Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin. Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri. Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan. Resesi ekonomi global dan masih rentannya pasar finansial dunia membuat semakin tergerusnya arus dana modal ke negara-negara berkembang. Sebagai bukti, di tahun 2008, arus dana yang masuk ke negara berkembang anjlok menjadi 707 miliar dollar AS. Ini merupakan penurunan paling tajam dari nilai tertingginya sebesar 1,2 triliun dollar AS pada tahun 2007 lalu. Selain itu, arus modal internasional juga diproyeksikan akan terus merosot lebih dalam lagi di tahun 2009 menjadi 363 miliar dollar AS. Laporan yang dirilis Bank Dunia bertajuk “Global Development Finance 2009: Charting a Global Recovery” mengingatkan bahwa saat ini dunia tengah memasuki era perlambatan pertumbuhan. Kondisi ini merefleksikan ketatnya kredit dan sistem finansial yang belum stabil. Negara-negara berkembang diprediksi hanya akan tumbuh sebesar 1,2 persen pada tahun ini, setelah sebelumnya tumbuh 8,1 persen di 2007 dan 5,9 persen di 2008. Jika China dan India tidak dimasukkan, Produk Domestik Bruto (PDB) di negaranegara berkembang lainnya diproyeksikan akan mengalami penurunan sebesar 1,6 persen. Kondisi ini akan menyebabkan angka pengangguran kian membeludak dan tingginya tingkat kemiskinan. Pertumbuhan global juga diramalkan akan negatif, dengan kontraksi PDB global di 2009 mencapai 2,9 persen. “Adanya kebutuhan untuk merestrukturisasi sistem perbankan, yang dikombinasikan dengan pembatasan ekspansi negara maju, akan menyebabkan sulitnya perekonomian global mengalami rebound,” jelas Justin Lin, Chief Economist and Senior Vice President Development Economics Bank Dunia.
Meski demikian, lanjut Lin, respons kebijakan yang luar biasa dari sejumlah negara-negara dengan perekonomian besar telah mencegah terjadinya kolaps secara sistemik dalam perekonomian dunia. Untuk itu, dia menekankan pentingnya aksi global untuk menangani krisis saat ini. Krisis keuangan dunia akan menekan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang secara tajam pada tahun depan, yang mengakhiri "booming" harga komoditas dunia, demikian laporan Bank Dunia, Selasa (10/12) waktu setempat. Laporan Prospek Ekonomi Dunia 2009 dari Bank Dunia itu memproyeksikan pertumbuhan dunia akan melemah menjadi 0,9 persen tahun depan dari 2,5 persen pada 2008 dengan resesi berkesinambungan di AS, Eropa Barat dan Jepang. Pelemahan ekonomi yang menyebar akan memperlambat mesin turbo pendorong pertumbuhan selama dekade lalu di negara-negara berkembang menjadi 4,5 persen, turun dari 6,3 persen di 2008 dan 7,9 persen di 2007. Kepala Ekonom Bank Dunia Justin Lin mengatakan, krisis keuangan telah menyebabkan resesi hebat setelah 1930-an dan kontraksi yang dalam dan panjang tidak dapat dihindarkan. "Peluang ekspor bagi negara berkembang akan menurun karena resesi di negara berpendapatan tinggi dan karena kredit ekspor kering dan asuransi ekspor menjadi lebih mahal," ungkap laporan itu. Sementara itu utang swasta dan arus ekuitas ke negara berkembang akan anjlok sekitar 530 miliar dolar AS di 2009 dari satu triliun dolar di 2007. Bank Dunia juga mengatakan, resesi ekonomi akan menyebabkan harga komoditas dan inflasi menurun, sedang harga minyak akan pada rata-rata 75 barel di 2009, harga bahan makanan menurun sekitar 23 persen dan harga metal turun sekitar 26 persen. Kondisi yang memungkinkan, negara berkembang harus mengadopsi paket stimulus kebijakan fiskal, memperkuat program sosial dan investasi di proyek infrastruktur, kata Lin dalam konferensi pers. Hans Timmer, yang bertanggung jawab dalam analisa ekonomi internasional di Bank Dunia mengatakan, resesi di negara berkembang tidak terjadi namun penurunan akan terjadi signifikan. "Anda tidak butuh pertumbuhan negatif di negara berkembang untuk merasakan kondisi seperti resesi," kata Timmer. "Kami memperkirakan saat ini potensi pertumbuhan di rata-rata negara berkembang sekitar 6,5 persen, sehingga artinya saat anda tumbuh 4,5 persen, berarti anda mengalami dua persen poin lebih rendah dari potensi pertumbuhan, disini akan tampak terjadi penutupan pabrik dan meningkatnya pengangguran," tambahnya.
