Presentasi Kasus - Cf. Femur.docx

  • Uploaded by: Bagus Putra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presentasi Kasus - Cf. Femur.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,844
  • Pages: 22
PRESENTASI KASUS ANESTESI UMUM PADA ORIF FRAKTUR FEMUR Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Temanggung

Disusun oleh :

Bagus Putra Raharjo NIM: 20130310147 NIPP: 20174011118 Pembimbing :

dr. Argoseto, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF RSUD TEMANGGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2018 1

BAB I LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS Nama

: Nn. DA

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 20 tahun

Alamat

: Temanggung

Tanggal masuk

: 15 Januari 2018

No RM

: 253370

B. PRIMARY SURVEY Airway Pasien dapat berkomunikasi dengan baik Tidak ada penggunaan otot nafas tambahan Tidak ada suara nafas tambahan (snoring, gurgling, stridor) Breathing RR

: 24 x/menit

Thoraks Inspeksi : Pergerakan simetris, Retraksi (-), Jejas (-) Palpasi

: Nyeri tekan (-)

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : SDV (+/+), Ronkhi (-) Circulation Nadi

: Regular, 104 kali / menit, Adekuat

TD

: 100/70mmHg Ictur cordis teraba di linea midclavicula sinistra SIC 5 BJ1-2 reguler, Suara tambahan (-)

Disability GCS

: E4V5M6

Pupil

: Reflek cahaya (+/+) isokor 2

Exposure Terdapat diskontinuitas pada femur sinistra Deformitas, shortening, perdarahan (-), jejas (+), perubahan warna kulit (+), hematom (+)

C. SECONDARY SURVEY Anamnesis Keluhan utama

: Tungkai kiri tidak bisa digerakan disertai nyeri pada paha kiri

Riwayat Penyakit Sekarang 1 bulan SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Terjadi patah tulang pinggul, tulang paha kiri, pergeseran sendi tumit kiri, luka robek pada area kemaluan dan anus, serta terjadi perdarahan dalam rongga perut. Terdapat riwayat penurunan kesadaran. Kemudian pasien datang ke RSUP dr.Sardjito untuk penanganan patah tulang pinggul, perdarahan dalam rongga perut dan luka robek pada area kemaluan dan anus. Pada tanggal 15 Januari 2018 pasien dibawa ke IGD RSUD Temanggung dengan keluhan nyeri pada paha dan tungkai kiri. Tungkai kiri sulit untuk digerakan, dan bertambah nyeri ketika digerakan. Tidak ada perdarahan, Nyeri tekan (+), BAK (+) normal, BAB (+) normal. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Trauma

(+)

Riwayat Operasi

(+)

Riwayat Hipertensi

( -)

Riwayat DM

( -)

Riwayat Alergi

( -)

Riwayat Asma

( -)

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Penyakit Serupa ( -) 3

D. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan umum : Tampak kesakitan Kesadaran

: Compos mentis, GCS E4V5M6

Vital Sign TD

100/70 mmHg

Nadi

104 x/menit

Respirasi 26 x/menit Suhu

36,5 °C

Kepala Mesosefal, Simetris Konjunctiva anemis

( -/- )

Sklera ikterik

( -/- )

Reflek cahaya

(+/+) Isokor

Leher Tidak ada pembesaran limfonodi Tidak ada massa Dada Inspeksi : Pergerakan simetris, Retraksi (-), Jejas (-) Palpasi

: Nyeri tekan (-) Ictur cordis teraba di linea midclavicula sinistra SIC 5

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : SDV (+/+), Ronkhi (-) BJ1-2 reguler, Suara tambahan (-) Abdomen Inspeksi : Datar, Terpasang K-wire pada perut bawah Auskultasi : Bising usus (+) normal Palpasi

: Supel, Nyeri tekan (+)

Perkusi

: Timpani 4

Ekstremitas Akral dingin

(-/-)

Oedem

(-/-)

Status Lokalis Look Terdapat diskontinuitas pada femur sinistra, Deformitas (+), Shortening (+), Perdarahan (-), Jejas (+), Perubahan warna kulit (+), Hematom (+) Feel Nyeri tekan (+), Krepitasi (+), Teraba hangat (-) Move Bertambah nyeri ketika digerakan E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Darah lengkap HB

11,3

(L)

