Rasa Beragama

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rasa Beragama as PDF for free.

More details

  • Words: 21,445
  • Pages: 87
Rasa Beragama Bagikan Hari ini jam 7:11 Menyambung tulisan saya hari kemarin tentang susahnya berusia terlalu tua di negeri maju, maka pada hari ini saya akan menulis tentang rasa agama. Setiap orang, hingga yang merasa paling modern sekalipun, ternyata memilikinya. Dulu teman saya yang berasal dari Swiss, yang saya ceritakan dalam tulisan kemarin, tidak begitu memperdulikan tentang agama. Agama, tuhan, nabi, dan seterusnya, menurut pemahamannya hanya dibuat-buat sendiri oleh orang yang bersangkutan. Bahkan tuhan pun ada, karena dibayangkan ada oleh seseorang. Padahal bisa saja sebaliknya, jika tidak dibayangkan, ------maka menurutnya, sesungguhnya juga tidak akan ada. Dalam pertemuan terakhir kali itu, setelah dia berumur sekitar 63 tahun, dia merasa tidak enak jika pada hari natal tidak bersama dengan orang tuanya di Swiss. Di manapun dia pergi, seperti sekarang ini yang sudah 5 tahun tinggal di Philipina, setiap hari natal selalu pulang. Dia merasa ada kebahagiaan tersendiri tatkala pada hari natal, bersama-sama orang tuanya, merayakan hari yang dirasakan membahagiakan itu. Dia mengatakan, dari pengalaman hidupnya yang panjang, bahwa ternyata agama dengan mudah dimasuki melalui rasa, dan sangat sulit jika didekati dengan akalnya. Sedangkan agama yang dimaksudkan olehnya adalah Katholik, karena sejak kecil ia hidup di keluarga yang beragama itu. Saya mencoba bertanya, mulai kapan perasaan pentingnya beragama seperti itu muncul. Dia menjawab bahwa sejak dulu, ketika masih kecil bersama orang tuanya tinggal di Swiss, sesekali ia diajak ke gereja. Tetapi ketika itu dia tidak merasakan apa-apa. Apa yang dilakukan oleh banyak orang terkait dengan keagamaan dianggap tidak masuk diakalnya. Tetapi ternyata, setelah ia menginjak usia tua, pengalaman kecil itu terpikirkan kembali dan dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Mendengar cerita itu, saya teringat tradisi kaum santri di berbagai tempat, pada saat-saat tertentu, menyelenggarakan upacara

keagamaan yang dikemas sedemikian rupa, hingga menggetarkan hati bagi siapapun yang mengikuti atau setidak-tidaknya mendengarkannya. Misalnya upacara kelahiran, khitanan, pernikahan dan bahkan juga kematian. Upacara yang bernuansa agama semacam itu, di beberapa tempat semakin lama, sayangnya semakin ditinggalkan orang. Pada upacara beberapa hari setelah kelahiran, khitanan, pernikahan, dan seterusnya dibacakan secara bersama-sama sholawat Nabi. Mungkin banyak orang tidak mengerti arti bacaan itu, tetapi karena terbiasa mendengar, maka alunan bait-bait dalam sholawat itu, dirasakan oleh banyak orang sebagai sesuatu yang indah. Mendengar suara itu, maka seolah-olah Nabi hadir di tempat itu. Demikian pula, melalui bacaan-bacaan yang disuarakan bersama dengan suara indah, maka di saat itu pula Tuhan pun menjadi terasa hadir dan dekat. Melalui upacara-upacara keagamaan seperti itu, --------sadar atau tidak, siapapun terbantu untuk merenungkan keberadaannya, nabi, malaikat, dan juga Tuhannya. Sosok pribadi Nabi menjadi dikenal sedemikian indah dan mulianya. Demikian pula pada saat seperti itu, terbayangkan oleh semuanya, --------baik anak-anak, pemuda, dewasa dan orang tua, bahwa Tuhan sedemikian Maha Kuasa, Maha Mulia, dan Maha Pengasih serta Penyayang. Hal yang demikian agak sulit dirasionalkan, karena memang letakkan bukan di wilayah rasio, melainkan berada pada tataran rasa. Agama sebagiannya, memang berada pada wilayah ini, yaitu di kawasan rasa. Selalu ada rasa agama pada setiap orang, yang hal itu semestinya perlu ditumbuhkembangkan. Sayang sekali, kegiatan cultural keagamaan itu, di beberapa tempat semakin lama semakin menipis. Sementara orang menganggapnya tidak perlu, karena tidak rasional. Padahal manusia sebagai makhluk yang memiliki rasa, -------selain akal, selalu memerlukannya. Manusia ternyata memiliki rasa beragama, yakni ingin memiliki tokoh idola, mendekat pada Yang Maha Kuasa dan selalu muncul kesadaran akan datangnya hari tua, atau bahkan kematian. Tokoh idola itu adalah Nabi, dalam Islam adalah Muhammad saw. Tokoh idola ini, sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa agama, seharusnya kepribadiannya yang agung dan mulia dikenali secara terus menerus. Namanya harus selalu disebut berulang-ulang, untuk memuliakannya.

Pada zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, semestinya upacara keagamaan seperti itu, semakin diperkenalkan. Manusia modern yang salah satu cirinya semakin rasional, maka harus diimbangi dengan kegiatan yang bernuansa untuk menumbuhkembangkan aspek rasa, yaitu di antaranya adalah rasa beragama ini. Sehingga kehidupan manusia menjadi seimbang antara kebutuhan rasio dan pemenuhan rasa. Islam sesungguhnya, jika direnungkan secara mendalam, mengajarkan tentang itu, yakni hidup secara seimbang. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"179464813879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 10 jam yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

5 orang menyukai ini.

Mokhamad Nur Saya setuju sekali Prof. Di Melbourne, saya ikut dzikir jamaah Thoriqoh An-Naqsabandi alhaqqoni. Rasa dlm beragama itu dimunculkan Alloh. Nikmat sekali. Orang2 sini walaupun belum beragama Islam, banyak juga yg menikmati rasa itu. 6 jam yang lalu Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form

Berumur Panjang itu Ternyata Tidak Selalu menyenangkan Bagikan Kemarin jam 21:00 Seorang kenalan yang sudah sekian lama tidak ketemu, datang ke Malang. Kebetulan ia berniat singgah di kampus, ingin menemui saya. Semula tidak menyangka kalau akan ketemu, karena bentuk bangunan kampus yang dulu ia kenali, ternyata sudah berubah. Bahkan dia menyangka, bahwa kampus dengan tampilan baru yang ia lihat, sudah ganti pemilik. Ia menyangka, oleh pemilik baru itulah bangunan lama dirombak, disesuaikan dengan keinginannya. Setelah mencoba masuk, ternyata ketemu saya. Ia sangat terkejut, menyaksikan kampus yang pada sekitar 15 tahun lalu, berukuran kecil dengan bangunan lama yang sederhana, telah dirombak menjadi baru, yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Ia mengatakan hampir tidak percaya bahwa yang sedang ditemuinya adalah saya, yang sudah sekian lama tidak ketemu. Kenalan yang saya maksud tersebut memang tahu banyak tentang IAIN Malang. Karena beberapa tahun, dulu ia ikut mengajar Bahasa Inggris di kampus ini. Dalam kesempatan itu, dia menunjukkan keheranannya atas perubahan wajah kampus. Saya juga jelaskan bahwa sekarang IAIN malang yang ia kenal dulu telah berubah menjadi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya juga menjelaskan bahwa di kampus ini tidak saja dikembangkan ilmu pendidikan agama sebagaimana dulu, tetapi sudah dibuka beberapa fakultas lain, yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Humaniora dan Budaya, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariáh dan Fakultas Sains dan Teknologi. Lebih kaget lagi, dia setelah tahu bahwa jumlah mahasiswa, dosen, dan karyawan sudah bertambah berlipat ganda dibanding dulu ketika sehari-hari dia masih ikut mengajar Bahasa Inggris di IAIN Malang ini. Sudah lebih dari 15 tahun Warga Negara Swiss ini meninggalkan Malang. Sejak itu, dia mengaku telah berpindah dari satu negara ke negara lain. Terakhir, sudah lima tahun ini tinggal di Pilipina. Tetapi dia mengaku terus terang, bahwa sekalipun lama meninggalkan Indonesia dan berpindah-pindah ke beberapa negara lain, ia merasa masih

sebagai penduduk Indonesia. Ia mengaku sangat mencintai dan karena itu betah tinggal di Indonesia. Dia mengatakan bahwa bangsa Indonesia sangat ramah, penuh persaudaraan, dan yang lebih penting lagi, bahwa hidup di negeri ini sangat murah, sehingga menjadikannya berat meninggalkan negeri ini. Dalam pertemuan dengan saya ketika itu, tidak sebagaimana biasa dulu, ia banyak bercerita tentang kehidupan orang tuanya yang masih tinggal di Swiss. Hal itu saya rasakan aneh, karena dulu ia tidak pernah bercerita tentang itu. Ia mengaku bahwa pada akhir-akhir ini kemanapun pergi, pada setiap natal, ia mengharuskan dirinya pulang menengok orang tuanya. Sekalipun sesungguhnya, di mana-mana semua orang bisa merayakan natal, tetapi dirasakan sekali ada perasaan beda bernatalan dengan kedua orang tuanya. Mendengar cerita itu, saya teringat kebiasaan kaum muslimin Indonesia, ke mana pun mereka pergi, maka pada hari raya idul fitri selalu mudik, merayakan hari besar Islam bersama sanak pamili di kampung kelahirannya masing-masing. Dia menceritakan bahwa ayahnya saat ini sudah terlalu tua, berumur lebih dari 98 tahun. Sedangkan ibunya lebih muda, selisih 7 tahun dari ayahnya, tetapi kondisinya sudah lebih lemah. Ayahnya, sekalipun kondisi badannya sudah lemah, tetapi pikiran dan ingatannya masih kuat. Ayahnya masih bisa bermain kartu sebagaimana dilakukan oleh orang tua di panti jompo. Berbeda dengan ayahnya, ibunya sudah lemah, sudah tidak bisa berjalan, termasuk mengurus kebutuhannya sendiri, seperti mandi, berpakaian, termasuk makan sehari-hari. Semua memerlukan pertolongan pembantunya yang harus dibayar mahal setiap bulannya. Orang tuanya, selain dia masih punya dua anaknya lagi yang bertempat tinggal di Swiss. Tetapi sebagaimana tradisi masyarakat di negeri itu, tidak lazim anak dibebani tanggung jawab mengurus orang tua, sekalipun mereka itu adalah ayah dan ibunya sendiri. Sebagaimana pada umumnya di Swiss, orang tua yang sudah udzur lebih suka tinggal di panti jompo. Demikian pula orang tua kenalan saya tersebut, menyewa semacam kamar khusus, dengan biaya dan perawatan khusus pula. Setiap bulan, mereka harus membayar ongkos panti jompo, jika dirupiahkan sekitar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta) setiap bulannya. Besarnya ongkos itu belum termasuk, biaya obat-

obatan manakala mereka sakit. Pada natal yang lalu, ketika pulang ke Swiss, ia hanya mendapatkan keluhan dari orang tuanya, bahwa mereka tidak memiliki keinginan lain di usia setua itu kecuali segera mati. Dia ceritakan bahwa tatkala masih berusia kerja, ayah dan ibunya tergolong orang yang bersemangat, memiliki cita-cita, dan atau kemauan tinggi. Tetapi pada saat ini, semua itu sudah hilang. Mereka sudah tidak memiliki cita-cita, harapan, keinginan, dan bahkan kemauan hidup lebih lama lagi. Sehari-hari, mereka hanya tidur dan beristirahat di tempat tidur, menuruti instruksi, dan kemauan pembantunya, yang setiap bulan juga harus dibayarnya sendiri di panti jompo itu. Kadang, katanya orang tuanya masih malas bangun dari tidur, tetapi pembantunya memanggilnya agar segera bangun untuk menjaga kesehatannya. Mendengar cerita itu, saya pun terbayang apa yang seringkali saya saksikan sendiri. Banyak orang berdoa agar dikaruniai umur panjang. Juga banyak orang yang merasa sedih tatkala orang tuanya baru berumur antara 70 sampai 80 tahun sudah meninggal. Menngikuti cerita itu, semestinya menyadarkan pada siapapun, bahwa seseorang yang berumur terlalu panjang, ternyata menyusahkan diri sendiri dan bahkan mungkin juga terhadap keluarganya. Orang yang berumur menjelang seratus tahun, ternyata yang diharapkan olehnya bukan umurnya bertambah, melainkan sebaliknya, justru berharap agar segera meninggal dunia. Belajar dari kenyataan tersebut, tatkala orang telah berumur sekitar 80 tahun lalu meninggal, maka sesungguhnya justru beruntung. Sekalipun pada awalnya diratapi, -----karena lazimnya begitu, Ia tidak menyusahkan dirinya sendiri dan juga merepotkan keluarganya. Tetapi sesungguhnya, lebih dari itu semua, kapan pun orang meninggal, entah di umur berapa, yang terpenting adalah yang bersangkutan dalam keadaan beriman kepada Allah swt., berakhlak mulia, dan kaya amal sholeh. Insya Allah, justru selamat dan bahagia. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"179051863879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 20 jam yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

28 orang menyukai ini.

Lihat ke-15 komentar

Teguh Priyantoro dan yang merubah adalah kita sendiri.....perubahan ini tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ada perubahan dalam jiwa kita... sekitar sejam yang lalu

Zaenal Abidin meski sudah mati. usahakan karya kita tetap hidup selamanya.meki sudah meningggal puisinya choiril Anwar, lagunya Crisye, dlll..... masih hidup sampai sekarang. 4 menit yang lalu Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Bagikan Sen pukul 21:46

Direktur Pendidikan Agama di Sekolah Umum Departemen Agama pada hari Ahad kemarin menyelenggarakan pertemuan guna merancang Penulisan Buku Agama Islam di Sekolah mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Diundang dalam acara itu beberapa tokoh, seperti misalnya Prof.Malik Fadjar, Prof.Tholkhah Hasan, Prof. Said Agil Sirodj, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Nur Syam, Prof. Athok Mudzhar, dan saya sendiri. Selain itu juga diundang beberapa Rektor UIN/IAIN, pimpinan Pondok Pesantren, dan para ulama lainnya sebagai peserta. Buku pelajaran agama yang akan ditulis itu diharapkan bisa memberikan pedoman atau arah untuk memperkenalkan Islam yang rakhmatan lil alamien. Sesuatu yang dirasakan memprihatinkan oleh sementara kalangan bahwa, akhir-akhir ini ditengarahi sudah mulai muncul pemahaman Islam yang beraneka ragam di kalangan pelajar. Bahkan juga sudah mulai ada siswa yang mulai bersimpatik dengan cara-cara keras dalam memperkenalkan Islam, kurang menghormati, dan toleran terhadap kepercayaan agama lain. Jika gejala ini tumbuh dan apalagi berkembang, maka dikhawatirkan akan merugikan Islam sendiri sebagai agama yang penuh rakhmah. Dalam kesempatan itu, saya mengajak peserta pertemuan untuk melakukan evaluasi dan perenungan kembali terhadap apa yang disebut sebagai pelajaran agama Isam selama ini. Pelajaran agama Islam di sekolah biasanya dijabarkan menjadi pelajaran aqidah, fiqh, akhlak, tarekh dan Bahasa Arab. Pelajaran yang hanya dua jam seminggu itu digunakan untuk menjelaskan tentang materi tersebut. Sehingga hasilnya kurang maksimal, dan hal yang lebih memprihatinkan adalah bahwa pelajaran agama kurang memiliki daya tarik dan bahkan tidak sedikit yang menganggapnya hanya sebagai beban belaka. Selama ini, saya belum mendapatkan jawaban, mengapa pelajaran agama Islam dipilah-pilah menjadi aqidah, fiqh, akhlak, tarekh dan Bahasa Arab itu. Mungkin logikanya, dengan pelajaran aqidah ingin ditanamkan akidah pada peserta didik. Lewat pelajaran fiqh, diharapkan para siswa mengerti tentang hukum Islam. Melalui pelajaran akhlak, dimaksudkan agar para memiliki akhlak yang luhur. Pelajaran tarekh diharapkan bisa memberi pemahaman tentang sejarah Nabi dan para sahabat dalam memperkenalkan Islam.

Sedangkan pelajaran Bahasa Arab dimaksudkan agar para siswa menguasai bahasa itu dan selanjutnya digunakan untuk memahami kitab suci al Qurán. Pertanyaan yang selalu muncul dalam hati saya, mengapa pelajaran agama Islam tidak langsung mengacu saja pada al Qurán dan sejarah hidup Nabi Muhammad. Saya membayangkan jika pelajaran agama Islam secara langsung mengacu pada al Qurán, katakan misalnya, dimulai dari Surat al Fatekhah maka akan diperoleh gambaran tentang Islam secara lebih utuh. Para siswa diberi penjelasan tentang isi surat dalam al Qurán yang harus dibaca oleh setiap kaum muslimin setidaktidaknya 17 kali setiap sehari semalam. Pertanyaan yang mendasar yang seharusnya diajukan adalah ada rahasia apa pada tujuh ayat yang juga disebut sebagai pembuka dan sekaligus juga induk al Qurán itu. Secara singkat, saya menangkap bahwa tujuh ayat dalam surat al Fatekhah tersebut jika direnungkan secara mendalam, dan itu dijadikan sebagai pedoman hidup, maka rasanya sudah cukup bisa mengantarkan orang meraih kebahagiaan. Surat itu dimulai dengan bacaan basmallah. Dua sifat Allah yang amat mulia ialah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang diungkapkan pada pembukaan surat tersebut. Bahkan sekalipun hanya sebanyak tujuh ayat, dua ayat di antaranya memperkenalkan kedua Sifat Allah Yang Maha Mulia ini, yakni Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selanjutnya, hal yang menarik, ternyata seluruh surat dalam al Qurán yang berjumlah 114 surat, semuanya dimulai dengan kalimat basmallah, kecuali satu surat saja, ialah surat at Taubah. Dalam surat at Taubah ini, terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang perang. Rasanya menjadi logis, untuk mengingatkan bahwa hanya dalam keadaan perang saja dibolehkan tidak mengembangkan kasih sayang. Jika perang dilakukan dengan dasar kasih sayang, -----apalagi terhadap musuh, maka akan kalah. Kita akan diserang dan bahkan dibunuh, jika tidak mau menyerang atau membunuh musuh. Pengulang-ulangan ayat ini, dapat ditangkap, ialah betapa pentingnya sifat kasih sayang, seharusnya dikembangkan dan selalu mewarnai kehidupan kaum muslimin. Setelah basmallah, dalam surat al Fatekhah diperkenalkan bahwa

pemilik atau Dzat yang memiliki segala puji-pujian hanyalah Allah swt. Selainnya tidak berhak memilikinya. Padahal secara naluri, setiap orang dengan berbagai caranya berusaha memiliki pujian. Maka, lewat ayat itu manusia diingatkan bahwa pemilik puji-pujian hanyalah Tuhan sendiri. Setelah mengulangi ayat yang menunjukkan tentang kedua sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dilanjutkan dengan statemen tentang penguasa di hari pembalasan (Maaliki yaumiddin). Ayat ini mempertegas tentang keharusan bagi manusia untuk selalu berusaha sekuat tenaga menampilkan kualitas hidup yang sebenarnya, yaitu kualitas iman, amal, dan akhlak. Ayat berikutnya adalah petunjuk tentang kepada siapa seharusnya penyembahan dan permintaan pertolongan ditujukan. Secara naluriah manusia memiliki rasa beragama, yakni melakukan penyembahan. Ayat ini memberikan tuntunan secara tegas tentang itu, yakni kepada siapa seharusnya menyembah atau berbakti dan meminta pertolongan. Ayat tersebut kemudian disusul dengan bimbingan, agar selalu memohon petunjuk pada jalan yang benar. Manusia akan merasakan dan menyadari bahwa hidup di dunia ini tidaklah mudah. Sedemikian labil hati manusia dan juga banyak pilihan jalan hidup yang ditawarkan. Maka melalui ayat ini makhluk yang disebut paling mulia ini diingatkan agar selalu memohon petunjuk, minimal 17 kali sehari semalam. Dan akhirnya, masih melalui surat al Fatekhah ini pula, pada ayat yang paling akhir, manusia diingatkan tentang pentingnya kesadaran sejarah. Isi Surat al Fatekhah yang sedemikian mendalam dan comprehensive itu, bukankah seharusnya dijadikan pedoman dalam hidup ini. Namun ternyata masih jarang diperkenalkan melalui pendidikan. Suat itu hanya sebatas dihafal dan dijadikan sebagai bacaan dalam setiap sholat. Akibatnya, nilai-nilai yang amat mulia yang seharusnya menjadi petunjuk dalam berperilaku bagi kaum muslimin sehari-hari luput dari padanya. Misalnya, membaca basmallah sedemikian fasikh dan dilakukannya berulang-ulang. Namun sebentar saja berhenti membaca ayat itu, perilakunya berlawanan dengan isi ayat yang baru saja dibacanya berulang-ulang itu. Saya membayangkan, umpama pelajaran agama Islam di lingkungan sekolah umum, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, diorientasikan untuk menanamkan nilai-nilai dalam surat al Fatekhah yang sedemikian

indah itu, maka rasanya maksud Direktur Pendidikan Agama di Sekolah Umum untuk memperkenalkan Islam yang Rakhmatan lil alamien, insya Allah terwujud. Sebaliknya, jika kemudian tetap tidak berani meninggalkan cara berpikir lama, yaitu hanya memperkenalkan Islam melalui pelajaran aqidah, fiqh, akhlak, tarekh dan Bahasa Arab sebagaimana yang berjalan selama ini, maka niat baik itu tidak akan terlaksana. Melalui renungan yang panjang, saya menyimpulkan bahwa salah satu resiko mendidik agama, dengan memperkenalkan aqidah, fiqh, tarekh pada taraf awal, seolah-olah sama halnya dengan memperkenalkan perbedaan dan bahkan pertikaian kepada para peserta didik. Saya menganggap bahwa beberapa jenis pelajaran itu tetap perlu diberikan, tetapi harus diletakkan pada tempat yang tepat. Sebab menurut hemat saya, perbedaan dan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam selama ini, --------jika diteliti lebih mendalam, sesungguhnya banyak bersumber dari perbincangan tentang ketiga hal itu. Lain halnya jika Islam diperkenalkan dengan makna yang mendalam dan luas tentang ayat-ayat al Fatekhah, akan ditangkap keindahan ajaran Islam. Melalui berbagai diskripsi, ilustrasi dan bahkan juga sejarah perjalanan kehidupan manusia di sepanjang waktu dan tempat, maka akan bisa ditunjukkan tentang kemulia dan keindahan risalah yang dibawa oleh Muhammad saw. Kemuliaan dan indahan itulah yang selanjutnya diharapkan berhasil mewarnai pikiran, perasaan, dan mindset para siswa di sekolah umum, sehingga melahirkan perilaku yang digambarkan dalam kalimat sebagai rakhmatanan lil alamien itu. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"178311828879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui pada hari Senin · Komentar ·SukaTidak Suka

12 orang menyukai ini.

