Referat Radiologi Cholecystitis.docx

  • Uploaded by: Sulistyaning Tyas
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Radiologi Cholecystitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,833
  • Pages: 28
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Cholecystitis”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Kaharuddin, Sp. Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Samarinda, 27 Juli 2018 Penulis,

Sulistyaning Tyas

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Cholecystitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu dan terbagi menjadi akut dan kronis. Cholecystitis akut merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam (Pridady, 2014). Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya sumbatan duktus sistikus oleh batu. Namun terdapat beberapa faktor risiko lain yang dapat meningkatkan insidensi terjadinya kolesistitis (Lambou, 2008). Cholecystitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering ditemukan secara perlahan-lahan (Pridady, 2014). Di Amerika 10-20% penduduknya menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obatan hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan stasis aliran kandung empedu (Lambou, 2008). Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelithiasis

relatif

lebih

rendah

dibandingkan

dengan

negara-negara

barat.(Nurhadi, 2012). Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di Indonesia (Pridady, 2014). Keluhan yang agak khas untuk serangan Cholecystitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu (Pridady, 2014).

Diagnosis Cholecystitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol. Seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis (Pridady, 2014). Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri dan antispasmodik diberikan. Pemberian antibiotik di awal sangat penting mencegah komplikasi. Saat kapan dilakukan kolesistomi masih diperdebatkan apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien baik (Pridady, 2014). 1.2 Tujuan Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang “Cholecystitis” meliputi definisi, anatomi kandung empedu, etiologi dan patogenesis, gejala klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cholecystitis adalah inflamasi yang terjadi pada dinding kandung empedu dan terbagi menjadi akut dan kronis. Cholecystitis akut merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya sumbatan duktus sistikus oleh batu. Cholecystitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering ditemukan secara perlahan-lahan (Pridady, 2014). 2.2 Anatomi Kandung Empedu Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu (Albert et al, 2016). Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002).

Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal.

Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan

parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009). Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al, 2016).

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting. Fungsi pertama empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam empedu melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. Fungsi kedua empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh selsel hati. Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan

relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan (Albert et al, 2016). 2.3 Etiologi dan Patogenesis Faktor utama yang mempengaruhi timbulnya serangan cholecystitis akut adalah statis cairan empedu infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama cholecystitis akut adalah batu kandung empedu sebesar 90 persen, yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu. Pada sebagian kasus kecil kasus terjadi tanpa adanya batu empedu disebut dengan cholecystitis akut akalkulus. Diperkirakan beberapa faktor yang menjadi penyebab stasis duktus sistikus seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak mukosa dinding empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi (Pridady, 2014). Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan

komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/ pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya batu (Keshav et al, 2015; Albert et al, 2016). Batu empedu yang menyebabkan sumbatan mempunyai 2 tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol, empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian terjadinya kristalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain membentuk matriks batu. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan penampilannya hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di dalam empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen (Albert J, 2016). Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya akan merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan supurasi. Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran darah dan drainase limfatik menjadi terganggu hingga menyebabkan terjadinya di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika lebih berat terjadinya rupture (Albert J,2016). Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah jelas, namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat kondisi dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di kandung empedu, pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa berkepanjangan, kantong empedu tidak pernah menerima stimulus dari kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya, dengan demikian, empedu

terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen (Keshav et al, 2015; Albert et al, 2016). Cholecystitis akut alkalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu, atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus (Pridady, 2014).

Gambar 2. Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu (Albert J,2016)

2.4 Gejala Klinis Keluhan yang agak khas untuk serangan Cholecystitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu (Pridady, 2014). Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskular dan ekstraselular. Pada pemeriksaan fisik, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkostae kuadran kanan

atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti yaitu Murphy sign positif menandakan adanya peradangan kandung empedu. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin<4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik misalnya duktus koledokus. Gejalanya juga bertambah buruk setelah makan makanan yang berlemak. Pada pasien-pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Parmar et al, 2015). Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda-tanda kolik kandung empedu (Parmar et al, 2015). Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria berikut (Saquib, 2013) : 1. Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi > 8-12 jam 2. Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas 3. Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L) 4. Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi. Diagnosis Cholecystitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol. Seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis (Pridady, 2014).

