoma nasofaring.3 Salah satu faktor yang paling sering disebut adalah riwayat konsumsi ikan asin.3,7 Karsinogen yang berperan adalah senyawa volatil N-nitrosamin yang dapat menginduksi kerusakan DNA dan inflamasi kronik mukosa nasofaring.3,7 Konsumsi nitrosamin selama periode anak-anak dapat menyebabkan akumulasi lesi genetik aberan dan perkembangan jaringan rentan karsinoma di nasofaring, yang pada gilirannya meningkatkan kerentanan infeksi EBV dan meningkatkan risiko KNF.7 Konsumsi makanan lain yang ditemukan berhubungan dengan kejadian KNF adalah asinan sayur, makanan yang diawetkan, teh herbal, sup slow-cooked, alkohol, produk hewani, karbohidrat, dan asam lemak tak jenuh.3,9,10 Selain diet, faktor lingkungan lain yang dianggap berpengaruh adalah higienitas oral, inhalasi debu kayu, asap, formaldehida, dan bahan kimia.7,11 Beberapa literatur berbeda pendapat mengenai inhalasi debu kayu sebagai faktor risiko karsinoma nasofaring.7 Inhalasi debu kayu dianggap berhubungan dengan adenokarsinoma hidung, tetapi tidak dengan karsinoma nasofaring.12 Penelitian lain menemukan bahwa aspirin memiliki efek protektif terhadap karsinoma nasofaring.13

2.6

Epidemiologi karsinoma nasofaring Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 86.700 kasus baru KNF dan 50.800

kematian akibat KNF, keduanya mewakilkan sekitar 0,6% dari semua kasus keganasan, sehingga karsinoma ini dapat dikatakan relatif langka. Jumlah penderita KNF laki-laki lebih banyaak dibanding perempuan (rasio 2,3:1).5 Distribusi KNF berbeda signifikan menurut kondisi geografis dan sumber daya, dengan 92% kasus baru terjadi di negara berkembang, dan insidensi tertinggi di populasi Asia Tenggara, yaitu mencapai setidaknya dua kali insidensi area lain.

8

Tiga negara dengan insidensi nasional tertinggi ada di Malaysia, Indonesia, dan Singapura, dengan angka tertinggi pada populasi Tionghoa dan Melayu.6 Insidensi tinggi juga dilaporkan di Cina Tenggara, termasuk Hong Kong dan Guangdong, Filipina, India, Thailand, Mikronesia, Asia Timur, dan Afrika Utara. Populasi lain dengan insidensi relatif tinggi adalah etnis Inuit di Alaska, Greenland, dan Kanada Utara, serta etnis Tionghoa dan Filipina di Amerika Serikat. Indisendi keganasan ini lebih rendah pada sebagian besar populasi yang tinggal di tempat lain di Amerika dan Eropa.6 Angka mortalitas KNF tertinggi pada tahun 2012 ditemukan di Hong Kong, yaitu 4,51 per 100.000 laki-laki dan 1,15 per 100.000 perempuan. Penurunan angka mortalitas dari tahun 2002 diamati di beberapa negara dan diduga karena perubahan pola makan ikan asin dan makanan yang diawetkan, serta perbaikan penatalaksanaan penyakit. Perbedaan antarjenis kelamin diduga disebabkan oleh perbedaan prevalensi merokok dan konsumsi alkohol.21 Karsinoma nasofaring merupakan keganasan terbanyak (28,35%) dari seluruh kasus keganasan kepala leher di Indonesia, dengan 1.121 kasus dilaporkan selama periode 1995-2005.4 Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencatat terdapat 167 kasus KNF pada tahun 2010 dengan keluhan utama pada saat datang yaitu massa di leher dan hidung tersumbat.16 Semua penelitian menemukan KNF lebih banyak terjadi pada laki-laki.4,16

Gambar 3. Prevalensi KNF dan keganasan kepala leher lain Indonesia tahun 2000200516

