MASYARAKAT MINANGKABAU KONTEMPORER ; Catatan dan Beberapa Agenda Permasalahan Oleh : Elfitra Baikoeni FISIP Universitas Andalas
Dulu Minagkabau dikenal sebagai daerah yang kuat adat istiadatnya, disamping masyarakat memeluk agama Islam yang taat. Tetapi budaya Minang nampaknya juga bersifat terbuka terdap perubahan dan dalam hal tertentu sedikit kosmopolit (dalam arti objektif, netral). Bagi orang asing yang berkunjung ke tanah Sumbar akan tercengang dan heran, setelah melihat gaya hidup dan corak fisik keseharian, sangat jauh dari kesan memegang kukuh adat istiadat. Malah seorang teman – yang bukang orang Minang - mengatakan, kalau pergi ke daerahdaerah lain pasti ada simbol-simbol yang mudah dikenali dari etnisnya. Tetapi berada di Sumbar meskipun di pedesaan nyaris tak
ada
unsur
tradisional
yang
mereferensi
simbol
keminangkabauan itu sendiri. Pola pemukiman, bentuk dan arsitektur rumah, gaya hidup, makan, cara berpakaian semuanya merujuk kepada simbol budaya “modern”. Bila mendengar nama Ranah Minang disebut, jangan langsung
membayangkan
“rumah
gadang”
dengan
rangkiangnya. Sebab di pedesaan sendiri tak ada lagi rumah gadang seperti banyak digambarkan dalam lukisan-lukisan atau foto itu. Sebagai “kompensasi” rumah gadang dilestarikan dalam bentuk arsitektur resmi gedung perkantoran di kota-kota propinsi Sumatera Barat. Gadis Minang juga sudah tak terbiasa dengan
1
baju kurung, malah ada rasa malu untuk mengenakannya, takut dibilang kuno. Untunglah siswi-siswi Madrasah Diniyah di Padang Panjang - dengan mengenakan lilik - masih mau memakai baju kurung sebagai kostum kebanggaan sekolah mereka. Dalam rangka merespon kesiapan sistem pemerintahan otonomi di Sumatera Barat, beberapa pakar mulai mereview masalah keminangkabauan dari beberapa aspek. Mulai ada pemikiran untuk memeberdayakan kembali pranata tradisional yang
sempat
“terkubur”
ketika
pemerintahan
Orde
Baru
memberlakukan kebijakan sentralistis. Bahkan di Bukittinggi pada penghujung tahun 1999 diadakan sebuah seminar yang cukup besar yang dihadiri beberapa tokoh Minang dan sejumlah kalangann intelektual, dan tokoh masyarakat lainnya mengambil tema “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Ada beberapa agenda persoalan mendasar yang tengah terjadi hari ini sebagai suatu kemerosotan yang mesti dicermati terlebih dulu sebelum kita mengembangkan berbagai pemikiran pemberdayaan lokal untuk pembangunan daerah masa datang. Menurut hemat penulis agenda permasalahan tersebut secara umum adalah : •
Merosotnya
peran
dan
fungsi
ninik
mamak
dalam
masyarakat. Kalau dulu ninik mamak dianggap segalagalanya dalam keteladanan, sekarang mereka hampir tak berperan. Marjinalisasi peran ninik mamak sangat erat kaitannya dengan “terkuburnya” pranata nagari dalam sistem politik masyarakat. •
Generasi muda hari ini sudah meninggalkan akar ideologi dan ke-minangkabau-annya, sehingga ia gamang hidup dan
beradaptasi dengan perubahan lingkungan
berjalan
demikian
cepatnya.
2
Disini
ada
dua
yang faktor
kemungkinan
yang
selalu
tarik
menarik
sebagai
penyebabnya. Yang pertama interpretasi adat yang terlalu kaku dipahami oleh “generasi tua” sehingga meminggirkan dan membuat adat itu sendiri “tersisih” dari kebiasan dan nilai pragmatis yang “ditradisikan” oleh masyarakat dalam pergaulan hidupnya. Kedua, kengganan orang-orang muda sendiri untuk mempelajari, menggali adat lama serta kurang
keberanian
mereinterpretasi
secara
applicable
untuk merspon berbagai realitas-realitas hidup yang selalu berubah. •
Minangkabau
mengalami
krisis
kepemimpinan
dan
kecendikiawanan baik secara politik maupun sosial budaya. Kalau
dulu Minangkabau pada tingkat nasional dikenal
sebagai
“gudangnya
pemikir
besar.