2.5 Penegakan Diagnosis Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda tanda peritonitis lokal (tanda Murphy) Laboratorium Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu yang tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangan. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto polos Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.

Gambar 3. Radiografi memeperlihatkan multiple kalsifikasi sesuai dengan bentuk kandung empedu di kuadran kanan atas pada laki-laki usia 57 tahun

Gambar 4. Radiografi konvensional memperlihatkan dilatasi kandung empedu yang dipenuhi udara dengan gas di dinding (tanda panah)

Gambar 5. Radiografi konvensional pada laki-laki 64 tahun dengan porcelain gallbladder (tanda panah)

2. Kolesistografi oral Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut

3. Pemeriksaan ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstrahepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.

Gambar 6. Ultrasound memperlihatkan penebalan dinding kandung empedu (tanda panah) dan batu besar kandung empedu di leher kandung empedu, konsisten dengan akut cholecystitis

Gambar 7. Ultrasound kuadran atas abdomen memperlihatkan penebalan dinding gallbladder (tanda panah ), endapan (kepala panah ), and pericholecystic fluid (kurva panah) tanpa gallstones

Gambar 9. Ultrasound memperlihatkan penebalan dinding gallbladder 4. Pemeriksaan CT scan abdomen CT Scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

Gambar 10. Axial CT image in 64-year-old man shows multiple hyperattenuating calculi (arrow) in gallbladder.

Gambar 11. Portal venous phase CT image pada abdomen juga memperlihatkan penebalan dinding gallbladder (tanda panah) and pericholecystic fluid (kurva panah).

Gambar 12. CT image memperlihatkan udara di gallbladder (tanda panah ), pericholecystic fat stranding (kepala panah), dan penebalan dinding gallbladder (kurva panah), konsisten dengan emphysematous cholecystitis.

Gambar 13. CT image pada laki-laki 54 tahun dengan gangrenous cholecystitis memperlihatkan pericholecystic fat stranding, tidak ada peningkatan dinding gallbladder, and gas pada dinding (arrow) dan lumen dari gallbladder. 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri syaraf spinal, kelainan organ bawah diagfragma seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus pepetikum, pankreatitis akut dan infark miokard (Pridady, 2014). Diagnosis banding lainnya adalah kolelitiasis, kolangitis, koledokolitiasis, dan pankreatitis. Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Kejadian kolelitiasis biasanya diikuti

dengan

kemunculan

gelaja

peradangan

kandung

empedu

atau

disebut kolesistitis. Batu empedu menurut komposisinya dibagi menjadi 3 jenis yaitu batu pigmen, batu kolesterol, dan batu campuran.Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini yaitu bilirubinat, karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Batu-batu ini cenderung berukuran kecil, multiple, dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen yang berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis kronis. Batu pigmen berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis, batu semacam ini lebih jarang dijumpai.

Gambar 14. Gambaran ultrasonografi batu empedu Patogenesis batu pigmen melibtakan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Hidrolisis bilirubin oleh enzim bglucoronidase bakteri akan membentuk bilirubin tak terkonjugasiyang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate.Batu kolesterol “murni” biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Sedangkan batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gamabaran batu pigmen maupun batu kolesterol, majemuk, dan berwarna coklat tua. Batu empedu campuran sering dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan batu kompisisi murni tidak terlihat. Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol yaitu : 1. Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu 2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol 3. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu. Pada penderita batu empedu kolesterol, hati menyekresikan empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu. Statis empedu dalam kandung emepdu mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur.

Stasis empedu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi; faktor hormonal terutama selama kehamilan; infeksi bakteri dalam saluran empedu adalah beberapa hal yang dapat menyebabkan tinggi kejadian statis empedu. Namun, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu. Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik adalah trias Charcot yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam yang didapatkan pada 50% kasus (Lesmana, 2014).

a)

b) Gambar 15. 79-year-old female with acute cholangitis (Group 2). (a) Unenhanced CT scan shows a subtle high-attenuating stone in the common bile duct (arrow). (b) Contrast-enhanced CT shows marked dilatation of the common hepatic duct (arrow). Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu empedu di dalam saluran empedu yaitu di duktus koledokus komunis. Koledokolitiasis terbagi dua tipe yaitu primer

dan sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu emepdu yang terbentuk di dalam saluran empedu sedangkan koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung empedu yang bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus. Koledokolitiasis primer lebih banyak ditemukan di Asia, sedangkan di negara barat banyak yang sekunder. Penyakit batu empedu umumnya ditemukan di kandung empedu, dan dikenal sebagai kolelitiasis, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi koledokolitiasis. Umumnya pasien dengan batu empedu jarang mempunyai keluhan, namun sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami komplikasi akan terus meningkat.

