Presus - Psikotik.docx

  • Uploaded by: Bagus Putra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presus - Psikotik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,761
  • Pages: 18
PRESENTASI KASUS SKIZOFRENIA TAK TERINCI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang

Disusun oleh :

Pembimbing : dr. Exnatius Anang Widyatna, M. Sc., Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA RSJ PROF. DR. SOEROJO MAGELANG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSUTAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2018

A.

EDUKASI 

Patuh minum obat dan rutin kontrol. Data penelitian menunjukan frekuensi kekambuhan pasien yang tidak patuh minum obat, akan mengalami kekambuhan setelah 8-14 hari berhenti minum obat.



Rutin melakukan olahraga (jogging). Penelitian yang dilakukan oleh Gorzynski et al (2010) dan Faulkner (2005), terjadi perbaikan gejala klinis yang nyata pada pasien dengan gangguan jiwa berat, perbaikan gejala paling signifikan terlihat pada pasien yang diberikan terapi olahraga dengan dosis berkisar 30 menit per sesi yang dilakukan seminggu 2 kali selama 8 minggu.



Meningkatkan peran keluarga dan dukungan sosial. Dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit jiwa. Jika dukungan sosial dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan teman-teman tidak ia dapatkan, akan meningkatkan resiko relaps atau kekambuhan.



Memberikan pengetahuan tentang pengenalan gangguan jiwa sejak dini, karena semakin lama onset, maka semakin buruk prognosisnya.m

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

DEFINISI Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ

III, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia adalah penyakit paradigmatik psikiatri dimana sindrom klinis variabel namun sangat mengganggu psikopatologi, yang melibatkan pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku. Ekspresi gejala bervariasi di seluruh pasien dan dari waktu ke waktu, tetapi efek kumulatif dari penyakit selalu parah dan biasanya tahan lama. B.

EPIDEMIOLOGI American Psychiatric Association (2013), menyebutkan, 1% populasi penduduk dunia

menderita skizofrenia. Penelitian serupa oleh WHO menyebutkan, prevalensi skizofrenia di masyarakat berkisar 1-3 permil penduduk, sedangkan di Indonesia sendiri menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 diperkirakan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia adalah 1,27 orang per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak yaitu di DI Yogyakarta, Aceh, SulSel, Bali, dan Jawa Barat. Skizofrenia muncul di awal usia 20 tahun, serta memberi akibat yang buruk, khususnya tidak dapat menyelesaikan sekolah atau mendapat pekerjaan yang layak, sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar, membutuhkan biaya besar untuk perawatan di Rumah Sakit, pengobatan yang berkesinambungan, rehabilitasi, dan dukungan dari keluarga dan lingkungan. Selain gejala – gejalanya yang khas, terlihat juga gangguan interakasi pasien skizofrenia dengan orang lain, termasuk kontak mata yang kurang, respon yang terhambat, ekspresi wajah yang kurang wajar, spontanitas berkurang, dan kurang mampu menilai emosi orang lain. Selain itu adanya stigma di masyarakat yang mengucilkan pasien – pasien skizofrenia menyebabkan hambatan yang serius pada pasien ini untuk kembali ke keluarga dan bersosialisasi dalam masyarakat. C.

ETIOLOGI a.

Faktor Genetik

Faktor Genetik terhitung menjadi liabilitas mayor untuk penyakit skizofrenia. Kemampuan menurun pada generasi selanjutnya skizofrenia secara genetik berkisar 60-80%. Penelitian genetika molekuler telah mengidentifikasi gen yang terbukti paling berperan antara lain : 1) Neuregulin (NRG1) pada kromosom 8p21-22 yang memiliki peran ganda dalam perkembangan otak, plastisitas sinaptik dan sinyal glutamat. 2) Dysbindin (DTNBP1) pada kromosom 6p22 yang membantu mengatur pelepasan glutamat. 3) DISC1 (Disrupted In SChizophrenia) yaitu sebuah kromosom translokasi seimbang (1,11) (q42;q14.3) yang memiliki peran ganda dalam sinyal sinaptik dan fungsi sel.

Tabel 1. Beberapa presentase resiko terjadinya skizofrenia berdasarkan kerabat yang terkena Skizofrenia Anggota keluarga (s) yang menderita skizofrenia Kembar Identik Satu saudara atau kembar fraternal Kedua Orangtua Salah satu orang tua Tidak ada kerabat yang terkena skizofrenia b.