Lihat ke-8 komentar

Dul Raji alhamdulillah.tp mudah2an yg diperhatikan bukan hanya pendidikan formal saja.TPQ yg sebenarnya menjadi pendidikan agama terhdp anak2 malah serig kali diabaikan.pdhl semua murid dr sekolah umum bisa baca alqur"an dr tpq.sbg contohnya ditempat kami.tpq yg hanya numpang disebuah halaman masjid.di daerah watulimo.kami mempunyai sekitar 100 anak didik.... Baca Selengkapnyanamun tenaga pengajarnya hanya 4 orang saja tanpa didukung sarana dan prasarana apapun.kendalanya lagi para pengajarnya jg dr kalangan ekonomi lemah.shg shg tak jarang murid datang gurunya gak ada.krn harus nguli.bagaimana solusinya pak Profesor?mdh2an buku yg akan dirancang nantinya sampai kpd anak didik kami secara cuma2 15 jam yang lalu

Mafrudah Afandi Betul pak Dul itu realita ... yang kadang luput dari perhatian pemerintah .... selamat berjuang .... Allah sll meridloi .... 4 jam yang lalu Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Beberapa Catatan Pelaksanaan Acara Wisuda Sarjana

Bagikan Min pukul 6:03 Karena sedemikian sering saya mengikuti acara wisuda, maka terasa tidak ada sesuatu yang istimewa. Upacara seperti itu menjadi sesuatu yang bersifat rutin dan biasa. Tetapi saya yakin bahwa bagi mereka yang diwisuda dan juga bagi orang tua wisudawan, acara itu adalah istimewa. Hari-hari wisuda bagi mereka telah ditunggu-tunggu sejak lama. Acara wisuda bagi mereka yang menyelesaikan pendidikan merupakan saat yang sejak lama ditunggu-tunggu. Hal itulah kemudian, saat itu menjadi hari yang sangat istimewa dan membahagiakan. Sekalipun saya sudah merasa jenuh, tetapi tidak boleh menunjukkan kejenuhan itu. Saya harus memberikan apresiasi penuh, ikut merasakan kegembiraan itu. Saya harus ikut merasakan bahwa acara itu baru pertama kali saya ikuti. Saya juga harus menyesuaikan dengan perasaan para wisudawan dan juga orang tua, bahwa acara itu juga sudah lama saya tunggu-tunggu. Suasana kebersamaan, yakni merasa sama-sama bahagia memang menjadi penting. Suasana seperti itu, memang menjadi mahal dan penting jika dikaitkan dengan upaya menumbuhkan dan sekaligus mengekspresikan rasa syukur, yang hal itu ternyata tidak mudah dilakukan oleh banyak orang. Wisuda semester ganjil tahun akademik 2009/2010 dilaksanakan hari Sabtu tanggal 14 Nopember 2009. Biasanya pada semester ganjil, jumlah wisudawan lebih banyak disbanding dengan jumlah wisudawan pada semester genap. Tercatat tidak kurang dari 700 orang mahasiswa UIN Maliki Malang yang mengikuti wisuda. Karena jumlahnya yang agak banyak, maka pelaksanaan wisuda memakan waktu agak lama. Tetapi yang harus disyukuri, semua undangan mengikuti acara tersebut dengan sabar, sehingga upacara berjalan hikmat. Pada wisuda kali ini, saya mencatat ada beberapa hal yang saya rasakan istimewa. Pertama jumlah wisudawan yang hafal al Qurán semakin banyak. Mereka yang hafal al Qurán genap 30 juz, selain diberikan gelar akademik sesuai dengan bidang ilmunya, juga disebut di belakang namanya sebagai al haafidz atau al hafidzah. Mendengar

penyebutan gelar sebagai penghafal al Qurán benar-benar terasa lebih sempurna. Terasakan ada bobot atau kewibawaan tersendiri tatkala seseorang mendapatkan kedua gelar tersebut, yaitu gelar akademik dan gelar yang bernuansa spiritual tersebut. Kedua, para wisudawan ternyata berasal dari seluruh wilayah Indonesia, yakni dari Aceh hingga Papua. Tatkala masing-masing wisudawan disebutkan nama dan asal kelahirannya, nama orang tua dan alamat mereka masing-masing menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Maliki Malang sudah tidak lagi sebagai perguruan tinggi daerah, dan bersifat local, melainkan sudah menjadi milik seluruh bangsa ini. Berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu, para mahasiswa hanya berasal dari Malang dan kabupaten atau kota sekitarnya. Bahkan sudah beberapa tahun terakhir ini, sudah terdapat wisudawan yang berasal dari luar negeri, seperti dari Malaysia, Tailand, dan Singapura. Wisuda kali ini ada seorang wisudawan yang berasal dari Saudi Arabia.

Ketiga, beberapa mahasiswa telah menulis karya ilmiah dengan menggunakan bahasa asing. Jika mahasiswa jurusan Bahasa Arab atau jurusan Bahasa Inggris menulis dengan bahasa yang dipelajarinya itu adalah wajar. Tetapi, yang terasa agak aneh dalam pengertian memiliki nilai lebih, mahasiswa Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen, menulis skripsi dengan menggunakan Bahasa Arab. Selain itu, beberapa mahasiswa Fakultas Saintek dan lainnya menggunakan Bahasa Inggris. Hal ini merupakan kelebihan yang penting diapresiasi sebagai upaya memberikan semangat bagi mereka agar terus meningkatkan prestasi akademiknya. Dengan adanya hal-hal istimewa tersebut menjadikan UIN Maliki Malang terasa masih tetap menyandang kekuatan inovatif dan dinamikanya, sehingga menjadikan perguruan tinggi Islam ini senantiasa tumbuh dan berkembang. Kekuatan itu harus dipelihara oleh warganya, baik pimpinan, dosen, karyawan, dan juga seluruh mahasiswanya. Manakala kekuatan itu berhasil dipelihara dan dikembangkan, maka tidak mustahil UIN Maliki akan menjadi perguruan tinggi yang dikenal, tidak saja di negerinya sendiri, melainkan juga di dunia yang lebih luas. Wallahu a’lam.

Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"177095873879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui pada hari Sabtu · Komentar ·SukaTidak Suka

16 orang menyukai ini.

Lihat ke-20 komentar

M Taufiq Maulana secara kasat mata agaknya memang istimewa, tetapi secara subtansial belum tentu, karena tak semua wisudawan/ti melalui proses hakikiyah. Sen pukul 1:42

Moh Hadi prof,sya dikaltim.tolong buka juruasan tambang dan geologi agar ahli tambang dan geologos juga ahli agama yang lulus dari uin maliki. Sen pukul 20:12 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Managemen Hati Bagikan 14 November 2009 jam 5:56 Akhir-akhir ini muncul kosakata baru terkait dengan istilah manajemen, yaitu manajemen qolbu. Tambahan kata qolbu di belakang kata manajemen, menggambarkan adanya makna yang lebih halus, sejuk atau teduh. Rasa-rasanya, sebutan manajemen qolbu berbeda dengan manajemen pada umumnya. Manajemen qolbu dengan ciri-cirinya tersebut, menjadikan manajemen lainnya, atau manajemen yang tidak diikuti kata qolbu, seolah-olah memiliki arti berbeda, yaitu memanage yang hanya mendasarkan akal atau rasio, atau selanjutnya disebut manajemen rasional atau manajemen professional. Jika managemen rational dikembangkan dengan menggunakan piranti akal, maka manajemen qolbu dikembangkan dengan menggunakan dasar penglihatan mata hati atau qolb. Saya lebih menyukai menggunakan istilah hati daripada kata qolb. Memang, kedua-duanya memiliki arti sama. Bedanya, qolb diambil dari Bahasa Arab, sedang hati dari bahasa Indonesia. Bagi saya, kata manajemen lebih tepat dirangkai dengan kata hati. Pilihan ini sesungguhnya hanya terkait dengan rasa. Secara subyektif, ketika berbicara dengan Bahasa Indonesia, saya lebih memilih istilah hati daripada kata qolb. Tatkala berbicara manajemen rasional dan manajemen hati, maka muncul pertanyaan, apa yang membedakan antara keduanya. Manajemen rasional adalah cara mengatur orang dengan mendasarkan pada pertimbangan rasio, untuk mendapatkan hasil yang lebih efisien dan efektif. Semua hasil itu bisa diukur menurut perhitungan rasio atau akal sehat. Dengan cara seperti itu maka semua pihak harus mau menerimanya, karena hasilnya bisa dipertanggung-jawabkan secara jelas. Namun apakah semua itu menghasilkan rasa adil dan ikhlas, jawabnya belum tentu. Lalu bagaimana dengan manajemen hati. Manajemen hati, dalam

pengertian hati yang bersih, maka dalam mengatur segala sesuatu mendasarkan pada pertimbangan hati. Semua hal yang terkait dengan kegiatan mengatur, menata dan mengurus orang selalu mendasarkan pada pertimbangan hati nurani. Kata nurani menggambarkan hati sehat, sehingga membedakan dengan hati yang sakit, apalagi juga hati yang mati. Manajemen hati tidak cukup hanya dengan menggunakan pertimbangan rasio belaka. Sebab dengan pertimbangan rasio, sesuatu yang disebut adil dan jujur, seringkali juga memiliki makna ganda, tergantung dari siapa yang melihatnya. Sesuatu keputusan jika hanya diambil dengan pertimbangan rasio, maka akan mendapatkan hasil yang kadang kurang memenuhi rasa adil dan jujur. Suatu keputusan disebut rasional selalu terkait dengan siapa yang memandangnya. Seseorang menganggap sesuatu sebagai telah rasional hanya karena yang bersangkutan telah mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, pihak lain menganggap tidak demikian, karena melihat dari sisi kepentingannya. Seorang pegawai rendahan harus menerima gaji berapapun, karena oleh atasannya dipandang telah sesuai dengan jenis pekerjaannya. Besar atau kecilnya gaji, jika mendasarkan pada pertimbangan rasio atau akal, maka pihak yang mengatur akan mendapatkan untung yang terbanyak. Mereka yang diatur harus puas dengan bagian yang ditentukan. Cara ini dianggap rasional dan masuk akal. Sebaliknya, manajemen hati nurani tidak demikian, selalu mempertimbangkan keadilan, kejujuran, kebersamaan, dan keikhlasan. Sebagai contoh sederhana tentang manajemen rasional dan profesional, dapat kita lihat misalnya dalam penggajian beberapa jenis jabatan di negeri ini. Seorang anggota DPR, ------kabarnya, digaji tidak kurang 60 juta setiap bulan. Sementara seorang guru atau pegawai biasa, yang sehari-hari harus sama-sama banting tulang hanya digaji sekitar 3 juta sebulan. Hal itu hampir sama dengan dosen dan bahkan guru besar di perguruan tinggi. Penentuan imbalan seperti ini dianggap rasional. Hal itu karena dosen dan bahkan Guru Besar tidak menentukan anggaran Negara. Hal itu berbeda dengan posisi DPR. Anggaran Negara tidak bisa disahkan tanpa persetujuan para wakil rakyat itu. Sedangkan guru, pegawai, termasuk Guru Besar sekalipun harus bekerja sehari-hari, membimbing mahasiswa di ruang kuliah dan di laboratorium, dengan gaji sebesar itu harus diterimanya. Penentuan gaji yang timpang seperti itu dipandang telah mendasarkan pada

prinsip-prinsip rasional dan professional. Perbandingan yang timpang itu tidak saja terjadi antara anggota DPR, guru, atau pegawai biasa, melainkan juga terhadap sama-sama pegawai negeri yang bertugas di tempat yang berbeda. Gaji pegawai negeri yang bekerja sebagai guru, atau pegawai kantor di pemerintah daerah akan berbeda dengan pegawai di departemen keuangan misalnya. Apalagi bagi mereka yang bekerja di KPK. Saya pernah mendengar, pimpinan KPK setiap bulannya menerima gaji puluhan juta, sedangkan pimpinan lembaga pendidikan, misalnya hanya menerima tidak lebih dari 5 % saja dari tunjangan pimpinan KPK. Perbedaan itu dirasakan sangat menyolok, tetapi itulah yang sementara ini disebut sebagai telah memenuhi ukuran-ukuran rasional dan professional. Selanjutnya, bagaimana halnya dengan manajemen yang menggunakan ukuran-ukuran hati nurani, apakah juga seperti itu. Hati yang bersih dan sehat selalu cenderung mengajak pada terwujudnya keadilan, kejujuran, kebersamaan, peduli, tenggang rasa, apresiatif dan sejenisnya. Hati ingin selalu mengajak pada kebersamaan, kepantasan, dan kesetaraan. Hati yang bersih dan sehat mengajak untuk saling membagi kasih sayang, menghargai, tolong menolong dan bekerja sama. Hati nurani tidak mau melihat kesengsaraan orang lain, sementara dirinya berlebih. Hati yang bersih dan sehat juga tidak mau melihat orang lain sengsara dan menderita, sementara dirinya berlebih dan bahagia. Sebaliknya, hati nurani selalu menghendaki agar orang lain beruntung, bergembira, tertawa dan bahagia. Manajemen rasional, karena menggunakan akal, ------seringkali disengaja atau tidak, lalu kata itu diplesetkan menjadi akal-akalan. Artinya, keputusan itu hanya masuk diakal orang yang mengatur dan menentukan. Sebaliknya, bisa jadi sangat sulit diterima oleh mereka yang diatur atau yang menggantungkan diri kepada pihak yang mengaturnya itu. Berbeda dengan manajemen hati yang sehat, maka pengambil keputusan harus hati-hati, agar jangan sampai keputusannya menjadikan banyak orang merasa tidak diberlakukan secara adil dan jujur. Akhirnya, manajemen hati dapat diartikan sebagai sebuah cara dalam mengatur orang dengan selalu menggunakan pertimbangan hati yang

sehat, sehingga diperoleh rasa keadilan, kejujuran, kebersamaan, sehingga dihasilkan suasana ikhlas dan damai bagi semua pihak. Penggunaan hati dalam mengambil keputusan tidak berarti sama sekali mengabaikan akal. Dengan menyebut kata hati, maka secara otomatis sudah melibatkan akal atau rasio. Berbeda hal itu jika hanya menggunakan akal, maka belum tentu suara hati didengarkan. Kerja akal atau rasio harus dibimbing oleh hati yang sehat. Akal yang selalu dibimbing oleh hati yang sehat, -------hati yang selalu mengacu pada petunjuk kitab suci, maka itulah yang dalam tulisan ini disebut sebagai manajemen hati. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"176345028879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui hari Jumat · Komentar ·SukaTidak Suka

11 orang menyukai ini.

Lihat ke-12 komentar

Taufiq El-Rachman Rasul bersabda: Istafti Qolbaka, mintalah fatwa pada hatimu. Itulah kata kunci manejemen hati. 14 November jam 21:48

Ahmad Qusyairi Semoga semua kegiatan yang bersifat kajian Tasawwuf seperti Manajemen Qolbu dll atau Training yang berbasis Spiritual seperti ESQ 165 dll atau Majelis Ta'lim yang lain akan membawa pengaruh positif

untuk Membangun manusia Indonesia menjadi manusia yang bertakwa,jujur,tanggungjawab dan berakhlak yang karimah dalam segala aspek kehidupan,pekerjaan dan ibadahnya amin.... 14 November jam 22:08 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Menang Tanpa Mengalahkan Bagikan 13 November 2009 jam 8:15 Istilah menang dan kalah biasanya terkait dengan perlombaan, permainan, perang, perselisihan, pertengkaran, dan lain-lain serupa itu. Pemenang atau pihak yang kalah dalam perlombaan atau pertandingan biasanya dengan mudah diterima. Karena dalam perlombaan selalu ada aturan, tata cara, dan atau kode etiknya. Selain itu dalam perlombaan selalu ditunjuk seorang wasit yang memimpinnya. Bahkan dalam perlombaan pada tingkat tertentu, masih dilengkapi pula dengan pengawas pertandingan. Maka, dalam perlombaan, pihak yang kalah akan segera menerima kekalahannya. Istilah yang mirip dengan pertandingan adalah permainan. Misalnya, permainan kartu, permainan sepak bola anak-anak di kampung dan lain-lain. Sekalipun sederhana, dalam permainan itu selalu ada aturan main atau semacam kode etik yang disepakati. Dal;am bermain semua pihak berpegang pada aturan main itu. Jika seseorang suka menyalahi aturan main itu, maka dalam kesempatan lain, yang bersangkutan tidak akan diikutkan. Orang tersebut akan disisihkan dari komunitas itu, karena dikenal nakal, suka melanggar aturan main. Seseorang yang sering melanggar aturan, maka akan disihkan dari kelompoknya.

Hal yang agaknya berbeda dengan itu adalah perang. Dalam peperangan, status sebagai pemenangannya diperoleh dari pihak yang kalah. Pihak yang kalah jika sudah merasa tidak mampu lagi melanjutkan perlawanan, akan segera menyerah dan mengakui kekalahannya. Jika di antara yang terlibat dalam peperang tidak mampu memberikan perlawanan, maka mereka disebut sebagai pihak kalah perang. Dalam peperangan, tidak sebagaimana dalam pertandingan, tidak diperlukan wasit, yang justru ada biasanya adalah para pembela. Berbeda lagi dengan beberapa istilah tersebut di muka adalah pertengkaran. Dalam pertengkaran pun semua pihak ingin mendapatkan kemenangan. Mereka berebut kemenangan dan tidak ada yang mau merasa kalah. Dalam pertengkaran tidak ada kode etik dan bahkan juga tidak ada wasit. Karena itu pertengkaran biasanya memerlukan waktu lama. Kalaupun berhenti, sesungguhnya hanya sementara. Suatu ketika pertengkaran itu akan muncul lagi. Pertengkaran tidak seberbahaya perang, akan tetapi juga membawa resiko, yang kadang tidak kecil. Apalagi pertengkaran itu terjadi di antara kelompok besar. Masing-masing pihak memiliki pendukung, dan semuanya menginginkan kemenangan. Jarang sekali pertengkaran berjalan obyektif. Pertengkaran atau perselisihan selalu diwarnai oleh subyektifitas. Emosi selalu mewarnai dalam setiap pertengkaran. Karena itulah sesungguhnya pertengkaran juga penuh resiko, berdurasi panjang, dan bisa jadi tidak mudah diselesaikan. Pertengkaran biasanya tidak sederhana, hanya berebut kemenangan. Lebih dari itu selalu diwarnai atau dimaksudkan sebagai upaya menjaga harga diri, gengsi, prestise, martabat, dan lain-lain. Orang tidak mau disebut kalah dalam bertengkar. Karena jika dianggap kalah maka gengsi, prestise, dan harga dirinya dianggap turun. Orang kalah pun biasanya tidak mau disebut kalah. Bahkan orang salah pun sesungguhnya juga tidak mau disebut salah. Semua orang menghendaki disebut sebagai orang baik, unggul, orang benar, orang jujur, orang adil, dan seterusnya. Oleh karena itulah Ronggo Warsito, seorang Pujangga Jawa yang cukup terkenal pernah mengatakan bahwa semestinya setiap orang mampu

menjaga orang, lain dengan mengatakan “menang tanpo ngasorake”. Seseorang tidak hanya dituntut berhasil menjaga dirinya sendiri, melainkan juga diharapkan mampu menjaga pihak lain. Semogalah perselisihan antara KPK, Polisi, Kejaksaan dan lain-lain yang terlibat, berhasil mengakhiri persoalannya dengan kalimat yang indah, yaitu menang tanpa mengalahkan. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"175697938879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui hari Kamis lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

20 orang menyukai ini.