9

2.7

Patogenesis karsinoma nasofaring Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme:

pemendekan waktu siklus sel sehingga menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu; dan penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (tumor suppresor genes) yang menghambat penghentian proses siklus sel.24 Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.24 Perkembangan

lesi

dimulai

dari

adanya

lesi

prakanker

(field

cancerization). Pada KNF, lesi prakanker ini dapat terbentuk di usia muda akibat konsumsi karsinogen nitrosamin. Lesi prakanker ini sendiri merupakan faktor predisposisi infeksi EBV yang akan lebih lanjut menyebabkan inflamasi dan alterasi genetik. Infeksi laten EBV menyebabkan displasia yang semakin parah. Berbagai faktor ekspresi gen EBV menyebabkan perkembangan lesi menjadi karsinoma in-situ dan akhirnya kanker invasif.14

10

Gambar 4. Skema model tumorigenesis patogenesis karsinoma nasofaring terkait EBV.7

11

Gambar 5. Skema peran EBV dalam patogenesis KNF.14

2.9 Penegakkan diagnosis Penegakkan diagnosis karsinoma nasofaring memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Deteksi dini di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama melalui anamnesis yang cermat sangat diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan prognosis pasien yang baik.26 a. Anamnesis Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering terjadi pada beberapa kasus yakni gejala belum ditemukan sementara tumor sudah tumbuh atau tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).25

12

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan pada telinga dapat berupa tinnitus, rasa penuh pada telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pada beberapa pasien dengan gangguan pendengaran baru kemudian diketahui bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.25 Gangguan beberapa saraf otak juga dapat terjadi sebagai gejala lanjut dari karsinoma ini, karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalu beberapa lubang. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan juga ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopa (penglihatan ganda) lah yang membawa pasien terlebih dahulu berobat ke dokter mata. Selain diplopia, neuralgia terminal juga merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. 25 Penelitian di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menemukan bahwa keluhan utama pasien saat pertama kali datang berobat adalah benjolan yang teraba di leher (58,1%), diikuti dengan hidung tersumbat (49,1%), dan gangguan pendengaran unilateral (39,5%). Temuan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pasien datang saat telah terjadi penyebaran ke arah leher, bukan pada saat terjadi gejala awal yang nonspesifik, sehingga prognosis pasien juga lebih buruk.16

b. Pemeriksaan fisik 1)

Pemeriksaan status generalis dan status lokalis

2)

Pemeriksaan nasofaring: a)

Rhinoskopi anterior dan posterior

b)

Nasofaringoskopi (fiber/rigid)

13

c. Pemeriksaan penunjang 1)

Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) didapatkan tampak massa di nasofaring kanan atau kiri, kesan massa rapuh dan mudah berdarah, squamous cell carcinoma, massa nekrosis.1,26

Gambar 6. Nasoendoskopi pada Karsinoma Nasofaring.1,26

2)

Pemeriksaan radiologik a)

Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu posisi Waters, lateral dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media.

14

Gambar 7. a) Erosi dari Fosa Serebri Media Sebelah Kiri (arah tanda panah) b) Foto Polos Dasar Tengkorak, Menunjukkan Erosi Tulang di Bagian dari Sfenoid dan Foramen Laserum (arah tanda panah)

15

b)

CT Scan CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. CT Scan digunakan melihat dari fossa rosenmuller yang terletak lateral dari nasofaringeal. Penggunaan kontras dapat digunakan untuk menilai kanker nasofaring dilihat dengan perpendaran yang heretogen.

Gambar

8.

CT

Scan

Aksial

Menggambarkan

Karsinoma

Nasofaring Stadium Awal, Terdapat Penebalan Fosa Rossenmuler Kiri.

Gambar 9. CT Scan Aksial os Temporal Menunjukkan Massa di Nasofaring (karsinoma nasofaring)

16

Gambar 10. CT Scan Koronal Menunjukkan Massa di Atap Nasofaring, Massa di Nasofaring dan Sinus Kavernosus Kanan c) MRI MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe.

Gambar 11. MRI Potongan Sagital (A) dan Koronal (B) Menunjukkan Massa di Nasofaring (panah biru) dan Adenopati Servikal (panah Putih)

17

Gambar 12. MRI Potongan Sagital pada Pasien yang Baru Didiagnosis Karsinoma Nasofaring, Menunjukkan Tumor Primer dari Karsinoma Nasofaring dan Metastasisnya ke Dinding Lateral Retrofaring

d)

USG abdomen USG abdomen dilakukan untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen.

e)

Foto Thoraks Pemeriksaan foto thoraks dilakukan untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Toraks dengan kontras.

f)

Bone Scan Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat metastasis pada tulang.1