Resiko (kira-kira) 46% 12-15% 40% 6% 0,5-1%

Faktor Biokimia 1) Aktivitas berlebihan dopaminergik. Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin pada pasien skizofrenia adalah bahwa skizofrenia merupakan hasil dari aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini timbul dari dua pengamatan. Pertama, efikasi dan potensi dari obat-obatan anti-psikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin (DRAs) yang memiliki kemampuan bertindak sebagai antagonis dari reseptor Dopamin tipe 2 (D2) (Kaplan & Sadock, 2015; Blum et, al., 2014). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, terutama kokain dan amfetamin merupakan psikotomimetik yang berarti cenderung menghasilkan manifestasi seperti gejala psikosis, seperti halusinasi visual, distorsi persepsi, dan perilaku mirip skizofrenia. Bukti menunjukkan bahwa skizofrenia berhubungan dengan stimulasi berlebihan dari dopamin D2 dan kurangnya stimulasi D1 pada korteks prefrontal.

Pelepasan secara berlebihan senyawa dopamin pada pasien skizofrenia telah dihubungkan dengan beratnya gejala positif pada pasien.Hasil Position Emission Tomography (PET) Scan pada reseptor dopamin menunjukkan peningkatan reseptor D2 di nukleus kaudatus dari pasien skizofrenia yang bebas obat. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsentrasi dopamin di amygdala dan peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 4 di korteks entorhinal. 2) Serotonin Serotonin merupakan sistem neurotransmitter yang berfungsi sebagai pusat pengatur emosi, perilaku dan akan bermasalah pada pasien skizofrenia (Bonnin, et, al., 2011). Penelitian terkini menyatakan bahwa jumlah serotinin yang berlebih menyebabkan gejala positif dan negatif skizofrenia (Li et, al., 2013). Serotinin yang kuat menjadi antagonis dari clozapine dan obat-obat generasi kedua yang memiliki fungsi menurunkan gejala positif dan negatif skizofrenia. 3) Norepinefrin Norepinefrin pada orang dengan skizofrenia mengalami peningkatan dibandingkan dengan orang normal.Norepinefrin yang meningkat dikaitkan dengan gejala-gejala psikosis yang muncul pada pasien (Fitzgerald, 2014). Anhedonia (penyebab dari terganggunya kepuasaan emosi dan mengalami penurunan akan kesenangan) telah lama menjadi ciri utama dari skizofrenia. Degenerasi selektif bagian norepinefin dapat menjelaskan gejala-gejala yang muncul pada skizofrenia. 4) GABA Penelitian

menunjukkan

bahwa

beberapa

pasien

skizofrenia

kehilangnya neuron-neuron GABAergik di Hippocampus.GABA memiliki peran regulasi pada aktivitas dopamin, dan hilangnya peran inhibisi terhadap neuron dopaminergik

pada neuron GABAergik

dapat

menyebabkan

hiperaktivitas pada neuron dopaminergic. c.

Model diatesis-stress Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini menjelaskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dipapar oleh pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres akan memungkinkan perkembangan

gejala skizofrenia. Penelitian menyebutkan bahwa model diatesis-stresssangat erat kaitannya dengan ekspresi emosi seseorang. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat).Dasar biologis diatesis dapat tebentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan trauma. d.

Faktor psikososial 1) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya gejala skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan

dalam

setiap

fase

perkembangan

selama

anak-anak

dan

mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal. Simptom positif diasosiasikan

dengan

onset

akut

sebagai

respon

terhadap

factor

pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik. Simtom negative berkaitan erat dengan factor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar. 2) Teori Belajar Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk. 3) Teori Tentang Keluarga Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. 4) Teori Sosial

Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia.Meskipun ada data pendukung, namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit. D.

MANIFESTASI KLINIS a.

Gangguan Proses Pikir : Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.

b.

Gangguan Isi Pikir : Waham adalah suatu kepercayaan yang salah yang menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain : 1)

Waham kejar

2)

Waham kebesaran

3)

Waham rujukan

4)

Waham penyiaran pikiran

5)

Waham penyisipan pikiran

6)

Waham aneh

c.

Gangguan Persepsi : Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.

d.