Lihat ke-23 komentar

Ahmad Qusyairi '' MENANG TANPA MENGALAHKAN '' saya lebih suka semoga pihak yang terlibat masalah tersebut POLRI,KEJAKSAA dan KPK siapapun itu kalai terbukti salah bisa LEGOWO ORA ONO DENDAM... 14 November jam 0:40

Sayyid Sukardi Kebatilan tetap harus dikalahkan, dan al haq itu harus diperjuangkan sekalipun harus mengorbankan harta dan nyawa ... Kita bangsa indonesia khususnya ummat Islam harus bersatu untuk mengalahkan dan menghancurkan segala bentuk kebatilan apalagi kebatilan tersebut sangat berdampak pada kemaslahatan ummat

14 November jam 7:40 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Islam Galak Bagikan 12 November 2009 jam 7:46 Akhir-akhir ini saya sering mendengar sebutan Islam dirangkaikan dengan kata galak. Istilah Islam foundamentalis atau istilah Islam garis keras sudah lama terdengar. Tetapi istilah Islam galak baru muncul dan saya dengar pada akhir-akhir ini saja. Dulu, ketika orang menyebut kata Islam maka yang dimaksudkan adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., yang kini dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia. Identitas tambahan yang beraneka ragam tersebut tidak pernah terdengar. Jika ada, adalah kategori yang dimunculkan oleh Clifford Geertz, dengan menyebut ada Islam abangan dan Islam santri. Sebutan sebagai Islam galak biasanya dialamatkan kepada orangorang Islam yang menyampaikan dakwahnya secara tegas, bersifat hitam putih, kurang adaptif dengan situasi yang sedang hidup dan berkembang di tengah masyarakat yang bersifat majemuk. Oleh karena itu maka kadangkala orang juga menyebut mereka sebagai kelompok garis keras. Sebutan galak diberikan kepada kelompok Islam itu, karena dalam menyampaikan ayat-ayat al Qur’an seringkali dilakukan secara fulgar atau tegas. Tentu cara yang dipilihnya itu juga beralasan. Misalnya, mungkin mereka mengira bahwa dengan cara itu orang segera tertarik dan mengikuti seruan itu. Padahal kadang bisa justru sebaliknya,

karena berlawanan dengan paham yang diikuti sebelumnya, maka secara spontan malah mendapatkan resistensi atau penolakan. Bahkan, akhirnya memunculkan istilah Islam galak itu. Sebagai pembeda dengan kelompok Islam galak adalah Islam lunak, lembut, atau disebut sebagai Islam dengan cultural. Islam seperti ini tampil secara adaptif dengan kondisi masyarakatnya. Islam ditampilkan dalam wajah yang santun, lembut, menggembirakan, menyejukkan dan penuh dengan kedamaian. Namun juga tidak berarti bahwa Islam garis ini toleran terhadap hal yang semestinya dilarang, dan sebaliknya juga meninggalkan hal yang seharusnya dijalani hanya sebatas beradaptasi dengan lingkungan. Bukan seperti itu maknanya. Islam cultural mencoba untuk memahami orang lain, atau penganut agama lain sebagaimana adanya. Yakni mereka tidak beragama Islam dipahami karena memang selama itu tidak mendapatkan informasi, tradisi dan kebiasaan Islam. Mereka memeluk agamnya itu, karena selama hidupnya hanya agama itu yang didapatkannya. Sama dengan mereka yang beragama Islam, sejak kecil, ajaran yang diperoleh serta lingkungannya membawa kepada tradisi Islam. Oleh karena itu, tatkala bersentuhan dengan mereka dan bahkan memperkenalkan Islam terhadap mereka, tidak akan mungkin cepat berhasil jika menggunakan pendekatan kekerasan itu. Hasil yang diraih justru sebaliknya, yaitu Islam dianggap keras dan bahkan galak itu. Nabi Muhammad sendiri lewat beragai riwayat dalam menyampaikan Islam melalui tahap demi tahap. Ajaran Islam yang diterima di Makkah berbeda dengan ayat-ayat yang diterima dan disampaikan ketika utusan Allah ini sudah berada di Madinah. Ketika masih di Makkah, Rasul lebih banyak memperkenalkan atau menyampaikan ayat-ayat yang bernuansa tauhid. Di fase awal ini, Rasulullah dengan sifatnya yang disebut siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah menyampaikan ajaran yang dibawanya. Berbekalkan sebutan al amien yang artinya dapat dipercaya dan denan akhlaknya yang mulia siapapun diperkenalkan dengan Islam. Usaha itu tentu tidak segera berhasil. Resistensi atau bahkan perlawanan dari para penentangnya selalu dihadapi. Tetapi tidak pernah didapat keterangan bahwa Nabi dianggap sebagai pembawa ajaran yang galak dan keras. Nabi tatkala menyampaikan ajarannya

justru mendapatkan tantangan dan sikap-sikap keras dari mereka yang menentangnya. Artinya, sikap keras justru ditunjukkan oleh penentang Nabi. Mereka melawan dan tidak kompromi dengan Nabi, karena kepentingan mereka terganggu. Kepentingan itu misalnya terkait dengan kehidupan social, eknonomi, politik, maupun lainnya. Sekalipun yang dibawa itu adalah ajaran dari Tuhan yang disampaikan langsung melalui Malaikat Jibril, Nabi berusaha tidak melawan kepada siapa pun yang memusuhinya. Nabi justru mengambil sikap menyingkir dan bahkan berhijrah tatkala keadaan sudah tidak mungkin dihadapinya. Bahkan dalam berbagai riwayat, Nabi pernah dikejarkejar, dianiaya, dilempari batu, tetapi tidak membalasnya dan bahkan justru sebaliknya, mendoakan orang yang menganaiaya itu agar segera mendapat petunjuk dari Allah swt. Nabi memahami, bahwa para pengganggu itu, melakukan hal itu karen a didasarkan oleh kebodohan atau ketidak-tahuannya saja. Gambaran singkat ini menunjukkan bahwa Islam sejak awal datang, di bawa oleh Nabi bukan menggambarkan wajah keras dan apalagi galak. Nabi membawakan berita gembira dan bahkan mengenalkan kepada umat tentang sifat-sifat Allah Yang Mulia, misalnya Yang Maha Pengasil lagi Maha Penyayang, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Pemberi, Yang Maha Pemberi Pertolongan dan sifat-sifat mulia lainnya. Memperhatikan riwayat hidup Nabi dan cara-cara menyampaikan dakwahnya, maka sesungguhnya dapat ditangkap bahwa Islam menjadi diterima dan berkembang luas ke seluruh dunia ini karena lebih banyak disampaikan dengan cara-cara damai. Islam dalam sejarahnya tidak pernah disebut sebagai agama yang keras dan apalagi terkesan galak. Sebutan itu muncul, mungkin dari adanya orang-orang yang kurang memperhatikan bagaimana Nabi sendiri dalam menyampaikan Islam dengan lebut, sejuk, dan penuh kedamaian. Nabi dalam menyampaikan dakwahnya tidak pernah memaksa orang agar memeluk agama yang dibawanya. Sebab Nabi juga mendapatkan wahyu bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Apalagi, petunjuk atau hidayah hanyalah Allah sendiri yang memberikan. Sebaliknya, posisi manusia hanya sebagai pemberi peringatan atau kabar gembira.

Atas dasar pemahaman seperti itu memang tidak semestinya, dalam menyampaikan ajaran yang mulia itu menampilankan wajah keras hingga menjadikan Islam disebut sebagai agama yang galak. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"174974358879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui hari Rabu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

8 orang menyukai ini.

Lihat ke-17 komentar

Eko Wandoyo Saat ini saya merasa kaum muslimin seperti anak-anak. dimana seorang anak akan suka jika diberi mainan singa namun jika diberikan singa yang betulan maka dia akan ketakutan, menangis bahkan lari. begitupun dengan Islam disaat kaum muslimin diberikan islam yang sekedar Fikih,->rutinitas ibadah saja menerima, namun saat diberi islam kaffah, islam ... Baca Selengkapnyayang diajarkan Rosululloh mereka malah takut dan mengecap sebagai aliran keras. julukan islam fundamental/ garis keras ini tidak lepas dari campur tangan negara kapitalisme yang dimana mereka takut jika Islam Ideologi itu bangkit. Wallohu a'lam 13 November jam 7:39

Zuliati Rohmah

Mudah-mudahan sebutan itu tidak datang dari sesama orang Islam. Entar jadinya tuding-tudingan, dan orang di luar Islam jadi tepuk tangan dong. Cara dakwah bisa jadi beda-beda, selama dalam koridor yang benar mudah-mudahan diterima sebagai amal shalih, dan jika salah mudah-mudah-mudahan diampuni Allah. Kita semua hanya menduga yang terbenar menurut ... Baca Selengkapnyapemahaman kita, tentu berlandaskan ilmu--Allahlah yang Maha Tahu. kenapa kita nggak anggap itu sebagai keberagaman di antara kita? Jangan-jangan mereka memang yang lebih benar dari pada kita???? 13 November jam 7:52 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Memperingati Hari Pahlawan Bagikan 11 November 2009 jam 7:47 Setiap pada tanggal 10 Nopember bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang juga melakukan hal yang sama, di kampus. Hanya karena sesuatu hal, di antaranya menyesuaikan dengan ketersediaan waktu di antara para undangan, peringatan diselenggarakan tidak tepat waktu, yakni tanggal 10 Nopember 2009, ditunda sehari kemudian menjadi tanggal 11 Nopember 2009. Peringatan hari pahlawan di kampus UIN Maliki Malang, hari ini insya Allah akan dihadiri oleh Menteri Agama dan juga Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Jika pelaksanaan itu kemarin, ------tepat pada tanggal 10 Nopember 2009, maka para pejabat tersebut tidak akan mungkin hadir, karena mereka akan memperingatati di tempatnya

masing-masing. Menteri Agama memperingati hari pahlawan itu di Jakarta beserta Presiden dan pejabat lainnya. Demikian pula Gubernur memimpin upacara peringatan di Gubernuran. Inilah salah satu alasan, peringatan itu di UIN Maliki Malang ditunda pada tanggal 11 Nopember 2009. Peringatan hari pahlawan, apalagi pada saat-saat sekarang, dipandang sangat penting. Selain berdasar pertimbangan suatu rumusan bahwa, bangsa yang besar adalah mereka yang bisa menghormati sejarah para pahlawannya, juga dikaitkan dengan kondisi bangsa pada saat ini. Akhir-akhir ini nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan oleh para pendahulu bangsa ini semakin terasa ditinggalkan banyak orang. Berbagai kehidupan sudah diwarnai oleh suasana transaksional, tak ubahnya kehidupan jual beli di pusat-pusat perbelanjaan. Hubungan-hubungan transaksional antara penjual dan pembeli biasanya terasa harmonis hanya sebatas tatkala terjadi transaksi itu. Akan tetapi, setelah barang dikuasai oleh pembeli dan sebaliknya uang sudah diterimakan pada pihak penjual, maka hubungan itu menjadi putus. Selain itu dalam suasana transaksional, masing-masing pihak selalu menuntut keuntungan lebih. Pihak pembeli ingin mendapatkan harga semurah-murahnya, dan demikian pula sebaliknya, penjual ingin mendapatkan harga setinggi-tingginya. Suasana transaksional semacam itu, bertambah hari semakin terasa mewarnai kehidupan ini. Para pengusaha atau pemimpin perusahaan dan bahkan pejabat negara sekalipun, menginginkan agar gaji dan tunjangan lainnya dinaikkan setinggi-tingginya. Demikian pula rakyat yang masih dalam keadaan menderita dan berkekurangan menginginkan, -----sebagaimana seorang pembeli, agar para pejabat tidak terlalu cepat menaikkan tunjangannya. Rakyat menghendaki agar hubungan antara pejabat dan rakyat tidak terlalu bernuansa transaksional, sebagaimana penjual dan pembeli di pasar-pasar, di mall, atau ditempat-tempat lain. Seharusnya ada kesadaran sejarah, bahwa para pahlawan bangsa ini berhasil meraih cita-cita luhur oleh karena mereka telah berjuang dan sekaligus berkorban. Kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang seperti sekarang ini, diraih atas perjuangan yang dahsyat. Dalam perjuangan itu, mereka telah mengorbankan apa saja

------harta benda, tenaga, keluarga, dan bahkan nyawa sekalipun. Berjuang dan berkorban oleh para pahlawan telah disatukan dalam sebuah tindakan. Hasilnya adalah kemerdekaan seperti yang kita rasakan sekarang ini. Andaikan ketika itu, dikembangkan transaksitransaksi, misalnya berapa gaji atau tunjangan bagi tentara, maka justru tidak akan berangkat ke medan perang. Jika transaksi-transaksi itu dilakukan maka semangat perang mereka akan hilang. Masingmasing akan sibuk menghitung dan bahkan iri atas imbalan atau tunjangan yang tidak akan bisa dibagi secara merata. Pada saat sekarang, kata-kata berjuang itu masih sering terdengar. Hanya sayangnya, seruan perjuangan itu menjadi redup, karena dibarengi dengan diskusi-diskusi atau isu-isu yang terkait dengan kenaikan tunjangan perjuangan. Inilah bedanya antara dahulu dengan sekarang. Jika dahulu perjuangan selalu dikaitkan dengan pengorbanan, maka pada saat sekarang, rupanya nilai itu sudah bergeser. Perjuangan sudah selalu dikaitkan dengan kenaikan tunjangan. Berjuang tidak lagi dibarengi dengan pengorbanan, melainkan dengan besarnya imbalan. Jika dulu semangat berjuang diikuti dengan kesediaan berkorban, sehingga menghasilkan buah yakni kemerdekaan, maka apakah perjuangan yang diikuti oleh semangat mendapatkan keuntungan, sebagaimana yang terjadi pada saat ini akan menghasilkan kemakmuran, maka kita tunggu hasilnya. Sementara ini yang tampak adalah gejala berebut, penyelewengan hukum dan wewenang, termasuk korupsi yang bertambah hari semakin sulit dihentikan. Pada zaman yang semakin modern ini, syah-syah sajalah para pejabat mendapatkan gaji atau tunjangan. Tidak mungkin seorang keluarga pejabat harus menderita, karena ditinggal menunaikan tugas-tugas kedinasannya. Namun berbarengan dengan itu, yang seyogyanya ditampakkan dalam suasana yang masih prihatin seperti sekarang ini adalah ketulusan, keikhlasan, pengabdian, dan dedikasi yang tinggi, berjuang dan bekerja demi rakyat. Pejabat pada level apapun, selalu dituntut untuk ikut merasakan suara hati rakyatnya. Berdasarkan pertimbangan dan atau kenyataan semua itulah maka, UIN Maliki Malang mengumpulkan seluruh warganya, -----dosen, karyawan dan mahasiswa, dan menghadirkan Menteri Agama, Gubernur dan Wakil Gubernur, para pejabat kota dan kabupaten, para

ulama, kyai dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah Jawa Timur, untuk memperingati hari pahlawan itu. Peringatan itu agar tidak terlalu formal, --------sebagaimana upacara pada umumnya, diformat dalam bentuk dzikir bersama. Melalui dzikir bersama ini, selain dipanjatkan doa agar semua para pejuang yang kini telah menjadi pahlawan bangsa ditempatkan oleh Allah pada tempat yang mulia di sisi-Nya. Selain itu, melalui peringatan ini diharapkan agar nilai-nilai luhur para pejuang terdahulu berhasil diwarisi dan ditangkap oleh para penerusnya dengan sempurna. Melalui peringatan itu pula diharapkan agar tumbuh kesadaran, bahwa berjuang harus selalu diikuti oleh pengorbanan. Bangsa Indonesia pada saat ini sesungguhnya juga sedang berjuang, yaitu berjuang mengurangi angka pengangguran, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan dalam berbagai aspek dari bangsa lain yang sudah maju. Dalam berjuang, sebagaimana para pahlawan dulu, selalu menyertainya dengan semangat berkorban. Berjuang tidak boleh tanpa berkorban, apalagi masih juga korupsi, kolusi, nepotisme, dan bentuk-bentuk penyelewenangan lainnya. Berjuang juga tidak sepantasnya dibarengi sibuk berembuk tentang kenaikan tujangan atau fasilitas pribadi lainnya. Maka, dengan peringatan hari pahlawan ini, semogalah berhasil menyadarkan bagi semuanya, bahwa berjuang harus sungguh-sungguh, tulus, ikhlas, dan bahkan ada kesediaan berkorban. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"174235223879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

9 orang menyukai ini.

Lihat ke-7 komentar

Anis 'luminous' Fathona Himda sem0ga ap yg d cita2kan bngsa qt bs twujud,, terimksih pak imam, ap yg bpk tls mnjd insprasi bwt saya,, 11 November jam 20:14

Bang Oemar Sy salut. UIN Malang bisa jadi contoh mengapresiasi cinta dan balas jasa kepada pahlawan dengan kiriman dzikir dan doa...semoga tradisi ini kian bergaung di UIN Maliki tercinta... 12 November jam 23:38 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Koruptor Dan Semut Nabi Sulaiman Bagikan 10 November 2009 jam 4:37 Akhir-akhir ini bukti bahwa orang yang berpendidikan tinggi pun tidak luput dari perbuatan kurupsi semakin nyata. Tidak sulit kita temukan orang yang berpendidikan tinggi tetapi ternyata juga melakukan korupsi. Para pejabat yang menyelewengkan uang negara, mereka itu bukan tidak berpendidikan, bahkan juga berpendidikan tinggi. Rasanya sudah sulit dikatakan bahwa, ------karena bukti yang sudah

sekian banyak, pendidikan bisa mencegah tindak kurupsi. Seolah-olah antara korupsi dan pendidikan tidak terkait. Mereka yang bergelar sarjana, bidang apapun, ternyata ada saja yang melakukan penyimpangan uang negara. Ini membuktikan bahwa pendidikan belum bisa mencegah tindak korupsi itu. Namun tidak berarti bahwa semua orang yang berpendidikan pasti korup. Tidak begitu. Tidak sedikit orang di negeri ini yang masih baik. Mereka itu berpendidikan tinggi atau juga yang tidak berpendidikan cukup, tetapi tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh masyarakat saat sekarang ini. Mereka masih berhasil menjaga kridibilatas, atau kepercayaan yang disandangnya. Hanya saja memang, sebagaimana tulisan saya beberapa hari yang lalu, bahwa untuk mencari orang yang amanah ternyata semakin lama semakin sulit. Beberapa orang pengusaha merasa kerepotan mencari tenaga kerja yang bisa dipercaya. Orang pintar banyak, tetapi mencari yang bisa dipercaya sulitnya bukan main. Apakah tidak amanah itu memang menjadi sifat dasar atau milik manusia pada umumnya. Rasanya hal itu perlu dikaji lebih mendalam. Terasa sekali memang, sangat sedikit orang yang benar-benar dapat dipercaya. Bahkan semut pun dalam suatu kisah, tidak begitu saja bisa mempercayai manusia. Sikap semut yang demikian itu bisa diperoleh melalui kisah Nabi Sulaiman sebagai berikut. Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman yang dikenal mampu berbicara dengan binatang, pernah menginterogasi seekor semut. Binatang kecil ini pada suatu saat ditanya oleh Sulaiman tentang berapa butir gandum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupannya selama setahun. Sengaja Nabi Sulaiman menanyakan hal itu, karena sehari-hari binatang kecil ini tidak henti-hentinya selalu sibuk mencari nafkah. Semut itu dengan rasa takut menjawab, bahwa sesungguhnya dalam setahun ia hanya memerlukan sebutir gandum, dan tidak lebih dari itu. Mendengar jawaban semut itu, segera Nabi Sulaiman menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah botol, lalu botol tersebut ditutupnya rapat-rapat. Botol yang kosong itu selain dimasuki seekor semut, juga diisi sebutir gandum agar dimakan selama setahun.

Setelah genap setahun, botol yang berisi seekor semut dan sebutir gandum tersebut dibuka sendiri oleh Nabi Sulaiman. Ternyata semut tersebut masih bisa bertahan hidup. Hanya saja, Nabi Sulaiman agak kaget, karena sekalipun semut tersebut sudah genap setahun di dalam botol, ternyata masih menyisakan separo dari sebutir gandumnya. Atas kenyataan itu, Nabi Sulaiman menegur semut, dan menganggapnya binatang berukuran kecil itu telah berbohong padanya. Dengan tangkas semut mengelak. Ia sengaja tidak menghabiskan persediaan makanan yang dimiliki, dan berusaha menghematnya. Memang, -----pengakuan ulang semut, biasanya ia menghabiskan sebutir gandum dalam setahun. Tetapi karena ia berada di dalam botol, maka harus menghematnya dan hanya menghabiskan separonya. Strategi itu diambil, karena ia khawatir kalau-kalau Nabi Sulaiman lupa, tidak membuka botol itu dan menjadikannya kehabisan persediaan makanan. Semut berargumen, jika ia berada di luar botol, maka ia tidak khawatir kehabisan makanan. Sekalipun makanan habis, jika ia berada di luar botol, maka semut yakin Tuhan akan segera mencukupi. Tetapi kalau ia berada di dalam botol, maka tidak akan bisa terlalu menggantungkan pada Nabi Sulaiman. Sebab ia tahu bahwa manusia pada umumnya selalu bersifat pelupa dan salah. Karena itu tatkala sedang menghadapi manusia selalu harus hati-hati, tidak terkecuali kepada Nabi Sulaiman sekalipun. Melalui kisah sederhana ini setidak-tidaknya dapat kita ambil dua pelajaran penting. Pertama, ketika menghadapi dua kelompok yang sedang bertikai tidak semestinya terlalu cepat berpihak. Keduanya harus diteliti terlebih dahulu secara saksama. Sebab ternyata, semut saja terhadap Nabi Sulaiman juga curiga, apalagi terhadap seseorang yang bukan nabi. Keduanya harus diteliti dulu lewat saluran yang berkompeten, sehingga ditemukan kesimpulan yang tepat. Kedua, bahwa manusia di mana saja, jika dipaksa oleh keadaan dan memiliki kesempatan atau peluang, maka berkemungkinan melakukan kesalahan, termasuk berkorupsi. Karena itu, tidak selayaknya, seseorang yang belum apa-apa sudah merasa paling bersih dan paling benar. Orang dikatakan benar-benar mampu menahan tidak korupsi,

manakala berpeluang atau memiliki kesempatan, tetapi tetap lulus tidak melakukan kesalahan itu, apalagi sebenarnya ia dalam keadaan membutuhkannya. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"173389463879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

12 orang menyukai ini.

