Perkembangan antropologi di Indonesia saat ini mengisyaratkan adanya dua hal kecenderungan yaitu kecenderungan “kedalam” dan “kecenderungan keluar”. Manakah yang baik untuk menjadi identitas antropologi yang khas Indonesia di masa depan? Afif Futaqi 0606096585 Perkembangan antropologi Indonesia dimulai dengan penelitian adat-istiadat, sistem kepercayaan, struktur sosial dan kesenian dari suku-suku yang tersebar di seluruh wilayah nusantara sejak zaman penjajahan Belanda. Tulisan-tulisan tersebut digunakan sebagai landasan kebijaksanaan pemerintah Kolonial. Pada awal tahun 1800an negaranegara Eropa Barat melakukkan kolonialisasi atas negara–negara Afrika, Asia dan Amerika hal ini dikarenakan tujuan untuk 3 G (Gospel, Glory, Gold) dan yang paling penting adalah mencari sumber-sumber daya alam baru khususnya rempah-rempah yang sangat dibutuhkan masyarakat eropa pada saat itu. Menurut pandangan orang Eropa bangsa-bangsa yang dijajah masih primitif, buas dan sering dikatakan bangsa-bangsa yang masih asli, yang belum mengalami perubahan dan kemajuan. Pada pertengahan abad 19 banyak ditemukan tulisan mengenai aneka warna kebudayaan dan tingkat evolusinya. Deskripsi mengenai suku bangsa di luar Eropa merupakan kebudayaan yang masih tradisional dan merupakan sisa kebudayaan kuno. Pada awal abad ke 20 ilmu Antropologi mengalami kemajuan, ilmu Antropologi dipergunakan oleh bangsa Eropa untuk mempelajari adat-istiadat dan keabiasaan bangsa yang terjajah. Dengan meangetahui data tentang kebiasaan itu dapat dipergunaklan untuk mempertahankan kolonialismenya di negara yang dijajah tersebut. Sesudah tahun 1930an ilmu Antropologi mengalami perkembangan luar biasa, dipengaruhi oleh metode ilmiah dalam melakukan penelitian. Ada pun beberapa tulisan tentang masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia banyak sekali ditulis oleh para pegawai dari negara yang menjajah Indonesia seperti halnya Belanda dan Inggris. Penelitian dan pengamatan antropologi di Indonesia telah
ada sejak masa penjajahan atau era kolonialisme. Pada abad ke 19, T.J. Willer, pegawai pemerintahan dari Belanda menulis tentang masyarakat di Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat dan Maluku. Pada waktu Bengkulu dijajah Inggris, kepala pemerintahannya, W. Marsden (1783), menulis tentang suku yang ada di Indonesia, yaitu Minang Kabau, Rejang dan Lampung. Selain itu C. Snouck Hurgronje, seorang ilmuan berkebangsaan Belanda yang memberikan gambaran tentang Aceh. Dia meneliti tentang kehidupan masyarakat Aceh. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan rahasia semangat juang masyarakat Aceh. Snouck sejak 1889 meneliti pranata islam di masyarakat pribumi aceh. Ia mempelajari politik kolonial untuk memenangi pertempuran belanda di aceh. Perkembangan antropologi, baik di barat maupun di Indonesia saling berkaitan erat terhadap sejarah kolonialisme, dapat dilihat dari tulisan-tulisan yang mereka buat. Para pegawai kolonial jaman dulu wajib menulis laporan karakter masyarakat dan daerah yang mereka ambil sumber daya alamnya di daerah jajahan Belanda, yang mana dari catatan-catatan itu diberi nama etnologi, sebuah penggambaran watak khas masyarakat. Antropologi timbul dari adanya rasa ingin tahu dari manusia terhadap manusia lain. Rasa ingin tahu itulah yang mendorong manusia mengadakan perjalanan ke daerah lain. Pascakemerdekaan, antropologi menjadi kajian para intelektual di negeri sendiri dengan didirikannya Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, setengah abad lampau. Tepatnya, di akhir September 1957, kajian antropologi hadir sebagai jurusan di lingkungan Fakultas Sastra UI, diprakarsai Profesor Koentjaraningrat. Dia pula yang mendorong berdirinya jurusan antropologi di berbagai universitas negeri lainnya di Indonesia. Bedanya dengan masa kolonial, di era pascakemerdekaan antropologi lebih dimaksudkan menjadi semacam alat bagi kita untuk belajar melihat dan mengenal diri sendiri. Masalah mengenal diri sendiri bukan perkara mudah. Perlu upaya lebih berat dan keras
bagi
Indonesia
dibandingkan
bangsa-bangsa
lain,
mengingat
Indonesia
berpenduduk sangat besar dan majemuk sehingga rentan disintegrasi. Itu semua merupakan bagian dari pergulatan para antropolog. Terutama untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya permasalahan seperti multikuturalisme, kemiskinan struktural, korupsi tanpa henti, konflik-konflik kepentingan golongan, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi.
