Pembahasan (autosaved) (autosaved).docx

  • Uploaded by: Gita Ramaida Hamada
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan (autosaved) (autosaved).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,415
  • Pages: 23
PENGANTAR HUKUM PERIKATAN MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perikatan yang di ampu oleh Bapak Muhamad Kholid, S.H.,M.H

Disusun oleh Dikha Virgia Gemintang

1173050031

Fajar Hidayatullah

1173050039

Gita Ramaida Hamada

1173050045

Kelas/semester: A/ IV Program Studi Ilmu Hukum UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG Alamat : Jl. AH Nasution No. 105 Telp. 022-7800525/Fax.022-7803936, email: contact.uin[at]uinsgd.ac.id 2018

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Alloh yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW. Terimakasih kepada teman-teman atas partisipasi dan mau meluangkan pemikiran untuk menghasilkan judul makalah ini, serta terimakasih juga kepada Bapak Muhamad Kholid, S.H.,M.H. yang mengarahkan dan membimbing penulis hingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Pengantar Hukum Perikatan”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Selama penyusunan tugas akhir ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa telah mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dorongan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terimakasih. Bandung, 19 Februari 2019

Penulis

1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………....…1 B. Identifikasi Masalah…………………………………………………...….1 C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….2 BAB II PEMBAHASAN A. Istilah dan Pengertian Perikatan………………………………………………………………….3 B. Subjek dan Objek Perikatan…………………………………………..….5 C. Schuld dan Haftung……………………………………………..……..…6 D. Sistem Pengaturan Buku III BW (Perikatan)..………………………...….9 E. Sumber-sumber Perikatan………………………………………………..13 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………...…….18 DAFTAR PUSTAKA

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk social atau sering disebut juga dengan zoon politicon manusia selalu berkelompok dan berhubungan dengan manusia lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri yang mana saling ketergantung satu sama lain dan tidak bisa hidup sendiri karena akan selalu membutuhkan orang lain untuk saling membantu. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perikatan. Hal ini seperti perjanjian sewa menyewa, menggunakan jasa angkutan umum, itu merupakan perbuatan perikatan. Perikatan adalah hubungan hokum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam hubungan lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas presentasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Hokum perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hokum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hokum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban. Misalnya ssuatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-undang lah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hokum, misalnya, dengan adanya perbuatan pelanggaran hokum. B. Identifikasi Masalah Adapun identifikasi masalah dalam makalah ini dituangkan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa istilah dan pengertian perikatan? 2. Apa subjek dan objek perikatan? 3. Apa yang dimaksud dengan Schuld dan Haftung?

1

4. Bagaimana system pengaturan Buku III BW 5. Apa saja sumber-sumber perikatan? C. Tujuan Penulisan Sesuai dengan permasalah di atas, maka tujuannya yaitu: 1. Untuk mengetahui istilah dan pengertian perikatan. 2. Untuk mengetahui subjek dan objek perikatan. 3. Untuk mengetahui Schuld dan Haftung. 4. Untuk mengetahui system pengaturan Buku III BW. 5. Untuk mengetahui sumber-sumber perikatan.

2

BAB II PEMBAHASAN A. Istilah dan Pengertian Perikatan Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. 1 Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban saja. Perikatan dapat dipandang dari dua segi, yaitu hak dan kewajiban. Para ahli memberikan definisi perikatan, sebagai berikut:2 a. Nieuwenhuis mengartikan perikatan sebagai: “Hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu (debitor) wajib melakukan prestasi, sedangkan pihak lain berhak atas suatu presrasi.” b. C. Asser’s mengartikan perikatan sebagai: “Hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih berdasarkan mana orang yang satu terhadap orang lainnya berhak atas suatu penuaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas penuaian/prestasi itu.” c. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perikatan sebagai: “Hubungan hukum (vermogensrechtelijke rechtbetrekking) yang berisi hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lainnya, yang timbul karena dua orang berhubungan (karena hubungan hukum).” Pada prinsipnya, ketiga definisi perikatan itu difokuskan pada hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain. Namun, subjek hukum dalam lalu lintas hukum tidak hanya orang saja, tetapi juga mencangkup badan hukum, terutama badan hukum privat, sehingga definisi perikatan itu perlu dilengkapi dan sempurnakan. Jadi, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. 1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung:2014,Hlm.229 2 Salim HS, Pengantar Hukum Pedata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Hlm.173

3

Istilah verbintenis, ada yang menerjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karena masing-masing para sarjana mempunyai

sudut

pandang

yang

berbeda

dalam

menerjemahkan

dan

mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-berbeda, sebagai bukti, di dalam KUHPdt digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”. Demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”.