Lihat ke-15 komentar

Kang Rofii seharusnya syarat wajib menjadi pejabat adalah dilihat dr latarbelakangnya, bgmn lingkungan dia bljar dl. jgn hnya d lihat pintarnya saja, tp sjak kecil dia hidup dalm lingkungan kluarga yg slalu dimanja dan foya2, akhirnya ya sprti ini. korupsi,korupsi dan korupsi. mgkin d antara skian syarat untk mnjdi pjbat bs d lihat apa dia dl prna bljar d ... Baca Selengkapnyapondok pesantren, paling tidak dia dl d pondok psantren prna d gmbleng untuk hdup sderhana dan mandiri, shg wktu jd pjbat tdk hny mkir GEDEKNO WETENGE DEWE...!!!! 10 November jam 17:58

Hasan Bisri Sip 11 November jam 2:04

Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Pintu Meraih Sukses Dalam Hidup Bagikan 09 November 2009 jam 7:57 Semua orang menginginkan agar hidupnya sukses. Mereka ingin menjadi orang yang dianggap hebat, baik di bidang pendidikan, ekonomi, status social dan lainnya. Di bidang pendidikan misalnya, mereka menghendaki agar berhasil meraih jenjang pendidikan tertinggi dibanding teman-temannya. Di bidang ekonomi, mereka ingin menjadi kaya, melebihi orang lain. Dan begitu juga dalam status social, mereka ingin menjadi orang terpandang, sebagai tokoh, orang yang didengar pendapatnya dan diikuti perilakunya. Hal serupa juga dicita-citakan oleh mahasiswa. Mereka pada umumnya ingin mendapatkan indeks prestasi tertinggi, lulus dan diwisuda dengan tepat waktu. Selesai kuliah, berharap segera mendapatkan pekerjaan, dihormati orang, dan diposisikan sebagai orang pilihan, pendapatnya didengarkan dan perilakunya dijadikan acuan banyak orang. Harapan seperti itu wajar, dan justru jika tidak memiliki cita-cita seperti itu, malah terasa aneh. Ada orang sebatas cita-cita saja tidak memilikinya. Akan tetapi memang anehnya tidak semua orang mau menempatkan diri pada jalan yang memungkinkannya berhasil meraih cita-cita itu. Orang sukses di bidang apa saja selalu disebabkan oleh karena yang bersangkutan berhasil menempatkan diri pada posisi yang tepat. Jalan menuju sukses harus dilalui bagi orang yang menginginkannya. Tidak akan mungkin seorang menjadi sukses dalam hidupnya, jika mereka

tidak menampatkan diri pada jalan itu. Seorang pedagang menjadi sukses, karena mereka berhasil menyesuaikan diri dengan jalan sukses pada umumnya sebagai seorang pedagang. Seorang petani sukses karena mereka mengolah lahan pertaniannya secara tepat. Mereka berhasil mendapatkan lahan yang subur dan luas, mengolah tanahnya dengan cara yang tepat. Pintar memilih jenis tanaman, bibit unggul, pemupukan dan bahkan hingga memasarkan hasil pertaniannya dan seterusnya. Demikian pula seorang calon mahasiswa, tatkala diterima masuk perguruan tinggi, mereka ingin sukses, kelak menjadi seorang ahli sesuai dengan jurusan yang dipilihnya. Cita-citanya berhasil dibangun. Mereka memiliki imajinasi tentang masa depan yang jelas. Mereka ingin menjadi sarjana yang hebat, tidak sebagaimana sarjana pada umumnya. Dengan pilihan itu, maka mereka akan bisa berbuat untuk kepentingan dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah setiap mahasiswa selalu mengambil sikap seperti itu. Ternyata dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Biasanya, beberapa minggu mengikuti kegiatan pendidikan di kampus, mereka berhasil membangun semangat. Perpustakaan didatangi, buku-buku yang dianggap penting untuk menunjang belajarnya dibeli, jadwal kegiatan disusun secara rapi, dan bahkan teman-teman yang dianggap bisa mendorong keberhasilannya didekati. Namun ternyata, tidak lama kemudian semangat itu kendor. Kuliah dijalani hanya sebatas memenuhi tuntutan formal. Mereka masih datang ke ruang kuliah sebagaimana teman-teman lainnya. Demikian pula, mereka juga mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Tetapi tugas itu hanya dikerjakan sebatas untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hari ke hari, hidup di kampus seperti itu dijalani, tetapi semua itu seperti tidak ada lain kecuali hanya sebatas memenuhi syarat dan rukun hidup di perguruan tinggi. Semangat atau jiwa belajar segera redup. Sedangkan yang tersisa hanyalah sebatas datang ke ruang kuliah, mencatat, mengerjakan tugas, mengikuti ujian, dan akhirnya lulus berhasil mengumpulkan sejumlah sks sebagai syarat dinyatakan lulus menjadi sarjana.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mereka itu telah berada pada jalan menuju sukses yang sebenarnya. Tentu jawabnya tidak sederhana. Jika yang dimaksud sukses hanya sebatas mendapatkan ijazah, maka setelah berhasil mengumpulkan sejumlah sks sebagaimana yang dipersyaratkan, mereka akan diwisuda dan selembar ijazah yang dicita-citakan akan segera diperoleh. Selanjutnya, jika kebetulan ada lowongan penerimaan CPNS, ijazah itu juga bisa digunakan untuk mendaftar dan manakala beruntung lulus, yang bersangkutan akan menjadi pegawai negeri. Pada batas-batas seperti ini, mereka sukses. Akan tetapi, apakah hanya sesederhana itu yang dicita-citakan. Jika yang dicita-citakan lebih dari itu, yaitu menjadi orang yang terpandang melebihi orang lain pada umumnya, maka sudah barang tentu apa yang dijalankan sebagaimana digambarkan di muka masih kurang mencukupi. Sebagai orang yang terpandang maka harus membekali diri dalam berbagai halnya melebihi dari lainnya. Jika orang biasa hanya selalu berpikir untuk dirinya, maka sebagai orang yang memiliki kelebihan harus berpikir bagi orang lain. Jika orang lain pada umumya, masih memerlukan dorongan, maka orang berlebih yang disebut sukses itu justru selalu mendorong orang lain. Seorang yang sukses, karena kelebihan yang dimilikinya itu harus selalu berposisi sebagai pemberi. Mereka harus menempatkan diri sebagai inspirator, motivator, dinamisator, atau kekuatan penggerak bagi lainnya. Dengan cara itu, mereka bukan lagi menjadi orang biasa atau sebagai orang pada umumnya. Orang sukses selalu mampu menempatkan diri, yaitu berada pada jalan atau pintu menuju keberhasilan itu. Posisi itu diraih, karena mereka berhasil membangun jiwa maju dan dinamis, dan dilakukan secara istiqomah. Mereka memiliki keberanian dan tekat untuk meraih cita-citanya itu. Padahal pintu atau jalan itu tidak selalu mudah dilalui, namun tetap dipilih dan dijalaninya. Bahkan berbagai rintangan selalu menghadang, tetapi tidak pernah dijauhi. Bermodalkan keberaniannya itu justru rintangan itu selalu didekati dan disingkirkannya. Hidup sukses memang ada pintu dan jalannya, sedangkan siapa saja yang ingin meraihnya , pintu atau jalan itu harus dilalui. Wallahu a’lam.

Hidup Di Negeri Miskin Orang Amanah

Bagikan 08 November 2009 jam 9:31 Saya mempunyai seorang teman lama yang menyukai wirausaha. Sejak kecil memang cita-citanya itu, menjadi wirausahawan. Dia tidak tertarik dengan status sebagai pegawai negeri atau karyawan. Pegawai negeri atau karyawan, dia lihat hidupnya selalu terikat. Dia tidak mau hidup seperti itu, dia ingin hidup bebas. Berbagai jenis usaha telah ia lakukan, tetapi saya lihat tidak pernah berkembang secara maksimal. Usahanya sebentar maju, tetapi tidak lama kemudian surut. Setiap gagal dalam satu usaha, dia berganti usaha lainnya. Wataknya yang gigih, tidak pernah mau menyerah, dia selalu mencoba berbagai jenis usaha. Pemilik jiwa entrepreneur ini tidak pernah putus asa, gagal dalam satu jenis usaha, berganti pada yang lain. Pada awalnya, dia punya usaha berupa jasa angkutan barang-barang. Beberapa mobil truk dia miliki. Pada awalnya usaha itu dianggap menguntungkan. Usahanya jalan. Para pekerja, baik sopir dan para pembantunya bekerja dengan baik. Dia merasa senang, bisa mendapatkan untung dan sekaligus berhasil menolong orang, telah memberi pekerjaan. Bahkan dengan keuntungannya itu, dia bisa menambah armada, sehingga truknya berjumlah belasan buah. Akan tetapi tidak lama kemudian, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan usahanya itu. Hitung-hitung di akhir tahun, labanya tidak semakin besar, tetapi sebaliknya, mengecil dan bahkan merugi. Setelah dievaluasi, dia menemukan sumber kerugian itu, ialah terletak pada para pekerjanya. Diketahui bahwa biaya perbaikan truk pada setiap bulan selalu meningkat. Ada saja bagian-bagian mobil yang harus diperbaiki, hingga anggaran perbaikan semakin meningkat. Pendapatan selalu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, akibatnya merugi. Setelah diteliti, ternyata diketahui bahwa ada sesuatu yang tidak benar yang dilakukan oleh para pekerjanya. Banyak para sopirnya yang tidak amanah. Pantas mobil selalu harus dibengkelkan, karena beberapa peralatan truk yang asli ditukar dengan yang lain yang

berkualitas murah. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ban truknya saja ternyata ada yang ditukar dengan ban berkualitas rendah, demi mendapatkan keuntungan dari selisih hasil tukarannya itu. Akhirnya, dia lebih memilih menghentikan usaha itu. Jiwa kewirausahaan teman saya tadi tidak pernah padam. Dia bergabung dengan kenalannya, mendirikan usaha di bidang bangunan. Dengan CV yang dimiliki bersama, mereka memborong pekerjaan bangunan perumahan. Awalnya, dia merasa cocok bekerjasama dengan temannya itu. Sekalipun tidak terlalu cepat, usahanya dianggap berkembang. Dia mendapatkan hasil yang cukup dari usahanya itu. Namun sama dengan usaha sebelumnya, setelah berjalan beberapa lama, ternyata CV yang dibangun bersama itu memiliki pinjaman di mana-mana. Piutangnya di beberapa tempat tidak dibayar, akhirnya bangkrut. Selanjutnya, bermodalkan seadanya dengan memanfaatkan ketrampilan isterinya, dia membuka usaha catering dan rumah makan kecil-kecilan. Dikatakan sama dengan usaha-usaha sebelumnya, bisnisnya itu ada untungnya. Tetapi tidak lama kemudian, bangkrut lagi dan bahkan sekarang sudah tutup. Lagi-lagi sumber persoalannya adalah ada pada tenaga kerjanya. Dia menjelaskan bahwa, sekalipun hanya sebagai pekerja kecil, pada awalnya jujur, tetapi lama kelamaan, ternyata tidak amanah, ada saja yang dikorup, termasuk uang belanja bahan masakan. Dari berbagai pengalamannya itu, dia menyimpulkan bahwa untuk membuka usaha bisnis maka hambatan yang paling sulit diatasi adalah mendapatkan orang yang jujur atau amanah. Dia mengatakan bahwa ternyata sangat sedikit orang jujur, dan karena itu sangat sulit mendapatkannya. Orang yang tidak jujur, ------dia katakan, ternyata ada di mana-mana. Mereka itu ada yang berpendidikan tinggi, menjadi pejabat, tetapi juga sebaliknya, berpendidikan rendah pun juga bisa berbuat tidak jujur. Di semua lapisan selalu ada orang yang tidak amanah. Atas dasar pengalaman itu, dia berkesimpulan, bahwa koruptor itu selalu ada di mana-mana. Bahkan, para pembenci korupsi pun jika mereka memerlukan uang dan berpeluang, tidak menutup kemungkinan akan melakukan hal yang sama, yakni juga menjadi

koruptor. Bukti tentang hal itu gampang ditemukan di mana-mana. Kasus pertikaian antara KPK dan Polisi adalah satu di antara sekian banyak bukti tentang hal itu . Dia selanjutnya mengatakan, bahwa inilah beratnya, hidup di negeri yang miskin orang amanah. Usaha apapun menjadi berat dan akhirnya selalu gagal. Teman saya itu, dengan nada pesimis bertanya, apa tidak mungkin melalui pendidikan dan agama, berhasil bisa dibangun orang-orang amanah. Saya mengatakan insya Allah bisa, asal benar caranya dan usaha itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"172084943879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

10 orang menyukai ini.

Lihat ke-11 komentar

Thoriq Sang Panglima Berkuda @istanti W; mohon dikoreksi komen anda, saya sama sekali kurang sependapat dengan anda. maaf, menurut saya orang kalau sudah kuat dasar agamanya haqqul yakin mereka tak akan melakukan korupsi. kalau ada yang melakukan korupsi dari golongan agamawan maka mereka itu bisa dikatakan tidak kuat agamanya. sekali lagi maaf, komen anda harus lebih dipertegas supaya tidak mengundang salah paham. 08 November jam 19:30

Achmad Barik Marzuq

inilah salah satu masalah dan tantangan orang hidup, selama ada interaksi dengan orang lain maka akan muncul berbagai macam permasalahan. Jujur merupakan kata yang sangat mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan,tapi lewat pendidikan dan pelatihan yang benar dan tepat secara istiqomah insya allah bisa dihasilkan generasi muda yang jujur dan amanah 09 November jam 7:37 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Belajar Membaca Keadaan Bagikan 07 November 2009 jam 7:02 Sekalipun ayat pertama kali yang diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca, ternyata tidak semua orang mudah menjalankannya. Memang dalam pengertiannya yang sederhana, membaca tidak sulit. Beberapa bulan saja, orang yang masih buta huruf bisa diajari membaca, dan akhirnya juga bisa melakukannya. Tetapi pengertian membaca di sini, hanya sebatas membaca hurufhuruf atau kalimat demi kalimat. Membaca tidak saja bermakna sesederhana itu, bisa diartikan lebih luas. Dan kiranya, itulah yang seharusnya dilakukan. Membaca dengan makna yang lebih luas, yakni misalnya membaca keadaan atau situasi, kecenderungan, keterkaitan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya, perubahan social, masa depan, dan seterusnya, maka semua itu tidak mudah dilakukan oleh kebanyakan orang. Kemampuan membaca dalam pengertian yang luas itu perlu dilatih dan dibiasakan secara terus menerus.

Orang yang pintar membaca dalam pengertian yang luas, tidak banyak jumlahnya. Namun, ternyata juga bisa dimiliki oleh seseorang tanpa belajar. Kemampuan seperti itu, orang menyebutnya sebagai pembawaan atau pemberian dari Yang Maha Kuasa. Memang, pada kenyataannya ada saja di antara orang-orang tertentu, memiliki kelebihan dari yang lainnya. Tetapi sebaliknya, hal yang lazim atau pada umumnya kemampuan sperti itu harus diperoleh melalui belajar, baik belajar di sekolah formal atau lainnya. Selama ini saya memahami, bahwa seseorang yang sekolah atau bahkan kuliah di perguruan tinggi, pada hakekatnya adalah belajar membaca dalam pengertian luas itu. Biasanya pengertian membaca seperti itu disebut dengan istilah riset atau penelitian. Riset itu pada hakekatnya adalah membaca, yakni membaca sesuatu yang masih belum diketahui, atau masih dianggap pelik, kabur, atau belum jelas. Setelah dibaca atau diriset, maka sesuatu yang belum jelas itu menjadi bisa diketahui, diterangkan, atau dipahami secara gamblang. Sudah barang tentu, pengertian, pemahaman, dan juga kesimpulan yang didapatkan melalui riset tidak pernah dianggap sempurna. Hal itu tergantung, di antaranya dari tingkat kualitas orang yang membacanya. Mungkin karena pembaca masih berada pada tingkat pembelajaran, maka hasilnya juga masih pada taraf sederhana, atau bersifat dangkal. Tetapi, karena periset atau pembacanya sudah diakui keahliannya, atau telah memiliki wawasan, pengalaman, dan kepakaran yang tinggi, maka bisa mendapatkan hasil secara mendalam dan bahkan bacaannya telah dilakukan dari berbagai perspektif. Jika belajar di perguruan tinggi dimaknai seperti itu, maka kegiatan itu menjadi sangat menarik. Seorang mahasiswa ekonomi misalnya, akan belajar bagaimana memahami fenomena ekonomi, mulai dari yang sangat mikro hingga yang bersifat makro. Apalagi, kehidupan ekonomi selalu bersifat dinamis, berubah-ubah, selalu terdapat keterkaiatan antara gejala satu dengan gejala lainnya. Dalam kehidupan ekonomi selalu terdapat persaingan, perebutan, konflik, kerjasama, kesepakatan dan lain-lain. Dalam persaingan terdapat mereka yang kuat kemudian menang, dan sebaliknya ada yang lemah, hingga akhirnya kalah.

Saya pernah berdiskusi dengan mahasiswa ekonomi. Ketika itu saya menanyakan, kenapa akhir-akhir ini di berbagai kota tumbuh ruko (rumah toko) tetapi tidak banyak yang berkembang. Sebentar saja mereka membuka usaha, tetapi segera berhenti dari usahanya itu. Mahasiswa fakultas ekonomi itu segera menjelaskan, bahwa keadaan itu disebabkan oleh karena penawaran pasar kredit sepeda motor sedemikian mudahnya. Masyarakat klas menengah ke bawah, akhirnya ramai-ramai memanfaatkan fasilitas itu. Selanjutnya, saya menanyakan apa hubungan antara Ruko yang tidak berkembang dengan kredit sepeda motor. Mahasiswa ekonomi segera menjelaskan, bahwa penghasilan masyarakat setiap bulannya setelah dikurangi biaya hidup umumnya hanya cukup untuk membayar kredit sepeda motor. Akibatnya, mereka tidak akan berbelanja ke ruko-ruko baru itu. Sehingga kemudian menyebabkan pasar menjadi sepi dan akhirnya Ruko pun tutup. Contoh lainnya, saya pernah berdiskusi dengan mahasiswa fakultas pendidikan tentang Ujian Nasional yang selalu bermasalah. Mahasiswa tersebut ternyata mampu membaca fenomena pendidikan. Ia menjelaskan bahwa selama ujian nasional masih dikaitkan dengan kekuasaan, prestise, jabatan dan lain-lain, maka hasilnya akan seperti itu. Evaluasi pendidikan yang semestinya dijalankan secara murni untuk kepentingan pendidikan, tetapi setelah kemudian diberi muatan fungsi lainnya, maka terjadi rekayasa, manipulasi dan lainnya, hingga tujuan evaluasi pendidikan yang sebenarnya tidak bisa diraih. Dua contoh tersebut menggambarkan bahwa mahasiswa tersebut telah memiliki kemampuan membaca di bidangnya masing-masing. Kemampuan membaca seperti itu tidak gampang dimiliki oleh semua orang. Mahasiswa hingga berhasil menjawab persoalan itu secara tangkas, karena mereka telah memiliki perhatian yang mendalam terhadap bidang itu, memiliki ketajaman pikiran, sensitivitas, obyektivitas dan informasi-informasi lainnya, termasuk juga bekal wawasan sosial. Tatkala belajar di perguruan tinggi hingga berhasil lulus, mahasiswa melakukan kegiatan seperti contoh itu, maka rasanya menjadi aneh, jika setelah menjadi sarjana mereka kebingungan terhadap apa yang

harus dikerjakan. Bukankah selama itu, mereka telah belajar membaca berbagai keadaan, fenomena, peluang-peluang, prinsip-prinsip di bidangnya masing-masing dalam perspektif yang luas. Selama di kampus, mereka disediakan perpustakaan, laboratorium, dan tidak terkecuali para dosen yang setiap waktu bisa ditanya dan diajak berdiskusi, maka fasilitas itu semua semestinya memanfaatkan, hingga kemudian mereka berhasil memiliki kemampuan yang tangguh untuk membaca berbagai peluang itu. Tetapi pada kenyataannya, justru kebingungan itu yang terjadi. Maka, sesungguhnya ada sesuatu yang keliru selama ini dalam belajar di perguruan tinggi. Banyak orang belajar di perguruan tinggi, hanya sebatas mengikuti kegiatan rutin di ruang kelas, mendengar, mencatat, pulang, dan nanti pada waktunya mengikuti ujian akhir dan lulus. Jika demikian itu yang dilakukan, maka artinya tidak ada kesadaran dan usaha-usaha untuk memaksa diri, melakukan apa yang disebut sebagai belajar membaca itu. Sehingga wajar, jika setelah lulus menjadi sarjana pun, mereka masih kebingungan. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"171328843879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

6 orang menyukai ini.

Lihat ke-13 komentar

Muhammad Syafieh Hanya orang-orang tertentulah yang dapat membaca kekusaan Allah. Padahal lautan, langit, bumi, dan beserta isinya ditundukkan dan diperintahkan oleh Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Namun hanya sedikit orang yang mampu membaca tandatanda-Nya. hanya ulul albab yang mampu membacanya. Lalu siapa

ulul Albab itu? mengapa justru orang-orang diluar kita yang mampu membaca Sunnatullah itu? dimana kita ? 07 November jam 12:54

Dzawis Siyadah Nabi sebagai sosok yang cerdas ja bingung waktu pertama kali dapet wahyu itu, apalagi kita sebagai manusia biasa. jadi wajarlah kalau kita belum bisa 'membaca'. Tu tadi salah satu ungkapan orang-orang yang psimis. 07 November jam 20:08 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Membaca Suara Batin Rakyat Bagikan 06 November 2009 jam 7:39 Ada tugas berat lagi bagi setiap pemimpin, yaitu kemampuan membaca suara batin mereka yang sedang dipimpinnya. Suara batin tidak sama dengan bisikan nafsu. Hal yang kedua ini, siapapun bisa membacanya. Nafsu atau keinginan bagi semua orang biasanya sama, jumlah dan macamnya tidak terbatas, karena itu mudah dibacanya. Nafsu atau keinginan ini tidak harus dipenuhi oleh setiap pemimpin. Bahkan seorang pemimpin harus mampu membatasi, mengarahkan dan atau mengendalikannya.