Hematokrit

34

(L)

Lekosit

8,0

Eritrosit

4,15

Trombosit

372

Hitung Jenis Netrofil

78,4

(H)

Limfosit

12,4

(H)

Kimia Klinik Ureum

15,9

Kreatinin

0,44

CT

8’00”

BT

1’30’’

SGOT

22,4

SGPT

20,3

(L)

5

Pemeriksaan Radiologi

Rontgen Femur Sinistra AP/Lateral view Deskripsi - Old fracture complete comminutive os femur sinistra 1/3 medial posisi tidak baik - Tak tampak gambaran callus - Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis dan dislokasi Kesan - Fraktur komplit os femur sinistra 1/3 medial F. DIAGNOSIS Status fisik ASA III pada pasien closed fracture complete os femur sinistra 1/3 medial dengan tindakan ORIF G. TERAPI 1.

Terapi awal - Infus RL + Ketorolac 2 ampul 20 tpm - Konsultasi dokter spesialis bedah orthopedi untuk tindakan ORIF

2.

Pra operasi - Injeksi pre operasi cefotaxime 2g - Rencana dilakukan operasi ORIF pada tanggal 17 Januari 2018 - Puasa dimulai pukul 00.00 WIB, minimal 6 jam sebelum operasi 6

3.

Intra operasi - Dilakukan operasi ORIF menggunakan teknik general anestesi dengan pemasangan intubasi pada tanggal 17 Januari 2018 pukul 11.00 WIB Laporan Anestesi Jenis anestesi

: Besar

Resiko anestesi

: Besar

Monitoring TD 72/42 mmHg, N 108 x/menit, RR 28x/menit, SpO2 100% Prainduksi BB

: 50 kg

ASA

: III

Jantung

: dbn

Paru

: dbn

Premedikasi Sulfas atropine 0,25 mg Midazolam 2,5 mg Fentanyl 100 mcg Induksi Induksi dengan Recofol 100 mg IV  Injeksi Atracurium Besylate 15 mg sebagai muscle relaxants  Setelah reflek bulu mata hilang kemudian dilakukan preoksigenasi selama 2 menit dengan menggunakan face mask untuk memberikan efek hiperventilasi pada paru  Dilakukan intubasi dengan endotrakeal tube  Balon ET dikembangkan  Berikan bantuan napas  Cek posisi pipa ET pada kedua apex paru dengan menggunakan stetoskop  Pasang mayo tube  Fiksasi  Berikan sevoflurane 5 vol%

7

Maintenance O2 2,5 L/menit + N2O 2,5 L/menit + Sevoflurane 2 vol% Cairan M

: (10x4)+(10x2)+(30x1)= 90 ml

SO

: BB x konstanta operasi berat = 50x8 = 400 ml

PP

: 11 x maintenance = 11x90 = 990

Jam 1

: 1/2PP+M+SO = 495+90+400 = 985 ml

Jam 2 dan 3

: 1/4PP+M+SO = 247,5+90+400 = 737,5 ml

Jam 4 dan seterusnya : M+SO = 90+400 = 490 ml Obat lain yang diberikan adalah ondansentron 8 mg dan ketorolac 30 mg 4.

Post Operasi Operasi selesai  N2O dan sevoflurane diturunkan hingga 0L, O2 tetap diberikan  dilakukan ekstubasi dan suction untuk membersiihkan jalan nafas  ruang pemulihan Ruang pemulihan Monitoring keadaan umum pasien ( Aldrete score ) : -

Warna kulit : Merah muda, SaO2 98% (2)

-

Respirasi

: Nafas dalam/batuk (2)

-

Sirkulasi

: Tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2)

-

Kesadaran

: Sadar penuh (2)

-

Aktivitas

: Seluruh ekstremitas dapat digerakan (2)

Aldrete score pada pasien ini 10, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal Bangsal Pengawasan TD, N dan RR setiap ½ jam pada 4 jam pertama Program cairan tutofusin OPS + fentanyl 100mcg + ketorolac 60mg 20 tpm Terpasang kateter, Pantau produksi urin Diit bebas, Bed rest

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAKTUR FEMUR 1.

Definisi Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang (Helmi, 2012). Fraktur adalah patahan tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan umumnya disebabkan oleh tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2010).

2.

