BAB I PENDAHULUAN Nyeri akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang sering dikeluhkan dan menjadi alasan utama pasien datang ke dokter. Tetapi, nyeri abdomen yang dijadikan sebagai keluhan utama masih memberikan banyak kemungkinan diagnosis karena nyeri dapat berasal baik dari organ dalam abdomen (nyeri viseral) maupun dari lapisan dinding abdomennya (nyeri somatik). Nyeri akut abdomen yang timbul bisa tiba-tiba atau sudah berlangsung lama. Namun, penentuan lokasi dari nyeri abdomen mampu membantu dokter untuk mengarahkan lokasi pada organ yang menyebabkan nyeri tersebut, walaupun nyeri yang dirasakan mungkin akibat dari penjalaran organ lain. Salah satu lokasi nyeri abdomen yang paling sering terjadi yaitu pada titik Mc Burney.1 Nyeri pada titik ini mengarah pada infeksi di apendiks (apendisitis). Apendisitis adalah penyakit pada bedah mayor yang paling sering terjadi dan biasanya sebagian besar dialami oleh para remaja dan dewasa muda. Dalam kasus ringan, apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika apendiks yang terinfeksi mengalami perforasi.2 Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka kematian 9661 ribu orang meninggal. Di Indonesia sampai saat ini peritonitis masih menjadi masalah yang besar dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.3 Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
1
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecilkecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktorfaktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.4 Berdasarkan pada keadaan tingginya insidensi dan komplikasi yang terjadi akibat apendisitis tersebut menjadi dasar penulis untuk mengulas lebih dalam mengenai apendisitis serta penatalaksanaanya. Pada tulisan ini akan disajikan kasus seorang laki-laki dengan diagnosa peritontis et causa appendisitis perforasi, yang mendapatkan perawatan rawat inap di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi.
2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. J
Umur
: 33 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: RT 07 Talang Banjar
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Masuk RS
: 14 Maret 2018
2.2 ANAMNESIS Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 2 hari yang lalu SMRS.
Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 2 hari yang lalu SMRS. Nyeri perut pada awalnya timbul di daerah ulu hati kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Saat ini nyeri dirasakan di seluruh perut. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus nyeri dirasakan seperti tertusuktusuk, nyeri semakin berat jika batuk, perut terlihat kembung dan keras. Pasien juga mengeluh badan panas kurang lebih 2 hari SMRS. Mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun (+), flatus (+),sulit BAB (+), BAK (+), sakit kepala (+).
Riwayat penyakit dahulu: -
Riwayat keluhan seperti ini
: Disangkal
-
Riwayat sakit jantung
: Disangkal
-
Riwayat Hipertensi
: Disangkal
3
-
Riwayat DM
: Disangkal
Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada
2.3 Pemeriksaan Fisik TANDA VITAL Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 81 x/menit
RR
: 23 x/menit
Suhu
: 36,8 ºC
STATUS GENERALISATA Kulit Warna
: Sawo matang
Suhu : 36,8ºC
Efloresensi
: (-)
Turgor : Baik
Pigmentasi
: Dalam batas normal
Ikterus : (-)
Jar. Parut
: (-)
Edema
: (-)
Rambut
: Rambut tumbuh merata
Kelenjar Pembesaran Kel. Submandibula
: (-)
Jugularis Superior
: (-)
Submental
: (-)
Jugularis Interna
: (-)
Kepala Bentuk kepala
: Normocephali
4
Ekspresi muka
: Tampak sakit sedang
Simetris muka
: Simetris
Rambut
: Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal
: (-)
Nyeri tekan syaraf
: (-)
Mata Exophthalmus/endopthalmus : (-/-) Edema palpebra
: (-/-)
Conjungtiva anemis
: (-/-)
Sklera Ikterik
: (-/-)
Pupil
: Isokor (+/+)
Lensa
: Tidak keruh
Reflek cahaya
: (+/+)
Gerakan bola mata
: Baik kesegala arah
Hidung Bentuk
: Normal
Selaput lendir : normal
Septum
: Deviasi (-)
Penumbatan
: (-)
Sekret
: (-)
Perdarahan
: (-)
Mulut Bibir
: Sianosis (-)
Gigi geligi
: Dbn
Gusi
: Berdarah (-)
Lidah
: Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher Kelenjar getah bening
: Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid
: Pembesaran (-)
5
Tekanan vena jugularis
: (5-2) cm H2O
Thorax Bentuk : Simetris
Paru-paru
Inspeksi
: Pernafasan simetris
Palpasi
: Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi
: Sonor (+/+)
Auskultasi
: Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi batas jantung Kanan
: ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri
: ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas
: ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung
: ICS III Linea parasternalis sinistra
Auskultasi
: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Cembung, distensi abdomen,sikatrik (-), massa (-),
bekas operasi (-)
Palpasi
: Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri
lepas (+), tegang, hepar dan lien tidak teraba, Rovsing sign (+), Psoas sign (-), obturator sign (+).