Selanjutnya

Utrecht,

memakai

istilah

perutangan

untuk

“verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht”. Sementara itu, R. Wirjono Prodjodikoro memakai istilah :het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan. Demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissen”. Dari uraiann diatas, maka dapat dikatakan bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya tiga istilah untuk menerjemahkannya, yakni: “perikatan, perutangan, dan perjanjian”. Akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk menerjemahkan verbintenis tersebut. Demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menerjemahkan verbintenis tersebut. Beranjak dari uraian diatas, jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPdt sendiri tidak ditemui pengertian perikatan secara yuridisnya. Oleh karena itu, untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.3 3 Erika Kertistika, Hukum Perrikatan, (http://www.academia.edu/28155918/HUKUM_PERIKATAN, diakes pada 17 Februari 2019)

4

B. Subjek dan Objek Perikatan 1. Subjek Perikatan Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dank arena ketentuan undangundang.4 Pelaku perikatan dapat terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus: a) Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri; b) Tidak ada paksaan dari pihak mana pun; c) Tidak ada penipuan dari salah satu pihak; d) Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan. Pelaku perikatan dalam hubungan jual beli, sewa-menyewa, sewa beli, atau utang-piutang dapat berstatus sebagai kreditor dan debitor. Pelaku perikatan dalam hubungan kerja dapat berstatus sebagai pemberi kerja dan pembangunan kerja. Pelaku perikatan dalam hubungan keluarga dapat berstatus sebagai pengasuh dan anak asuh. Pelaku perikatan dalam hubungan perkawinan dapat berstatus sebagai suami dan istri. Pelaku perikatan dalam hubungan pewarisan dapat berstatus sebagai pewaris dan ahli waris Dalam buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, dimana istulah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah verbintenissen dalam BW (KUHPdt), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam keputusan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukinya menegaskan bahwa: 2. Objek Perikatan (Prestasi) Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimiliki dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan 4 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm.232

5

keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya. 5 Selain itu, benda dapat berupa benda berwujud yaitu benda yang dapat diraba, dilihat, atau ada bentuk nyata. Sedangkan benda tidak berwujud yaitu benda yang tidak berbentuk, tidak dapat diraba atau tidak dapat dilihat, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak cipta, hak merak, dan hak paten. Benda objek perikatan harus benda perdagangan sesuai dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan masyarakat, serta bermanfaat. Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah: 1) Benda dalam perdagangan; 2) Benda tertentu atau dapat ditentukan; 3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud; 4) Benda itu tidak dilarang oleh undang-undang atau benda halal; 5) Benda itu ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya; 6) Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya; 7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar atas hak sah. Dalam konsep hukum modern, pengertian benda sebagai objek perikatan meliputi juga modal, piutang, keuntungan, dan jasa. C. Schuld dan Haftung Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepada keditur. Karena itu mempunyai kewajiban itu disebut mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Dalam istilah asing kewajiban disebut Schuld. Di samping Schuld debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu Haftung. Maksudnya ialah bahwa debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut. Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih pitang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum 5 Op. Cit., hlm. 235

6

Perdata, di samping hak menagih (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht). Berkaitan dengan Haftung tersebut, R. Setiawan memberikan contoh: A berutang kepada B. A kemudian tidak membayar utang tersebut, kekayaan A dilelang atau dieksekusi guna pelunasan utangnya.6 Menurut para pakar dan Yurisprudensi, Schuld dan Haftung itu dapat dibedakan, tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok dari Haftung ini terdapat dalam Pasal 1131 KUHPedata. Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa segala kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak baik yang telah ada maupun yang ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan seorang debitor. Jaminan umum ini lahir bukan karena perjanjian, tetapi karena ditentukan peraturan perundang-undang. Ini berlainan dengan jaminan khusus, seperti hak tanggungan atas tanah gadai, dan fidusia, lahirnya jaminan kaena diperjanjikan. Berkaitan dengan hasil eksekusi kekayaan tersebut, Pasal 1132 KUHPerdata menentukan: “Benda-benda tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya utang masing-masing, kecuali diantara para kreditor itu ada alas an yang sah untuk didahulukan.” Berkaitan dengan hafting di atas, peraturan perundang-undang maupun para pihak dapat menyimpang dari asas tersebut, yaitu dalam hal:7 1. schuld tanpa hafting Schuld tanpa hafting dapat dijumpai dalam perikatan alamiah. Dalam perikatan alamiah sekalipun, debitor memiliki utang (schuld) kepada kreditor, tetapi jika debitor tidak mau memenuhi kewajibannya, kreditor tidak dapat menuntut pemenuhannya. Misalnya utang yang timbul dari 6 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 9 7Ibid., hlm. 10