Suara batin atau mungkin orang menyebutnya dengan istilah suara hati, hanya bisa dibaca oleh hati dan bukan sebatas kedua mata sang pemimpin. Suara batin biasanya lembut dan bersih. Ketajaman suara batin tidak sama dengan kekuatan pikiran. Jika kekuatan pikiran bisa dipertajam melalui pelatihan di lembaga pendidikan, maka ketajaman suara batin tidak selalu bisa diperoleh dari tempat itu. Suara batin dimiliki oleh siapa saja. Hanya memang, suara itu kemudian bisa tetap terang dan jernih, sedang-sedang saja, tetapi juga sebaliknya menjadi gelap atau tumpul. Agar suara batin bisa tetap bersih dan jernih, maka harus selalu dipelihara dari berbagai kotoran yang selalu datang dan mengganggu. Memelihara suara batin sesungguhnya tidak sulit, ialah dengan cara menjaga komunikasi dengan Dzat Yang Maha Suci dan selalu melakukan kebaikan. Semakin jauh seseorang berkomunikasi dengan Dzat Yang Maha Suci, apalagi kemudian berbalik hanya sebatas mengandalkan kekuatan nalarnya, maka semakin lama ia akan semakin tidak mampu menggunakan suara batinnya itu. Suara batin yang bersih dan suci akan digantikan dengan kekuatan nalar yang lebih dekat dengan nafsunya. Komunikasi dengan Dzat Yang Maha Suci bisa dilakukan dengan cara mudah, yakni selalu ingat pada-Nya. Setiap menjalankan sesuatu, selalu memulainya dengan atas nama sifat kasih sayang-Nya, dijalankan dengan ikhlas, sabar, istiqomah, banyak bersyukur dan bertawakkal. Sedangkan yang kedua ialah dengan selalu berusaha berdekat-dekat dengan suara hati sesama makhluknya. Semua makhluk memiliki suara hati yang sama. Saling mengenal dan membaca suara hati yang jernih dan halus itu, maka akan menghasilkan suara hati yang jernih pula. Hati yang bersih dan suci membutuhkan berkomunikasi dengan dengan hati yang bersih. Sebagai wujut komunikasi antar suara hati yang bersih, adalah lahirnya kesenangan untuk selalu menggembirakan, menguntungkan, membahagiakan, dan menyelamatkan orang lain. Suasana itu lazim disebut sebagai amal sholeh. Suara batin seseorang, apakah masih bersih atau sebaliknya sudah gelap, sesungguhnya secara sederhana bisa dibaca dengan mudah.

Tatkala seseorang mampu ikut merasakan penderitaan orang lain, maka orang tersebut artinya, masih memiliki suara batin yang bersih. Jika seseorang, tatkala sedang melewati lokasi semburan lumpur, Sidoarjo, menyaksikan penderitaan korban itu, lalu ternyata tidak tergerak hatinya atau setidak-tidaknya tidak merasa iba, maka artinya suara batin yang bersangkutan sudah tidak bisa berbicara. Sebaliknya, bagi yang memiliki suara batin bersih, maka tatkala melihat penderitaan itu, mereka akan merasa ikut menderita, dan jika mampu, akan segera ikut meringankan beban penderitaan itu. Suara batin selalu menghendaki adanya kejujuran, keadilan, obyektivitas, kepantasan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Suara batin tidak mau dengan suasana ribut-ribut saling menjatuhkan dan mencelakakan, yang ujung-ujungnya hanya akan membuahkan penderitaan banyak orang. Suara batin selalu menghendaki suasana munculnya saling menghormati dan menghargai, saling kasih sayang, hingga melahirkan saling tolong menolong antar sesama. Saya yakin, itulah sesungguhnya suara batin rakyat yang seharusnya berhasil dibaca oleh para pemimpinnya. Wallahu a’lam Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"170640993879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

8 orang menyukai ini.

Lihat ke-22 komentar

Rezad Molady pemimpin yang baik yang selalu berpedoman pada ayat al-qur'an 07 November jam 1:17

Muhammad Faiex's menurut saya..... pemimpin yang baik itu seperti Ibu yang memiliki bayi..... dikala bayinya menangis pasti sang Ibu tergerak untuk mendiamkan sang bayi....... seorang pemimpinlah yang seharusnya memiliki sikap bagaikan seorang Ibu contoh nya Pemerintah...... kala Rakyat sedang menjerit-jerit tentang problema yang ada di masyarakat, maka segeralah bergerak....... agar masyarakat tidak menjerit-jerit kembali............. 07 November jam 2:08 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Melihat dan Membaca Bagikan 05 November 2009 jam 7:06 Dua kata, yakni membaca dan melihat terasa agak mirip artinya. Tetapi di antara keduanya sesungguhnya memang berbeda. Orang melihat sesuatu tetapi belum tentu membacanya. Dengan melihat seseorang menjadi tahu, tetapi belum tentu mengerti, dan apalagi memahami apa yang dilihatnya. Aktivitas membaca tidak sebagaimana halnya melihat, di sana ada upaya untuk tahu, mengerti, dan bahkan memahaminya.

Seseorang pernah melihat gajah, tetapi belum tentu ia mengerti dan paham tentang gajah yang dilihatnya itu. Anak kecil yang belum sekolah bisa melihat tulisan dalam lembaran-lembaran buku. Tetapi, ia tidak bisa membacanya. Melihat bisa dilakukan oleh siapapun, asalkan memiliki mata yang normal. Tetapi membaca tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang telah belajar saja yang bisa melakukannya. Masing-masing orang ternyata juga memiliki kemampuan membaca yang berbeda-beda. Membaca memerlukan alat, piranti, atau bekal kemampuan tertentu. Sebtas agar bisa melihat benda-benda yang sangat kecil atau benda yang tempatnya jauh, maka memerlukan alat, yaitu kaca mata dan bahkan juga alat pembesar atau microscup. Namun begitu belum tentu, dengan alat itu seseorang bisa membacanya. Membaca tidak semudah melihat. Lebih sulit lagi adalah membaca fenomena social atau gejala-gejala social. Hal itu memerlukan kecerdasan dan bahkan juga alat bantu yang disebut dengan teori social. Orang-orang yang telah lama belajar sosiologi, psikologi, sejarah, antropologi biasanya memiliki kemampuan membaca kehidupan masyarakat secara lebih mendalam. Tanpa kemampuan yang cukup dan berbekal teori social, seseorang bisa saja melihat masyarakat, tetapi belum tentu berhasil memahaminya. Berangkat dari diskripsi tersebut, maka ternyata membaca memang tidak mudah. Membaca tidak sebatas melihat. Aktivitas itu memerlukan bekal kemampuan dan alat-alat yang diperlukan agar hasil bacaannya menjadi tepat. Lebih dari itu, membaca akan menjadi lebih sulit, jika apa yang dibaca adalah sesuatu yang tidak kelihatan, misalnya membaca tanda-tanda zaman, membaca suara hati masyarakat, atau bahkan membaca sesuatu yang belum terjadi. Karena sulitnya pekerjaan membaca itu, maka seseorang bisa saja datang dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap mampu membaca. Orang-orang yang dianggap mampu itu, bisa jadi adalah seorang ilmuwan, kyai atau ulama, dukun atau tukang ramal. Namun dalam dunia yang semakin modern, jika ada orang pergi ke dukun atau tukang ramal, maka akan dianggap ketinggalan zaman. Namun pada kenyataannya, orang desa, atau bahkan orang kota sekalipun yang

lagi bingung, juga ada saja yang datang ke dukun atau tukang ramal itu. Mereka datang untuk meminta tolong agar dibantu membaca tentang sesuatu yang dirasakan penting, sementara ia tidak bisa melakukannya sendiri. Akhirnya tulisan ini sampailah pada maksud yang sebenarnya, mengajak para pembaca memahami terhadap makna ayat pertama kali yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw., yaitu, adalah perintah membaca. Ayat al Qurán yang pertama kali diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca. Bukan sebatas perintah melihat. Membaca lebih sulit daripada sebatas melihat. Karena itulah maka Muhammad, dalam riwayatnya, ketika diperintah oleh Jibril untuk membaca, segera ia menjawabnya : “aku tidak bisa membaca”. Perintah itu diulang, dan kemudian diteruskan dengan kalimat selanjutnya, ialah bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menjadikan. Kalimat selanjutnya itu menjadikan tugas itu lebih berat, atau setidak-tidaknya menjadi lebih selektif, karena harus mengatasnamakan Tuhan. Artinya, bukan sembarang membaca, melainkan membaca atas nama Dzat Yang Menciptakan. Jika kita boleh berimajinasi atas ayat-ayat pertama kali dalam al Qurán yang diturunkan oleh Allah, akan menghasilkan kesimpulan yang sungguh luar biasa. Perintah pertama melalui ayat itu sungguh berat dan mendasar. Muhammad saw., tidak saja diperintah melihat, apalagi hanya membaca huruf-huruf, tetapi lebih dari itu adalah membaca dengan mengatas namakan Tuhan. Membaca untuk menghasilkan pengetahuan yang benar adalah jenis pekerjaan yang tidak mudah, yakni memerlukan alat bantu ialah kejujuran, keadilan, dan juga kecerdasan. Selanjutnya, membaca dengan mengatas namakan Tuhan, membutuhkan kebersihan, kejernihan, dan bahkan kesucian hati. Seseorang yang lagi membaca, sedangkan tatkala itu hatinya sedang kurang bersih, maka akan menghasilkan pengetahuan atau pemahaman yang keliru atau setidak-tidaknya kurang tepat. Jika pengetahuan yang demikian digunakan sebagai dasar mengambil kebijakan, maka hasilnya akan keliru dan resikonya akan merugikan masyarakat luas yang terkena dampak dari keputusannya itu.

Oleh karena itu belajar membaca apapun -----gejala-gejala alam, social, atau budaya, menjadi sangat penting bagi siapapun. Kegiatan membaca, dan bukan sebatas melihat, merupakan perintah al Qurán yang pertama kali diturunkan. Siapapun harus mampu membaca, apalagi para pemimpin bangsa dan umat. Selain harus mau membaca, pemimpin harus berkualitas tinggi kemampuannya dalam membaca. Sedikit saja pemimpin melakukan kekeliru dalam membaca, maka akan merugikan semua orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, semogalah para pemimpin bangsa ini selalu dikaruniai kekuatan dan kemampuan membaca, sehingga keputusan yang diambil tidak meleset, sehingga bangsa ini tidak saja aman, tetapi juga dinamis dan maju. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"169925688879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

12 orang menyukai ini.

Lihat ke-11 komentar

Ahmed Azzimi Membaca itu tidak harus dengan kedua mata, tetapi yang lebih tajam yaitu membaca dengan hati (intuis), sehingga hasilnya lebih bagus. Oleh karena itu, mari kita tajamkan intuisi ini dengan mendekatkan diri kepada-Nya, setaip saat dan waktu. 06 November jam 5:59

Muhammad Aliyuddin al-ilmu fi al-shudur laa fi as-shutur... 06 November jam 9:32 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Bagikan 04 November 2009 jam 19:10 Sangat mungkin masing-masing perguruan tinggi negeri (PTN) menyelenggarakan ujian masuk mahasiswa baru secara sendiri-sendiri. Tetapi sudah sekian lama, kegiatan seleksi itu dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh PTN. Bahkan beberapa tahun terakhir perguruan tinggi agama yang berada di bawah pembinaan Departemen Agama, ikut bergabung. Banyak keuntungan yang diperoleh melalui kebersamaan itu. Di antaranya, biaya penyelenggaraan bisa ditekan sedemikian rupa sehingga meringankan beban bagi calon mahasiswa baru. Umpama seleksi masuk itu dilakukan secara sendiri-sendiri, apalagi bagi PTN kecil, panitia seleksi tidak akan mungkin tercukupi hanya memungut uang pendaftaran sebesar antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 175.000,Namun akhir-akhir ini muncul wacana untuk mensinkrunkan antara Ujian Nasional dengan seleksi penerimaan mahasiswa baru yang setiap tahun dilaksanakan oleh PTN. Padahal sinkronisasi itu sebenarnya sudah dilakukan. Banyak PTN menerima mahasiswa baru melalui PMDK dan atau sejenisnya. Cara tersebut sebenarnya bisa dimaknai sebagai upaya PTN untuk mempertimbangkan prestasi yang diraih oleh para

siswa SMU/SMK yang ingin masuk ke perguruan tinggi. Bahkan beberapa PTN besar di negeri ini, dengan program tersendiri, dalam penerimaan calon mahasiswa baru telah mempertimbangkan agar adanya pemerataan dari berbagai wilayah di tanah air. Semangat untuk selalu melakukan perubahan dalam rangka mencari yang terbaik adalah tindakan terpuji. Akan tetapi hal yang perlu diingat, ialah jangan sampai cara baru tersebut justru mundur ke belakang. Penerimaan mahasiswa baru yang dikoordinasi secara terpusat, pada awalnya adalah untuk menghindari agar tidak terjadi ketidak-adilan di tengah masyarakat. Dulu dikenal bahwa untuk masuk perguruan tinggi negeri harus membayar mahal, atau agar mudah dan dijamin berhasil harus lewat orang dalam. Bagi mereka yang tidak punya uang cukup atau kenalan, sekalipun pintar maka belum tentu bisa diterima di PTN. Penerimaan mahasiswa baru dengan tersentral secara bersama-sama mengurangi isu yang kurang menyenangkan itu. Hasilnya, PTN dianggap lebih obyektif. Masyarakat merasakan ada keadilan dalam penerimaan mahasiswa baru. Hanya akhir-akhir ini, dengan pertimbangannya masing-masing, PTN mulai membuka jalur penerimaan tersendiri dengan berbagai istilah, misalnya jalur reguler, jalur kerjasama, jalur eksekutif dan lain-lain. Usaha-usaha itu sesungguhnya baik-baik saja, asalkan masih bisa menjaga mutu dan memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat. Ada beberapa keuntungan bagi masyarakat dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri secara bersama-sama. Di antaranya ialah calon mahasiswa baru bisa mendaftar di PTN terdekat dari tempat tinggalnya sekalipun yang bersangkutan memilih perguruan tinggi yang berada di kota lain. Misalnya, calon mahasiswa ITB yang berasal dari Papua tidak harus mendaftar langsung ke kampus itu, tetapi cukup mendaftar dan mengikuti ujian di PTN yang ada di propinsi itu. Selain itu, calon mahasiswa dengan sekali ujian diperbolehkan untuk mengambil pilihan terhadap beberapa perguruan tinggi negeri lainnya. Cara ini akan sangat ekonomis dan memudahkan bagi masyarakat yang mau masuk ke PTN. Selain keuntungan bagi masyarakat, ujian masuk bersama juga menguntungkan bagi PTN sendiri. Dengan menyelenggarakan seleksi

bersama akan terjadi silaturrahmi yang semakin kokoh antar PTN. Selain itu, juga terjadi suasana kebersamaan dan yang tidak kalah pentingnya adalah, sebagai kekuatan untuk menjalin kerjasama dalam rangka meningkatkan mutu yang menjadi tanggung jawab bersama. Keuntungan nyata lainnya, dengan program seleksi bersama itu, PTN secara bersama-sama juga memberikan bantuan beasiswa terhadap calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi tetapi berprestasi di bidang akademik. Tatkala akhir-akhir ini muncul pandangan untuk meninjau ulang Seleksi Bersama Masuk PTN, dan dianggap perlu dicari bentuk baru, maka kiranya harus ditemukan format yang benar-benar menguntungkan semua pihak. Jangan sampai, model baru yang dikembangkan justru menghilangkan kemudahan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat. Memang suara yang muncul akhir-akhir ini, terkait dengan penerimaan mahasiswa baru di PTN, adalah bagaimana agar para siswa tidak terlalu dibebani dengan berbagai ujian, sehingga mereka tidak terlalu lelah atau capek. Jika dipikir secara saksama, keinginan yang muncul akhir-akhir ini yakni menghilangkan SNMPTN, sesungguhnya memang sulit dihindari. Karena kedua-duanya memiliki fungsi yang berbeda. Ujian Nasional lebih memiliki fungsi evaluative, sedangkan SNMPTN lebih bersifat selektif. Bagi PTN atau program studi tertentu yang diminati oleh ribuan calon mahasiswa baru, sehingga tidak akan mungkin menerima seluruh calon mahasiswa yang meminatinya itu, maka seleksi itu tidak akan mungkin dihindari. Cara seleksinya seperti apa, maka terserah saja asalkan dilakukan dengan mudah, adil, dan jujur, serta menguntungkan semua pihak dan juga dari berbagai aspeknya. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"169511723879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui sekitar seminggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

9 orang menyukai ini.

Lihat ke-9 komentar

Zaenal Abidin Semoga pendidikan tambah maju dan terus berbenah. selamatkan manusia dari keterpurukan. 05 November jam 9:31

Leatari Kasih pendidikan indonesia akan semakin menuju pada kemajuan selama masing2 individu dalam dunia pendidikan berjuang bersama 05 November jam 11:50 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Melihat Prospek Ilmu Pertanian Bagikan 04 November 2009 jam 6:02 Setiap mengkuti pertemuan para pimpinan perguruan tinggi khususnya dalam membicarakan tentang penerimaan mahasiswa

baru, saya selalu mendapatkan informasi bahwa rumpun ilmu peranian selalu kekurangan peminat. Gejala penurunan itu semakin tahun, semakin tingi. Bahkan ada beberapa perguruan tinggi yang hanya diminati oleh beberapa orang, sehingga seluruh pendaftar diterima. Memperhatikan fenomena itu rasanya memang ada sesuatu yang ganjil. Negara agraris yang memiliki tanah sedemikian luas dan subur, ternyata ilmu pertanian tidak berkembang. Padahal setiap hari semua orang selalu membutuhkan hasil pertanian. Orang Indonesia tidak akan bisa berhenti dari mengkonsumsi hasil pertanian, seperti beras, jagung, kedelai, buah-buahan dan lain-lain. Lalu, kenapa ilmu pertanian tidak berkembang. Apa mungkin usaha pertanian selama ini, dikelola tanpa menggunakan ahli ilmu pertaniaan. Hal yang menyedihkan, seringkali mendengar berita bahwa banyak hasil pertanian yang merupakan kebutuhan penduduk negeri ini harus import dari luar negeri. Kita sedih mendengar misalnya, beras pada suatu ketika harus import, demikian pula kedelai, jagung, dan bahkan sayur mayur dan buah-buahan harus import dari luar negeri. Berita itu bukan mengada-ada, sebab ternyata banyak buah-buahan import yang dijual di toko buah di berbagai kota. Keanehan lainnya lagi, tidak sedikit lahan pertanian yang menganggur. Tanah pertanian itu sudah lama tidak digunakan untuk bertani. Bahkan tanah-tanah itu tidak lagi dimiliki oleh petani setempat, melainkan sudah menjadi milik orang-orang kaya yang bertempat tinggal di kota. Memang semula tanah itu milik petani, tetapi dengan barbagai cara sudah beralih status kepemilikannya, menjadi milik orang lain yang bukan berprofesi sebagai petani. Sementara orang mengatakan, bahwa tanah-tanah itu sudah menjadi investasi orang kota. Fenomena lainnya, semakin banyak anak-anak lulusan pertanian yang menganggur. Aneh sekali, ada sarjana pertanian menganggur di tengah-tengah lahan pertanian yang tidak diolah. Lebih dari itu, ketika itu pula terdapat banyak hasil pertanian yang harus import dari luar negeri. Sehingga sempurnalah kelucuan bangsa ini, yakni sebagai negara agraris, tetapi sarjana pertanian banyak menganggur di tengah-tengah lahan yang banyak tidak diolah, sementara fenomena lainnya kebutuhan hidup dari hasil pertanian banyak yang import.

Semestinya secara Logis, sebagai bangsa agraris, negeri ini sangat membutuhkan sarjana pertanian, tidak pernah ada lahan yang menganggur, dan bahkan juga seharusnya hasil-hasil pertanian banyak dieksport ke luar negeri. Jika selama ini terjadi sebaliknya, maka sesungguhnya ada sesuatu yang tidak beres. Negeri yang luas dan subur, tetapi pertanian tidak maju dan bahkan bidang ilmu pertanian tidak diminati banyak orang maka berarti ada sesuatu yang keliru yang harus dicari pemecahannya. Kekeliruan itu bisa jadi disebabkan oleh factor pemerintah atau oleh pengembangan ilmu pertanian itu sendiri. Kesalahan yang bersumber dari pemerintah misalnya, pemerinntah tidak memberi perhatian yang cukup sehingga iklim pertanian tumbuh. Pemerintah kurang memberikan perlindungan dan juga insentif terhadap para pekerja sebagai petani. Orang-orang yang bekerja sebagai petani tidak mendapatkan keuntungan yang memadai dibanding dengan usaha di bidang lainnya. Pemerintah tidak mampu melindungi hasil pertanian di dalam negeri, malah justru memberi ijin masuk hasil pertanian dari luar negeri yang harga dan kualitasnya bisa bersaing. Kita lihat misalnya, apel dari Malang yang dulu menjadi kebanggaan, sekarang ini semakin redup dan digantikan oleh apel import. Kesalahan itu juga bisa disempurnakan justru oleh kampus sendiri. Kampus-kampus yang memiliki kopentensi mengembangkan ilmu pertanian tidak mampu lagi melahirkan tenaga ahli dan juga hasil penelitian yang dibutuhkan di lapangan. Para sarjana pertanian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi masih dianggap belum mampu menunjukkan keahliannya di tengah masyarakat. Mereka belum berhasil menjadi pendekar di bidang ilmu pertanian. Bahkan dalam beberapa kasus, sarjana pertanian tatkala mereka terjun ke gelanggang pertanian masih dianggap kalah dibanding dengan para petani berpengalaman, tekun, dan ulet di pedesaan. Jika demikian halnya memang layaklah bidang ilmu pertanian semakin lama semakin tidak menarik minat banyak orang. Akan tetapi sebaliknya, seumpama para sarjana yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tinggi ilmu pertanian dipandang benar-benar mampu menjadi pendekar, atau sekurang-kurangnya dianggap layak sebagai calon pendekar pertanian, maka bidang ini masih akan diminati banyak orang.