Perkusi
: Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh
lapangan abdomen
Auskultasi
: Bising usus menurun
Genetalia Eksterna Dalam batas normal
6
Ekstremitas atas Gerakan
: Dbn
Nyeri sendi
: (-)
Akral
: Hangat, CRT < 2 detik
Edema
: (-)
Extremitas bawah Gerakan
: Dbn
Nyeri sendi
: (-)
Akral
: Hangat, CRT < 2 detik
Edema
: (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin (14-03-2018) WBC
: 12,3 109/L
(4-10)
RBC
: 5,15 1012/L
(3,50- 5,50)
HGB
: 14,7 g/dl
(11,0-16,0)
HCT
: 42,9 %
(35-50)
PLT
: 189 109/L
(100-300)
MCV
: 83,3 fL
(88-99)
MCH
: 28,5 pg
(26-32)
MCHC
: 28,5 g/dl
(320-360)
GDS
: 99 mg/dl
(<200)
Kimia Darah (14-03-2018) Birilubin total
: 1,1 mg/dl
(<1)
Birilubin direct
: 0,3 mg/dl
(<0,2)
Protein total
: 6,7 g/dl
(6,4-8,4)
Elektrolit (14-03-2018) Na
: 140,78 mmol/L
(135-148)
K
: 3,86 mmol/L
(3,5-5,3)
Cl
: 97,63 mmol/L
(98-110)
Ca
: 1,21 mmol/L
(1,19-1,23)
2.5 Diagnosa Kerja Peritonitis et causa apppendisitis perforasi
7
2.6 Diagnosis Banding -
Gastroenteritis
-
Hipoalbumin
-
Akut abdomen
-
Limfadenitis mesenterika
-
Demam dengue
-
Ulkus peptikum perforasi
-
Kehamilan ektopik
-
Pelvic inflammatory disease
2.7 Penatalaksanaan -
IVFD RL 20 ttm
-
Paracetamol infus
-
Inj. Ranitidine 2x1 amp
-
Inj. Ceftriaxone 1x2 1x2 amp
-
Pasang kateter dan NGT
2.8 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan USG abdomen
2.9 Prognosis Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: dubia ad bonam
Quo ad santionam
: dubia ad bonam
8
TGl S 14/03/18 Pasien mengeluhkan nyeri perut (+) mual (+) muntah (-) demam (+)
O
A Suspect appendisitis akut
-
P IVFD RL 20 ttm Paracetamol infus Inj. Ceftriaxone 1g/50ml Inj. Ranitidine 25mg/ml Pasang kateter dan NGT Ajukan USG
KU : Tampak kesakitan GCS : E4V5M6 TD : 110/70 N: 81 x/mnt RR : 23 x/mnt T : 36,8⁰C
Abdomen I: distensi (+) A: BU (+) ↓ P: NT(+) seluruh lapang perut, mc burney(+) P: Hipertimpani
15/03/18 Nyeri seluruh lapang perut. Demam (+) muntah (-) BAB warna hijau cair BAK (+) normal
KU : tampak kesakitan GCS : E4V5M6 TD : 110/70 RR : 25 kpm N : 80 kpm T : 36,4⁰C
Abdomen I : Distensi (+) A : BU (+) melemah P : Timpani P : NT (+) seluruh lapang perut
Suspect appendisitis akut
16/03/18 Nyeri perut (+)
KU : Tampak kesakitan GCS : E4V5M6 TD : 110/60 N: 88 kpm RR : 22 kpm T : 36,2⁰C
Abdomen I : Distensi (+) A : BU (+) melemah P : Timpani P : NT (+) seluruh lapang perut
Suspect appendisitis akut
Ajukan operasi cito emergency, hasil USG menunjukkan adanya appendisitis.