7

perjudian. Sebaliknya, jika debitor memenuhi prestasinya, ia tidak dapat menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan. 2. Schuld dengan Haftung Terbatas Dalam hal ini debitor tidak bertanggungjawab dengan seluruh harta kekayaannya, tetapi terbatas sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh: ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran, wajib untuk membayar schuld pewaris sampai sejumlah harta kekayaan pewaris oleh ahli waris tersebut. 3. Haftung dengan Schuld pada Orang Lain Jika pihak ketiga menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh debitor kepada kreditor, maka walaupun dalam ini pihak ketiga walau tidak memiliki kepada kreditir, ia tetap bertanggungjawab atas utang debitor dengan barang. Para ahli Hukum Perdata pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 KUHPerdata kurang lengkap. Di luar dari apa yang tercantum dalam pasal 1233 KUHPerdata itu, masih banyak lagi sember dari perikatan yaitu Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, Hukum yang tidak tertulis dan keputusan Hakim (Yurisprudensi). Dari sumber-sumber yang disebutkan oleh undang-undang tersebut di atas, yang paling penting adalah perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh undangundang (benoemde overeeeenkomsten) yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata Buku III, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan olehh undang-undang, dengan istilah lain disebut juga perjanjian khusus (onbenoemde overeenkomten).

8

Menurut para ahli Hukum Perdata, maka andaikata pun undang-undang tidak menentukan “perjanjian” itu sebagai sumber perikatan, kodrat perjanjian dan kebutuhan masyarakat sendiri menghendaki agar setiap orang memenuhi perjanjian. Baiklah dalam hal ini kita merenungkan ajaran Hugo De Groot yang mengemukakan bahwa: “Asas Hukum Alam menentukan janji itu mengikat” (pacta sunt servanda). Hanya saja, oleh karena hokum itu menghendaki kepastian maka perlu ada keseragaman tentang ukuran dari perjanjian. Undang-undang lalu mengatur dan menentukan syarat-syarat bagi perjanjian dengan mana dapat diadakan suatu perikatan.8 D. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan Perikatan diatur dalam Buku III KUHPdt. Sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersistem terbuka. Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:9 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Menurut sejarah perkembangannya, bahwa sistem hukum perikatan pada mulanya menganut sistem tertutup. Artinya, bahwa para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan H.R. 1919, tertanggal 31 Januari 1919 tentang penafsiran 8Taryana Soenandar dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016, hlm.8 9 Salim HS, Op.Cit., hlm. 156

9

perbuatan melawan hukum yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPdt. Di dalam putusan H.R.1919, definisi perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan UU, tetapi juga melanggar hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum. Menurut H.R.1919, yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang disebutkan berikut ini: 1. Melanggar hak orang lain; 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; 3. Bertentangan dengan kesusialaan; 4. Bertentangan

dengan

kecermatan

yang

harus

diindahkan

dalam

masyarakat. Putusan H.R.1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Sejak adanya putusan H.R.1919, maka sistem pengaturan hukum perikatan adalah sistem terbuka. Jadi kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang, sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersistem terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt dan H.R.1919. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang perikatan. Oleh karena hukum perikatan menganut sistem terbuka, yaitu memberikan kebebasan yang sangat luas kepada masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apapun,

dengan

batasan

tidak

melanggar

kesusilaan

dan

ketertiban umum, maka dianggap perlu oleh pembuat undangundang untuk menentukan tentang syarat-syarat serta sahnya dan juga rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan perikatan tersebut. Sistem terbuka dari buku III KUH Perdata, memuat suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian yang sering disebut dengan nama asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak tercantul dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Per yang berbunyai: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku 10

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang yang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.10 Selain terbuka, hukum perjanjian juga menganut asas yang disebut asas konsensualisme, yaitu pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul itu sudah muncul sejak awal tercapainya kesepakatan.

Adanya

ketentuan

umum

dalam

membuat

perjanjian, dapat memberi batasan pada para pihak yang membuat perjanjian tersebut tentang perbuatan hukum seperti apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, hukum akan membantu para pihak dalam melaksanakan hukum sebagaimana yang mereka perjanjikan dan hukum juga bisa memberikan tekanan kepada semua pihak yang terlibat agar janjianya terpenuhi. Dilihat dari pihak yang membuat perjanjian, suatu prjanjian yang mana dimaksud dalam pasal 1313 KUH Per mempunyai arti: 1) Perjanjian dan Tindakan Hukum Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1313 KUH Per tersebut, suatu perjanjian bisa dikatakan sebagai: a. Peristiwa hukum berupa tindakan hukum, sehingga akibat hukum yang timbul memang dikehendaki para pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian pada asasnya

didasarkan

dari

kehendak

para

pihak

tersebut. b. Tindakan Hukum dua pihak, sehingga agar adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling membuat pernyataan dan disetujuai 10 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT Balai Pustaka, Jakarta, 2014, hlm. 342.