Tetapi sebaliknya, jika semakin bertambah waktu seseorang belajar di fakultas pertanian semakin tidak percaya diri dan bahkan semakin tidak menyukai dunia pertanian, maka bisa jadi cara belajar, kurikulum atau iklim pendidikan di perguruan tinggi itu yang seharusnya diubah. Mestinya, yang terjadi adalah sebaliknya. Seseorang tatkala semakin mendalami dunia ilmu itu, maka semakin percaya diri dan semakin mencintai bidang ilmu itu. Bukan justru sebaliknya, semakin tidak bersemangat apalagi lalu beralih ke bidang lainnya. Jika demikian, maka perlu ada reformulasi secara total pendidikan pertanian itu sehingga ilmu pertanian ke depan memiliki prospek yang semakin cerah. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"169183023879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 2 minggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

10 orang menyukai ini.

Lihat ke-7 komentar

Munir Abidin Bumi kita dikenal sebagai bumi yang subur makmur loh jinawi, tetapi herannya, semua buah-buahan yang bagus-bagus di supermarket adalah buah impor, mulai dari apel,anggur, jeruk hingga kentang yang bagus, semuanya adalah impor dari california, australia, thailand dan sebagainya. Yang tidak impor paling2 singkong atau paling maksimal apel Batu. ... Baca SelengkapnyaSungguh memprihatinkan...bahkan nama2 buah yang bagus-bagus selalu diembel2i dengan kata Bangkok, Thailand, Amerika dan sebagainya...kalau produk Indonesia selalu dibilang produk lokal yang nggak mutu... Ide untuk membuat fakultas pertanian yang dapat menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas, sungguh diharapkan oleh

banyak orang, karena para petani kita masih dalam tarap pengguna, bukan pengembang... saya doakan, semoga cita-cita prof imam untuk membangun fakultas pertanian yang seperti itu dapat terwujud. amin 04 November jam 17:12

Taufiq El-Rachman Nalar berpikir orang Indonesia yang perlu diubah, dari orientasi sbg buruh ke majikan, percaya diri, cinta produk sendiri, dsb. Nasionalisme Religius, itulah kata kunci yang perlu untuk mengangkat citra Indonesia sbg negara agraria. 04 November jam 17:42 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama : Pengalaman UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Bagikan 03 November 2009 jam 21:35

PENAHULUAN Cara memandang ilmu pengetahuan vis a vis agama secara dikotomik

sudah sejak lama ditinggalkan orang. Bahkan, dalam sejarah pemikiran Islam, jalan pikiran seperti itu ditengarai menjadi sebab terjadinya kemunduran umat Islam sejak abad 12 yang lalu. Orang Islam yang mempersepsi bahwa ajaran Islam hanyalah mencakup fiqh, tawhid, akhlak-tasawwuf, tarikh dan sejenisnya, disadari atau tidak, telah menjadikan umat Islam tertinggal dari komunitas lainnya. Kemajuan peradaban umat manusia, sekalipun hal itu penting, menurut saya, bukanlah dihasilkan oleh kemajuan ilmu agama, melainkan oleh teknologi, kedokteran, pertambangan, ilmu perbankan, geologi, astronomi, fisika-kimia, manajemen dan seterusnya. Setidak-tidaknya, sumbangan ilmu fiqh, tawhid dan akhlak dalam membangun peradaban dunia, sekalipun ada, tidak sebesar yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Melihat dan menyadari kenyataan itu, tidak lantas kemudian para pemikir Islam menafikan peran dan fungsi ajaran Islam. Ajaran Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Hadis tetap diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ilmu pengetauan dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia juga dipandang memiliki kekuatan dalam memajukan peradaban ini. Bertolak dari penglihatan seperti itu, muncul pertanyaan: adakah yang salah dari cara memandang agama pada satu sisi dan ilmu pengetahuan modern pada sisi lainnya. Pergumulan pemikiran seperti itu kemudian memunculkan konsep-konsep pemecahan, misalnya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamizaton of knowlwdge). Konsep ini segera mengundang respons pro dan kontra. Mereka yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan menganggap bahwa hal demikian akan menjadikan ilmu terbimbing oleh nilai-nilai agama. Sebaliknya, mereka yang menolaknya berargumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat objektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak Islamisasi ilmu pengetahuan itu menyodorkan persoalan, seperti bagaimana memberi label matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam dengan arkeologi non-Islam? Pertanyaan-pertanyaan problematik seperti itu tampaknya belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Perubahan bentuk STAIN Malang menjadi UIN Malang, pada awalnya, sebagiannya didorong oleh semangat untuk mencoba memadukan ilmu (sains) dan agama, yang terkesan bersifat dikotomik itu. STAIN Malang yang pada saat itu membuka Jurusan Tarbiyah, dengan

program studi pendidikan agama dan pendidikan Bahasa Arab, merasa memiliki ruang gerak dan kawasan yang sedemikian sempit. Semula, STAIN Malang diangankan untuk dikembangkan menjadi institut atau IAIN; namun, setelah melihat fakultas dan bidang studi yang dikembangkan oleh IAIN pada umumnya hanya terdiri atas 5 (lima) fakultas—yaitu Ushuluddin, Syari’ah, Dakwah, Tarbiyah dan Adab— lagi-lagi bentuk institut seperti itu dipandang belum mampu mengambarkan universalitas ajaran Islam. Fakultas dan bidang studi itu dipandang masih sangat terbatas dan jauh dari gambaran Islam yang universal itu. Kegelisahan berikutnya adalah ketika melihat kondisi objektif atau performance perguruan tinggi Islam pada umumnya di Indonesia dan mungkin juga di dunia. Islam yang mengajarkan semangat mengembangkan ilmu pengetahuan, kedamaian, bekerja keras, amal shalih dan ajaran mulia lainnya, ternyata belum berhasil mewarnai sebagian besar lembaga pendidikan tinggi itu. Tidak ayal, lembaga pendidikan tinggi Islam, dan juga lembaga pendidikan Islam pada umumnya masih menampilkan diri sebagai perguruan tinggi yang kolot, tertinggal dari peradaban modern, lamban dalam merespons kemajuan, kurang kompetitif, kurang dinamis, dan tidak mampu menarik perhatian kalangan yang lebih luas. Nilai Islam yang luhur dan agung, rahmatan lil 'alamîn, ternyata masih dalam tataran cita-cita yang sulit diwujudkan. Jangankan memberi rahmat bagi alam semesta, terhadap diri sendiri saja, rahmat itu tidak pernah menjadi kenyataan. Atas dasar pandangan dan pikiran-pikiran seperti inilah, STAIN Malang berusaha keras untuk mengubah diri menjadi UIN Malang. Perubahan itu sekaligus dijadikan sebagai momentum untuk keluar dari problem besar yang dihadapi selama ini. Tulisan singkat berikut ini akan mengungkap cita-cita ideal, yakni bagaimana UIN Malang yang kemudian bernama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang—yang menyandang identitas Islam—membangun keterpaduan ilmu dan agama, serta bagaimana perangkat pendukung kelembagaan, iklim dan budaya kampus yang seharusnya dikembangkan sehingga perguruan tinggi ini layak disebut sebagai penyandang nama "Islam" yang agung, mulia, serta selalu disinari oleh cahaya Ilahi. IDEALISME UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG KE DEPAN

Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang kemudian di singkat UIN Maliki Malang bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan yang justru lebih diutamakan adalah pada tataran perilaku warga kampus. Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika UIN Maliki Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam pengabdian dan pergaulannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Islam membimbing makhluk manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh (kâffah), lahir dan batin, keselamatan dunia dan akhirat, meliputi pengembangan aspek spiritual, aqidah. akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian, kasih sayang, keindahan dan kebersihan, hemat dan tidak boros, dapat dipercaya atau amânah dan istiqâmah. Pada tataran pengembangan perilaku warga kampus—para dosen, karyawan dan mahasiswa—saya rumuskan ketentuan menyangkut orientasi pengembangan, yaitu: (1) memperdalam spiritual, (2) memperhalus akhlakul karimah, (3) memperluas ilmu pengetahuan, dan (4) memperkokoh profesionalismenya. Orientasi pengembangan dimaksud harus menjadi tekanan utama, sehingga pantas dibuatkan semacam prasasti, agar setiap orang selalu ingat dan menjadikannya sebagai pegangan oleh semua warga kampus UIN Maliki Malang. Prasasti yang terbuat dari batu besar, dan ditempatkan di depan pintu Ma’had al-'Aly Sunan Ampel, mengguratkan pesan-pesan moralspiritual bagi warga kampus, yakni: (1) kûnû ulîl ilmî, (2) kûnû ulîn nuhâ, (3) kûnû ulîl abshâr, (4) kûnû ulûl albâb, dan (5) jâhidû fîllâh haqqa jihâdih. Sekalipun singkat, pesan-pesan seperti itu bermaksud mempengaruhi kesadaran semua warga kampus agar lebih mengerti, memahami dan menghayati ajaran Islam secara penuh. Al-Qur'an dan al-Hadis diharapkan menjadi lentera kehidupan mereka sehari-hari. Pada tataran fisik, kampus UIN Maliki Malang dibangun sedemikian rupa, sehingga menggambarkan bahwa semua aspek yang dibutuhkan oleh dosen, karyawan dan mahasiswanya tercukupi secara baik. Agar mudah mengingat dan memahaminya, dirumuskan pilar-pilar pengembangan fisik kampus UIN Maliki Malang. Pilar-pilar itu disebut

sebagai arkânul jâmi’ah (rukun perguruan tinggi) yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu: 1. Tenaga dosen, yakni dosen yang mumpuni, baik dari sisi akhlak, spiritual, latar belakang pendidikan, jabatan akademik, dan kualitas serta kuntatitas produktivitasnya. 2. Masjid. Masjid dimaknai sebagai wahana pengembangan spiritual, tempat berupaya siapa saja warga kampus ini mendekatkan diri pada Allah secara berjama’ah. Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbul kekayaan spiritual umat Islam yang kering makna oleh karena tempat ibadah itu kurang maksimal dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan spiritual maupun intelektual. 3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kokoh. Kultur yang dimaksudkan disini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa Islam. Bentuk konkritnya adalah kebiasaan melakukan sholat berjama’ah, tadarrus al-Qur”an, shalat malam, menghargai waktu, disiplin, menghormat sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada kharakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan managemen modern sebagai produk ilmu pengetahuan. 4. Perpustakaan. UIN Maliki Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan baik dari sisi koleksi maupun pelayanannya unggul dalam berbagai aspeknya. 5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam, menyadari betapa kitab suci menunjukkan betapa bahwa Al-Qur'an dan al-Hadis nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh sungguh melalui observasi, eksperimen maupun olah akal cerdasnya. 6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah, berupa ruang kuliah, ruang dosen tempat diskusi dan lain-lain. 7. Tempat pelayanan adminstrasi kampus. Betapapun kampus perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan santun. Dalam pelayanan siapa saja, entah dosen, karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip bangunan akhlakul

karimah. 8. Pusat pengembangan seni dan olah raga. Kedua aspek ini perlu dikembangkan unuk mengembangkan dua watak strategis yang harus dimiliki oleg setiap calon pemimpin, yaitu watak halus dan kasar tetapi sportif. Watak halus biasanya dikembangkan lewat aktifitas seni sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya dikembangkan melalui olah rasa. UIN Maliki Malang yang bermaksud mengembangkan calon pemimpin masa depan yang tanguh memerluan wahana pelatihan olar raga dan seni, dan 9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian perguruan tinggi Islam adalah dalam hal pengembangan pendanaan ini. Sebagai akibatnya tidak mampu membangun porfermance kampus yang gagah dan bersih, memberikan imbalan para tenaga pengajar yang cukup, merumuskan program peningkatan kualitas serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Saya berimajiasi bahwa UIN Maliki Malang sebagai penyandang nama "Islam" maka kampusnya harus tampak gagah, bersih, tertib, disiplin, orang-orangnya jujur, sabar, tawakkal dan istiqâmah dan semua pekerjaan dilakukan berdasarkan semangat kebersamaan dan dalam suasana kasih sayang, keikhlasan, tanggung jawab, senantiasa mengharapkan bimbingan dan petunjuk Yang Maha Kuasa, serta memiliki kesadaran sejarah yang tinggi. Atas dasar semangat seperti itu, maka kampus ini menjadi produktif, yang menghasilkan karyakarya unggulan dalam berupa penulisan buku, laporan penelitian, dan pemikiran-pemikiran yang diekspresikan pada berbagai media cetak yang telah disiapkan di dalam kampus maupun media di luar kampus. Keunggulan-keunggulan seperti ini secara langsung telah mendongkrak citra dan reputasi UIN Maliki Malang. UIN Maliki Malang terkesan berwibawa di tengah-tenah masyarakat perguruan tinggi pada umumnya. Selain itu, kampus ini dihuni oleh orang-orang yang berakhlak mulia, mencintai dan menghargai serta mengembangkan ilmu pengetahuan, gurunya mencitai mahasiswanya, dan demikian sebaliknya, para mahasiswanya menghormati guru-guru mereka karena kapasitas akhlak, cinta dan kedalaman ilmunya. Performa fisik kampus UIN Maliki Malang harus senantiasa tampak bersih, taman dan rumputnya ditata rapi, tidak boros, lingkungannya

dijaga baik, tenaga pengajar dan karyawannya selalu bahagia karena kebutuhan hidupnya tercukupi, dan karena itu mereka bangga akan statusnya sebagai warga UIN Maliki Malang. Kehidupan masyarakat kampus seperti digambarkan seperti itulah yang dapat saya sebut sebagai perguruan tinggi Islam. INTEGRASI ILMU DAN AGAMA PADA TATARAN KONSEPTUAL Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama selama ini tampaknya dirasakan sebagai suatu hal yang sulit dilakukan. Ilmu yang sesungguhnya tidak lain adalah hasil dari kegiatan observasi, eksperimen, dan kerja rasio pada satu sisi dipisahkan dari agama (Islam) yang bersumber kitab suci al-Qur'an dan al-Hadis. Oleh karena ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah merupakan hasil temuan manusia dari pergulatan penelitiannya—dan karenanya, tingkat kebenarannya bersifat relatif—dipisahkan dari al- Qur'an dan alSunnah yang memiliki kebenaran mutlak. Keduanya—pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan wahyu—pada hakekatnya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan ini. Keduanya berfungsi untuk menyingkap tabir rahasia alam atau sosial yang dibutuhkan oleh umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meraih kebahagiaan hidupnya. Saya memahami keduanya dapat dipadukan; namun, bukan dalam makna "dicampurkan", karena keduanya tidak boleh dilihat secara terpisah. Keduanya adalah ilmu pengetahuan yang ditekankan oleh Islam. Yang berbeda hanyalah sumber dari mana pengetahuan itu diperoleh. Yang satu adalah pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui wahyu; sedangkan yang lain hanya dapat diperoleh melalui kegiatan penelitian. Isi Al-Qur'an yang bersifat universal tentunya tidak akan menjamah persoalan yang bersifat kondisional dan temporal. Kalaupunal-Qur'an mengungkapkan persoalan spesifik dan teknis, hal itu semata-mata untuk membuka pintu pemahaman kepada makna yang lebih luas. Kita tahu, misalnya kaidah ushuliyyah yang mengatakan bahwa makna al-Qur'an tidak terbatas pada sebab turunnya. Makna dari sababun nuzûl sesungguhnya berlaku umum. Hal teknis terbatas tetapi berlaku umum itu misalnya persoalan waris, persoalan siapa yang boleh dinikah dan yang dilarang. Apa saja yang maknanya bersifat universal, tatkala menjamah hal yang bersifat teknis pada akhirnya akan berakibat irrelevan dengan perkembangan

zaman yang selalu berubah cepat. Yang abadi adalah makna universalnya, sedangkan yang teknis akan selalu mengalami perubahan, suka atau tidak suka. Berbeda dengan Al-Qur'an, ilmu pengetahuan/sains—karena tingkat kebenarannya yang bersifat relatif itu, maka—ia akan selalu berubah-ubah tergantung pada dukungan data dan rasio yang menopangnya. Jika temuan itu masih ditopang oleh logika yang kokoh dan data yang cukup maka masih dipandang benar dan akan segera dipatahkan kebenarannya jika ditemukan bukti lain yang dapat meruntuhkannya. Terhadap dua jenis atau tingkat kebenaran itu, kita harus meletakkannya secara terpadu atau terintegrasi. Kendatipun masingmasing masih menempati posisi yang berbeda, namun tidak boleh diperlakukan secara terpisah. Tentang kurikulum, agar dapat dipahami secara mudah, maka untuk menjelaskannya saya menggunakan metafora sebatang pohon besar dan rindang, yang akarnya menghujam ke bumi, batangnya kokoh dan besar, berdahan dan ranting serta daun yang lebat dan akhirnya pohon itu berbuah yang sehat dan segar. Akar yang kuat menghujam ke bumi saya gunakan untuk menggambarkan kecakapan yang harus dimiliki oleh siapa saja yang melakukan kajian Islam yang bersumber Al-Qur'an dan al-Hadis itu, yaitu kemampuan Berbahasa Arab dan Inggris, logika atau ilmu manteg, ilmu alam dan ilmu sosial. Sebagaimana posisinya sebagai alat, idealnya kecakapan itu harus dikuasai secara penuh sebelum yang bersangkutan memulai melakukan kajian Islam yang bersumber dari kitab suci itu. Batang dari sebuah pohon itu saya gunakan untuk menggambarkan obyek kajian Islam, yaitu Al-Qur'an, al-Hadis, pemikiran Islam, dan sirah nabawiyah dan atau sejarah Islam lainnya yang lebih luas. Mahasiswa UIN Maliki Malang, tanpa kecuali, jurusan apapun yang diambil wajib mengambil dan menguasai bidang ilmu ini. Mengikuti ahli fiqh, mendalami Bahasa Arab dan Inggris, ilmu mantiq, ilmu alam dan ilmu sosial serta sumber ajaran Islam tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak, ranting dan daun dalam metafora ini untuk menggambarkan disiplin ilmu yang akan dipilih oleh setiap mahasiswa yang dikembangkan oleh UIN Maliki Malang. Masing-masing disiplin ilmu atau fakultas dengan berbagai jurusan atau program studi ini setiap mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya masing-masing.

Sebagai sebuah pohon yang lebat itu, tentu akan berbuah. Buah pohon tersebut digunakan untuk menggambarkan hasil kegiatan kajian agama yang mendalam dan ilmu pengetahuan yang cukup, yaitu iman, amal sholeh dan akhlakul karimah. Kembali pada metafora ini, pohon besar digunakan pula menggambarkan sebuah batang ilmu. Batang tentu harus tumbuh di tanah yang subur tetapi padat. Jika batang digunakan untuk menggambarkan pengembangan aspek akademik, maka tanah yang gembur tetapi padat itu digunakan untuk menggambarkan bangunan kulturalnya. Akademik tanpa dibarengi dengan pengembangan kulturalnya, lebih-lebih untuk kajian Islam, tidak akan mendapatkan kekuatan yang semestinya. Sama halnya yang dianut oleh sistim perguruan tinggi pada umumnya, pengembangan akademik selalu diikuti oleh pengembangan aspek profesionalnya. Sarjana perguruan tinggi Islam secara sosiologis tatkala terjun di masyarakat akan dipercaya melakukan kepemimpinan dalam pengertian luas, di antaranya adalah kepemimpinan sosialkeagamaan. Kecakapan seperti itu, berdasar pengalaman selama ini, sedikit sekali berasal dari aktivitas-aktivitas akademik di kampus pada umumnya. Kecakapan itu hanya akan berkembang dalam proses pembiasaan sehari-hari dalam kehidupan mahasiswa, yang itu selanjutnya saya sebut sebagai kekuatan kultural. Melalui metafora pohon tersebut, maka integrasi ilmu dan agama akan lebih cenderung menyerupai pandangan Imam al-Ghazali, bahwa mendalami ilmu agama bagi semua orang adalah merupakan kewajiban pribadi atau fardhu ‘ayn; sedangkan mendalami ilmu umum seperti kedokteran, teknik, pertanian, perdagangan dan lain-lain adalah fardhu kifâyah. Demikian halnya bangunan kurikulum di UIN Maliki Malang, yakni bahwa mendalami sumber-sumber ajaran Islam— yaitu Al-Qur'an dan al-Hadis—adalah wajib dilakukan oleh seluruh mahasiswa, apapun program studi yang dipilih; namun, selain itu, masing-masing mahasiswa diwajibkan pula mendalami bidang ilmu lainnya sebagai keahliannya yang bersifat fardhu kifayah itu. Denmgan model konseptual seperti ini kita bisa berharap akan terjadi integrasi keilmuan secara kokoh. Seseorang yang mendalami sumber-sumber ajaran Islam akan memperoleh inspirasi yang bersifat deduktif untuk mengembangkan bidang ilmu yang ditekuni, dan sebaliknya, penguasaan ilmu yang ditekuni dapat memberi sumbangan pada upaya memperluas pemaknaan Kitab Suci—Al-Qur'an—dan al-Hadis yang dikajinya. Sama halnya saripati makanan yang dihimpun oleh