17/03/18 Lemah post op hari pertama
KU : Tampak lemah, GCS 15
Drain ± 20cc
Peritonitis et causa appendisitis
-
9
-
IVFD RL 20 ttm Inj. Ceftriaxone 1x2 amp Inj. Ranitidine 2x1 amp Pemeriksaan USG
-
IVFD RL 20 ttm Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
perforasi
-
Inj. Ranitidine 25mg/ml Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
18/03/18 Nyeri perut berkurang, lemah post op hari kedua
KU : Tampak lemas, GCS 15
Produksi drain ± 30cc
Peritonitis et causa appendisitis perforasi
-
IVFD RL 20 ttm Inj. Ceftriaxone 1g/50ml Inj. Ranitidine 25mg/ml Inj. Ketorolac 1 amp/kolf
19/03/18 Nyeri perut berkurang, lemah post op hari ketiga
KU : Mulai membaik, GCS 15
Bising usus (+) nyeri tekan (-)
Peritonitis et causa appendisitis perforasi
-
20/03/18 Nyeri perut berkurang, lemah post op hari keempat
KU: Membaik, GCS 15
Bising usus (+) nyeri tekan (-) BAB (+)
Peritonitis et causa appendisitis perforasi
-
IVFD RL 20 ttm Inj. Ceftriaxone 1g/50ml Inj. Ranitidine 25mg/ml Inj. Ketorolac 1 amp/kolf Inj. Ceftriaxone 1g/50ml Inj. Ranitidine 25mg/ml Inj. Ketorolac 1 amp/kolf Rawat jalan
-
10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Akut Abdomen 3.1.1. Definisi Abdomen akut atau acute abdominal adalah suatu keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut, timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera berupa tindakan bedah. Banyak penyakit menimbulkan gejala nyeri , namun belum membutuhkan tindakan pembedahan. Hal ini memerlukan evaluasi dengan methode dan pemeriksaan yang sangat berhati-hati.1
3.2.Peritonitis 3.2.1. Anatomi Peritonitum Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa), kemudian ketiga otot dinding perut m.obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. Transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.5,6 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah, dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dan dari kaudal terdapat a.
11
iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a.epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut di persyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.
3.2.2. Definisi Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel–sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.6,7,8
3.2.3. Etiologi dan Epidemiologi 3.2.3.1.Etiologi Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.7
12
Penyebabnya dapat tebagi 2, yaitu9 a. Bakterial
: Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa. b. Kimiawi
: Getah lambung, dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing
(talk, tepung).
3.1.3.2. Epidemiologi Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis. Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.10,11
3.2.4. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.8 Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
13
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.1 Peritonitis dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organorgan intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5 Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1 Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
14
mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas
dinding
apendiks
mempunyai
keterbatasan
sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikutidengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
3.2.5. Klasifikasi Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut1,12 a. Peritonitis bakterial primer Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Spesifik
: misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik
: misalnya Pneumonia non Tuberculosis dan Tonsilitis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bakterial akut sekunder (Supurative) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
15
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus
Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c. Peritonitis tersier Peritonitis ini misalnya pada peritonitis yang disebabkan oleh jamur dan peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
3.2.6. Manifestasi Klinis Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda– tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.1 Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
16
3.2.7. Diagnosis Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. a. Gambaran klinis Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organismenya. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas, nyeri tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut, nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita apendisitis, nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.4
b. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan.
c. Pemeriksaan radiologis Usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasuskasus perforasi.1,3 Pemeriksaan
radiologis
merupakan
pemeriksaan
penunjang
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
17
untuk
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP). Posisi tidur untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, dan ada tidaknya penjalaran. 2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. 3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP. Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3 Posisi untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus.
