Rasa Beragam1

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rasa Beragam1 as PDF for free.

More details

  • Words: 651
  • Pages: 3
Rasa Beragama Bagikan Hari ini jam 7:11 Menyambung tulisan saya hari kemarin tentang susahnya berusia terlalu tua di negeri maju, maka pada hari ini saya akan menulis tentang rasa agama. Setiap orang, hingga yang merasa paling modern sekalipun, ternyata memilikinya. Dulu teman saya yang berasal dari Swiss, yang saya ceritakan dalam tulisan kemarin, tidak begitu memperdulikan tentang agama. Agama, tuhan, nabi, dan seterusnya, menurut pemahamannya hanya dibuat-buat sendiri oleh orang yang bersangkutan. Bahkan tuhan pun ada, karena dibayangkan ada oleh seseorang. Padahal bisa saja sebaliknya, jika tidak dibayangkan, ------maka menurutnya, sesungguhnya juga tidak akan ada. Dalam pertemuan terakhir kali itu, setelah dia berumur sekitar 63 tahun, dia merasa tidak enak jika pada hari natal tidak bersama dengan orang tuanya di Swiss. Di manapun dia pergi, seperti sekarang ini yang sudah 5 tahun tinggal di Philipina, setiap hari natal selalu pulang. Dia merasa ada kebahagiaan tersendiri tatkala pada hari natal, bersama-sama orang tuanya, merayakan hari yang dirasakan membahagiakan itu. Dia mengatakan, dari pengalaman hidupnya yang panjang, bahwa ternyata agama dengan mudah dimasuki melalui rasa, dan sangat sulit jika didekati dengan akalnya. Sedangkan agama yang dimaksudkan olehnya adalah Katholik, karena sejak kecil ia hidup di keluarga yang beragama itu. Saya mencoba bertanya, mulai kapan perasaan pentingnya beragama seperti itu muncul. Dia menjawab bahwa sejak dulu, ketika masih kecil bersama orang tuanya tinggal di Swiss, sesekali ia diajak ke gereja. Tetapi ketika itu dia tidak merasakan apa-apa. Apa yang dilakukan oleh banyak orang terkait dengan keagamaan dianggap tidak masuk diakalnya. Tetapi ternyata, setelah ia menginjak usia tua, pengalaman kecil itu terpikirkan kembali dan dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Mendengar cerita itu, saya teringat tradisi kaum santri di berbagai tempat, pada saat-saat tertentu, menyelenggarakan upacara

keagamaan yang dikemas sedemikian rupa, hingga menggetarkan hati bagi siapapun yang mengikuti atau setidak-tidaknya mendengarkannya. Misalnya upacara kelahiran, khitanan, pernikahan dan bahkan juga kematian. Upacara yang bernuansa agama semacam itu, di beberapa tempat semakin lama, sayangnya semakin ditinggalkan orang. Pada upacara beberapa hari setelah kelahiran, khitanan, pernikahan, dan seterusnya dibacakan secara bersama-sama sholawat Nabi. Mungkin banyak orang tidak mengerti arti bacaan itu, tetapi karena terbiasa mendengar, maka alunan bait-bait dalam sholawat itu, dirasakan oleh banyak orang sebagai sesuatu yang indah. Mendengar suara itu, maka seolah-olah Nabi hadir di tempat itu. Demikian pula, melalui bacaan-bacaan yang disuarakan bersama dengan suara indah, maka di saat itu pula Tuhan pun menjadi terasa hadir dan dekat. Melalui upacara-upacara keagamaan seperti itu, --------sadar atau tidak, siapapun terbantu untuk merenungkan keberadaannya, nabi, malaikat, dan juga Tuhannya. Sosok pribadi Nabi menjadi dikenal sedemikian indah dan mulianya. Demikian pula pada saat seperti itu, terbayangkan oleh semuanya, --------baik anak-anak, pemuda, dewasa dan orang tua, bahwa Tuhan sedemikian Maha Kuasa, Maha Mulia, dan Maha Pengasih serta Penyayang. Hal yang demikian agak sulit dirasionalkan, karena memang letakkan bukan di wilayah rasio, melainkan berada pada tataran rasa. Agama sebagiannya, memang berada pada wilayah ini, yaitu di kawasan rasa. Selalu ada rasa agama pada setiap orang, yang hal itu semestinya perlu ditumbuhkembangkan. Sayang sekali, kegiatan cultural keagamaan itu, di beberapa tempat semakin lama semakin menipis. Sementara orang menganggapnya tidak perlu, karena tidak rasional. Padahal manusia sebagai makhluk yang memiliki rasa, -------selain akal, selalu memerlukannya. Manusia ternyata memiliki rasa beragama, yakni ingin memiliki tokoh idola, mendekat pada Yang Maha Kuasa dan selalu muncul kesadaran akan datangnya hari tua, atau bahkan kematian. Tokoh idola itu adalah Nabi, dalam Islam adalah Muhammad saw. Tokoh idola ini, sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa agama, seharusnya kepribadiannya yang agung dan mulia dikenali secara terus menerus. Namanya harus selalu disebut berulang-ulang, untuk memuliakannya.

Pada zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, semestinya upacara keagamaan seperti itu, semakin diperkenalkan. Manusia modern yang salah satu cirinya semakin rasional, maka harus diimbangi dengan kegiatan yang bernuansa untuk menumbuhkembangkan aspek rasa, yaitu di antaranya adalah rasa beragama ini. Sehingga kehidupan manusia menjadi seimbang antara kebutuhan rasio dan pemenuhan rasa. Islam sesungguhnya, jika direnungkan secara mendalam, mengajarkan tentang itu, yakni hidup secara seimbang. Wallahu a’lam.

Related Documents

Rasa Beragam1
June 2020 19
Anandabhairava Rasa
April 2020 32
Luahan Rasa
May 2020 40
Sutashekara Rasa
April 2020 43
Rasa Beragama
June 2020 17
Tenggang Rasa
June 2020 27

More Documents from "Irawaty"