Mengapa pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang dianggap membawa masalah? menampilkan teori pembangunan dan dampakdampaknya bagi komunitas? Dorojatun Kuntjoro-Jakti, tokoh ekonom makro, menyadari bahwa
lebih
banyak negara yang gagal dalam upaya membangun perekonomian dibandingkan dengan yang berhasil, meskipun situasi global telah semakin mendukung upayaupaya tersebut di masa-masa lalu. Hal ini dinilainya sebagai kenyataan pahit yang mesti dihadapi oleh negara dunia ketiga. Pernyataannya terlihat menyalahkan dari implementasi pembangunan, bukan terletak pada konsep pembangunan itu sendiri1. Saya mencoba untuk mengkritisi letak kesalahan yang terakhir. Mengacu pada pemikiran Fakih, ide dan doktrin modernisasi disebarkan dalam rangka menghadang kekuatan komunis dan semangat anti-kapitalisme di Asia Tenggara pada paska Perang dunia kedua. Saat itu, banyak negara-negara baru yang bermunculan. Untuk menjustifikasi gagasan tersebut, digunakanlah pemikiran positivis tentang pembangunan. Dengan berdasar pada western model, maka pembangunan melalui paradigma modernisasi, seakan menjanjikan harapan-harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakagan rakyat di dunia ketiga, dengan mengikuti cara kerja yang pernah dialami oleh negara Barat2. Hal ini menyiratkan bahwa developmentalisme, memandang semua kebutuhan masyarakat sama, dan menyeragamkan segala yang parsial dalam skala global.Meminjam istilah Fakih, pembangunan menjelma menjadi agama baru, dengan nilai rasionalisasi dan budaya ilmiah3. Seperti halnya pernyataan Schoorl tentang penerapan pengetahuan ilmiah, Davis McClelland tentang kebutuhan berprestasi (need for achievement: N-ach), dan Alex Inkeles tentang skala modernitas yang terdapat pada diri manusia. Salah satu nabi ekonomi yang menjanjikan harapan baru secara gamblang adalah Rostow. Bukunya yang terkenal yakni The Stages of Economic Growth. Dalam buku ini, Rostow menyatakan, bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu 1
Bashri, yanto (ed.). 2003 Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia: Prima Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjro-Jakti. Hal. 198. 2 Fakieh, Mansour. 1995. Tradisi dan Pembanguan: Suatu Tinjauan Kritis dalam Analisis CSIS No. 6, hal: 443. 3 Fakieh, Mansour. 2004. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Hal. 12 .
mulai dari tahapan masyakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi massa tinggi. Di antara kedua kutub ini, Rostow menguraikan lebih jauh tahapan yang perlu dilalui, dan lebih khusus lagi dijelaskannya secara detail tahapan yang dianggap kritis, yakni tahapan tinggal landas. Ia juga menekankan bahwa suatu negara mengalami era industrialisasi apabila paling tidak tingkat investasi dan tabungan mencapai 10 persen dari pendapatan nasional4. Dengan begitu, developmentalisme dapat menghegemoni mind set negara dunia ketiga, yang tergiur oleh janji-janji negara yang dianggap maju. Bahkan, menjadi suatu keharusan bagi negara dunia ketiga untuk mengaplikasikannya dalam tataran kebijakan. Setelah negara dunia ketiga mengadopsi pemikiran dalam bentuk kebijakan. Malah, menuai masalah. Timbulnya keajegan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat. Atau paling tidak, lompatan drastis dan kejutan merupakan dampak dari pengaplikasian pemikiran developmentalisme. Hal ini dikarenakan pembangunan belum menjadi kebutuhan mereka. Dan celakanya, developmentalisme memandang bahwa kebutuhan masyarakat dunia ketiga sama persis dengan kebutuhan masyarakat barat. Terjadi proses homogenisasi di
sini,
dan
monokulturisasi
merupakan
ciri
dari
developmentalisme.
