Belajar Dari China_resep Kecil Pembangunan Negara-negara Berkembang

  • Uploaded by: Denis Toruan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Belajar Dari China_resep Kecil Pembangunan Negara-negara Berkembang as PDF for free.

More details

  • Words: 715
  • Pages: 2
www.sinopaxsinica.blogspot.com Belajar dari China: Resep Kecil Pembangunan dan Kebangkitan Negara Berkembang* *disarikan terutama dari bagian “penutup” buku Belajar dari Cina © I. Wibowo (2004) dan argumen pribadi penulis oleh: Denis L. Toruan1 (4/4/2009) -SinopaxsinicaSerupa tapi tak Sama RI dan China memiliki beberapa kemiripan identitas, seperti jumlah populasi penduduk yang besar-multiras, sama-sama pernah dijajah, sama-sama pernah mengalami masa otoritarian (meski China berlanjut secara terbatas hingga sekarang), sama-sama menganut politik luar negeri yang pragmatis-nasionalis, dll. Akan tetapi, mengacu dari faktor penduduk tersebut apa yang membuat keduanya begitu berbeda, terutama jika kita menyaksikan sendiri pertumbuhan ekonomi China yang terus meroket, sementara RI masih kedodoran menghadapi globalisasi? Kombinasi Dua Faktor Besar Bangsa China memiliki sejarah ribuan tahun panjang. Sejak awal, terutama dari daerah utara yang dikelilingi pegunungan, mereka terbiasa dengan konsep inward-looking (introvert). Tradisi ini terus berlanjut sepanjang sejarah kedinastian China di mana seorang kaisar dipercaya sebagai anak langit (Tianzi) sehingga orang-orang dan daerahdaerah jauh di luar kerajaannya harus memberikan upeti demi menghormati otoritas kekaisaran yang sah. Ketika pada masa moderen kedaulatan China yang superior itu ‘dibobol’ dan dipermalukan habis-habisan oleh bangsa-bangsa barat dalam kekalahan Perang Candu (1840), lalu wilayah-wilayah China dibagi atas beberapa daerah konsesi untuk negara-negara barat, semangat nasionalisme (aiguozhuyi) rakyat China meledak hebat, dan mempersatukan rakyat China untuk ‘membalas dendam’ atas penderitaan mereka. Semangat inspirasional ini terlihat dari ide-ide tokoh besar China seperti SunYatsen, Lu Xun, Mao Zedong, hingga Deng Xiaoping dst, ketika mereka menggagas gerakan nasionalis revolusioner seperti Revolusi 1911 (xin hai geming), Gerakan 4 Mei (wusi yundong), Revolusi Kebudayaan (wenhua geming), hingga reformasi dan keterbukaan (gaige kaifang). Barangkali salah satu potret terbaik yang menangkap semangat menggebu-gebu China moderen adalah ujaran Deng Xiaoping: “zhi fu shi guangrong” (menjadi kaya itu mulia). Kombinasi antara ‘balas dendam’ (secara positif) dan sentuhan pragmatisme terbukti sukses mengantarkan China ke global level playing field sejauh ini.

1

Penulis lepas dan praktisi Mandarin, alumnus program studi China FIB-UI, hingga saat ini (2009) masih melanjutkan Master Hubungan Internasional-nya di FISIP-UI.

© April 2009, Denis L. Toruan

1

www.sinopaxsinica.blogspot.com Peran Negara dan Kebebasan Terbatas Bangsa barat memiliki sejarah dan tradisi yang bisa dibilang jauh berbeda dari masyarakat timur (Asia). Dalam bidang ideologi dan ekonomi, resep laissez-faire (neolib) tidak serta merta memberikan hasil dan dampak yang sama bagi kemajuan negara-negara berkembang, apalagi kita semua menyaksikan sendiri kolapsnya perekonomian liberal (yang terlalu liberal) saat krisis finansial ini. China sangat mengerti akan hal tersebut. Oleh sebab itu, meskipun sudah membuka dirinya, aktif dalam rezim-rezim neolib (IMF, World Bank), serta gencar membuka hubungan FTA, China masih memegang kontrol makro atas perekonomiannya (hongguan taikong); aset-aset negara dipertahankan, bahkan sedikit banyak menerapkan proteksionisme (subsidi besar bagi BUMN dan UKM). Yang menarik, seperti yang didemonstrasikannya selama ini, China melawan barat dengan ala barat (mengingatkan saya akan konsep kungfu taichi yang memanfaatkan kekuatan serangan lawan). ^^ Washington Consensus vis a vis Beijing Consensus. Kata para pemimpin reformis China, “Privatisasi tapi tidak terlalu privat, deregulasi tapi tidak terlalu dideregulasi, dan tentunya, liberalisasi tapi tidak terlalu liberal.” Kombinasi antara laissez-faire dengan laissez-passer bukanlah sesuatu yang haram, bahkan ekonom sekaliber dan sekritis Joseph Stiglitz menyarankannya (Making Globalization Works, 2006)! Penyesuaian Strategi Konstituen Ada pendapat seorang penulis pendidikan dari China yang sangat menarik saya, “Salah satu kelemahan pendidikan kita (sehingga membuat anak-anak merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri/membenci dirinya) adalah kita terbiasa membandingkan kelebihan (anak lain) dengan kekurangan (anak kita), dan kelebihan (anak kita) dengan kekurangan (anak lain)”  menyuburkan lingkaran setan ini. Tulisan ini masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya saya berusaha menghindari jebakan yang sama yang menimpa banyak pakar dan analis. Oleh sebab itu, bagaimanapun juga resep kecil ini berpulang kepada kesadaran, kecerdasan (local genious), serta kemauan total (complete self-surendering) dari segenap konstituen negara untuk menemukan ‘bahan bakar’-nya sendiri sebagai motor penggerak dan implementasi konkret yang menyadari (mawas diri) segenap kapabilitas negara, serta tujuan yang jelas dan realistis (tangible). Mengingat kembali apa yang dikatakan Thomas Friedman (The Lexus and the Olive Tree, 2000) pada awal milenium ketiga, “Globalization tends to turn all ‘allies’ and ‘enemies’ into ‘competitors’.” Interpretasi saya tidak muluk-muluk, negara mana pun yang ingin maju, apalagi negara berkembang, senantiasa harus mawas dan fleksibel terhadap tantangan-tantangan yang semakin bervariasi, tapi tidak melupakan akar sejarah dan values mereka. “Then, and only then shall we sweetly tasting (or harvesting) the fruits of globalization. It’s now or never!”

© April 2009, Denis L. Toruan

2

Related Documents


More Documents from "Mulida Widiasari"