3)

Patologi Anatomi Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi

dengan spesimen dari biopsi nasofaring. Penegakkan diagnosis dengan patologi anatomi bukan dengan spesimen dari biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/FNAB). Biopsi nasofaring dilakukan dengan tang biopsi lewat

18

hidung atau mulut dengan tuntunan rhinoskopi posterior atau nasofaringoskopi rigid/fiber. Nasofaring adalah ruang berbentuk tabung yang terletak di basis kranium. Ruang tersebut mewakilkan area peralihan antara kavum nasi dan orofaring, membentuk sebagian jaringan limfoid cincin Waldeyer. Mukosa nasofaring memiliki banyak lipatan dan kripta, dan terdiri atas epitel pipih berlapis khusus yang biasa disebut epitel intermedia atau transisional. Epitel pipih berlapis campuran dan epitel bersilia dapat ditemukan di dinding lateral dan posterior nasofaring dalam berbagai jumlah. Pada stroma epitel nasofaring ditemukan kelenjar seromukosa dan infiltrasi limfosit.7 Karsinoma nasofaring umumnya mulai berkembang dari dinding lateral nasofaring, terutama pada fosa Rosenmuller dan dinding posterior superior.7 Klasifikasi WHO tahun 1978 mengenal tiga subtipe histologi KNF, yaitu karsinoma sel skuamosa (WHO tipe 1), karsinoma nonkeratinisasi (WHO tipe 2), dan karsinoma tak terdiferensiasi (WHO tipe 3). Pada tahun 1991 klasifikasi tersebut dimodifikasi oleh WHO.20 Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi KNF menjadi karsinoma sel skuamosa terkeratinisasi, karsinoma nonkeratinisasi, dan karsinoma sel skuamosa basaloid. Karsinoma nonkeratinisasi dibagi lagi menjadi terdiferensiasi dan tak terdiferensiasi. Karsinoma seperti limfoepitelioma dianggap sebagai variasi morfologi karsinoma tak terdiferensiasi.20 Variasi angka pelaporan subtipe mengindikasikan batasan antarkelompok tidak selalu jelas. Kesalahan pengambilan sampel merupakan masalah signifikan akibat ukuran biopsi kecil dan reprodusibilitas klasifikasi belum optimal. Beberapa peneliti menganggap bahwa karsinoma sel skuamosa terkeratinisasi dan karsinoma nonkeratinisasi hanya variasi dari kelompok tumor homogen.20

19

Gambar 13. Karsinoma nasofaring terkeratinisasi, terdiferensiasi baik; A) tumor menginvasi stroma; B) pulau ireguler karsinoma menginfiltrasi stroma desmoplastik dengan diferensiasi dan keratinisasi terlihat jelas20

Gambar 14. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi;

A) contoh

subtipe

terdiferensiasi dicirikan dengan berlapis tumor dipisahkan oleh infiltrat limfosit dan sel plasma pekat; B) pulau tumor dalam stroma kaya limfosit; C) pola tumbuh trabekular yang jarang ditemukan.20

Gambar 15. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi subtipe tak terdiferensiasi; A) Sel memiliki nukleus vesikular, nukleoli prominen, dan sitoplasma amphofilik; B) sel tampak sinsitial dan memiliki nukleus vesikular, nukleoli jelas, dan sitoplasma sedikit eosinofilik; C) terdapat sel dengan batas antarsel yang jelas dan sitoplasma eosinofilik berjumlah sedang.20

20

Gambar 16. Karsinoma sel skuamosa nasofaring subtipe basaloid; sel tumor basaloid menunjukkan pola pertumbuhan menjuntai dan berselang dengan sel tumor dengan diferensiasi skuamosa.20

Gambar 17. Karsinoma nasofaring nonkeratinisasi, subtipe tak terdiferensiasi; A) hibridisasi in-situ Epstein-Barr encoded-RNA (EBER) menunjukkan semua nukleus sel tumor memperlihatkan pelabelan; B) Immunostaining untuk pansitokeratin menonjolkan epitel permukaan dan kumpulan dan lapisan sel positif di stroma; C) Immunostaining untuk sitokeratin biasanya menunjukkan pola pewarnaan jejaring.20

4)

Pemeriksaan laboratorium a) Hematologi (darah perifer lengkap, LED, hitung jenis) : anemia, leukositosis, trombositopeni, LED meningkat, hitung jenis meningkat. Nilai rujukan 