Dampak terparah di negara berkembang akan terjadi di pertumbuhan investasi yang melambat, diperkirakan turun menjadi 3,4 persen di 2009 dari 2007 sebesar 13 persen lebih. Sedangkan volume perdagangan internasional akan turun 2,1 persen tahun depan, penurunan pertama sejak 1982. Pada Krisis ekonomi tidak saja menghunjam negara-negara maju, tetapi juga negara-negara berkembang. Harapan akan pemulihan makin suram. Karena itu, ekonomi dunia tahun 2009 diramalkan akan terkontraksi 1 persen. Demikian dikatakan Ketua United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Supachai Panitchpakdi di Geneva, Swiss, Jumat (27/2). ”Kita kemungkinan akan melihat penurunan pertumbuhan ekonomi lebih besar di negara berkembang, yang selanjutnya makin menghunjam perekonomian global,” kata Supachai, mantan Wakil Perdana Menteri Thailand dan juga mantan Dirjen World Trade Organization (WTO). Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian negara berkembang masih bisa selamat. Namun, tidak demikian penilaian UNCTAD, yang justru melihat perekonomian negara berkembang juga terperosok. Asia menderita Logika di balik penilaian UNCTAD adalah negara-negara berkembang di Asia kini mengalami penurunan ekspor sekitar 40 persen. Ini adalah dampak dari pembangunan ekonomi yang berlandaskan ekspor. Ketua UNCTAD itu juga makin khawatir dengan gejala proteksionisme terselubung. Dikatakan, apabila AS mencanangkan ”buy American” alias belilah produk-produk AS untuk warganya, banyak negara juga melakukan hal serupa dengan semboyan ”cintailah produksi dalam negeri”. Supachai mengatakan, secara global, semboyan-semboyan seperti itu akan menghambat perdagangan global yang selanjutnya akan membuat ekonomi dunia sulit pulih. Saat ini Negara-negara berkembang yang perekonomiannya tengah bertumbuh (emerging markets) menjadi titik panas (hot spot) baru yang berpotensi besar meletupkan babak baru krisis global yang lebih berbahaya: krisis nilai tukar mata uang. Di Eropa Timur, krisis nilai tukar dibarengi dengan risiko gagal bayar utang yang berpotensi menyeret perbankan negara maju dan perekonomian global ke dalam krisis lebih buruk dan berkepanjangan. Dampak krisis finansial global menyebar dengan cepat seperti lidah api ke seluruh wilayah emerging markets, mulai dari kawasan Baltik, Rusia, Eropa Timur, hingga Amerika Latin. Bahkan, emerging markets Asia yang kondisinya relatif lebih lebih
baik juga tidak selamat dari tekanan nilai tukar, terutama akibat efek global menguatnya nilai tukar dollar AS dan pelarian modal di sektor portofolio serta melemahnya ekspor. Seluruh mata uang emerging markets, mulai dari krona Islandia, rand Afrika Selatan, zloty Polandia, forint Hongaria, peso Meksiko, hingga won Korsel, mengalami tekanan berat. Di beberapa negara penurunannya mencapai hingga 80 persen sejak awal tahun. Sepanjang September saja, cadangan devisa negara-negara Asia (tak termasuk China yang cadangan devisanya justru meningkat 21,45 miliar dollar AS) sudah terkuras 20,33 miliar dollar AS untuk intervensi di pasar. Penurunan terbesar terjadi di Malaysia (12,9 miliar dollar AS), disusul Korsel (3,53 miliar dollar AS) dan India (3,49 miliar dollar AS). Untuk Indonesia, sejak 7 Oktober lalu cadangan devisa sudah tergerus 4,1 miliar dollar AS lebih, dari 56,6 miliar dollar AS menjadi 52,5 miliar dollar AS. Namun, intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) diperkirakan jauh lebih besar daripada penurunan cadangan devisa. Pengamat ekonomi Yanuar Rizky memperkirakan BI sudah mengeluarkan sekitar 15 miliar dollar AS-20 miliar dollar AS dalam dua bulan terakhir untuk intervensi kendati itu tak tecermin pada posisi cadangan devisa karena ditutup dengan penerbitan surat utang negara (SUN). Bahkan, pernah dalam satu hari, yakni Selasa (28/10), ketika