Developmentalisme tidak menghargai perbedaan. Ketika ia bersentuhan dengan masyarakat dunia ketiga yang multi etnik, developmentalisme juga menampik ciri khas dan sejarah masyarakatnya. Oleh karena itulah, tidak salah bila Escobar menyatakan bahwa, pembangunan yang terdapat di negara dunia ketiga ,bersifat ahistoris5. Begitu diinterpretasi dalam tataran kebijakan, komitmen pertama yang dilakukan adalah merubah masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern. Kasus Indonesia, kebijakan ditelurkan oleh Orde Baru. Sebagai agen pembangunan, mereka membuat kebijakan dengan penuh ambiguitas. Satu sisi ditujukan untuk
4
Suwarsono dan Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Hal. 15-16. Escobar, A. 1985. Discourse and Power in Development: Michel Foucault ang The Relevance in His Work To Third World. Alternatives No. X. 5
proses transformasi. Lain sisi, kebijakan juga diperlakukan sebagai kekuatan legitimasi kekuasaannya. Melalui pembangunan-lah, pembenaran-pembenaran terjadi. Akhirnya, kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang bersifat top-down dan tidak memberi legitimasi segala bentuk cara dan pengetahuan “non-positivistik”6. Kita dapat melihatnya dari serangkaian kebijakan Keluarga Berencana-Revolusi Hijau-transmigrasi. Kebijakan ini dianggap sebagai dasar perubahan prakondisi menuju industrialisasi.
Sedangkan, logika-logika komunitas tidak sama dengan
logika pemerintah, sebagai agen developmentalisme. Pertentangan pun tidak dapat ditampikkan. Sesuatu yang dihadapi oleh pemerintah, dengan tangan dingin alias dengan cara represif7. Sehingga, komunitas terpaksa untuk mengikuti keinginan pemerintah. Seperti halnya revolusi hijau yang terjadi di Indonesia. Bagi Fei dan Rannis beranggapan bahwa fungsi dari penerapan teknologi “revolusi hijau” yakni meningkatnya produktivitas sektor pertanian, yang dikatakannya sebagai sektor tradisional. Menurut kedua tokoh ini, meningkatnya produktvitas, akan menciptakan surplus pada hasil produksi yang disertai oleh bertambahnya jumlah tenaga kerja yang tidak diperlukan lagi di sektor tradisional dan kini tersedia sebagai tambahan pasok untuk sektor modern.. sehingga terjadilah proses transisi melalui integrasi kedua sektor menuju kepada tata susunan ekonomi modern8. Maka, ramai-ramai komunitas desa pertanian desa menggunakan revolusi hijau sebagai proses transisi dari pertanian tradisional menjadi indutri pertanian. Bahkan, komunitas di Papua, yang mempunyai pangan utama ketela dan ubi. Saat itu, mereka menanam tanaman niaga, seperti kopi, tomat, kol, wortel, ketimun, dll9. Komunitas desa pertanian pun diperkenalkan dengan teknologi pertanian seperti bibit unggul, intensifikasi dalam bentuk pengadaan mesin, dan diversifikasi dalam bentuk penanaman berbagai macam tanaman dalam satu lahan. Dengan demikian, mereka dapat menentukan masa panen sesuai dengan keinginan10. 6
Ibid. Husken, Frans dan Huub de Jonge. 2003. Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 19651998. hal: 19-21 8 Dalam Sumitro Djojohadikusumo. 1994. Perkemangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan.hal. 97. 9 STAKIN. Ekosistem-Ekosistem Tani Di Irian Jaya dan Arah Pembangunan, Jilid Dua. Hal 97-98. 10 Antov, Hans. 2002. Negara Dalam Desa. Hal: 56 7
Para
petani
sempat
euphoria,
karena
revolusi
hijau
menyebabkan
produktivitas yang tinggi. bahkan, pemerintah pun mencantumkan keberhasilannya dalam Repelita11. Sebentar saja, revolusi hijau pun semakin menciut. Para petani tidak sanggup untuk menginvestasi dalam bentuk mesin-mesin. Belum lagi, soal ekologi yang rusak, akibat pemaksaan produktivitas. Sehingga, modal-usaha petani tidak seimbang dengan harga jual. Mereka mengalami kerugian, akibat harus memenuhi kebutuhan masyarakat kota dengan harga eceran terendah. Kebijakan impor beras pun membuat mereka menangis, beras yang notabene dibandrol dengan harga yang lebih murah 12. Oleh karena itu, mereka pun memilih untuk menjadi buruh tani atau pindah ke kota dan bekerja di sektor informal bahkan, menjadi pengangguran13. Naasnya seperti komunitas di Yahokimo, yang menderita kelaparan, karena lahan ubi mereka diusahakan menjadi lahan tanaman niaga14.Akhir kisah di atas berhimpit dengan kemiskinan: sebuah janji yang pernah dielu-elukan oleh developmentalisme.
11
Ibid. Soediono M.P 1990. Revolusi Hjau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa dalam Prisma 2 hal. 11-12. 13 Antov, Hans. 2002. Negara Dalam Desa. Hal: 56 14 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/10/brk,20051210-70443,id.html 12