Gambar 16. 71-year-old man with abdominal pain and elevated liver function tests. Patient has a remote history of cholelithiasis, sphincterotomy for choledocholithiasis, and refusal of cholecystectomy. (a) Non–contrast-enhanced CT of the abdomen demonstrating cholelithiasis (arrow) with dilated common bile duct (CBD) (arrowhead) and pneumobilia (asterisk) Pankreatitis akut adalah peradangan pankreas yang terjadi secara tiba-tiba, bisa bersifat ringan atau berakibat fatal. Secara normal pankreas mengalirkan getah pankreas melalui saluran pankreas (duktus pankreatikus menuju ke usus dua belas

jari

(duodenum).

Getah pankreas ini mengandung enzim-enzim pencernaan dalam bentuk yang tidak aktif dan suatu penghambat yang bertugas mencegah pengaktivan enzim dalam perjalanannya menuju ke duodenum.

Sumbatan pada duktus pankreatikus (misalnya oleh batu empedu pada sfingter Oddi) akan menghentikan aliran getah pankreas. Biasanya sumbatan ini bersifat sementara dan menyebabkan kerusakan kecil yang akan segera diperbaiki. Namun bila sumbatannya berlanjut, enzim yang teraktivasi akan terkumpul di pankreas, melebihi penghambatnya dan mulai mencerna sel-sel pankreas, menyebabkan peradangan yang berat. Kerusakan pada pankreas bisa menyebabkan enzim keluar dan masuk ke aliran darah atau rongga perut, dimana akan terjadi iritasi dan peradangan dari selaput rongga perut (peritonitis) atau organ lainnya. Bagian dari pankreas yang menghasilkan hormon, terutama hormon insulin, cenderung tidak dihancurkan atau dipengaruhi.

Edema interstitial pankreatitis pada wanita 59 tahun dengan gallstone, memperlihatkan area hypoechoic (tanda panah) dalam pankreas (P) karena edema interstitial, dan ada sejumlah kecil cairan peripancreatic

Gambar 17. Groove pancreatitis with pancreatic inflammation localised to the area adjacent to the duodenum (arrow). 2.7 Penatalaksanaan Untuk kasus kolesistitis akut, tindakan umum yang dapat dilakukan adalah tirah baring, pemberian cairan intravena dan nutrisi parentral untuk mencukupi kebutuhan cairan dan kalori, diet ringan tanpa lemak dan menghilangkan nyeri dengan petidin (demerol) dan buscopan dan terapi simtomatik lainnya. Antibiotik pula diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah peritonitis dan empiema. Antibiotik pada fase awal adalah sangat penting untuk mencegah komplikasi Mikroorganisme yang sering ditemukan adalah Eschteria coli, Stretococcus faecalis, dan Klebsiella, sering dalam kombinasi. Dapat juga ditemukan kuman anaerob seperti Bacteriodes dan Clostridia.Antibiotik yang dapat dipilih adalah misalnya dari golongan sefalosporin, metronidazol, ampisilin sulbaktam dan ureidopenisilin. Terapi definitif kolestisistitis akut adalah kolesistektomi dan sebaiknya dilakukan kolesistektomi secepatnya yaitu dalam waktu 2-3 hari (dalam 7 hari sejak onset gejala) atau ditunggu 6-10 minggu selepas diterapi dengan pengobatan karena akan mengurangi waktu pengobatan di rumah sakit.(Peter et al, 2014). Sebagian dokter memilih terapi operatif dini untuk menghindari timbulnya gangren atau komplikasi kegagalan terapi konservatif. Beberapa dokter