rupiah sempat melemah hingga Rp 11.850 per dollar AS, BI sampai menguras 5 miliar dollar AS cadangan devisa untuk memborong rupiah di pasar spot. Tidak ada yang bisa memastikan sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Tak ada satu negara pun yang kini merasa cadangan devisa mereka aman dan mencukupi, bahkan China yang cadangan devisanya 1,9 triliun dollar AS atau Korsel yang 240 miliar dollar AS. Menguatnya dollar AS yang mengakibatkan mata uang lain melemah sekarang ini sebenarnya adalah konsekuensi langsung dari ambruknya pasar finansial global. Investor merasa tak aman dan memilih menempatkan dananya di surat-surat berharga Pemerintah AS yang dianggap paling aman. Hedge funds dan investor lain berlomba menarik dananya (flight to safety) dalam skala masif dari emerging markets dan masuk ke dollar AS atau yen sebagai dua tempat pelarian (safe havens) paling dicari sekarang ini. Komoditas, termasuk minyak mentah, yang sebelumnya sempat jadi tempat pelarian lain kini ditinggalkan karena kekhawatiran resesi global akan membuat permintaan dan harga minyak ikut rontok kendati Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sudah mengurangi produksi.
Negara-negara Amerika Latin berpotensi terjerumus kembali dalam krisis utang. Brasil, seperti pengakuan Presiden Bank Sentral Henrique Meirelles, sudah mengeluarkan 22,9 miliar dollar AS hanya dalam kurun 8-20 Oktober 2008 untuk mendongkrak nilai mata uang real. Sebesar 3,2 miliar dollar di antaranya untuk intervensi langsung di pasar spot. Meksiko juga harus merogoh 6,4 miliar dollar AS pada 10 Oktober saja untuk intervensi dengan memborong peso di pasar. Real Brasil sudah kehilangan sekitar sepertiga nilainya terhadap dollar AS dan indeks saham bursa sudah jatuh 32 persen selama kurun 1 Agustus-22 Oktober lalu. Di Eropa Timur, sejumlah negara terpaksa menaikkan suku bunga sebagai jurus pamungkas melindungi mata uang agar tetap berada dalam batas pagu Mekanisme Nilai Tukar Eropa (ERM) yang berlaku di zona Euro dan mencegah pelarian modal. Hongaria menaikkan suku bunga 3 persen menjadi 11,5 persen. Romania juga harus menaikkan suku bunga pinjaman antarbank (overnight) hingga 900 persen untuk meredam pelarian modal kendati secara politis sangat berisiko memicu krisis perbankan berbahaya, seperti terjadi di negara-negara Skandinavia menjelang krisis ERM tahun 1992. Rusia sendiri sudah kehilangan 15,5 miliar dollar AS cadangan devisa untuk mendongkrak nilai tukar mata uangnya. Kebangkrutan ekonomi Kalangan ekonom memperingatkan seluruh perekonomian Eropa Timur sekarang ini di ambang kebangkrutan. Setelah Eslandia, berturut-turut sejumlah negara Eropa Timur masuk dalam antrean untuk mendapatkan suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Resesi ekonomi di negara-negara maju zona Euro, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, akan sangat memukul ekonomi Eropa Timur. Ceska, misalnya, menggantungkan 40 persen produk domestik bruto (PDB)-nya pada ekspor ke negara maju di zona Euro. Perekonomian negara-negara Baltik, menurut para ekonom, bahkan sudah masuk kategori krisis. Latvia dan Estonia yang pertama resesi, disusul Lituania. Bulgaria dan Romania, dinilai ekonom Citibank, juga sangat rentan mengalami stabilitas finansial, dengan defisit nasional sudah mencapai 21,5 persen dari PDB, sehingga harus berpaling ke Bank Sentral Eropa (ECB) dan IMF untuk menyelamatkan ekonominya dari kebangkrutan. Sebelumnya, 16 Oktober lalu ECB juga harus mem-bailout Hongaria lewat injeksi likuiditas senilai 5 miliar poundsterling. Polandia, Slowakia, dan Ceska relatif lebih baik karena tak terlalu tergantung dari pinjaman luar negeri. Namun, mereka sangat tergantung dari investasi langsung asing (FDI) yang tahun depan kemungkinan tidak mengalami ekspansi.