akar dan selanjutnya dikirim ke seluruh sistem pohon: batang, dahan, ranting dan daun. Pada tahap berikutnya, dengan pertolongan matahari daun mengolah saripati makanan atau diasimilasi, dan hasilnya dikirim ke seluruh bagian batang itu sebagai energi yang diperlukan oleh seluruh bagian kehidupan sebuah pohon itu. Masih dalam perbincangan integrasi ilmu dan agama, selama ini umat Islam seolah-olah memiliki rumusan bidang ilmu tersendiri selain bidang-bidang ilmu yang diakui secara universal. Secara umum, ilmu pengetahuan sesungguhnya dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, ilmu-ilmu alamiah (natural sciences) yang terdiri atas ilmu biologi, fisika, kimia dan matematika. Berangkat dari ke empat ilmu ini yang selanjutnya disebut sebagai ilmu dasar atau ilmu murni (pure sciences) maka kemudian berkembang ilmu-ilmu yang lebih bersifat terapan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu kelautan, ilmu pertambangan, ilmu teknik, informatika, dan ilmu-ilmu lain yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Kedua, ilmu-ilmu sosial yang terdiri atas ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu sejarah dan ilmu antropologi. Ke empat ilmu dasar atau ilmu murni di bidang ilmu sosial ini selanjutnya berkembang, sebagaimana ilmu alam tersebut di atas, ilmu-ilmu yang bersifat terapan seperti ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu politik, ilmu administrasi, ilmu komunikasi dan seterusnya yang jumlahnya juga semakin bertambah luas. Ketiga, ilmu humaniora dengan cabang-cabangnya adalah filsafat, bahasa dan sastra serta seni. Selain ketiga hal jenis ilmu tersebut di kalangan umat Islam mengembangkan jenis ilmu lain, yaitu ilmu agama Islam dengan cabang-cabangnya yaitu ilmu ushuluddin, ilmu syari’ah, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah dan ilmu adab. Masing-masing cabang tersebut dalam organisasi perguruan tinggi Islam diperankan sebagai rumpun bidang ilmu sehingga disebut fakultas. Akibat dari lahirnya ilmu-ilmu (kalau memang dapat disebut sebagai ilmu, atau bidang ilmiah) maka selanjutnya terjadilah dikotomi ilmu dan agama sebagaimana dikemukakan di atas. Ilmu-ilmu alam, sosial, dan humaniora dikelompokkan sebagai ilmu umum, bahkan dari sudut pandang konvesional kelompok ilmu ini diklaim sebagai ilmu sekuler. Sebaliknya, ilmu ushuluddin, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah, ilmu syariah dan ilmu adab dikelompokkan ke dalam ilmu agama (Islam). Semakin lama dikotomi itu semakin kokoh. Pengelompokkan secara dikotomik seperti itu berdampak luas, yang akhirnya disadari oleh umat Islam

bahwa mereka tertinggal dari umat lainnya karena selama ini umat Islam hanya menggarap ilmu agama semata. Umat Islam menjadi tersadarkan bahwa untuk membangun sebuah peradaban yang maju dan langgeng diperlukan berbagai bentuk dan rekayasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, ternyata perkembangan peradaban, (baca ilmu dan teknologi) bukan lahir dari ilmu-ilmu agama dengan berbagai cabangnya itu, melainkan dari kemajuan teknologi, kedokteran, ilmu astronomi, ilmu manajemen dan lain-lain itu. Akibat dari kesadaran umat Islam seperti itu, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana mencari jalan keluar untuk mensintesakan agama dan sains, atau setidak-tidaknya bagaimana umat Islam selain mendalami agama juga mendalami sains dan teknologi. Dengan demikian, ilmu agama dan ilmu umum menjadi tidak terpisah, bahkan merasuk pada diri setiap kaum muslimin. Untuk memecahkan persoalan itu, sesungguhnya masih ada jalan keluar yang tidak terlalu rumit. Menurut hemat saya, untuk menghilangkan dikotomi itu dapat ditempuh dengan cara memposisikan sumber ajaran Islam—yaitu Al-Qur'an dan al-Hadis— bukan pada wilayah berbeda dari wilayah ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi selama ini. Al-Qur'an dan al-Hadis semestinya tidak perlu dikembangkan dengan ilmu-ilmu agama seperti ushuluddin, ilmu syari’ah, ilmu tarbiyah dan seterusnya, melainkan sumber ajaran Islam itu diposisikan sebagai sumber ilmu. Perguruan tinggi Islam semisal UIN tidak perlu membuka berbagai cabang ilmu yang selama ini disebut ilmu agama itu, melainkan sama saja dengan perguruan tinggi umum membuka dan mengembangkan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Yang membedakan perguruan tinggi Islam dengan yang bukan terletak pada sumber yang dijadikan acuan dalam mengembangkan ilmu itu sendiri. Umat Islam, dalam memahami jagad raya dan kehidupan ini, mengenal apa yang disebut dengan ayat-ayat qawliyyah yaitu pengetahuan yang diperoleh dari kitab suci (al-Qur'an) dan al-Hadis; dan ayat-ayat kauniyyah, yaitu pengetahuan tentang jagad raya dan kehidupan ini yang bersumber dari hasil observasi dan eksperimen. Perguruan tinggi Islam—dalam hal ini UIN—mengembangkan ilmu pengetahuan senantiasa mengambil sumber kepada ayat-ayat qawliyyah dan ayat-ayat kawniyyah sekaligus. Sedangkan perguruan tinggi umum biasanya mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengambil sumber dari hasil-hasil observasi, eksperimen, dan kekuatan rasio. Ketiga sumber

pengetahuan yang disebut terakhir ini, bagi universitas Islam, disebut ayat-ayat kawniyyah. Cara berpikir yang memposisikan Al-Qur'an dan al-Hadis sebagai salah satu sumber pengembangan ilmu di lingkungan universitas Islam, maka cara berpikir seperti ini sejalan dengan semangat Islam, apa pun ilmu pengetahuan yang hendak dikembangkannya. Artinya, jika perguruan tinggi mengembangkan ilmu-ilmu yang tadinya terkesan sebagai ilmu sekuler, namun dengan mengambil referensi ayat-ayat qawliyyah dari al-Qur'an dan al-Hadis, maka itulah hakikat perguruan tinggi Islam. Jika dijabarkan lebih lanjut maka akan tampak misalnya ketika universitas Islam mengembangkan ilmu pendidikan yang bersumber dari Al-Qur'an dan al-Hadis serta menelusuri ayat-ayat kawniyyah tentang fenomena pendidikan melalui observasi, eksperimen, dan kekuatan akal, maka universitas itu telah menunaikan tugasnya mengembangkan ilmu tarbiyah. Ilmu tarbiyah adalah ilmu pendidikan yang dikembangkan atas dasar sumber Al-Qur'an dan alHadis serta hasil-hasil observasi, dan eksperimen itu. Jika universitas Islam telah memiliki fakultas hukum, dan tatkala mengembangkan ilmunya mengambil sumber kepada Al-Qur'an dan al-Hadis, di samping memperhatikan ayat-ayat kawniyyah itu maka sama artinya universitas itu sudah membuka fakultas syariah. Fakultas kominikasi di universitas Islam dalam pengembangan ilmunya bersumber Al-Qur'an dan al-Hadis serta ayat-ayat kawniyyah sama artinya fakultas itu bernama fakultas dakwah. Demikian pula, fakultas filsafat di universitas Islam yang ketika mengembangkan ilmu filsafatnya bersumber pada Al-Qur'an dan al-Hadis dan juga ayat-ayat kawniyyah maka universitas Islam itu sama artinya telah mengembangkan fakultas ushuluddin, dan seterusnya. Akan tetapi, universitas Islam juga tidak sekedar mengembangkan ilmu pendidikan, dakwah, syariah, dan lain-lain, sebagaimana tradisi universitas Islam yang ada selama ini, melainkan juga secara bersamaan membuka kajian ilmu-ilmu alam dengan berbagai cabangnya maupun ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tentang hal ini Al-Qur'an bahkan telah memerintahkan kepada umat manusia untuk memperhatikan berbagai fenomena alam sebagai bagian dari ayat-ayat Allah. Di antara seruan al-Qur'an itu adalah: "Tidakkah kalian perhatikan bagaimana unta dijadikan; bagaimana langit ditinggikan; bagaimana gunung ditegakkan; dan bagaimana bumi dihamparkan." (Qs. Al-Ghâsiyah, 88:17-20, yang aslinya َ berbunyi: ‫( وَإ َِلى‬18) ‫ت‬ َ ِ ‫خل‬ ُ ‫ف‬ َ ْ ‫ماِء ك َي‬ َ ْ ‫ل ك َي‬ َ ‫أفََل ي َن ْظ ُُرو‬ ّ ‫( وَإ َِلى ال‬17) ‫ت‬ ْ َ‫ف ُرفِع‬ َ ‫س‬ ْ ‫ق‬ ِ ِ ‫ن إ َِلى اْل ِب‬

َْ َ 20) ‫ت‬ َ ْ ‫ض ك َي‬ َ ْ ‫ل ك َي‬ ِ ُ‫ف ن‬ َ ِ ‫سط‬ ُ ‫ف‬ ْ ‫ح‬ ْ َ ‫صب‬ ِ ْ ‫))ال‬. Al-Qur'an juga ِ ‫جَبا‬ ِ ‫( وَإ ِلى الْر‬19) ‫ت‬ berbicara semua hal, baik tentang bumi (al-ardh), laut (al-bahr), air (almâ', termasuk air hujan, al-mathar), binatang (an-nujûm), tumbuhtumbuhan (an-nabât) dan juga perilaku manusia. Artinya, jika universitas Islam mengkaji semua itu, ternyata Al-Qur'an juga mewartakan itu semua sekalipun hanya menyentuh garis besarnya saja, yang selanjutnya menuntut manusia untuk mengembangkan lebih jauh. Saya yakin, dengan membuka diri dan berpikir seperti ini, problem dikotomik itu akan terkurangi dan selanjutnya akan berhasil memenuhi keinginan mendapatkan konsep integrasi agama dan ilmu yang selama ini kita cari itu. KELEMBAGAAN DAN PERANGKAT PENDUKUNG Jika tidak ada hambatan politis dan kebijakan yang lebih makro dalam menata lembaga pendidikan tinggi, serta jika tersedia dukungan finansial dan ketenagaannya, maka sesungguhnya bentuk lembaga yang ideal unuk mengembangkan konsep integrasi agama dan ilmu adalah universitas, bukan bentuk institut atau sekolah tinggi. Kalau pun tokh masih tetap berbentuk institut atau sekolah tinggi, maka jenis dan bidang ilmu yang dikembangkan haruslah lebih maju dan lebih bervariasi dari ilmu yang ada sekarang ini. Sebab, jika institut atau sekolah tinggi masih sebatas mempertahankan jenis ilmu yang sedang dijalankan sekarang ini, maka cara pandang dikotomik itu tidak pernah terselesaikan. Sebagai akibat selanjutnya, umat Islam akan tetap mengalami kemunduran sampai kapan pun dan juga di mana pun. Umat Islam akan tetap menjadi berada pada posisi periferal sebagaimana ilmu yang mereka kembangkan yang bersifat periferal itu. Jika umat Islam berkeinginan berhasil menempati posisi strategis di tengah-tengah pergaulan global dan dibutuhkan oleh masyarakat dunia, semestinya jawabnya adalah juga harus mengembangkan ilmu yang komprehensif, luas dan strategis. Rekonstruksi berpikir seperti ini harus berani dilakukan agar tatkala menyebut "Islam" bukan berkonotasi sempit sebagai sekedar agama atau tuntunan moralspiritual; melainkan Islam yang sarat dengan konsep-konsep keilmuan, keyakinan, budaya serta kunci-kunci pembangunan peradaban umat manusia. Islam menjadi terkesan sebuah pandangan yang berufuk jauh dan berlangit tak terbatas seluas jagad raya ini. Selanjutnya, Islam bukan hanya dipahami sebatas masjid, mushalla, ritual kelahiran, perkawinan, kematian dan tatacara melakukan kegiatan

spiritual saja. Mengembangkan konsep seperti ini di tengah-tengah tradisi atau budaya perguruan tinggi, dalam bentuknya seperti sekarang ini, tentu tidak mudah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki pengertian bahwa perguruan tinggi Islam dan juga perguruan tinggi pada umumnya, sebagaimana lazimnya berjalan selama ini. Oleh karena itu, mengintrodusir konsep baru ini perlu keberanian tersendiri, dan sudah barang tentu juga akan membawa risiko yang bisa jadi tidak ringan. Persoalan lain yang dihadapi juga beraneka ragam, mulai dari persoalan dosen yang seharusnya menyandang ilmu yang bersifat integratif itu, kenyataannya amat sulit didapat, perangkat kelembagaan, sampai pada kesiapan para mahasiswanya. Terkait dengan persoalan dosen, pada saat ini mencari dosen yang menguasai agama dan disiplin ilmunya sekaligus sama sulitnya dengan mencari es di padang pasir. Akan tetapi, jika konsep ini benar-benar bisa dijalankan maka strategi-strategi pengembangan SDM yang kuat dan tangguh seharusnya ditempuh secara bertahap. Semuanya harus segera dimulai. Menunggu sampai tersedia tenaga dosen dalam kualitas ideal seperti itu sama artinya dengan berpuas-puas di dunia mimpi. Indah tetapi sesungguhnya tidak akan pernah terjadi. UIN Maliki Malang dalam memenuhi tenaga dosen, ditempuh dengan cara mencari lulusan perguruan tinggi, yang pendidikan tingkat menengahnya berlatar belakang agama, madrasah, dan pondok pesantren. Lulusan semacam ini yang dicari, dan lebih diutamakan lagi adalah sarjana lulusan perguruan tinggi terkemuka, seperti ITB, UI, UGM dan sejenisnya. Sedangkan bangunan kelembagaannya, UIN Maliki Malang mencoba memadukan antara tradisi universitas dan tradisi pesantren. Tradisi pesantren dipandang strategis diusung ke kampus dengan alasan bahwa pada kenyataannya tidak sedikit pesantren, seperti Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Al-Amien Sumenep, IMIM Makasar, ternyata yang berhasil mengantarkan lulusannya dengan kualifikasi memiliki pisau analisis dan kemampuan ilmu alat—seperti Bahasa Arab dan Inggris—melebihi lulusan lembaga pendidikan sekolah pada umumnya. Atas dasar itu, apa salahnya kultur pesantren yang ternyata memiliki kelebihan itu dikembangkan di perguruan tinggi, sehingga terbentuk kultur alternatif, semisal "Pesantren Kampus."

Pesantren kampus, selain difungsikan untuk menciptakan iklim atau suasana yang mendukung kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), juga dijadikan sebagai wahana untuk mendukung pengembangan aspek-aspek kultural seperti kebiasaan shalat berjamaah, membaca Al-Qur'an, shalat malam, kajian pemikiran Islam dan lain-lain. Masih dalam wilayah perbincangan implementasi konsep integrasi agama dan sains ini, UIN Maliki Malang mempersyaratkan mahasiswanya menguasai dua bahasa asing (Arab dan Inggris). Akan tetapi, dalam kenyataannya, penguasaan para input yang masuk di UIN Maliki Malang terhadap dua bahasa asing itu masih lemah. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh ialah selain mewajibkan seluruh mahasiswa baru bertempat tinggal di Ma’had al-Aly Sunan Ampel agar memudahkan terbentuknya kultur kebahasaan mereka, juga dikembangkan pembelajaran Bahasa Asing—khususnya Bahasa Arab— secara intensif. Pembelajaran Bahasa Arab Intensif ini dilaksanakan setiap hari selama setahun penuh. Setelah mereka menguasai Bahasa Arab, pada fase berikutnya ditingkatkan pula kemampuan Bahasa Inggrisnya. Dalam kurikulum UIN Maliki Malang, sebagaimana tergambar pada "Pohon Ilmu", bahasa asing—Bahasa Arab dan Bahasa Inggris—diposisikan sebagai alat atau instrumen untuk melakukan kajian sumber ajaran Islam dan juga disiplin ilmu pilihan masingmasing. IKLIM DAN BUDAYA KAMPUS Format baru universitas Islam yang dikembangkan oleh UIN Maliki Malang untuk mengimplementasikan konsep integrasi agama dan ilmu itu dilakukan secara menyeluruh, dan barangkali perubahan itu boleh dipandang radikal. Pendidikan tinggi tidaklah cukup dihuni oleh orangorang yang bekerja setengah hati, dikelola dan dipimpin secara asalasalan, dan didukung oleh baik perangkat keras maupun perangkat lunak seadanya. Sekalipun dahulunya hal itu memang demikian keadaannya, maka untuk memperkuat usaha mengimplementasikan konsep baru itu seluruh aspeknya harus diubah. Tenaga dosen yang pada awalnya berjumlah amat terbatas harus segera ditambah, kendatipun ditempuh secara bertahap. Mereka yang pada umumnya berlatar pendidikan S2 dan bahkan S1, semuanya secara bertahap pula ditingkatkan menjadi S3. UIN Maliki Malang bertekat pada tahun 2010 seluruh dosennya bergelar doktor atau

berpendidikan S3. Target ini terkesan ambisius; namun, apa boleh buat, harus ditempuh sejak sekarang. Bagi saya, seorang dosen harus menempati rumah yang layak, agar pikiran dan perasaannya tidak terganggu. Untuk itu, sejak tahun 2004 ini dirintis kerjasama antara UIN Maliki Malang dengan pihak pengembang untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi seluruh dosen tetapnya dengan ukuran yang layak sebagaimana kehidupan dosen. Upaya-upaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dosen dimaksudkan agar berdampak pisitif bagi peningkatan motivasi kerja mereka dan agar mereka tidak setengah hati lagi dalam menunaikan tugas-tugasnya, baik sebagai pendidik maupun sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Para dosen dan juga tenaga administrasi tidak selayaknya dituntut hanya menunaikan kewajiban; tetapi harus diimbangi dengan pemenuhan hak-hak kesejahteraan mereka. Dalam pengembangan perangkat keras, UIN Maliki Malang berpedoman pada apa yang disebut dengan "arkânul jâmi’ah" atau rukun universitas, sebagaimana telah disinggung di atas. Sembilan rukun universitas ini dikembangkan secara bertahap dan disesuaikan dengan hasil-hasil yang diperoleh dari pendanaa yang diusahakan dengan kerja keras dan tanpa henti. Untuk membangun kebersamaan, integritas dan juga komitmen bersama maka budaya birokrasi yang berkembang selama ini diubah menjadi budaya juang atau dikembangkan rûhul jihâd untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama. Budaya birokratis yang kaku, bersifat hirarkhis, informasi dibagi secara terbatas, bekerja hanya sekedar memenuhi tuntutan formalitas, diubah menjadi fleksibel, informasi terbagi untuk semua, kepemimpinan dilakukan secara kolegial dan bahkan pada aspek-aspek tertentu diperankan oleh semua, agar menghasilkan suasana kerja yang lebih dinamis, tanggung jawab menjadi dipikul bersama, dan mereka datang ke kampus bukan sekedar menenuhi tuntutan formal sebagai pegawai negeri atau birokrat. Yang terjadi kemudian adalah suasana kebersamaan, teduh dan saling menghargai dan mencintai untuk saling bahu membahu membangun kampus Islam yang besar dan akan menjadi kebanggaan bersama. Sebagai wahana untuk mengembangkan suasana kebersamaan itu di UIN Maliki Malang juga dibangun kultur kebersamaan yang berasaskan ajaran dan nilai Islam. Misalnya, UIN Maliki Malang mengembangkan kultur menunaikan shalat berjamaah di masjid kampus yang diikuti

oleh seluruh pimpinan, dosen, karyawan dan juga mahasiswa. Pada kesempatan setelah shalat berjamaah diselenggarakan kuliah 7-10 menit (Kultum) yang disampaikan oleh salah seorang pimpinan atau dosen atau bahkan oleh mahasiswa. Selain itu, pada minggu ketiga setiap bulan diselenggarakan kegiatan membaca Al-Qur'an bersama (khatmul Qur'an), dibiasakan untuk puasa sunnah Senin dan Kamis, membangun solidaritas dan silaturrahim terhadap keluarga yang terkena musibah, seperti kematian misalnya, lewat ta’ziyah ,atau setidak-tidaknya shalat ghaib di masjid kampus. Semua itu, jika dinilai dari sudut pandang kampus sebagai lembaga akademik yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan penyelenggara kegiatan akademik dan intelektual, tampaknya memang sulit dipahami, mengapa mengurus hal-hal yang tidak relevan, spele dan kecil seperti itu. Namun, jika hal itu dipahami secara mendalam dan dengan perspektif yang lain, misalnya bahwa manusia selalu terkait dengan kultur, kebiasaan dan budaya, maka kegiatan semacam itu justru dapat dipandang strategis dan relevan dengan pengembangan ilmu yang seharusnya ditunaikan oleh perguruan tinggi, apalagi perguruan tinggi yang menyandang nama "Islam". PETUTUP Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengemukakan imajinasi atau mimpi-mimpi saya tentang perguruan tinggi Islam yang saya sebut ideal, yaitu perguruan tinggi yang mampu melakukan peran-peran strategisnya lewat penelitian berdasarkan sumber kitab suci (alQur’an), al-Hadis, serta sumber-sumber lainnya seperti observasi, eksperimen dan kekuatan akal, sehingga mampu melahirkan produkproduk ilmu pengetahuan yang berkembang tanpa henti. Kampus itu sepantasnya dihuni oleh orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki integritas yang tinggi, ikhlas, sabar, tawakkal dan istiqâmah. Dengan kerja yang didasarkan pada sifat-sifat terpuji seperti itu, kampus Islam ini akan didatangi oleh anak-anak muda yang bergairah, yang ingin belajar atau menjadi mahasiswa, atau orang-orang dari mana saja asalnya untuk memenuhi hasrat ingin tahu. Kampus ini saya impikan berperan ibarat mercusuar di tengah laut, atau seorang pembawa obor di tengah kegelapan, yang perannya adalah menerangi kehidupan ini. Kampus ini akan melahirkan sarjana yang memiliki setidak-tidaknya empat kekuatan, yaitu: (1) kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual,