Gangguan Emosi : Ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):

e.

1)

Afek tumpul atau datar

2)

Afek tak serasi

3)

Afek labil

Gangguan Perilaku : Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.

f.

Gangguan Motivasi : aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas.

g.

Gangguan Neurokognitif : terdapat gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif.

Tabel 2. Gejala-gejala utama pada skizofrenia

E.

KLASIFIKASI Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III (2001), yaitu : a.

Skizofrenia paranoid (F 20. 0) 1) Memenuhi kriteria skizofrenia. 2) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar. 3) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative tidak ada.

b.

Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1)

1) Memenuhi kriteria skizofrenia. 2) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun). 3) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri. 4) Gejala bertahan 2-3 minggu. 5) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud.Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak. 6) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan. 7) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang. 8) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren. c.

Skizofrenia katatonik (F 20. 2) 1) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia. 2) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme. 3) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal). 4) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut. 5) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah). 6) Rigiditas (kaku). 7) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar. 8) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan katakata serta kalimat. 9) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

d.

Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3) 1) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia. 2) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik. 3) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pasca- skizofrenia.

e.

Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4)

1) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini. 2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya). 3) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-).Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3). f.

Skizofrenia residual (F 20.5) 1) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. 2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; 3) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbulsindrom “negatif” dari skizofrenia; 4) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

g.

Skizofrenia simpleks (F 20. 6) 1) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari: a) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik. b) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial. 2) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

h.

Skizofrenia lainnya (F.20.8)

Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI. a. Skizofrenia tak spesifik (F.20.7) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah disebutkan. F.

PEDOMAN DIAGNOSIS a.

Setidaknya salah satu dari gejala berikut: 1) Adanya pikiran yang bergema (though echo), penarikan pikiran atau penyisipan (though insertion atau thugh withdrawal, dan penyiaran pikiran (broadcasting). 2) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of being influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh, anggota gerak, atau pikiran, perbuatan dan perasaan. 3) Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau sekelompok orang yang sedang mendiskusikan tentang pasien, atau bentuk halusinasi suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh. 4) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk asing yang datang dari planit lain)

b.

Atau, setidaknya ada dua gejala dari berikut: 1) Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baikoleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus 2) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yangberakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme. 3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikaptubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor. 4) Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara social. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan pada gejala tersebut tetapi lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis sebagai gangguan psikotik lir skizofrenia akut. Secara retrospektif, mungkin terdapat fase prodromal dengan gejala-gejala dan perilaku kehilangan minat dalam bekerja, dalam aktivitas (pergaulan) sosial, penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri, bersama dengan kecemasan yang menyeluruh serta depresi dan preokupasi yang berderajat ringan, mendahului onset gejala-gejala psikotik selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Karena sulitnya menentukan onset, kriteria lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk gejala-gejala khas tersebut di atas dan tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal. Diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan bila terdapat secara luas gejalagejala depresif atau manic kecuali bila memang jelas bahwa gejala-gejala skizofrenia itu mendahului gangguan afektif tersebut, dan bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam keadaan intoksikasi atau putus zat. G.

DIAGNOSIS BANDING a.

Gangguan Kondisi Medis Umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus

b.

Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif

c.

Gangguan Skizoafektif

d.

Gangguan afektif berat

e.

Gangguan Waham

f.

Gangguan Perkembangan Pervasif

g.

Gangguan Kepribadian Skizotipal

h.

Gangguan Kepribadian Skizoid

i.

Gangguan Kepribadian Paranoid

H.

PENATALAKSANAAN a.

Fase Akut 1)

Farmakoterapi Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah. Langkah Pertama : •

Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.

Langkah Kedua : •

Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih

cepat

serta

hilangnya

gejala

dengan

segera

perlu

dipertimbangkan. Obat injeksi : a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari. b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari), intramuskulus. c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari. d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.

Tabel 1. Daftar obat antipsikotika, dosis dan sediaannya.

Obat oral : Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahanlahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala. 2)

Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik,

memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan. 3)

Terapi lainnya ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik dan Skizofrenia refrakter.

b. Fase Stabilisasi 1)

Farmakoterapi Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.

2)

Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.

c.

Fase Rumatan 1)

Farmakoterapi Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.

2)

Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.

I.