3.2.8. Tatalaksana Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan pemasangan nasogastriktube (NGT) dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan
nanah
keluar
dan
pemberian
analgetik
untuk
menghilangkan nyeri.1,6,14 Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pembedahan dilakukan bertujuan untuk : 1.
Mengeliminasi sumber infeksi
2.
Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3.
Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan
3.2.9. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi, yaitu :4 a.
Komplikasi dini
Septikemia dan syok septic
Syok hipovolemik
18
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system
Abses residual intraperitoneal
Abses hepar
b.
Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
3.3.Appendisitis 3.3.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli. Untuk mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya terdapat valvula Bauhini. Apendiks juga dapat terbentang retrocaecal, retroileal, dan pelvic. Apendiks menerima aliran darah dari cabang apendikuler dari a.ileocoelica. Arteri ini berasal dari ileum terminalis superior memasuki mesoapendiks dekat dasar apendiks. Cabang arteri kecil berjalan melalui a. caecal. Sistem limfe apendiks berjalan menuju nodus limfatik yang terbentang sepanjang ileocoelica. Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis yang berasal dari plexus mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya berasal dari n.vagus. Meskipun fungsi apendiks sampai saat ini tidak jelas, tetapi mukosa apendiks seperti mukosa lainnya mampu menghasilkan sekresi cairan, musin, dan enzim proteolitik. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun karena 19
jumlah kelenjar limfe disini sedikit sekali jika dibandingkan jumlahnya di saluran cerna atau di seluruh tubuh.15
Ujung appendiks vermivormis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat dibawah ini : a. Posisi pelvika : Ujung appendiks terletak agak kekaudal kedalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis dekstra, pada kedudukan ini appendiks mungkin melekat pada tuba atau ovarium kanan. b. Posisi retrosekal : Appendiks terletak retroperitoneal dibelakang caecum, appendiks pada letak ini tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang disebabkan oleh rangsangan peritoneum setempat. c. Posisi subsekal : Appendiks terletak dibawak caecum. d. Posisi Preileal : Berada didepan pars terminalis ileum e. Posisi Postileal : Berada dibelakang pars terminalis ileum
20
3.3.2. Etiologi dan Epidemiologi Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus apendisitis: 1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh : -
Masuknya fekalit
-
Kerusakan mukosa dan adanya tumor
-
Terdapat bekuan darah
-
Sumbatan oleh cacing ascaris
-
Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya.
2. Anatomi apendiks -
Apendiks merupakan bagian dari sekum secara embriologis. Karena itu ada hubungan mikroorganisme antar keduanya.
-
Sirkulasi dari cabang ileocoelica saja (satu arah) sehingga bila ada bagian yang buntu maka begian yang terletak dibawahnya akan mati.
-
Apendiks merupakan tabung yang ujungnya buntu pada satu tempat dan satu tempat lagi ada valvula atau klep dan lumennya relatif kecil, tapi memproduksi mucus. Kalau ada obstruksi → mucus tetap diproduksi → Tekanan akan meningkat → pecah→ nekrosis.
21
-
Ras dan makanan. Lebih banyak pada orang barat, makan daging → kemungkinannya lebih besar.
3. Konstipasi dan pemakaian laksatif Flora usus normal apatogen menjadi patogen. 4. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1% atau kurang.
3.3.3. Patofisiologi Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas
dinding appendiks
mempunyai
keterbatasan
sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
22
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1 Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah. Pada distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih menderita sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular dan infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.
23
Infeksi di mukosa
Infeksi ke seluruh lapisan apendiks (24-48 jam pertama)
Pertahanan tubuh baik
Pertahanan tubuh jelek
Omentum, usus halus, adneksa bergerak menutupi appendiks
Apendisitis infiltrat
Pertahanan tubuh baik
Abses
Pertahanan tubuh jelek
Sembuh
Nekrosis
Perforasi
Peritonitis
3.3.4. Diagnosis a. Anamnesis Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.
24
b. Pemeriksaan Fisik Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C, nadi normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok menunjukkan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain. Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah. Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis, tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus karena seringkali tergantung dari letak appendiks. a.