(2) keagungan akhlak, (3) keluasan ilmu dan (4) kematangan profesional. Selanjutnya, lewat kampus dengan iklim kerja seperti digambarkan itu saya berharap akan lahir karya-karya akademik dan juga perilaku terpuji sebagaimana tuntunan ajaran Islam yang mulia, membahagiakan dan sekaligus menyelamatkan itu. Karya-karya ilmiah yang saya maksudkan berupa buku-buku ilmiah yang selalu dijadikan rujukan dan bahkan bahan perbincangan akademik di kalangan perguruan tinggi, hasil-hasil penemuan ilmiah dari kegiatan penelitian yg dilakukan oleh para dosen dan para penelitinya. Di kampus ini juga selalu terbit secara tertib jurnal-jurnal ilmiah serta berbagai bentuk terbitan lainnya. Terakhir, bahwa apa yang saya sampaikan lewat tulisan ini hanyalah sebagiannya adalah imajinasi, bahkan mungkin sekedar berupa mimpimimpi saya tentang gambaran perguruan tinggi yang saya idealkan. Apakah mimpi-mimpi saya ini benar-benar akan terwujud, saya sendiri pun juga tak pernah tahu. Akan tetapi, jikalau pun mimpi-mimpi saya ini menyebar dan telah juga menjadi mimpi rekan-rekan yang pada saat ini terlibat dalam pengembangan kampus pendidikan tinggi Islam, saya sudah merasa cukup dan bersyukur. Siapa tahu mimpi-mimpi ini suatu saat melahirkan inspirasi untuk mengembangkan lembaga pendidikan tinggi Islam yang lebih bagus dan maju. Namun demikian, terlepas dari imajinasi dan mimpi-mimpi itu, warga UIN Maliki Malang memang senang bermain-main dengan apa pun yang dipandang oleh kebanyakan orang sebagai mimpi atau ilusi. Warga UIN Maliki Malang senang mencoba apa yang oleh orang lain dipandang tidak mungkin: Thinking the unthinkable and struggeling against the unbelievable!. Pedoman warga UIN Maliki Malang dalam berjuang di antaranya adalah semangat Qs. Alam Nasyrah, yaitu: َ َ ‫ك ذ ِك َْر‬ َ َ ‫( وََرفَعَْنا ل‬3) ‫ك‬ َ ‫ض ظ َهَْر‬ َ ‫ك وِْزَر‬ َ ْ ‫ضعَْنا ع َن‬ َ ‫صد َْر‬ َ َ‫ح ل‬ ْ َ‫م ن‬ ‫ك‬ َ ْ ‫ذي أ َن‬ ِ ّ ‫( ال‬2) ‫ك‬ َ َ‫(وَو‬1)‫ك‬ ْ ‫شَر‬ ْ َ ‫أل‬ َ ‫ق‬ َ ‫ك‬ َ ّ ‫( وَإ َِلى َرب‬7) ‫ب‬ َ ِ ‫( فَإ‬6) ‫سًرا‬ ‫ك‬ ْ ‫ص‬ ّ ِ ‫( إ‬5) ‫سًرا‬ َ ‫م‬ ّ ِ ‫( فَإ‬4) ْ ُ ‫سرِ ي‬ ْ ُ‫معَ ال ْع‬ ْ ُ ‫سر ي‬ ْ ُ‫ع ال ْع‬ َ ْ ‫ذا فََرغ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ن‬ َ ْ ‫ت َفان‬ 8) ‫ب‬ ْ َ ‫(َفاْرغ‬ Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?; Kami telah menghilangkan bebanmu; yang memberatkan punggungmu?; Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu; Sebenarnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan;

Memang, sesudah kesulitan itu sudah pasti ada kemudahan; Maka, jika kamu telah merampungkan suatu persoalan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh persoalan berikutnya; Hanya kepada Tuhanmulah kamu pantas berharap. Walluhu a’lam bishowab..

*) Makalah ini disampaikan pada acara Annual Conference on Islamic Studies IX Tahun 2009 di STAIN Surakarta, tanggal 2-5 Nopember 2009 Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"168869623879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 2 minggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

3 orang menyukai ini.

Ahmadi Rechan aku merasa bahagia karena UIN mau buka ilmu kesehatan, semoga bermanfaat khususnya bagi generasi Islam dimasa mendatang. 04 November jam 10:42 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Sehari Di IHDN Bali Bagikan

02 November 2009 jam 5:03 Pada tanggal 30 Oktober 2009, saya bersama Pak Mudji Rahardjo, Wakil Rektor I UIN Maliki Malang diundang untuk hadir ke Institut Agama Hindu Dharma Negeri Bali. Semestinya bersamaan itu pula juga diundang Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu, tetapi karena harus menghadiri undangan Menko Kesra, beliau hanya bisa datang pada malam sebelumnya, bersama-sama dalam acara ramah tamah yang diselengarakan oleh Pimpinan IHDN. Dalam undangan itu, ada dua acara penting yang diagendakan, yaitu penyerahan sertifikat tenaga dosen untuk para dosen IHDN Bali dan kedua adalah memberikan kuliah umum di hadapan para dosen. Sebagaimana di perguruan tinggi pada umumnya, para dosen IHDN Bali juga harus mengikuti sertifikasi dosen. Pemberian sertifikasi dosen tersebut harus dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi lain yang telah memiliki kewenangan. IHDN Bali atas arahan Dirjennya menyerahkan proses sertifikasi itu kepada UIN Maulana Malik Ibraim Malang. Segera setelah selesai kegiatan itu, saya bermaksud untuk menyerahkan sertifikat tersebut secara resmi kepada Dirjen Pembinaan Masyarakat Hindu dan selanjutnya agar diteruskan ke Rektor. Rencana itu disetujui dan dilaksanakan di kampus IHDN Bali. Bersamaan dengan penyerahan secara resmi sertifikat itu, saya diminta untuk memberikan kuliah umum di hadapan para pimpinan dan dosen. Dalam kunjungan itu, saya bersama Pak Mudji Rahardjo diterima oleh Rektor bersama jajaran pimpinan yang lain. Sejak mendarat di Bandara Udara Ngurah Rai Bali, terasa sekali suasana akrab dan kekeluargaan yang ditunjukkan oleh keluarga IHDN Bali. Petugas yang diserahi menjemput rupanya sudah memahami bahwa tamunya berasal dari kultur atau penganut agama yang berbeda. Tetapi perbedaan itu justru menjadikannya lebih hati-hati. Perlakuan istimewa itu terasa sekali. Sekalipun pada awalnya saya lihat penjemput itu adalah staf kampus, ternyata juga disusul kemudian oleh Rektor IHDN Bali bersama Kepala Subdit Pendidikan

Tinggi Agama Hindu Departemen Agama dari Jakarta. Saya kemudian diantar ke penginapan, dan setelah istirahat sebentar diajak untuk menghadiri jamuan makan malam bersama Dirjen dan staf pimpinan IHDN. Momentum bertemu dalam jamuan makan malam itu dibicarakan antara lain tentang kemungkinan kerjasama antara dua perguruan tinggi yang sama-sama berada di bawah pembinaan Departemen Agama ini. Selanjutnya, pagi pada tanggal 30 Oktober 2009 saya dibawa ke Bangli yaitu ke kampus IHDN Bali yang baru saja diresmikan oleh Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni. Rupanya sama dengan perguruan tinggi lain yang berlokasi di kota yang padat penduduk, selalu saja pengembangannya diarahkan ke lokasi yang masih memungkinkan perluasan. Pengembangan IHDN Bali diarahkan ke kota Bangli, kirakira perjalanan kurang lebih satu jam dari kampus lama di Denpasar. Acara kuliah umum diikuti oleh seluruh pimpinan dan dosen IHDN Bali . Dalam kuliah umum itu saya sampaikan tentang peran perguruan tinggi berbasis agama dalam pembangunan bangsa. Saya menyampaikan gagasan bahwa seharusnya perguruan tinggi agama terbuka untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu yang memberi manfaat nyata bagi pengembangan masyarakat. Terkait dengan itu, perguruan tinggi yang berbasis agama seharusnya tidak saja memberikan bekal ilmu yang terkait dengan pendalaman spiritual, melainnya seharusnya juga memberikan bekal keilmuan yang lebih luas dan komprehensif. Dunia modern yang akan datang membutuhkan sarjana yang memiliki bekal atau kemampuan yang lebih sempurna, baik yang terkait dengan spiritualitas, intelektualitas, maupun profesionalitasnya. Selanjutnya, saya menyampaikan bahwa membekali kemampuan para mahasiswa secara lebih utuh itu, justru akan lebih mudah dilakukan oleh perguruan tinggi yang berbasis agama. Saya juga katakana bahwa jika perguruan tinggi berbasis agama hanya berkutat pada upaya pengembangan ritual dan spiritual, maka ke depan tidak akan berkembang menjadi lebih besar. Sebab, kehidupan ke depan siapapun akan dituntut untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai ranah yang lebih sempurna dan utuh itu, yaitu ranah spiritual, itelektual, dan sekaligus juga profesionalitasnya. Untuk membangun konsep pendidikan yang utuh seperti itu diperlukan kerjasama dari

berbagai perguruan tinggi termasuk mereka yang memiliki basis agama yang berbeda. Saya dalam kesempatan itu juga menyampaikan bahwa bangsa Indonesia yang berpenduduk plural seperti ini, menuntut adanya keterbukaan, saling menyapa, dan bahkan juga bekerjasama, tidak terkecuali oleh perguruan tinggi yang berbasis agama yang berbeda. Jika keterbukaan dan saling kerjasama ini bisa diwujudkan maka peluang terjadinya salah paham, kecurigaan, dan bahkan konflik antar agama bisa diminimalisasi hingga pada kadar yang sekecil-kecilnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah saling memahami, menghargai, dan saling bekerjasama sepanjang masih berada pada batas-batas yang memungkinkan untuk dilakukan. Jika hal itu benar-benar bisa dilakukan, maka keberadaan perguruan tinggi agama akan memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara secara damai dan sejahtera. Wallahu a’lam. Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"167683673879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 2 minggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

8 orang menyukai ini.

Lihat ke-7 komentar

Ahmad Rofiq semoga dengan kerja sama ini dapat mengembangkan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia dan menjalin kerukunan yang baik antar pemeluk agama ......... 03 November jam 8:44

De Santoz asslamualaikum... pak saya minta pengalaman bapak masi mudah waktu menjabat kepala madrasah ibtidaiyah MINU, yang dulu perna bapak ceritakan, karena sekarang saya baru lulus dari UIN malang di suruh mengajar di MI yang sangat prihatin sekali. gimana pak tanggapan bapak dan solusinya? wasalam 03 November jam 21:25 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Pendidikan Pertanian Bagikan 01 November 2009 jam 21:05 Sebatas menjadi petani, sesungguhnya tidak terlalu perlu melewati sebuah pendidikan formal tertentu, apalagi bagi petani kecil di pedesaan yang hidup hanya dengan lahan terbatas. Para petani di pedesaan belajar pertanian biasanya melalui cara-cara yang praktis dan sederhana, meniru orang tua atau para tetangganya yang bekerja sebagai petani. Seorang anak petani diajak oleh orang tuanya membantu bekerja di kebun atau di sawah, mulai mencangkul, mencari dan menanam bibit, menyiangi, menjaga dari serangan hama, hingga akhirnya memanen buah tanamannya itu. Melalui cara yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu tertentu anak petani bisa bertani. Pengalaman dan juga pengetahuannya bertambah

sesuai dengan perjalanan hidupnya. Semakin tua atau bertambah umur, anak petani semakin matang. Mereka dengan sendirinya, akan semakin kaya pengetahuan dan juga pengalaman. Akhirnya, di kalangan masyarakatnya anak tersebut jika berhasil memiliki kelebihan akan dipandang sebagai petani ulung. Predikat itu diperoleh dari masyarakat. Hal itu sama dengan gelar yang diberikan kepada seseorang yang dianggap paham ilmu agama dengan sebutan kyai, tuan guru, ajengan, atau sebutan lain serupa itu. Sementara lainnya, ada orang belajar tentang pertanian melalui sekolahan dan bahkan universitas. Berbeda cara belajar bertani melalui pengalaman, adalah belajar bertani melalui lemaga pendidikan, dilaksanakan secara sistematis, mengikuti kurikulum, cara belajar, buku atau literature, guru, dan juga dilakukan evaluasi pada setiap waktu tertentu. Belajar pertanian di lembaga pendidikan, dilakukan dengan cara yaitu para siswa diajak memahami teori-teori yang disusun oleh para ahli, meneliti di laboratorium, dan juga melakukan uji coba yang bisa dilakukan. Belajar dengan cara tersebut, dalam waktu tertentu berhasil memahami dunia pertanian secara lebih luas. Bahan yang diajarkan berupa prinsip-prinsip, konsep-konsep, kaidah-kaidah, teori-teori yang terkait dengan pertanian menjadikan para siswa atau mahasiswa memiliki wawasan luas. Sudah barang tentu, bahwa kaidah, teori, prinsip-prinsip itu sifatnya umum sedangkan detail-detailnya hendaknya dikembangkan sendiri. Dengan belajar secara tekun para siswa atau mahasiswa akan mampu memahami teori, konsep, atau prinsip-prinsip itu. Akan tetapi dalam praktek mereka belum tentu berhasil mengalahkan petani yang sudah lama bekerja di lapangan pertanian. Orang yang lama belajar pertanian melalui lembaga pendidikan formal seringkali masih kalah dengan para petani yang kaya pengalaman. Sehingga sementara orang menyebut mereka sebagai telah memiliki keahlian dalam bertani, tetapi tidak bisa bertani. Mereka bisa menjelaskan berbagai hal tentang pertanian, mulai dari mengenal jenis tanah, jenis bibit, bagaimana menanam secara efentif, perilaku tanaman, iklim yang cocok dengan jenis tanaman tertentu tetapi sebaliknya tidak cocok bagi tanaman lainnya, bagaimana memanen dan seterusnya. Akan tetapi, mereka belum tentu telah memiliki

pengalaman yang cukup dalam praktek. Pertanyaannya adalah jenis pendidikan mana yang dibutuhkan oleh bangsa pada saat ini. Penddikan formal, semacam sekolah pertanian atau fakultas pertanian sekalipun, berhasil memberikan bekal berupa kemampuan akademik, tetapi belum tentu berhasil tatkala dituntut memberi bekal kultur atau budaya pertanian. Secara akademik, lulusan lembaga pendidikan formal, mereka paham tentang pertanian tetapi penghayatan terhadap pertanian, dan apalagi kecintaan terhadap bidang itu tidak selalu berhasil dibangun. Banyak contoh hasil pendidikan pertanian tidak tertarik pada lapangan pekerjaan pertanian, tetapi milih jenis pekerjaan lain seperti menjadi pegawai perbankan, PNS, dan bahkan juga sebagai wartawan. Mereka belajar tentang pertanian hanya dimaksudkan sebagai cara mereka berlatih berpikir, mengembangkan nalar atau berlatih berpikir academic. Padahal semestinya, akan menjadi lebih sempurna jika para ilmuwan pertanian itu juga berhasil membangun kecintaan atau budaya bertani. Budaya bertani menurut hemat saya bisa dibangun melalui kedekatan seseorang dengan dunia pertanian itu sendiri. Selama ini lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan tinggi sekalipun, belum banyak yang mengembangkan usaha-usaha kearah itu. Lembaga pendidikan pertanian tidak jarang yang hanya menyediakan ruang kelas, perpustakaan dan laboratorium. Belajar tentang pertanian tidak secara langsung di lapangan, melainkan di ruang kelas, atau di laboratorium itu. Akibatnya, mereka tidak berhasil menghayati secara lebih mendalam tentang pertanian. Umpama lembaga pendidikan pertanian atau bahkan juga kampus fakultas pertanian diletakkan di wilayah pertaniaan ------gunung, desa atau di hutan, sehingga para siswa tidak saja diberikan pelajaran tentang ilmu pertanian, melainkan sehari-hari langsung bergumul dengan kegiatan pertanian di lahan itu, maka akan dihasilkan orang yang mengerti tentang pertanian sekaligus juga menghayati dan mencintai bidang ilmunya itu. Para siswa atau mahasiswa pertanian, dengan begitu, setiap hari berada di beberapa lingkungan akademik yaitu di laboratorium, perpustakaan, dan dibimbing langsung dari dosen atau guru besar pertanian sekaligus di lahan pertanian.

Lembaga pendidikan pertanian dan atau fakultas pertanian semestinya tidak berlokasi di tengah kota, melainkan di desa yang lahannya masih luas. Para siswa atau mahasiswa dengan begitu sehari-hari tidak saja berwacana atau membayangkan dunia pertanian, melainkan secara langsung belajar tentang pertanian sebagaimana anak desa dalam belajar bertani. Bedanya, para siswa dan mahasiswa selain belajar dari pengalaman juga belajar tentang prinsip, konsep, teori yang terkait dengan bidang itu. Akhirnya dengan demikian, selain mereka akan berhasil mengembangkan ilmu dan keahliannya maka sekaligus akan berhasil membangun kultur, budaya, atau kecintaan terhadap pertanian. Jika demikian, bidang pertanian akan menarik, dan sebagai akibatnya peminat ilmu pertanian di negeri agraris yang tanahnya luas dan subur ini tidak akan selalu bertambah dan tidak sebagaimana saat ini, yaitu negeri agraris tapi rakyatnya tidak menyukai pertanian. Wallahu a’lam Top of Form €,´,€,´,水,? ,?

Z3O48

{"source":"6","target_fbid":"167368503879","target_ow a19f2ebc93ca031a362516f95b85d9bd ner":"1604160940","actor":"1604160940","targe

Diperbarui 2 minggu yang lalu · Komentar ·SukaTidak Suka

9 orang menyukai ini.

Lihat ke-6 komentar

Franky Ky waduh kalo boleh komenta, ternyata banyak orang nglantur, yang dibutuhkan adalah orang yang mau terjun dari menara gading, seperti pak imam ini 02 November jam 15:23

Yudha Satya uin juga buka tuh teknik pertanian pak 02 November jam 17:07 Tulis komentar...

Komentar

{}

Bottom of Form Negari Agraris Bagikan 01 November 2009 jam 20:24 Dilihat dari sisi luas tanahnya, sangat pantas bangsa ini menyebut dirinya sebagai negara agraris. Tanahnya sedemikian luas dan juga subur. Posisinya di sekitar khatulistiwa, curah hujannya sangat cocok untuk bertanam apa saja. Sebagian daerahnya merupakan pegunungan dan lainnya daerah dataran rendah. Hampir merata, di semua pulau besar dan kecil demikian keadaannya. Kondisi seperti itu menjadikan penataan irigasi tidak terlalu sulit. Waduk penampungan air di mana-mana bisa dibangun untuk penataan irigasi. Keadaan tanah yang beragam seperti itu, petani bisa memilih jenis tanaman yang disukai. Bertanam buah-buahan, sayur mayur, menanam bunga, semua bisa tumbuh. Selain itu, misalnya ingin menanam padi, jagung, kedelai, kacang-kacangan, dan seterusnya semua cocok. Apa saja jenis tanaman di dunia ini, bisa tumbuh dan berbuah jika ditanam di Indonesia. Hingga, tanaman padang pasir, seperti kurma pun bisa tumbuh jika ditanam di negeri ini.

Hanya kadang yang jadi sedih, dari negeri agraris yang subur seperti itu, seringkali terdengar berita yang tidak menggembirakan. Misalnya, suatu ketika beras, jagung, kedelai harus impor. Bahkan juga buahbuahan, seperti apel, dunian, pisang dan bahkan juga jenis buah yang sederhana pun import. Orang mengenal ada apel Australia, Amerika, New Zeland, durian dari Tailand, mangga dari luar negeri dan lain-lain. Bagaimana semua ini bisa terjadi, sebuah negeri agraris rakyatnya harud membeli buah-buahan, biji-bijian, beras dan bahkan -----jika benar, hingga garam pun harus import. Sepertinya berita ini selain terdengar lucu juga menjengkelkan. Keadaan seperti itu mungkin disebabkan oleh kualitas buah yang dihasilkan oleh para petani kurang berkualitas, sehingga orang memilih membeli buah yang lebih berkualitas yang berasal dari luar negeri. Jika persoalannya menyangkut kualitas, pertanyaannya adalah mengapa tidak dilakukan kajian untuk meningkatkannya. Bukankah di negeri ini telah memiliki lembaga-lembaga yang khusus untuk melakukan kajian pertanian. Selain itu juga lembaga pendidikan tinggi, sehingga dari hasil kerja mereka diperoleh bibit unggul dan juga hasilhasil pertanian berkualitas tinggi. Menghadapi persoalan itu, siapa sesungguhnya yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan persoalan itu, baik yang terkait dengan persoalan konseptual hingga yang bersifat teknis. Yang bersifat teknis, dulu pada zaman orde baru dibentuk lembaga bimbingan masyarakat desa, sehingga seringkali kita mendengar ada sarjana pertanian masuk desa memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap petani. Mereka dibimbing untuk menanam jenis tanaman yang lebih unggul dan menguntungkan. Mereka dibimbing bagaimana memilih benih yang unggul, pupuk yang sesuai dengan kebutuhan dan ukurannya yang tepat, pengelolaan hasil pertanian hingga bagaimana pemasarannya. Saya kadang berpikir, mengapa program-program seperti itu tidak dikembangkan lagi. Rakyat sekarang memerlukan bimbingan. Setelah mereka diajak berhiruk pikuk memikirkan politik, maka sudah saatnya rakyat diajak berpikir dan diberikan bimbingan tentang persoalan riil, misalnya pengembangan pertanian sebagaimana diungkap di muka. Dengan cara itu saya kira bangsa agraris ini tidak lagi membeli hasil pertanian,

tetapi semestinya justru menjualnya. Isteri para petani ke pasar tidak membeli beras, jagung, bahkan cabe, tetapi justru menjual hasil pertanian itu. Dengan memulai yang sederhana dan kecil ini, bangsa akan bangkit, setidaknya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Wallahu a’lam

Related Documents

Rasa Beragama
June 2020 17
Anandabhairava Rasa
April 2020 32
Luahan Rasa
May 2020 40
Sutashekara Rasa
April 2020 43
Rasa Beragam1
June 2020 19
Tenggang Rasa
June 2020 27

More Documents from "Irawaty"