11

antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Untuk adanya sebuah perjanjian harus ada dua pihak yang sepakat dan sama-sama melakukan tindakan hukum. Itulah sebabnya disebutkan bahwa perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak. 2) Perjanjian dan Gesamatakt Perjanjian sehingga mengakibatkan perikatan atau disebut perjanjian yang obligatoir. Namun demikian, tidak semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh banyak pihak merupakan perjanjian, yang demikian oleh Gierke dan Kuntze diusulkan suatu istilah tersendiri, yaitu Gesamatakt. 3) Perjanjian dan Akibat Hukum Suatu Tindakan Perjanjian merupakan tindakan hukum. Hanya saja yang terjadi, seringkali dalam membuat suatu perjanjian, orang hanya

menitik

beratkan

kepada

akibat

hukum

yang

pokoknya saja tanpa melihat ketentuan-ketentuan umum dalam membuat suatu perjanjian. Padahal suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak selalu ada ketentuan yang dari undang-undang menyatakan berlaku dan mengikat para pihak meskipun tidak mencantumkan ketentuan tersebut dalam perjanjian yang dibuat oleh yang bersangkutan. 4) Perjanjian dan Hukum Yang Menambah Dalam pasal-pasal hukum perjanjian umumnya terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang menambah, dan secara otomatis berlaku pada pihak dalam perjanjian apabila para pihak

tersebut

Dimunculkannya

tidak ketentuan

memperjanjikan hukum

yang

lain.11

menambah

tersebut didasarkan atas pikiran bahwa seandainya para pihak tidak lalai dalam mengaturnya, sehingga para pihakpu membuat ketentuan-ketentuan yang sama seperti 11 Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, CV Pustaka Setia, Bandung, 2018, hlm. 248.

12

yang diberikan pembuat undang-undang dalam ketentuan hukum

yang

menambah.

Di

samping

itu,

untuk

menetapkan dan lebih menjamin hal dan kewajiban para pihak serta untuk menghindarkan sengketa atau ketentuan yang menambah diadakan demi adanya kepastian hukum. 5) Perumusan Tindakan Hukum Dari yang dikehendaki para pihak tersebut dalam membuat sebuah perjanjian, maka dapatlah dirumuskan sebuah tindakan

hukum,

yaitu

tindakan-tindakan

yang

menimbulkan akibat hukum dan akibat tersebut memang dikehendaki oleh semua pihak atau dianggap dikehendaki oleh mereka yang melakukan tindakan hukum. Melalui perjanjian, orang merubah, mendapatkan, dan melepaskan hak-hak serta kewajibannya. Hanya sebaian kecil saja hak-hak yang tidak dapat dialihkan kepada orang lain lewat kehendak yang diletakan di dalam perjanjian. Dalam perjanjian pada asasnya kepentingan yang terkait oleh perjanjian yaitu kepentingan para pihak yang bersangkutan, yang dengan suka rela dan dengan persetujuan sengaja dilibatkan. E. Sumber – Sumber Perikatan Pasal 1352 KUHPerdata mengatakan: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undangundang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit de wet ten gevolge van’s mensen toedoen). Pasal 1353 KUHPedata mengatakan: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, tertib dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hokum (Onrechmatige Daad). Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan

13

melahirkan suatu hubungan hokum (perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. Misalnya: 1. Lampu waktu (verjaring), adalah peristiwa dengan mana pembentukan undang-undang menetapkan adanya suatu perikatan antara orang-orang tertentu. Dengan lampaunya waktu seseorang mungkin terlepas haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu. 2. Kematian dengan meninggalkannya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya. 3. Kelahiran dengan kelahiran anak maka timbul perikatan anatara ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tresebut. Pasal 1321 KUHPerdata: “Tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin.” Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hokum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hokum). Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai perbuatan orang yang menurut hokum misalnya mengurus kepentinggan orang lain secara sekarela (zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, undang-undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pasal 1354 KUHPerdata mengatakan: “Jika seseorang dengan sukkarela, tanpa mendapat perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang, kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjianperjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi.