Hb : pria 13 – 18 g/dl, perempuan 12 – 16 g/dl



Hct : pria 40% - 50%, perempuan 35% - 45%

21



Eritrosit : pria 4,4 – 5,6 x 106 sel/mm3, perempuan 3,8 – 5,0 x 106 sel/mm3



MCV : 80 – 100 fL



MCH : 28 – 34 pg/sel



MCHC : 32 – 36 g/dL



Retikulosit : 0,5 – 2%



Leukosit : 3200 – 10.000/mm3



Neutrofil : segment 36% - 73%, bands 0% - 12%



Eosinofil : 0% - 6%



Basofil : 0% -2%



Monosit : 0% - 11%



Limfosit : 15% - 45%



Trombosit : 170 – 380. 103/mm3



LED : pria < 15 mm/ 1 jam, perempuan < 20 mm/1 jam

b) Alkali fosfatase/ALP : meningkat Nilai rujukan : 30 – 130 U/L c) LDH : meningkat Nilai rujukan : 90 – 210 U/L d) SGOT-SGPT : meningkat Nilai rujukan

5)



SGOT : 5 – 35 U/L



SGPT : 5 – 35 U/L

Pemeriksaan serologi Beberapa penelitian berusaha menemukan pemeriksaan yang efektif sebagai alat deteksi dini KNF. Salah satu penelitian menemukan bahwa analisis DNA EBV di sampel plasma (pEBV) dapat digunakan sebagai alat skrining KNF asimtomatik.27 Penanda pEBV juga memiliki nilai prognosis dimana pEBV digunakan dalam menyeleksi pasien KNF risiko tinggi untuk diberikan terapi ajuvan.8 Penelitian lain menemukan bahwa uji cepat menggunakan NPC test strip tidak direkomendasikan

22

karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.28 Meskipun beberapa penelitian merekomendasikan penanda serologis sebagai alat skrining KNF, telaah Cochrane tidak dapat menilai efektivitas skrining karena belum ada penelitian randomized controlled trial yang membandingkan kelompok skrining dan tanpa skrining.29

Gambar 18. Skema algoritma diagnosis dan tatalaksana KNF1

2.10

Klasifikasi stadium Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut

AJCC 2010:1 Tumor Primer (T) Tx

: Tumor primer tidak dapat dinilai

T0

: Tidak tampak tumor

T1s

: Karsinoma in situ

23

T1

: Tumor terbatas di nasofaring

T2

: Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a

: Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring

T2b

: Disertai perluasan ke parafaring

T3

: Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4

: Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional (N) Nx

: Pembesaran KGB regional tidak dapat dinilai

N0

: Tidak ada pembesaran

N1

: Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2

: Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N3

: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a

: ukuran lebih dari 6 cm

N3b

: di dalam fossa supraklavikula

24

Metastasis Jauh (M) Mx

: Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

: Tidak ada metastasis jauh

M1

: Terdapat metastasis jauh

Tabel. Stadium KNF1 Stadium

T

N

M

Stadium 0

T1s

N0

M0

Stadium I

T1s

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0, N1

M0

T1

N2

M0

T2a, T2b

N2

M0

T3

N2

M0

Stadium Iva

T4

N0, N1, N2

M0

Stadium IVb

semua T

N3

M0

Stadium IVc

semua T

semua N

M1

Stadium III

2.11

Tatalaksana Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan

didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.25

25

Tabel. Modalitas Terapi KNF Menurut Stadium1 Stadium

Modalitas Terapi

Stadium I

Radioterapi

Stadium II

Kemoradiasi

Stadium III

Kemoradiasi

Stadium IV dengan N <6 cm

Kemoradiasi

Stadium IV dengan N >6 cm

Kemoterapi

dosis

penuh

dilanjutkan kemoradiasi

Radioterapi Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi dapat diberikan dalam bentuk: radiasi eksterna yang mencakup gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy; radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari dua kali; bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan elektron. Penggunaan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) telah menunjukkan penurunan dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus paranasal, dan nasofaring dengan adanya penurunan dosis pada kelenjarkelenjar ludah, lobus temporal, struktur pendengaran (termasuk koklea), dan struktur optik.1

26

Obat-obatan Simptomatik a)

Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan : obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent, diberikan 3 – 4 kali sehari)

b)

Tanda-tanda moniliasis : antimikotik

c)

Nyeri menelan : anestesi lokal

d)

Nausea, anoreksia : terapi simptomatik

Kemoterapi Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.1 Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.1 Edukasi Ada beberapa hal yang perlu diedukasikan kepada pasien yakni seperti yang tercantum pada tabel berikut. Tabel. Edukasi pasien KNF1 Kondisi

Informasi dan Anjuran saat Edukasi

1. Radioterapi

Efek samping radiasi akut yang dapat muncul (xerostomia, gangguan menelan, nyeri saat

27

menelan), maupun lanjut (fibrosis, mulut kering) Anjuran untuk selalu menjaga kebersihan mulut dan perawatan kulit (area radiasi) selama terapi 2. Kemoterapi

Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul (mual, muntah, dsb)

3. Nutrisi

Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian nutrisi sesuai dengan kebutuhan

4. Metastasis pada Kemungkinan fraktur patologis sehingga pada tulang

pasien yang berisiko diedukasi untuk berhati-hati saat aktivitas atau mobilisasi Mobilisasi menggunakan alat fiksasi eksternal dan/atau

dengan

alat

bantu

jalan

dengan

pembebanan bertahap 5. Lainnya

Anjuran untuk kontrol rutin pasca pengobatan - anjuran untuk menjaga pola hidup yang sehat

2.12

Diagnosis banding 1. Limfoma nasofaring Terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulceratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya terdeteksi lebih cepat dibanding daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.

28

Gambar 19. CT Scan pasien dengan NK/T-cell limfoma di kavum nasal kanan dan sinus maxilaris

2. Angiofibroma nasofaring Gambaran klinis tumor ekstranasofaring tidak spesifik dan tergantung ada lokasi keterlibatan tumor. Tumor yang timbul pada sinus paranasal menimbulkan gejala seperti nyeri pada wajah atau sakit kepala, pembengkakan pipi, proptosis, dan obstruksi hidung progresif terkadang dapat menimbulkan epistaksis. Obstruksi nasal unilateral yang lama kadang-kadang diikuti oleh epistaksis merupakan temuan yang paling sering terjadi pada hampir semua kasus.1,7 Pada pemeriksaan Rhinoskopi anterior sering ditemukan massa merah muda besar dengan permukaan halus telah mengisi rongga hidung dan mendorong septum ke sisi yang berlawanan (deviasi septum). Pemeriksaan rhinoskopi posterior menunjukkan bahwa massa lunak hingga keras, tidak mudah patah, tidak sensitive terhadap sentuhan, dan melekat pada dinding hidung.8

29

Gambar 20. CT-Scan Aksial tampak angiofibroma dengan gambaran seperti polipoid jaringan lunak yang mengisi sinus maksilaris kiri dan meatus nasal tengah, mengikuti dan membulat ke nasofaring. Asal massa adalah sisi lateral dari sinus maksilaris.7

(a)

(b)

(c)

Gambar 21. tampak angiofibroma di sinus spenoid pada potongan coronal (a) aksial (b) sagital (c)11

2.13

Prognosis Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai

kesintasan 5 tahun. Kesintasan relatif 5 tahun pada pasien dengan KNF stadium I hingga IV secara berurutan sebesar 76,9%, 56%, 38,4%, dan 16,4%.25