Etiologi Penyebab fraktur adalah trauma yang dibagi menjadi 3 antara lain : 1) Trauma langsung yaitu benturan pada tulang biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trohkantor mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan). 2) Trauma tidak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpleset di kamar mandi. 3) Trauma ringan yaitu keadaaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau patologi (Sjamsuhidayat & de Jong. 2010).

3.

Klasifikasi 1)

Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2)

Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu : 9

Derajat I : Luka <1 cm Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan Kontaminasi minimal Derajat II : Laserasi >1 cm Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi Fraktur kominutif sedang Kontaminasi sedang Derajat III: Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas : a.

Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.

b.

Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi masif.

c.

Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak. (Sjamsuhidayat & de Jong. 2010).

4.

Tatalaksana Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : Rekognisi (Pengenalan) Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan

10

terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. Reduksi (Manipulasi / Reposisi) Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002). Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

11

Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000). Pada pasien lanjut usia dengan fraktur panggul pascaoperasi, biasanya akan didapati intake makanan yang tidak adekuat. Kurangnya nutrisi dapat menyebabkan gangguan mental seperti apatis, kehilangan dan kelemahan massa otot, gangguan fungsi jantung dan penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai infeksi. Pembedahan Open Reduction Interna Fixation (ORIF) adalah fiksasi interna dengan pembedahan terbuka untuk mengistirahatkan fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkan paku, screw, pen kedalam tempat fraktur untuk menguatkan/mengikat bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan (Reeves, 2001) 5.

Komplikasi Komplikasi awal fraktur a.

Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

b.

Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah. 12

c.

Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).

d.

Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

e.

Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

f.

Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).

Komplikasi dalam waktu lama : a.

Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk

13

(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. b.

Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan

yang lebih

lambat

dari

keadaan

normal.

Delayed

union

merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. c.

Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan Wilson, 2006).

6.

Prognosis -

Prognosis tergantung pada usia, jenis fraktur dan banyak faktor lainnya

-

Secara umum, pasien usia muda hampir selalu dapat kembali berjalan, walaupun masih tetap bergantung pada tipe frakturnya, mereka mungkin tidak dapat kembali beraktifitas seperti tingkat aktifitas sebelumnya.

-

Banyak pasien lanjut usia tidak dapat kembali berjalan atau hanya mampu mengerjakan sesuatu bersama asisten. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan mereka untuk hidup mandiri.

-

Hampir 20% pasien tidak dapat berjalan lagi dan pada jumlah yang sama pasien tidak mampu lagi berjalan diluar rumahnya.

-

Hanya 50-65 % dapat kembali berjalan.

14

B. GENERAL ANESTESI 1.

Pengertian Anesthesia adalah keadaan tanpa rasa (without sensation), tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula. (Sudisma et al, 2006). Hilangnya sensasi atau kontrol terhadap tubuh, biasanya digunakan untuk mendeskribsikan proses reversible. Proses ini membiarkan prosedur operasi atau terapi apapun yang menyebabkan rasa nyeri hebat untuk dilakukan, tanpa pasien merasa stres atau tidak nyaman (Marcovitch, 2005). General anaesthesia adalah hilangnya kontrol terhadap tubuh karena penekanan terhadap sistem syaraf pusat secara reversible (Welsh, 2009), sehingga menyebabkan hilangnya rasa sakit (sensibilitas) di seluruh tubuh, reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangnya kesadaran (Sudisma et al, 2006). Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen, yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = “mati ingatan'), analgesi (bebas nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot rangka (“mati gerak”). Untuk mencapai ketiga target tersebut dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai analgesi, dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anestesia tersebut populer dengan sebutan “Trias anestesi” (Mangku & Senapathi, 2010).

2.

Tehnik General Anestesi Pembiusan dapat dicapai dengan pemberian obat anestesi secara tunggal maupun balanced anesthesia yaitu mengkombinasikan beberapa agen anesthesia maupun dengan agen pre anesthesia (Tranquilli et al, 2007). General anesthesia ini terdiri atas 2 jenis yaitu, volatil (inhalasi) dan non-volatil (injeksi/parenteral). Tandatanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medula oblongata sebagai pusat respirasi dan vasomotor, bila terjadi overdosis akan mengalami kematian. (Sudisma et al, 2006). 15

3.

