NAMA ORANG MINANGKABAU; UNIK, FLEKSIBEL DAN “ANEH” Oleh : Elfitra Baikoeni email :
[email protected]
Diantara sejumlah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, mungkin nama-nama orang Minang tergolong kompleks, aneh, variatif, longgar, tetapi sekaligus fleksibel, unik, kreatif serta pragmatis. Orang Batak dan Manado selalu mencantumkan nama marga dan clan di belakang nama kecil. Nama orang Maluku dan Papua dapat dikenali secara cepat dan familiar. Sebagai pengaruh Islam, nama orang Melayu lazim mencantumkan bin/binti sebelum nama orang tua. Orang Jawa dan Sunda lumayan ketat dalam memberi nama anak, sehingga kita nama-nama mereka memiliki khas tersendiri. Bagi orang Jawa dan juga Sunda, dari nama saja bisa langsung dikenali status sosialnya sekaligus, apakah dia keturunan bangsawan atau rakyat biasa. Nama depan “Andi” jelas berasal dari kaum ningrat Sulawesi Selatan (Bugis). Demikian juga halnya dengan kelompok masyarakat adat lain : Badui, Dayak, Sakai, Nias atau Mentawai, masing-masing memiliki karakter tersendiri yang mudah dikenali (addressed). Bagaimana dengan Minangkabau??? Penamaan dalam masyarakat Minangkabau masa lampau kelihatannya berpegang pada falsafah “alam takambang jadi guru”. Orang-orang menamai daerah-daerah baru, kampung, dan nama-nama suku-suku dengan falsafah ini, termasuk juga menamai orang (anak) dan gelar. Tak mengherankan kiranya, kalau nenek moyang kita bernama : Kirai, Upiak Arai, Talipuak, Sirancak, Jilatang, Masiak, atau Jangguik. Kedengarannya aneh dan lucu, ya??? Setelah Islam masuk dan berkembang, mulai pula nama-nama orang Minang berubah menjadi kearab-araban (Islam). Nama-nama seperti ini, contohnya : Mohammad Attar, Mohammad Natsir, Saiful, Bahri, Mochtar, Ali, Amir, Arifin, Ismail, Aziz, Fauzah, Hamid, M. Rais, Zakiah, Ibrahim, Idris, Rasid, Sofyan, Dahlan, Fatimah, Aminah, Maimunah, Hayati, Nurhasanah, Nuraini, Saidah, dst. Pasca takluknya peristiwa PRRI-Permesta, orang Minang mengalami tekanan mental luar biasa dari pemerintahan Jakarta, banyak diantara mereka kemudian memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau. Setidaknya, demikian pendapat yang tertulis dalam buku “Merantau”-nya sosiolog Mochtar Naim. Mulai pula orang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, salah satu lewat perubahan nama. Tak sedikit orang Minang memiliki nama yang kejawa-jawaan, ada seperti nama Eropa, Parsia, atau Amerika Latin. Sekedar contoh, seorang pejuang pemberontak PRRI yang
1
semula bernama Bastian St. Ameh, kemudian merantau ke Jawa dan berhasil jadi pengusaha sukses : Sebastian Tanamas. Ada “urang awak” bernama Revrisond Baswir, ekonom UGM yang terkenal. Beberapa nama yang ikut menjadi calon gubernur Sumbar tempo hari bernama ; Leonardy Armaini, Jeffry Geovanni dan terakhir siapa kira kalau Irwan Prayitno itu adalah putra asli Kuranji, Padang? Saya berkali-kali berusaha meyakinkan orang-orang tua di kampung halaman, kalau Irwan Prayitno bukan orang Jawa, pada saat Pilkada berlangsung. Mungkin mereka kuatir dengan “trauma” masa lalu, pada penghujung Orde Lama banyak sekali pejabat tinggi di Ranah Minang yang di”drop” dari Jakarta dan berasal dari etnis Jawa. Dalam pemberian nama kepada anak orang Minang sangat pragmatis tapi kreatif. Di SD saya punya kawan bernama hebat, John Kennedy, sayang dia sempat tinggal kelas. Waktu kuliah teman akrab saya bernama Socrates, asal Labuah Basilang Payakumbuh, yang waktu lahir kakek yang memberinya nama terkagum-kagum pada pemikiran Filsafat Yunani. Semula saya kira dia orang Tapanuli, namanya Hardisond Dalga, ternyata dia dari Singkarak dan nama belakang adalah nama ayah-bunda ; Dalimi-Gadis. Ada lagi kawan bernama Ida Prihatin, karena waktu melahirkan orang tuanya mengalami masa-masa ekonomi susah. Indah Elizabeth, Indah namanya dan waktu lahir ditolong oleh bidan Tionghoa yang ramah bernama Elizabeth. Dian Bakti Kamampa, kata terakhir bukan nama daerah melainkan akronim dari “Kepada Mama dan Papa”, juga ada Taufik Memori Kemal, menurut cerita orang tua yang memberi nama tersebut, dia selalu terkenang (teringat) kepada komandan