bedah lebih menyukai menunggu dan mengobati pasien dengan harapan menjadi lebih baik selama perawatan, dan mencadangkan tindakan bedah bila kondisi pasien benar-benar stabil, dengan dasar pemikiran bahwa aspek teknik kolesistektomi akan lebih mudah bila proses inflamasi telah mulai menyembuh. Terapi operatif lanjut ini merupakan pilihan yang terbaik karena operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi akan menjadi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan gambaran anatomi. Namun, jika berlakunya kasus emergensi atau ada komplikasi seperti empiema atau dicurigai adanya perforasi, sebaiknya lansung dilakukan kolesistektomi (Peter et al, 2014). Dibandingkan

kolesistektomi

konvensional,

pada

kolesistektomi

laparoskopik, pasien dapat keluar rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi dengan jarigan parut minimal dan dapat berkativitas lebih cepat. Sekitar 10% kolesistektomi laparoskopik harus diubah menjadi operasi terbuka (kolesistektomi konvensional) di kamar operasi karena adanya inflamasi yang luas, perlekatan, atau adanya komplikasi, seperti cedera saluran empedu yang memerlukan perbaikan (Freeman et al, 2015). Pada pasien yang memerlukan penanganan secepatnya, namun dalam keadaan sakit keras atau sangat berisiko tinggi untuk kolesistektomi, pasien harus diterapi secara medis dengan pemberian cairan, antibiotika dan analgesik, bila terapi ini gagal, perlu dipertimbangkan suatu kolesistotomi perkutan. Di sini, isi kandung empedu dikeluarkan dan lumen didrainase dengan kateter yang ditinggalkan. Pada pasien yang mengalami kolesistosomi dan telah sembuh dari keadaan akut, harus dilakukan kolesitektomi 6-8 minggu kemudian bila kondisi medisnya cukup baik (Freeman et al, 2015; Husain et al, 2015) Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai 90% dari seluruh kolesisteksomi. Konversi ke tindakan bedah kolesisteksomi konvensional sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesisteksomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan

seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien (Emmanuel, 2014; Bravo et al, 2016).

Gambar 3. Kolesistektomi terbuka dan laparoskopik (Albert J,2016)

2.8 Komplikasi Proliferasi bakteri pada kandung empedu yang mengalami obstruksi dapat menimbulkan empiema pada organ bersangkutan. Pasien dengan empiema mungkin akan mengalami reaksi toksik yang ditandai demam yang sering dan leukositosis. Bila ditemukan ada empiema, pasien seringkali memerlukan penanganan kolesistektomi terbuka dari yang sebelumnya hanya laparoskopi. Pada kasus yang jarang terjadi, sebuah batu empedu yang besar dapat mengikis dinding kandung empedu dan keluar ke organ viseral lain yang berdekatan, biasanya ke duodenum. Sehingga, batu empedu tersebut dapat melekat di ileum terminal atau di bulbus/pylorus duodenum, menyebabkan ileus paralitik batu empedu (gallstone ileus). Kolesistitis Emfisematosa terjadi pada sekitar 1 % kasus dan ditandai dengan adanya gas dalam dinding kandung empedu akibat invasi organisme yang memproduksi gas, seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan spesies Klebsiella. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, laki-laki , dan 28 % pada kolesistitis akalkulus. Karena tingginya insiden

gangren dan perforasi, kolesistektomi darurat dianjurkan. Perforasi dapat terjadi hingga 15 % dari keseluruhan kasus. Komplikasi lainnya termasuk sepsis dan pankreatitis. Kolesistitis akut tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren, kadang dapat berkembang dengan cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati, dan peritonitis. Proliferasi bakteri pada kandung empedu yang mengalami obstruksi dapat menimbulkan empiema pada organ bersangkutan. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi lain termasuk sepsis dan pankreatitis. 2.9 Prognosis Penyembuhan spontan didapatkan pada 85 % kasus, sekalipun kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolecystitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema, dan perforasi kandung empedu, fisitel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi (Pridady, 2014).