Mekanisme Kerja General Anestesi General anaesthesia dapat mempengaruhi CNS. Pada CNS, general anesthesia akan menganggu aktivitas elektrik pada CNS. Anaesthesia inhalasi memblokade pasca komunikasi thalamo cortical menghasilkan keadaan yang tak sadar, sedangkan untuk yang intravena atau injeksi akan mempengaruhi transmisi pada hippocampus. Anaesthesia inhalasi juga dapat bekerja pada bagian ini (Brunton et al, 2008). Anaesthesia inhalasi akan menyebabkan hiperpolarisasi pada neuron yang menjadi pacemaker pada komunikasi sinaptik, sehinggga menyebabkan neuron post sinaps mengalami penurunan eksitabilitas seperti saat terjadi aksi potensial. Pada inhalasi mauapun injeksi anestesi kebanyakan berpengaruh pada komunikasi sinaptik, dari pada mempengaruhi pembentukan aksi potensial (Brunton et al, 2008). Seringkali muncul gejala shivering (menggigil) pada periode recovery setelah bruntpenerapan general anaesthesia, dan sangat menganggu pasien. Kombinasi antara midazolam dengan ketamin atau tramadol dengan ketamin dapat mengurangi efek ini (Abdulrahman, 2012).

4.

Tahap-Tahap General Anesthesia Munaf (2008) menggolongkan general anesthesia dalam 4 stadium, yaitu : a.

Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.

b.

Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.

c.

Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu : 1) Plane I, yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih 16

ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. 2) Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. 3) Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. d.

Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008)

5.

Teknik anestesi umum a.

Face mask Teknik yang banyak dipakai untuk tindakan yang singkat kira-kira ½-1 jam, keadaan umum baik (ASA I-II) dan lambung harus kosong. Salah satu persiapan penggunaan sungkup muka adalah lambung harus kosong atau pasien puasa 6-8 jam sebelumnya dengan harapan lambung sudah kosong dalam rentang waktu tersebut. hal ini bertujuan agar risiko refluks/regurgitasi berkurang. Regurgitasi dapat menyebabkan aspirasi isi lambung ke sistem pernapasan sehingga dapat menyebabkan kematian.

b.

Laryngeal mask airway (LMA) Manajemen saluran napas menggunakan laryngeal mask airway merupaka metode memasukan LMA ke dalam hipofaring. Teknik ini akan mengurangi risiko aspirasi dan regurgitasi dibandingkan jika menggunakan face mask. Cara pemasangan diawali dengan oksigenasi menggunakan face mask kemudian baru memasukan LMA yang sudah diberi jelly pelican ke hipofaring. Setelah masuk, LMA digembungkan menggunakan spuit dan di fiksasi menggunakan plester.

c.

Intubasi endotrakea dengan napas spontan Intubasi endotrakea adalah prosedur memasukan pipa endotrakea ke dalam trakea melalui mulut atau nasal. Indikasi : pasien yang sulit mempertahankan saluran napas dan kelancaran pernapasan, misalnya pasien 17

dengan penurunan kesadaran, trauma daerah muka dan leher. Intubasi juga diindikasikan untuk mencegah aspirasi, membantu mengisap sekret, ventilasi mekanis jangka lama, mengatasi obstruksi laring, operasi yang lama dan atau sulit untuk mempertahankan saluran napas misalnya operasi dibagian leher dan kepala. Prosedur pemasangan ET diawali dengan oksigenasi dan diperlukan tambahan obat pelumpuh otot durasi singkat (suksinil kolin) untuk membantu memasukkan ET ke trakea d.

Intubasi endotrakea dengan napas kendali Teknik ini sama dengan napas spontan tetapi menggunakan pelumpuh otot berdurasi menengah atau panjang.

6.

Persiapan untuk anestesi umum Pemeriksaan pada pasien pada pre-induksi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani operasi. Dilakukan anamnesis seperti riwayat mendapatkan anestesi, penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Diperhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, EKG. Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA) : -

ASA I

: Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

-

ASA II

: Pasien memiliki kelainan sistemik ringan (missal hipertensi,

asma, diabetes mellitus yang terkontrol), tidak ada keterbatasan funsional -

ASA III

: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diakibatkan karena berbagai penyebab, terdapat beberapa keterbatasan fungsional. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium. -

ASA IV

: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang mengancam

kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis. -

ASA V

: Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal

dalam 24 jam atau tidak diharapkan untuk hidup >24 jam tanpa operasi, risiko 18

besar akan kematian, kegagalan multi organ, sindrom sepsis dengan ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia. -

ASA VI

: mati batang otak untuk donor organ

Pengosongan lambung sebelum induksi anestesia untuk mencegah aspirasi lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter.