Belum lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, seperti pada krisis ekonomi global yang melanda dunia dan berdampak kepada Indonesia sendiri memudarnya ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya. Keterkaitan antropologi di Indonesia dengan ideologi nasionalisme dan perjalanan kapitalisme global berpengaruh besar terhadap teori sosial yang berkembang di antara para ilmuwan lokal. Konservatisme teori juga diwarisi oleh rezim penjajahan. Sampai sekarang antropologi di Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran kuno Belanda yang berusaha mencari struktur sosial dasar di mana semua masyarakat Indonesia dibayangkan mempunyai persamaan dalil regularitas padahal begitu banyak permasalahanpermasalahan yang ada di Indonesia dan harus mencari solusi akan permasalahan tersebut. Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk nasionalisme. Praktikpraktik kultural yang sangat bermacam-macam dilihat menurut sebuah standar yang mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal. Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Masyaraka Indonesia setelah reformasi adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak masyarakat majemuk. Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat dilakukan dengan konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya, selain itu kesamaan pemahaman mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya. Multikulturalisme
adalah
kebudayaan.
Pengertian
kebudayaan
harus
dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang satu dengan lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial. Multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia. Dengan demikian antropologi di Indonesia memiliki peran sebgai konseptual dan teoretikal mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama ini. Selain itu kajian-kajian etnografi sangat dibutuhkan dalam perkembangan antropologi dewasa ini dan harus disesuaikan dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang adai dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan dalam mendukung pembangunan yang bersifat nasional itu. Selain itu pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku, karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Dengan begitu antropologi Indonesia mempunyai ciri khas yang berbeda dengan lainnya. Kajian-kajian yang bersifat kedalam. Maksudnya adalah terfokus pada mengenali diri sendiri yakni masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Banyaknya permasalahan-permasalahan
yang
ada
di
dalam
masyarakat
Indonesia
yang
majamukseperti multikuturalisme, kemiskinan struktural, korupsi tanpa henti, konflik-
konflik kepentingan golongan, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. Belum lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, seperti pada krisis ekonomi global yang melanda dunia dan berdampak kepada Indonesia sendiri memudarnya ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya inilah justru menjadi kajian penting antropologi Indonesia. hal ini dimaksudkan sebagai usaha mencari solusi dari permasalahan tersebut dan sebagai dedikasi ilmu antropologi Indonesia dalam mendukung pembangunan yang bersifat nasional. Berbeda dengan antropologi luar Indonesia yang lebih keluar. Negara dunia ketiga menjadi subjek penelitian seiring perkembangan ilmu antropologi itu sendiri yang awal mulanya sebagi ilmu yang digunakan untuk melihat masyarakat-masyarakat di luar barat yang dianggap “masyarakat primitive”.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Antropologi Indonesia 1997
Koentjaraningrat Dan Antropologi Di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia Marzali, Amri 2005
Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta, Prenada Media
Koentjaraningrat 1987
Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta, Djambatan
Parsudi Suparlan 2002
Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Van Bremen, Jan. Eyal Ben-Ari and Syed Farid Alatas 2005 Asian anthropology. London, Routledge Van der Kroef, Justus M. The Term Indonesia: Its Origin and Usage. Journal of the American Oriental Society, Vol. 71, No. 3. (Jul. - Sep., 1951)