Surau Sebagai Wadah Sosialisasi

  • Uploaded by: elfitra baikoeni
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Surau Sebagai Wadah Sosialisasi as PDF for free.

More details

  • Words: 2,580
  • Pages: 12
Surau Sebagai Sarana Sosialisasi Anak Minangkabau Oleh : Elfitra Baikoeni FISIP Universitas Andalas (Email : [email protected] )

Sumatra Barat adalah sebuah propinsi yang terletak di pantai barat pulau Sumatra dengan luas daerah 42.297 KM2 dan jumlah penduduk sekitar 4 juta jiwa. Secara etnisitas penduduk Sumatra Barat bersifat homogen yang sebagian besar adalah orang Minangkabau. Penduduknya sejak dahulu dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat dan sehari-hari hidup dalam budaya matrilineal yang unik dan khas. Disamping itu masyarakat Minangkabau juga dikenal dengan tradisi merantau serta etos perdagangan yang menonjol di antara etnis-etnis lain di nusantara. Maka tidak mengherankan kalau orang Minangkabau dengan mudah dijumpai di berbagai daerah lain, terutama di kawasan perkotaan dan pusat-pusat perekonomian (perdagangan). Untuk saat ini Minangkabau mungkin satu-satunya etnis yang murni menganut sistem matrilineal, dimana garis keturunan ditarik berdasarkan keluarga ibu. Anak- anak yang dilahirkan secara langsung akan menjadi anggota keluarga suku ibu, demikian juga halnya dengan pewarisan, dimana yang berhak mendapatkan warisan dan harta pusaka dalam sebuah suku adalah anak yang perempuan. Karena anak sudah menjadi anggota kaum suku ibunya, meskipun ia telah dewasa dan kemudian kawin, dia tidak lebur kepada kerabat isterinya, melainkan tetap saja sebagai anggota kerabat ibu dengan segala hak dan tanggung jawabnya. 1

Makanya seorang laki-laki meskipun dia telah membentuk keluarga, dia tidak bisa melepaskan dirinya dari hubungan kerabat asalnya, sehingga sehari-hari banyak waktunya dihabiskan di tengah-tengah kerabatnya. Laki-laki dewasa mengunjungi rumah isterinya waktu malam hari dan kemudian pagi hari kembali ke rumah kerabat ibu untuk berladang dan mengerjakan sawah. Adapun kaum laki-laki bertindak sebagai pemimpim kaum yang disebut mamak, yang bertugas menjaga dan memelihara harta pusaka untuk digunakan sepenuhnya oleh ibu dan saudara perempuannya. Hal ini pula yang membuat kedudukan wanita terlihat demikian tinggi, meskipun dalam tatanan dan otoritas politik dalam masyarakat tetap saja laki-laki yang mendominasi. Menurut Mochtar Naim (1973), ada hubungan yang jelas antara tradisi merantau orang Minang dengan sistem matrilineal yang berlaku, dimana laki-laki merasa “dirugikan” oleh struktur adat yang berlaku di tengah masyaralat. Laki-laki disatu sisi bertindak sebagai pemimpin terhadap anggota kaum dan kerabat perempuannya, sementara ia tidak memiliki hak untuk menggunakan dan memanfatkan hasil harta pusaka (seperti sawah dan ladang) tersebut untuk menghidupi anak isterinya. Tanggung jawab dan kewajiban ganda terhadap kerabat luasnya yang berat tersebut tidak dikompensasi dengan hak-hak yang seimbang. Secara tidak langsung laki-laki akhirnya memilih untuk mengelak dari belenggu adat yang demikian dengan pergi meninggalkan kampung dengan membawa anak isteri dan kemudian di daerah rantau mereka cenderung hidup dengan tradisi kelaurga inti (nuclear familiy). Meskipun demikian kondisi struktural adat bukan satu-satunya, melainkan banyak faktor yang mendorong laki-laki pergi merantau di Minangkabau. Surau Sebagai Wadah Sosialisasi Laki-Laki Minangkabau Makalah ini mencoba memgemukakan masalah pranata surau yang dulunya memiliki arti penting sebagai wadah sosialisasi laki-laki Minangkabau sebelum meninggalkan kampung halaman pergi merantau. Tulisan ini memiliki asumsi bahwa eksistensi surau dahulunya dalam masyarakat