BAB III KESIMPULAN Cholecystitis adalah inflamasi yang terjadi pada dinding kandung empedu dan terbagi menjadi akut dan kronis. Cholecystitis akut merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya sumbatan duktus sistikus oleh batu. Cholecystitis kronik lebih sering dijumpai di

klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering ditemukan secara perlahan-lahan. Faktor utama yang mempengaruhi timbulnya serangan cholecystitis akut adalah statis cairan empedu infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama cholecystitis akut adalah batu kandung empedu sebesar 90 persen, yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu. Pada sebagian kasus kecil kasus terjadi tanpa adanya batu empedu disebut dengan cholecystitis akut akalkulus. Diperkirakan beberapa faktor yang menjadi penyebab stasis duktus sistikus seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak mukosa dinding empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Keluhan yang agak khas untuk serangan Cholecystitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan foto polos, USG, CT scan. Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstrahepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%. CT Scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

DAFTAR PUSTAKA

Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13

Bravo E, Contardo J, Cea J. Frequency of cholelithiasis and biliary pathology in the easter island rapanui and non-rapanui population. Asian Pac J Cancer Prev. 2016;17(3):1458-8. Debas Haile T.Biliary Tract In : Pathophysiology andManagement.Springer – Verlaag 2004 ; Chapter 7 :198 – 224 Douglas

M Heuman, Julian Katz. Cholelithiasis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview 25 Juli 2018

Emmanuel A, Stephan I. Gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta: Erlangga; 2014. Freeman HM. Mullen MG, Friel CM. The Progression of Cholelithiasis to Gallstone Illeus : Do Large Gallstone Warrant Surgery. Journal of Gastrointestinal Surgery: 2016:1-3 Gladden D, Migala A et al. 2009. Cholecystitis eMedicine.com. Gladden D, Migal a A Husain M. Gheewala, Surajsinh A. Chauhan, Akhil Palod, Dharmesh J. Balsarkar, Rahul V. Kandekar.A case of Gall Stone Ileus. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences 2015; 4(55);96709673 Hong, M. J., Kim, S. W., Kim, H. C., & Yang, D. M. (2012). Comparison of the clinical characteristics and imaging finding of acute cholangitis with and without biliary dilatation. The BritishJournal of Radiology , 85. Koo, B. C., Chinogureyi, A., & Shaw, A. S. (2010). Imaging Acute Pancreatitis. The British Journal Radiology , 104-112. Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics of North American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194 Lesmana, L. A. (2014). Penyakit Batu Empedu. Dalam S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoyo, K. S. Marcellus, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Ilmu Penyakit Dalam (hal. 2020). Jakarta: Interna Publishing. Molvar, C., & Glaenzer, B. (2016). Choledocholithiasis : Evaluation, Treatment, and Outcome. Seminars in Interventional Radiology .

Ndraha S. Bahan Ajar Gastroenterohepatologi. Penyakit Batu Empedu. Edisi ke-1. Jakarta ; Fakultas Kedokteran Ukrida. 2013. Hal 82-69. Nurhadi.Analisa Batu Kandung Empedu.2012.Bandung O'Connor, O. J., & Maher, M. M. (2011). Imaging Of Cholecystitis. American Journal Radiology , 367-374. Parmar AD, Sheffield KM, Adhikari DMS, Davee RA, Vargas GM, Tamirisa NP, Kuo YF, Goodwin JS, Riall TS. PREOP-Gallstone : Aprocnostic normogram the Management of Symptomatic Cholelithiasis in Older Patients. Annals of Surgery:2015;261(6):1184-1190. Peter A et. al. “Cholecystectomy for acute cholecystitis. How time-critical are the so called ‘golden 72 hours’? Or better ‘golden 24 hours’ and ‘silver 25– 72 hour’? A case control study”. World Journal of Emergency Surgery 2014, 9:60. Pridady, F. (2014). Kolesistitis. Dalam S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoyo, K. S. Marcellus, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Ilmu Penyakit Dalam (hal. 2017-2019). Jakarta: Interna Publishing. Sahai

AV, Mauldin PD, Marsi V. Kolesistitis. Diunduh http://www.medicinestuffs.com/2013/10/kolesistitis-cholecystitisbagian.html 25 Juli 2018

dari

Saquib Zet. al. “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis: an Experience at Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of Surgery, Ghurki Trust Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental College, Lahore (2013)

Related Documents


More Documents from "elisabet weni jiwandari"

Ptsd.docx
October 2019 10
Bab I-ii.docx
October 2019 15
Mutaba'ah Yaumiyah.docx
October 2019 13