pemimpin”
Sekarang
dan
tanah
dimana-mana
kelahiran
terjadi
krisis
intelektual dan stagnasi tatanan pemikiran orang Minang secara umum. Pranata tradisional pendidikan yang mandiri bercorak lokal boleh dikatakan sudah digantikan sistem sekolah
modern
yang
dirancang
dengan
kurikulum
nasional. Ada “gap” – untuk menghubungkannnya butuh waktu dan kesabaran - antara sisa-sisa budaya lisan orang Minang secara umum dengan sistem pendidikan sekolah yang didaktik. •
Apa yang pernah dicita-citakan Emil Salim terhadap Sumatera
Barat
kesampaian.
sebagai
Bahkan
“industri
kualitas
otak”
pendidikan
tak
pernah
dasar
dan
menengah Sumatera Barat untuk taraf nasional hanya menempati peringkat papan bawah. Pengangkatan guru yang berbau KKN di lingkungan pendidikan berakibat distibusi tenaga pengajar yang tidak berimbang antara
3
satu daerah dengan daerah lain. Praktek ini seterusnya berakibat rendahnya mutu tenaga guru dan semangat pengabdian yang kurang. •
Sulit sekali mencari sosok pemimpin di Sumatera Barat yang mencakup pemimpin
“tungku tigo sajarangan”.
Seorang tokoh yang sekaligus paham dengan soal-soal adat istiadat, intelek, berpendidikan serta sekaligus orang yang paham dengan agama. Kalaupun ada ditemukan kalangan intelek yang bersekolah tinggi, tapi jauh dari “kearifan” bak seorang para penghulu tempo dulu dan kedalaman pengetahuan agama seperti dimiliki seorang ulama masa silam. •
Dalam hal ideologi makro, kualitas hidup dan kemandirian masyarakat orang Minangkabau jauh merosot. Pemerintah Orba dengan penyeragaman kebbijakan sentralistis telah menghancurkan potensi lokal dan adat istiadat. Seperti contoh, dengan telah dihapusnya sistem pemerintahan terendah nagari di seluruh kawasan Sumatera Barat. Sistem serta struktur kemasyarakatan Minangkabau yang terkenal
dengan
prakteknya otoriter,
egaliter-demokratis
bergeser bahkan
serta
berubah
dalam
sekarang menjadi
beberapa
dalam sentral-
hal
justru
mempraktekkan cara-cara feodalistik •
Beberapa
kasus
menunjukkan
generasi
muda
telah
mengalami dekadensi moral yang cukup parah. Banyak gadis-gadis dan genarasi muuda umumnya yang mulai terjerumus. Mulai dikenalnya pergaualan bebas diantara mereka, serta pengaruh-pengaruh buruk lainnya seperti maraknya kasus-kasus narkoba dan pornografi, laser disk, VCD. Siapa yang mesti disalahkan?
4
•
Persoalan
adat
dan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan juga cukup kompleks dan dilmetais. Banyak pejabat
telah
ironismnya
merampas
banyak
harta
pula
ulayat
nagari.
penghulu
yang
Dan telah
“menggadaikan” tanah dan aset kaumnya hanya demi kepentingan-kepentingan
pribadi
dan
tak
memikirkan
dampak yang timbul di kemudian hari. Selanjutnya sering diiringi dengan rumitnya penyelesaian, apabila terjadi konflik seputar pemindahan kepemilikan tanh pusaka. Sementara wadah yang berwenang menurut adat untuk menyelesaikan kasus dan konflik tanah pusaka tersebut sudah kehilangan pamor di tengah kebijakan “negaraisasi” masyarakat selama pemerintahan Soeharto. •
Bila tak cepat diantisipasi adat Minagkabau dan ideologi ke-minangkabau-an suatu saat akan bisa hilang. Karena selama ini dirumuskan bentuk dalam budaya oral dan lisan. Sudah
seharusnya
digali
dan
ditranspormasi
dengan
perubahan-perubahan dan kemudian ditradisikan dalam budaya tulisan dan dokumentasi. Sebab, ini nantinya akan diwariskan
untuk
generasi
mendatang
dalam
jangka
panjang. Untuk itu seorang tokoh Minang bukan hanya pandai bicara tapi sekaligus mampu merefleksikan ide dan gagasannya dalam bahasa yang konstruktif. Pointer-pointer permasalahann di atas hanya sebagian saja. Ada deretan panjang persoalan Minangkabau yang tengah dan akan terus terjadi. Tak mudah memang mencari sebabsebab dan faktor yang pantas “diklaim” sebagai sebab yang mempengaruhi terjadinya masalah-masalah tersebut. Sebelum mencari solusinya, yang pertama harus dimiliki dulu adalah adalanya “kesadaran” akan berbagai kemerosotan
5
tadi. Tanpa itu, tak akan ada semangat untuk merubah keadaan dan serta koreksi diri.
(Padang, April 2000)
6