14

Perikatan lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hokum diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, umdang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi. Dengan meletakkan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan pebuatan yang melawan hokum kepada orang yang menderita kerugitan karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan di luar kemauan kedua orang tersebut.12 Sumber hukum perikatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) perjanjian, (2) undang-undang, dan (3) putusan pengadilan.13 1. Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian: teori lama dan teori baru. Pasal 1313 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPdt ini adalah: (1) tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak asas konsensualisme, dan (3) bersifat dualism. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Jadi, telah tampak

adanya

asas

konsensualisme

dan

timbulnya

akibat

hukum

(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah: “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 2. Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang 12 Taryana Soenandar dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016, hlm.7 13 Op.Cit., hlm.160

15

Perikatan yang lahir karena undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUHPdt s.d. PAsal 1380 KUHPdt. Perikatan yang lahir karena undang-undang adalah suatu perikatan yang timbul/lahir/ adanya karena telah ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:14 a. Perikatan yang lahir karena undang-undang saja, adalah perikatan yang timbul/lahir/adanya karena adanya hubungan kekeluargaan. Contohnya, alimentasi. Artinya pemberian nafkah dari seorang anak kepada orang tuanya yang tidak mampu lagi mencari nafkah untuk dirinya. b. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia. Perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi: (1) perbuatan yang dibolehkan, dan (2) melanggar hukum

(Pasal

1365

KUHPdt). Yang

termasuk

perbuatan

yang

diperbolehkan adalah pembayaran tak terutang (Pasal 1359 KUHPdt s.d. Pasal 1400 NBW) dan zaakwaarneming (Pasal 1354 KUHPdt; Pasal 1390 s.d. Pasal 1394 NBW). 3. Putusan Pengadilan (Yurisprudensi) Putusan pengadilan sebagai sumber hukum perikatan tidak diatur secara khusus di dalam KUHPdt, namun putusan pengadilan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam hukum perikatan karena putusan pengadilan dapat melengkapi kelamahan-kelemahan dan stagnasi (hambatan) dalam penegakan hukum. Di dalam Seminar Hukum Nasional Keenam tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam PJPT II yang diselenggarakan pada tanggal 25-29 Juli 1994 telah diambil kesimpulan sebagai berikut:15 a. Yurisprudensi

merupakan

kebutuhan

yang

fundamental

untuk

mendampingi. Berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum, dalam upaya mewujudkan standar pengaturan hukum. 14 Op.Cit., hlm.169 15 Op.Cit., hlm.171

16

b. Tanpa

yurisprudensi,

fungsi

dan

kewenangan

peradilan

sebagai

pelaksanaan kekuasaan kehakiman bisa mengalami kemandulan dan stagnasi. c. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap actual dan efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman. d. Peranan yurisprudensi dalam pembaruan hukum nasional sebagai sumber hukum nasional cukup strategis. e. Diperlukan

langkah-langkah

yang

sistematis

untuk

menjadikan

yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional, baik yang menyangkut asas stare decisis maupun hal-hal yang bersifat teknis. f. Asas kebebasan hakim tidak menghalangi usaha untuk menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum nasional karena asas kebebasan hakim menunjuk pada kebebasan hakim terhadap pengaruh eksekutif. Jadi, tampaklah bahwa putusan pengadilan (yurisprudensi) sebagai sumber hukum nasional, khususnya hukum perikatan. Yang diartikan dengan putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum.

17

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. 16 Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban saja. Istilah verbintenis, ada yang menerjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. Karena masing-masing para sarjana mempunyai

sudut

pandang

yang

berbeda

dalam

menerjemahkan

dan

mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung:2014,Hlm.229

18

berbeda-berbeda, sebagai bukti, di dalam KUHPdt digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Menurut para pakar dan Yurisprudensi, Schuld dan Haftung itu dapat dibedakan, tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok dari Haftung ini terdapat dalam Pasal 1131 KUHPedata. Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa segala kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak baik yang telah ada maupun yang ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan seorang debitor

DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014. Salim HS. Pengantar Hukum Pedata Tertulis (BW). Sinar Grafika.Yogyakarta. 2001. Taryana Soenandar dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2016. Neng Yani Nurhayani. Hukum Perdata. CV Pustaka Setia. Bandung. 2018. Ridwan Khairandy. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan. FH UII Press. Yogyakarta. 2013. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. PT Balai Pustaka. Jakarta. 2014.

Erika Kertistika, Hukum Perrikatan, (http://www.academia.edu/28155918/HUKUM_PERIKATAN, diakes pada 17 Februari 2019).

19

20

Related Documents


More Documents from ""