Afif futaqi 0606096585 “the question of the commons; the culture and ecology of communal resources edited by mccay and acheson” Adanya hubungan konflik antara hutan dan penghuninya yang disebakan dengan adanya ketidakpahaman terhadap fungsi dari hutan. Adanya kompertisi-kompetisi dalam mendapatkan akses terhadap fungsi hutan tersebut sehingga adanya tidak terkontrolnya akses terhadap hutan merupakan pertentangan antara paradigma negara yang mengatur atas kontrol terhadap hutan tadi dengan orang-orang yang berhubungan langsung dengan hutan. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah batasan-batasan hutan, kepemilikan, dan hubungan kekuasaan atas hutan tersebut. Oleh karena itu banyak konflik yang terjadi antara “rural people” dan “forester”. Solusi dari masalah penurunan lingkungan ini adalah dengan mengambil bagian baik orang dan masyarakat yang menggunakan alam tadi baik legal ataupun ilegal. Misalnya dengan banyak penebangan hutan oleh penjaga hutan sebagai salah satu contoh dari konflik tersebut. Selain itu di indonesia dengan membagi hutan menjadi “forest policy” dan “forest use”. Dengan melakukan kebijakan pembagian ini memudahkan kontrol dalam pemenuhan kebutuhan di indonesia. Dengan adanya managemen pengelolaan hutan haruslah diimbangi dengan pemahaman akan hubungan sosial dengan lingkungan yang berkenaan dengan kebijakan yang dibuat atas hubungan tersebut sesuai dengan konteksnya sehingga dapat mengurangi konflik yang terjadi. Adanya pandangan yang berbeda antara organisasi negara dalam hal ini adalah negara-negara kolonial dengan kekerabatan tradisional dalam melihat fungsi hutan sebagai fungsi material. Sebab itu pula yang mengakibatkan adanya konflik, dimana kebijakan peemerintah dengan tindakan-tindakan kriminal yang bertententangan dengan kebijakan tersebut. dalam hal ini konflik antara “ideologi” dan “culture”. Bagaimana masyarakat rural merespon kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan akses hutan tersebut melalui sosial-cultural dan ekonomi lokal. Sehinga masing-masing pihak melawan perubahan struktur atau konsep dari manajemen pengelolaan hutan atas kebijakan yang lain.
Kebanyakan dari negara kehutanan menggunaka sistem yang salah dalam pengelolaan hutannya dalam mengatasi peneruna lingkungan dan kemiskinan masyarakat rural. Beberapa dari negara yang menggunakan sistem ini adalah dengan adanya desa miskin di pinggir hutan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus menggantungkan dirinya dengan hutan tersebut. Selain itu dengan adanya perbedaan interpertasi atas produksi hutan, konservasi sumberdaya oleh para profesional dalam hal ini
adalah para penjaga hutan yang beranggapan bahwa peningkatan produksi dan
akumulasi modal menjadi faktor yang penting. Para pejabat pemerintah tidak hanya melakukan eksklusif perburuan liar tanpa menghindarkan fauna yang hampir punah tetapi juga mengkordinasikan adanya kesempatan potensial ekonomi untuk mengkontrol menejemen kehutanan. Untuk memahami alasan dari banyak penuruna alam ini haruslah melihatnya dengan adanyak pengelompokan atas politik dan ekonomi. Apa-apa yang dianggap lingkungan haruslah diatur oleh kekuasan pemerintah dalam pengarturan sumberdaya, selain itu kebutuhan akan bahan dasar berdasarkan atas ideologi organisasi pemerinyah dan agen-agen individual di dalam pemerintahan yang mengontrol jalannya suatu keteraturan. Berdasarkan lingkungan, konflik, dan kemunduran harus lah dilihat berdasarkan hal-hal yang lebih spesifk. Kesadaran regional atas politik dan ekonomi yang sangat dinamis, hubungan sosial lokal terhadap kapasitas alam haruslah ikut diperhitungan. Selain itu dengan memahami sejarah sosial dan interpertasi lokal dilihat sebagai proses sosial dan lingkungan. Secara umum kekuasaan negara dapat dipahami dan dilihat sebagai sebuah kontrol organisasi dari apa yang disebut aparatur negara, disisi lain tekanan sosial dan kelompok membuat suatu terhubung dengan sebuah keefektifan sesuatu. Struktur dan hubungan tersebut dapat menjelaskan alam yang diatur oleh negara dan berbagai sumber dayanya. Dengan begitu negara dapat mendapatkan keuntungan agara dapat menyediakan sumberdaya tersebut untuk generasi yang akan datang. Tetapi dengan adanya sentralisasi kekuasan dan konflik kepentingan didalam negara dan sektor kehutanan telah menghasilkan birokrasi yang efektif sementara atas sumberdaya terhadapa respon dalam mengatasi sebagai usaha antisipasi terhadap masyarakat lokal. Oleh karen itu kontrol negara atas sumberdaya diuji dengan kebudayaan sebagai kontrol formal dan informal.
Untuk itu dengan banyak tindak kriminal dalam terhadap hukum-hukum yang telah dibuat oleh negara dalam perusakan hutan, maka harus dijelaskan berdasarkan pandangan masyarakat yakni dengan melihat “moral economy” sebagai landasan awal. Selain itu yang penting adalah perbedaan antara banyaknya perhatian politik dan label yang ditujukan antara negara dan tindakan kriminal tadi. Dengan menganalisa kompenen dan konteksnya sebgai upaya untuk mengidentifikasikan bentuk dari sebuah perlawanan akan hukum negara. Sehingga dapat menjelaskan “repertoire or collective action” sebagai alternatif pemahaman atas tindakan bersama-sama sebagai bentuk ketertarikan yang sama di dalam sebuah kelompok masyarakat tersebut. Dengan mengetahui batasan dari kapacitas alam akan eksplorasi yang dilakukan manusia dapt mengontrol eksplorasi hutan yang berlebihan. Batasan-batasan ini terkait dengan publikasi dan ideologi terhadap penerimaan kebiasaan sosial. salah satu upaya adalah dengan adanya batasan-batasan administrasi dan penjaga hutan yang bertugas menjaga hutan dari para “badits” yang merugikan negara. Perbedaan yang mendasar antar bandits dan tidak kriminal adalah pada protes yang dilakukan secara personal terhadap peraturan yang telah dibuat pemerintah dengan strategi bertahan petani demi bertahan hidup. Yang paling susah adalah menuntut tindakan kriminal ini karena meraka merupakan bagian dari sistem politik yang sudah ada. Dalam hal ini bentuk perlawanan petani dapat dimanipulasi dengan keuasaan lain. Perlawanan petani dibagi dua yang pertama adalah bentuk perlawanan terhadapap kebudayaan dan kosistensi ideologi, struktur sosial lokal terhadapa peraturan eksternal yang dibuat pemerintah. Yang kedua adalah perlawanan terhadapa respon dai berkurangnya wilayah hutan akibat pertambahan penduduk dan sitem kapitalis agrarian yang mengakibatkan penurunan alam. Sehingga dalam hal ini struktur sosial dan proses ekonom mempercepata adanya “gaps” antara masyarakat rural dan kemiskinan masyarakat yang berda di tepi hutan. Sehingga perlu adanya kontrol; kontrol terhadap tanah, spesies, dan kontrol terhadap buruh-buruh hutan. Perusahaan pengelolah hutan yang memiliki kekuasaan terhadap hutan tersebut menjadi komponen yang sangat penting dalam usaha kontrol terhadap eksploitasi hutan yang berlebihan