Kondisi eks Soviet juga rawan karena negara ini sangat bergantung pada utang luar negeri untuk menopang pertumbuhan ekonominya. Untuk menyelamatkan perbankannya, Pemerintah Rusia juga sudah menyisihkan hampir 200 miliar dollar AS. Mirip seperti yang terjadi di Indonesia sebelum krisis, selama satu dekade terakhir ratusan bank kecil muncul di Rusia dengan modal dari pinjaman asing yang kemudian dipakai untuk membiayai pembangunan sektor- sektor booming, seperti properti. Utang luar negeri Rusia (530 miliar dollar AS) sekarang ini sudah melampaui cadangan devisanya. Sekitar 47 miliar dollar AS jatuh tempo dalam dua bulan ini. Kondisi serupa dihadapi Ukraina yang sejauh ini indeks sahamnya sudah anjlok 75 persen. Ukraina sudah meminta pinjaman darurat 14 miliar dollar dari IMF. Kekhawatiran besar terhadap krisis nilai tukar dan gejolak di pasar valas ini memunculkan desakan bagi ditempuhnya upaya intervensi terkoordinasi di kalangan negara-negara maju, kemungkinan dalam beberapa hari mendatang ini, untuk meredam melonjaknya dollar AS dan bergugurannya mata uang emerging markets. ”Risikonya sangat besar, tetapi itu langkah tepat saat ini karena jika sampai emerging markets ikut (tumbang) ke dalam gagal bayar, konsekuensinya akan sangat katastropik,” kata ekonom terkemuka Harvard University, Kenneth S Rogoff, dikutip New York Times, akhir pekan lalu. Konsekuensi gagal bayar emerging markets terutama mengancam perbankan dan ekonomi negara maju Uni Eropa yang selama ini banyak menyalurkan kredit ke emerging markets, seperti terjadi pada krisis finansial Asia dan Amerika Latin tahun 1990-an. Hans Redeker, pakar valas di BNP Paribas, mengingatkan, krisis nilai tukar Eropa Timur juga bisa mengancam runtuhnya sistem nilai tukar mata uang di Uni Eropa serta memicu krisis di Uni Ekonomi dan Moneter Eropa (EMU). ”Sistem bisa lumpuh dan kejadiannya bisa seperti Black Wednesday 1992,” ujarnya.(sri hartati samhadi)
NEGARA MAJU adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan phosphorus) tanpa mengembangkan industri yang beragam dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'. Pengamat dan teoritis melihat alasan yang berbeda mengapa beberapa negara (dan lainnya tidak) menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi. Banyak alasan menyatakan perkembangan ekonomi membutuhkan kombinasi perwakilan pemerintah (atau demokrasi), sebuah model ekonomi pasar bebas, dan sedikitnya atau ketiadaan korupsi. Beberapa memandang negara kaya menjadi kaya karena eksploitasi dari negara miskin di masa lalu, melalui imperialisme dan kolonialisme, atau di masa sekarang, melalui proses globalisasi. Menjelang Sidang Kesehatan Sedunia ke-62, Badan Kesehatan Dunia dan negaranegara maju diharapkan konsisten terkait mekanisme berbagi contoh virus yang adil, transparan dan setara. Hal ini demi tercapainya kesepakatan atas mekanisme baru transfer virus itu yang didukung mayoritas peserta dalam Pertemuan Antar Negara yang membahas Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza tentang Transfer Virus. Menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan Lily S Sulistyowati, dalam siaran pers, Senin (18/5) , di Jakarta, Indonesia berharap komitmen WHO dan negara-negara maju dalam Pertemuan Antar Negara yang membahas tentang Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (The Intergovermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP) tentang transfer virus,14-15 Mei lalu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berpidato pada sidang hari pertama, Senin (18/5), dalam World Health Assembly yang merupakan