30

2.14

Follow up Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik. Pada

tahun pertama tiap 1-3 bulan; tahun kedua tiap 2-6 bulan; tahun ketiga sampai kelima tiap 4-8 bulan; setelah tahun kelima tiap 12 bulan.1 Follow-up imaging terapi kuartif dilakukan minimal tiga bulan paska terapi, yaitu MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC; dan Bone scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow-up imaging terapi paliatif dengan terapi kemoterapi, yaitu CT Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor; atau Bone scan untuk melihat metastasis tulang.1 PET adalah metode visualisasi metabolisme tubuh menggunakan radioisotop pemancar positron. Fungsi utama PET adalah mengetahui kejadian di tingkat sel yang tidak didapatkan dengan alat pencitraan konvensional lainnya. CT Scan dan MRI hanya mampu mendeteksi kanker terbatas pada aspek anatomi tubuh. Misalnya, CT Scan dan MRI hanya mampu mendekteksi kanker di payudara, kepala, hati, dan sejumlah titik tubuh lainnya. Sedangkan mekanisme kerja organ tubuh yang disebut metabolisme tubuh tidak dapat dipantau oleh CT Scan atau MRI. Sedangkan pada PET-Scan, aspek anatomi dan metabolik sekaligus masuk radar deteksi alat canggih ini. Dimana pun atau kemana pun kanker merambat PET-Scan dapat mendeteksinya. Bahkan kemampuan deteksi alat ini mencakup semua aspek penting tentang kanker seperti jenis, tingkat keganasan (stadium), lokasi, serta cara rambat penyakit mematikan ini. PET dapat pula digunakan pula untuk menganalisa hasil penanganan kanker yang telah dilakukan. Setelah penanganan kanker melalui operasi perlu dilakukan pemeriksaan apakah masih ada sisa sisa kanker yang tersisa. Untuk keperluan ini, PET merupakan metode yang paling tepat, karena pada kondisi ini keberadaan kanker sulit dilihat secara fisik. Yang diperlukan adalah melihat keberadaan metabolisme sel kanker. Selain itu, PET dapat pula digunakan untuk melihat kemajuan pengobatan kanker baik dengan chemotherapy maupun

31

radiotherapy. Kemajuan hasil pengobatan kanker dapat diketahui dari perubahan metabolisme di samping perubahan secara fisik. Untuk keperluan ini, kombinasi PET dan CT memberikan informasi yang sangat berharga untuk menentukan tingkat efektivitas pengobatan yang telah dilakukan. PET-scan dimulai dengan memberikan suntikan FDG (suatu radionuklida glukosa-based) dari jarum suntik ke pasien. Sebagai FDG perjalanan melalui tubuh pasien itu memancarkan radiasi gamma yang terdeteksi oleh kamera gamma, dari mana aktivitas kimia dalam sel dan organ dapat dilihat. Setiap aktivitas kimia abnormal mungkin merupakan tanda bahwa tumor yang hadir. Sinar Gamma yang dihasilkan ketika sebuah positron dipancarkan dari bahan radioaktif bertabrakan dengan elektron dalam jaringan. Tubrukan yang dihasilkan menghasilkan sepasang foton sinar gamma yang berasal dari situs tabrakan di arah yang berlawanan dan terdeteksi oleh detektor sinar gamma diatur di sekitar pasien.

Gambar 22. Hasil foto PET scan

32

BAB III KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di bidang kepala leher terbanyak di Indonesia. Prevalensi KNF tinggi pada populasi dengan faktor risiko genetik dan lingkungan tertentu, seperti etnisitas tertentu dan konsumsi ikan asin. Diagnosis dini KNF tidak mudah karena gejala awal nonspesifik, mencakup gangguan tuba Eustachius, hidung tersumbat, dan sekret. Sebagian besar pasien datang ketika sudah teraba massa di leher, yang berarti telah terjadi penyebaran lesi keganasan ke leher. Kegagalan diagnosis pada stadium awal memperburuk prognosis pasien. Patogenesis KNF yang melibatkan berbagai faktor risiko, serta perlunya deteksi dini untuk prognosis pasien yang lebih baik, merupakan bagian dari tanggungjawab dokter yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Dokter harus mampu mengidentifikasi faktor risiko dari anamnesis pasien dan mengeliminasi faktor risiko tersebut, serta cermat mendeteksi gejalagejala awal keganasan pada KNF sehingga mampu merujuk.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, Manikam NRM, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015 2. Simo R, Robinson M, Lei M, Sibtain A, Hickey S. Nasopharyngeal carcinoma: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. J Laryngol Otol, 2016; 130 (Suppl. S2): S97-103 3. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal Carcinoma. Lancet, 2015: doi: 10.1016/S0140-6736(15)00055-0 4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, Tan IB, et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer, 2012; 31(4): 185-96 5. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin DM, et al. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major patterns in GLOBOCAN 2012. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi: 10.1002/ijc.29210 6. Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-Tieulent J, Jemal A. Global Cancer Statistics, 2012. CA Cancer J Clin, 2015; 000:000-000 7. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, Lo KW. Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol, 2014; 50: 3308 8. Hui EP, Ma BBY, Allen Chan KC, Chan CML, Wong CSC, To KF, Chan AWH. Clinical Utility of Plasma Epstein-Barr Virus DNA and ERCC1 Single Nucleotide Polymorphism in Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer, 2015: doi: 10.1002/cncr.29413 9. Edefonti V, Nicolussi F, Polesel J, Bravi F, Bosetti C, Garavello W, La Vecchia C, et al. Nutrient-based dietary patterns and nasopharyngeal cancer: evidence from an exploratory analysis. Br J Cancer, 2015; 112: 446-54