seperjuangan yang gugur pada Revolusi Fisik Kemerdekaan bernama “Kapten Kemal”. Juga menarik seorang mahasiswa bernama M. Batar. Sudah pasti M tersebut adalah Mohammad, dan “Batar” mungkin saja diambil dari kata bahasa Arab, begitu pikir saya selama bertahun-tahun. Tetapi kemudian ketika sesi "mukaddimah" saat dia ujian skripsi, dia menceritakan kisah dibalik nama tersebut (karena memang ada dosen yang iseng nanya arti namanya). Singkatnya M. Batar artinya; “mambangkik batang tarandam”, itulah nama yang sekaligus menjadi misi hidup laki-laki berperawan kurus ini. Kalau kita rentang, akan banyak kisah-kisah seterusnya dibalik pemberian nama Orang Minang. Nama-nama singkatan/akronim bagi orang Minang sudah mentradisi. Salah satu “perintis”nya adalah Buya Haji Abdul Malik Karim Amarullah, yang menyingkat namanya jadi HAMKA. Setelah itu tak sedikit yang meniru, memendekkan nama panjangnya menjadi akronim atau singkatan. Ada Pak AR, Buya ZAS, STA, HAP, HAKA, Zatako. Yang menarik ada nama yang sering diasosiasikan sebagai khas Minang, karena nyaris tak dijumpai pada di etnik lain, yakni nama yang mengandung atau ber-akhiran …Rizal. Sebutlah misalnya ; Rizal, Rizaldo, Rizaldi, Afrizal,
2
Erizal, Syamsurizal, Syahrizal, Endrizal, Masrizal, Syafrizal, Hendrizal, Efrizal, Nofrizal, dst. Memasuki pertengahan tahun 1980-an, ketiga pemerintahan Orde Baru sedang puncak-puncaknya, mulai pula “trend” nama anak berbau kebaratbaratan. Ada yang bernama Alex, Andreas, Hendri(k), Anthon(y), Roni, Yohanes, Octavia, Octavianus, Matius, Agustin, Angela, Monica, Susi, Selly, Ryan, Mathias, Dona, Harry, Sintia, Agnes, Yosep, Yoserizal, John, Johan, Yohanna, dan kalau diteruskan nama-nama ini akan jadi deretan cukup panjang. Mungkin pengaruh dominasi budaya Orde Baru, banyak juga nama yang berasal Sangsekerta seperti : Eka, Eko, Ika, Dharma, Bakti, Agus, Esa, Kurniawan, Sinta, dst. Seiring dengan itu, pernah juga sebagian orang mengangkat nama suku sebagai nama belakang. Ini menurut saya karena pengaruh nama orang Batak dan Mandailing yang terlihat “gagah” dengan nama marga yang selalu menempel di belakang nama mereka. Maka kemudian muncul nama semisal, Hendri Chaniago (karena berasal dari suku Caniago), Indra Piliang, Afrizal Koto, Anisa Jambak. Nampaknya hanya nama Chaniago (mengherankan….entah mengapa nama suku itu selalu dibubuhi “h”, padahal aslinya hanya “caniago”) dan Piliang saja yang cukup populer sebagai nama, suku yang lain relatif jarang. Memang, nama-nama semacam itu hanya sedikit peminatnya, karena tidak lazim. Bagi orang Batak atau Mandailing, kalau mereka berasal dari marga yang sama misalnya sama-sama Sitorus atau Nasution berarti bersaudara. Sementara suku-suku di Minang bersifat menyebar pada semua nagari di seluruh Sumatra Barat, sehingga rasa pertalian sesama suku itu – meskipun di rantau pun terasa longgar. Runtuhnya rezim Suharto dan digantikan oleh era reformasi sekarang, kembali trend nama-nama Islam dan religius untuk nama anak. Sebutlah misalnya ; Habib, Farhan, Said, Anisa, Naufal, Aqila, Zahra, Najla, Najwa, Zahira, Salma, Sarah, dst. Sebenarnya banyak hal yang masih mengganjal dengan “style” namanama orang Minang, misalnya mengapa karakter nama Minang cenderung berubah-rubah, dari satu periode ke periode berikutnya? Mengapa begitu variatif dan kompleksnya nama orang Minang, sehingga kadang bersifat “menipu”, uncertain dan kadang absurd, lalu adakah yang mereka sembunyikan dibalik nama-nama tersebut? Apa arti/makna nama bagi orang Minang zaman sekarang, sejauhmana nama seseorang dianggap penting sebagai identitas sosial? Sejauhmana hubungan antara nama/gelar dengan politik, modernisasi, atau birokrasi? Kalau dulu nama sebagai identitas yang dijumpai adalah, misal : Y. Dt. Rangkayo Basa, M. Dt. Mangkudun Sati atau B. Bagindo Sutan, mengapa tiba-tiba sekarang tak ada yang mencantumkan gelar adat tersebut sebagai nametag, kartu nama, atau sebagai nama resmi (yang disandang kemana-mana
3
karena bangganya) sebagaimana dulu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab melalui kajian yang lebih serius.
Bdg, Januari 2008
4