PENATALAKSANAAN EFEK SAMPING Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV. Tabel 2. Daftar obat untuk mengatasi efek samping antispikotik.

Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis antipsikotika. Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama klozapin. Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan penatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM merupakan kondisi akut yang mengancam kehidupan.

Dalam

kondisi

ini

semua

penggunaan

antipsikotika

harus

dihentikan.Lakukan terapi simtomatik, perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalam kondisi kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif (ICU). J.

PROGNOSIS Penanganan skizofrenia bisa dibilang tidak mudah, karena jumlah kekambuhan pasien skizofrenia baik di negara maju dan negara berkembang yakni sekitar 50-92% tidak peduli keadaan ekonomi dan kemakmuran negara tersebut. Pasien skizofrenia masih sangat memungkinkan mengalami kekambuhan yang muncul dalam periode 2 tahun, sehingga membutuhkan terapi selain farmakoterapi. Maramis & Maramis (2009) menyebutkan bahwa 1/3 dari pasien skizofrenia yang datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama akan sembuh sama sekali

(full remission/recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya dan sisanya biasanya, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Pasien yang menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam 2 tahun, dibandingkan dengan pasien yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-30%. Perkiraan perjalanan penyakit dan prognosis pasien skizofrenia pada penelitian kohort dengan follow-up selama 13 tahun (Mason, et, al., 1995) dalam (Semple & Smyth, 2013) antara lain : a.

Sekitar 15-20% dari episode pertama tidak akan kambuh.

b.

Beberapa orang akan tetap bekerja

c.

52% tanpa gejala psikotik dalam 2 tahun terakhir.

d.

52% tanpa gejala negatif.

e.

55% menunjukkan fungsi sosial yang baik atau cukup baik Prognosis dapat ditetapkan juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor,

antara lain: a.

Kepribadian prepsikotik. Bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang memuaskan maka prognosis lebih jelek.

b.

Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.

c.

Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan

ke

masyarakat.

Skizofrenia

hebefrenik/terdisorganisasi

dan

skizofrenia simplek mempunyai prognosis yang sama jelek, biasanya jenis skizofrenia ini menuju kearah kemunduran mental. d.

Umur: makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.

e.

Pengobatan: makin lekas diberikan pengobatan, makin baik prognosisnya.

f.

Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologis, maka prognosisnya lebih baik.

g.

Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association. (2013). Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders. Fifth Edition. Washington, DC,87-122 Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III. Cetakan Pertama. 1993. Buchanan RW. and Carpenter WT Jr. (2000). Mazindol treatment of negative symptoms. Neuropsychopharmacology, 23(4):365-374. Buchanan R.A., Carpenter W.T. Schizophrenia. In: Saddock B.J., Saddock V.A. Kaplan & Saddock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7 th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 2000. p.2282. Cancro R, Lehmann HE. Schizophrenia: Clinical features. Dalam: Kaplan dan Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA, edit, seventh ed. Lippincott Williams dan Wilkins, A Wolter Kluwer Company, 2000, hal.1169-1198 Faulkner GEJ. (2005). Exercise as an adjunct treatment of schizophrenia. In : Faulkner GEJ, Taylor AH, Edd. Exercise, Health and Mental Health. Emerging relationship. London: Routledge. Gorczynski P. & Faulkner G. (2010). Exercise therapy for schizophrenia. Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 5. Art. Kurnia, et al. (2015). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan pada Pasien. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (no.3), September 2015 Marder SR. Schizophrenia: Somatic treatment Dalam: Kaplan dan Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA, edit, seventh ed. Lippincott Williams dan Wilkins, A Wolter Kluwer Company, 2000, hal.1199-1231 PDSKJI, Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia, 2011 Riset Kesehatan Dasar. (2013). Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Saddock B.J., Saddock V.A. Schizophrenia. In: Kaplan & Saddock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/ Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 2007.

Related Documents

Presus Melatiku.pptx
May 2020 18
Presus Skabies.docx
December 2019 20
Presus Devi.docx
May 2020 16
Presus Baru.docx
April 2020 13
Presus - Psikotik.docx
December 2019 28

More Documents from "Yoga Ajie Laksono"

Presus - Psikotik.docx
December 2019 28
Isi Makalah.docx
October 2019 19
Mini-cex Demam Tifoid.docx
December 2019 27
Makalah Bik.docx
April 2020 12