34

10. Yong SK, Ha TC, Yeo MCR, Gaborieau V, McKay JD, Wee J. Associations of lifestyle and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in Singapore: a case-control study. Chin J Cancer, 2017; 36: 3 11. Liu Z, Chang ET, Liu Q, Cai Y, Zhang Z, Chen G, Xie SH, et al. Oral Hygiene and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma – A Population-Based CaseControl Study in China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev, 2016; 25(8): doi: 10.1158/1055-9965.EPI-16-0149 12. Siew SS, Martinsen JI, Kjaerheim K, Sparen P, Tryggvadottir L, Weiderpass E, Pukkala E. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi : 10.1002/ijc.31015 13. Di Maso M, Bosetti C, Vecchia CL, Garavello W, Montella M, Libra M, Serraino D, et al. Regular aspirin use and nasopharyngeal cancer risk: A case-control

study

in

Italy.

Cancer

Epidemiol,

2015:

http://dx.doi.org/10.1016/j.canep.2015.04.012 14. Tsang CM, Tsao SW. The role of Epstein-Barr virus infection in the pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Virologica Sinica, 2015; 30(2): 107-21 15. Young LS, Dawson CW. Epstein-Barr virus and nasopharyngeal carcinoma. Chin J Cancer, 2014; 33(12): 581-90 16. Jayalie VF, Paramitha MS, Jessica, Liu CA, Ramadianto AS, Trimartani, Adham

M.

Profile

of

Nasopharyngeal

Carcinoma

in

Dr.

Cipto

Mangunkusumo National Hospital, 2010. eJKI, 2016; 4(3): 156-62 17. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6. Jakarta: EGC, 2012 18. Head&Neck Cancer Guide. Nasopharyngeal Cancer. http://headandneck cancerguide.org. diunduh tanggal 13 September 2017 19. University of Iowa Health Care. Iowa Head and Neck Protocols. https://medicine.uiowa.edu. diunduh tanggal 13 September 2017 20. Chan JKC, Bray F, McCarron P, Foo W, Lee AWM, Yip T, Kuo TT. Nasopharyngeal Carcinoma. WHO, 2012 21. Carioli G, Negri E, Kawakita D, Garavello W, La Vecchia C, Malvezzi M. Global trends in nasopharyngeal cancer mortality since 1970 and predictions

35

for 2020: focus on low-risk areas. Int J Cancer ‘Accepted Article’: doi: 10.1002/ijc.30660 22. de The G, Ito Y, Davis W (Eds.). Nasopharyngeal carcinoma: etiology and control. Lyon: International Agency for Research on Cancer, 1978 23. Chan YH, Lo CM, Lau HY, Lam TH. Vertically transmitted nasopharyngeal infection of the human papillomavirus: Does it play an aetiological role in nasopharyngeal

cancer?

Oral

Oncol,

2014:

doi:

10.1016/j.oraloncology.2013.12.025 24. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma. dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (Eds.). Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Management. Springer, 2010: 9-25 25. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Eds.). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 7. Jakarta: FKUI, 2012 26. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. CDK-254, 2017; 44(7): 478-81 27. Allen Chan KC, Woo JKS, King A, Zee BCY, Jacky Lam WK, Chan SL, et al. Analysis of Plasma Epstein-Barr Virus DNA to Screen for Nasopharygeal Cancer. N Engl J Med, 2017; 377(6): 513-22 28. Nazaruddin H, Savitri E, Akil MA, Carolina J. Validitas pemeriksaan rapid test immunochromatography berbasis EBV pada penderita karsinoma nasofaring di Makassar. ORLI, 2012; 42(1): 40-7 29. Yang S, Wu S, Zhou J, Chen XY. Screening for nasopharyngeal cancer. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2015; 11: CD008423

36

Related Documents


More Documents from "Dr Diana Enachescu"