Mc. Burney’s Sign Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b.
Blumbeg’s Sign Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c.
Rovsing’s Sign Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan penekanan di daerah kuadran kiri bawah.
25
d.
Tenhorn Sign Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri sebab testis ada hubungan dengan peritoneum.
e.
Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal) Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif.
f.
Obturator Sign Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas, pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif.
Perkusi abdomen pada appendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang. Pada appendisitis retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau angulus kostovertebralis punggung. Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Diagnosis
dapat
ditegakkan
dengan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Sistem skoring digunakan untuk meningkatkan akurasi dari diagnostik appendicitis akut. Sistem scoring yang banyak dilakukan adalah sistem Alvarado score dan Ohman Score. Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Alvarado score untuk menegakkan diagnosis Appendicitis:
26
Yang dinilai
Skor
Gejala
Nyeri fossa iliaca dextra Anoreksia Mual/muntah
1 1 1
Tanda
Nyeri tekan iliaca dextra Nyeri lepas iliaca dextra Kenaikan suhu
2 1 1
Laboratorium
Leukositosis Neutrofil bergeser ke kiri
2 1
Interpretasi: Skor 1-4
: Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6
: Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8
: Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10
: Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan tindakan bedah
Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Ohman score untuk menegakkan diagnosis Appendicitis: Variabel yang dinilai
Skor yang dinilai
Nyeri tekan kuadran kanan bawah
4.5
Nyeri lepas
2.5
Tidak ada kesulitan berkemih
2.0
Nyeri menetap
2.0
Leukosit > 10.000/mm3
1.5
Usia < 50 tahun
1.5
Relokasi nyeri ke kuadran kanan bawah
1.0
Ketegangan dinding abdomen
1.0
Skor total
16
27
Interpretasi: Skor < 6
: Jarang appendicitis
Skor 6-11.5
: Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5
: Appendisitis sangat sering
Pemeriksaan Penunjang a.
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Leukositosis sedang (1000018000/mm3) dan disertai predominan polimorfonuklear sel yang terdapat pada kasus apendisitis akut. Tetapi jika jumlah leukosit lebih dari 18000 / mm, atau pergeseran ke kiri sangat mencolok, appendisitis perforasi atau proses peradangan organ visceral yang lebih besar mungkin terjadi. Pada appendikular infiltrat, LED akan meningkat. 2. Pemeriksaan urin Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. Urinalisa ditemukan BJ tinggi karena dehidrasi. Jika letak appendiks dekat vesika urinaria akan ditemukan eritrosit dan leukosit dalam urinalisa. b. Radiologis 1. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis. Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selain itu, dapat dilihat tandatanda peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa 28
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas kanan abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol. Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaankeadaan patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas intraperitoneum
yang mendokumentasi
perforasi
berongga seperti
duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaque, benda asing serta batas udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sebaiknya dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
2. Barium enema Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Enema barium mungkin membantu dalam diagnosa appendisitis pada beberapa pasien, terutama pada anak-anak dimana diagnosa berdasarkan pemeriksaan fisik tidak jelas dan operasi bisa sangat merugikan. Pengisian penuh pada appendiks dan tidak terdapat perubahan pada mukosa lumen appendiks bisa menyingkirkan kemungkinan appendisitis. Tetapi jika
29
terdapat tanda patognomonik appendisitis pada barium enema seperti appendiks yang tidak terisi, adanya massa di medial dan bawah lumen caecum yang mempengaruhi irregularitas lumen appendiks maka diagnosa bisa ditegakkan.
3. Appendikogram Untuk lihat apendisitis kronis
4. USG abdomen Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan
diagnosis
banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya
(Tampak atas) ultrasound pada bagian kanan bawah perut (tampak kiri, noncompress/tidak ada kepadatan; tampak kanan, compresses/adanya kepadatan) menunjukan dinding yang tebal, struktur noncompresibel tubular (inflamasi apendiks) dengan bayangan apendikolith (tanda panah)
30
(Tampak bawah) gambar longitudinal ultrasound yang menunjukan dinding yang tebal dari inflamasi apendiks dan apendikolith (tanda panah) serta pengumpulan cairan periappendiceal.
5. CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CTScan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%, serta akurasi 94-100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.
Computed tomographic scan showing cross-section of inflamed appendix (A) with appendicolith (a)6
3.3.5. Tatalaksana Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satusatunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan seacra terbuka atau laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
31
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1
3.3.6. Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2 Komplikasi apendisitis akut diantaranya : -
Apendisitis abses
-
Apendisitis perforata
-
Apendisitis kronis
3.3.7. Prognosis Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat appendisitis di Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada tahun 1939 menjadi 0,2 per 100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang baik, adanya antibiotik yang baik, cairan intravena, tersedianya darah dan terapi yang tepat sebelum terjadinya perforasi. Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian akibat appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua dengan komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi.4
32
BAB IV ANALISA KASUS Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh bagian perut. Setelah dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini di diagnosis peritonitis et causa appendisitis perforasi. Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang didapat pada anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta hasil lain yang mendukung dari pemeriksaan penunjang. Anamnesis Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah nyeri pada seluruh lapang perut, nyeri terasa tertusuk-tusuk, terus-menerus dan bertambah nyeri jika sedang batuk, pasien mengeluhkan sulit BAB, sedangkan BAK lancar, nafsu makan menurun, pasien pernah di pijat dengan dukun pijat, mual (+), muntah (-). Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik status lokalis di regio abdomen terlihat distensi abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada seluruh bagian perut, terjadi peningkatan suhu tubuh pasien, pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi terdapat suara hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+). Pemeriksaan Penunjang Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 12.300, pada pemeriksaan USG memberikan kesan appendisitis akut. Diagnosa Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa appendisitis perforasi Tatalaksana Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
33
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Penangan pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat dan pemberian antibiotik.
Pre Op -
IVFD RL 20 ttm
-
Paracetamol infus
-
Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
-
Inj. Ranitidine 25mg/ml
-
Pasang kateter dan NGT
-
Ajukan USG
Operasi -
Laparotomi eksplorasi
-
Appendektomi
Post Op -
Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
-
Inj. Ranitidine 2x ½ ampul
-
Metronidazole 4x200mg
-
PCT 2X500mg
-
Rawat jalan
34
BAB V KESIMPULAN Akut abdomen merupakan suatu gejala-gejala dengan onset akut dan mengarah pada penyebab dalam abdomen. Keadaan akut abdomen merupakan keadaan darurat dan dapat mengancam nyawa bila tidak ditatalaksana dengan tepat. Gejala utama pada akut abdomen adalah nyeri perut. Akut abdomen biasanya memerlukan tatalaksana terapi pembedahan segera. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena infeksi, obstruksi, iskemia, atau perforasi. Akut abdomen dapat terjadi pada berbagai usia dan jenis kelamin. Gejala nyeri perut merupakan gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat. Oleh karena itu, diperlukan ketepatan dalam mendiagnosis awal keadaan akut abdomen. Dalam mendiagnosis akut abdomen diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi yang lengkap. Pada keadaan akut abdomen juga dilakukan observasi yang ketat. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai adanya gejala nyeri perut mulai dari onset nyeri, karakteristik nyeri, durasi nyeri, lokasi dan penjalaran nyeri. Pemeriksaan fisik abdomen juga harus diperhatikan terutama palpasi dan adanya defanse musculaire yang menunjukan rangsangan peritoneum parietal, sehingga membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis pasti.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2007. 2. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern surgical practice. Edisi ke 18; 2007. 3. Saunders, An Imprint of Elsevier Price, S. A. dan Wilson, L. M. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC; 2006. 4. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius; 2014 5. Sulton, David. Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta; 1995. 6. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta; 2000. 7. Kumpulan catatan kuliah. Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta; 2012 8. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third edition; 1997. 9. Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS. England. 10. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine MedscapeAccessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#showall 11. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9 12. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, Jakarta; 1999. 13. Boer, A. Ultrasonografi. Dalam: Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.
36
14. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006. 15. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
37