19

BAB III PEMBAHASAN

Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang kepada pasien, diperoleh status fisik pra anestesi masuk dalam kategori ASA III, yaitu Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab, terdapat beberapa keterbatasan fungsional. Pada pasien ini, dari hasil pemeriksaan didapatkan adanya tanda-tanda infeksi yang bias mengarah pada sepsis. Nadi naik, respirasi rate naik, disertai dengan naiknya netrofil dan ketika operasi berlangsung, tekanan darah terus menerus di bawah normal. Jenis anestesi yang paling baik digunakan dalam operasi ORIF adalah general anestesi, karena pasien mengalami keterbatasan gerak untuk dilakukan spinal anestesi dan pertimbangan bahwa pasien sebelum operasi berlangsung, terjadi nyeri akut post pemasangan K-wire pada fraktur os pelvic. Teknik anestesi umum yang dipilih pada pasien ini adalah teknik intubasi endotrakeal respirasi terkontrol dengan endotracheal tube nomor 7, untuk mencegah terjadinya regurgitasi yang bisa menyebabkan aspirasi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah fentanyl 100 mcg, midazolam 2,5 mg, sulfas atropine 0,25 mg. Induksi yang diberikan adalah recofol (propofol) 100 mg dan Atracurium Besylate 15 mg. Pemeliharaan yang diberikan adalah Sevoflurane 2 vol% + O2 + N2O, sedangkan obat-obatan lain yang diberikan adalah ondansentron 8mg dan ketorolac 30 mg. Perawatan pasien post operasi di ruang recovery room tidak ada tanda-tanda gangguan jalan napas dan vital sign cenderung stabil dengan Aldrete score pada pasien ini 10, sehingga pasien dapat segera dikirim ke bangsal.

20

BAB IV KESIMPULAN

Anestesi adalah keadaan tanpa rasa yang bersifat sementara. Hilangnya kontrol terhadap tubuh karena penekanan terhadap sistem syaraf pusat secara reversible, sehingga menyebabkan hilangnya rasa sakit (sensibilitas) di seluruh tubuh, reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangnya kesadaran. Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen, yaitu hipnotik, analgesi, sedasi dan relaksasi otot rangka. Fase tindakan anestesi umum adalah premedikasi, induksi dan pemeliharaan/maintanance.

21

DAFTAR PUSTAKA Abdulrahman, RS., 2012. Prevention of shivering during regional anaesthesia: Comparisonof Midazolam, Midazolam plus ketamine,Tramadol, and Tramadol plusKetamine, Life Science Journal , Egypt Brunton, L.L., dan Parker, K.L. (2008). Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.. New York: Mc Graw Hill. Hal. 563 – 579. Helmi, Z.N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks. Mansjoer, Arif, Suprohaita, et all. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke 3 jilid 2. 2000 : Jakarta, Media Aesculapius FKUI Marcovitch, H., 2005. Black’s Medical Dictionary. 41th ed. London: A & C Black. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal, EGC : Jakarta Price, dkk. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC Reeves CJ, Roux G and Lockhart R, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Buku I, (Penerjemah Joko Setyono), Jakarta : Salemba Medika Sjamsuhidayat & de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Jakarta. Buku EGC. Smeltze, S.C., dan Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Sudisma, I.G., Pemayun, I.G., et al. (2001). Uji klinik premedikasi Xylazin dan diazepam terhadap anestesi umum ketamin ada anjing lokal. Jurnal Veteriner. 3:104-107 Tranquilli WJ et al. 2007. Veterinary Anesthesia and Analgesia, Edisi ke-4.Ames: Blackwell Welsh, L. (2009). Anaesthesia for Veterinary Nurses Second edition. Wiley blackwell, Singapore.

22

Related Documents


More Documents from "Ega Meilyta"

Presus - Psikotik.docx
December 2019 28
Isi Makalah.docx
October 2019 19
Mini-cex Demam Tifoid.docx
December 2019 27
Makalah Bik.docx
April 2020 12