sidang tertinggi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Delegasi Indonesia diperkuat Makarim Wibisono, manta n Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB New York Widjaja Lukito, Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Kesehatan Publik. Dalam IGM-PIP, negara-negara anggota WHO membahas Perjanjian Bahan Standar (Standard Material Agreement/SMTA) yang mengatur sistem virus sharing yang adil, transparan dan setara. Pertemuan itu menyepakati sekitar 85 persen dari butir-butir yang dibahas, selebihnya masih memerlukan pembahasan lanjutan, terutama pembagian manfaat. Menkes RI mengharapkan, komitmen dari semua pihak untuk menyelesaikan pembahasan mekanisme baru itu. Butir-butir yang telah disepakati Pada Joint statement menutup IGM-PIP Desember 2008 lalu di Jenewa adalah, disetujuinya penggunaan Standard Material
Transfer Agreement berkekuatan hukum yang mengatur sistem berbagi virus yang akan mengatur semua transfer virus dan transfer bagian virus berbentuk standar dan universal. Selain itu, prinsip-prinsip SMTA secara umum disetujui termasuk pengakuan atas perlunya mengintegrasikan sistem benefit sharing kedalam SMTA. Pernyataan IGM-PIP pada penutupan pertemuan bulan Desember 2008 berbunyi "negara negara anggota setuju untuk berkomitmen berbagi virus H5N1 dan virus influenza lainnya yang berpotensi pandemi serta menganggap virus sharing adalah setara benefit sharing, sebagai bagian penting dari langkah kolektif demi kesehatan publik secara global". Jika telah disahkan dan berkekuatan hukum SMTA akan mengubah tatanan penggunaan virus yang berlaku, dalam kerangka yang lebih adil transparan dan setara. Selain itu, akses terhadap virus influenza akan makin terbuka, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya . Harapannya, semua negara berkembang dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan anti virus penyakit yang berpotensi pandemi. New York — Negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa, Cina, India dan Jepang, harus ikut berinvestasi dalam menciptakan perdamaian dunia. Ketiadaan perdamaian dan krisis-krisis global selama ini harus diakui adalah akibat kegagalan sistem dunia yang didukung negara-negara maju. Hal ini disampaikan Din Syamsuddin, Presiden Kehormatan WCRP dan Presiden ACRP pada World Summit on Peace (WSP) dan International Leadership Conference (ILC) di Mew York 29 Januari -1 Februari 2009 dengan thema "Building a World of Universal Peace: One Family Under God". Berbicara sebagai keynote speaker didepan 300-an tokoh dunia dari berbagai Negara, Din Syamsuddin, lebih lanjut mengatakan bahwa berbagai manifestasi ketiadaan perdamaian seperti kemiskinan, penganggura, kebodohan, kerusakan lingkungan sampai kepada krisis energi, pangan, dan keuangan dunia diakibatkan keserakahan negaranegara maju untuk menguasai dunia bahkan dengan menggelar kekuatan keras (hard power) melalui invasi, pendudukan dan pendesakan kehendak. “Kita berharap kepada Presiden baru AS, Barrack Obama, untuk mengubah pendekatan AS terhadap dunia dan mengambil prakarsaprakarsa positif dan konstruktif dalam membangun tatanan dunia baru yang damai, sejahtera, berkeadilan dan berkeadaban. Dunia menantikan
kepemimpinan baru yang mencerahkan, dan dengan kesadaran moral tinggi melakukan perubahan”, harap Din. Dalam kaitan ini, Din Syamsuddin mengajukan agar agama tampil berperan dengan mendorong etika agama untuk perubahan, perbaikan dan kemajuan. Ini hanya mungkin terjadi jika agama menampilkan misi sucinya sebagai penebar rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin) (Mul).