2

Minangkabau ikut mengkontribusi terhadap kemandirian sikap dan cara berpikir serta menonjolnya intelektualisme mereka di perantauan. Tidak mengherankan pada masa-masa pergerakan nasional dan kemerdekaan putra-putra Minang sudah mengecap pendidikan tinggi untuk kermudian ikut ambil bagian sebagai arsitek negara kesatuan Republik Indonesia. Sebutlah misalnya, Tan Malaka, Haji Agus Salim, M.Yamin, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, Abdul Muis, Mr.Assaat, M.Natsir, AK.Gani, untuk menyebut beberapa nama. Di bidang kebudayaan, ketika kesusteraan modern Indonesia mulai bangkit pada awal abad ini, sebagian besar pelopornya adalah penyair, sastrawan dan budayawan asal Minang. Pada saat yang bersamaan, Sumatra Barat menjadi salah satu pusat intelektual Indonesia dengan berdirinya penerbit-penerbit buku sampai di pelosok kota-kota kecil. Dalam bidang keagamaan waktu itu sudah berdiri perguruan-perguruan agama Islam yang sudah menerapkan metoda pendidikan modern (sistem madrasah) dan di kawasan pelosok-pelosok sudah meninggalkan pengajaran agama dengan cara-cara tradisional.Tidak mengherankan ketika berdirinya Muhammadiyah sebagai simbol organisasi keagamaan modern di Indonesia, masuknya di Sumatra Barat mendapat respon yang antutias. Meskipun kelahirannya di Yogyakarta, akan tetapi Muhammadiyah dalam perkembangan berikutnya justru banyak dirintis oleh ulama-ulama asal Minang. Banyak juga pengurus organisasi Muhammadiyah dari dulunya berasal dari negeri Sumatra Barat. Surau Sebagai Pranata Sosial P.B.Horton dan C.L. Hunt (1996) mengartikan institusi sebagai suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Institusi juga bisa berarti sistem hubungan sosial yang terorganisisr yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Dalam definisi ini, nilai-nilai umum mengacu kepada cita-cita dan tujuan bersama, prosedur umum adalah pola prilaku yang dibakukan

3

dan diikuti dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melakukan prilaku tersebut. Sementara dalam kasanah antropologi, istilah institusi sering disebut dengan istilah pranata. Menurut Koentjaraningrat (1990), pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat. Terdapat bermacam-macam pranata, memberi kita suatu pengertian bahwa hal tersebut sangat tergantung pada keperluan dan kompleksitas struktur sebuah masyarakat (komunitas). Pranata yang berfungsi memenuhi kehidupan kekerarabatan disebut pranata kekerabatan, pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mata pencarian, produksi dan distribusi disebut paranata ekonomi. Merujuk kepada konsep diatas maka surau dapat dikatakan sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, karena surau berfungsi memenuhi salah satu keperluan masyarakat akan sosialisasi dan pendidikan. Koentjaraningrat mencoba menghubungkan konsep pranata dengan konsep kedudukan (status) dan peranan sosial (social role). Karena pranata merupakan kompleks tindakan berinteraksi yang menyebabakan terwujudnya pola-pola sosial dalam masyarakat. Manusia melakukan tindakan interaksi biasanya menganggap dirinya berada dalam suatu kedudukan sosial tertentu yang juga dikonsepsikan untuknya norma-norma yang menata semua tindakan tadi. Dalam rangka kedudukan dalam suatu pranata itulah para individu bertindak menurut normanorma khusus dari pranata yang bersangkutan. Tingkah laku individu mementaskan suatu ke dudukan tersebutlah yang dinamakan peranan sosial (social role). Bentuk, Aktivitas dan Fungsi Surau Ada dua pengertian dalam masayarakat tentang surau. Yang pertama surau dalam pengertian sempit, yaitu rumah ibadah tempat orang melakukan sembahyang dan zikir dengan bangunan yang berukuran kecil (sama dengan langgar). Yang kedua surau dalam pengetian luas, yaitu bangunan yang didirikan secara bersama-sama oleh anggota kaum atau suku yang kegunaannya bukan semata-mata tempat ibadah 4

melainkan juga sebagai tempat tinggal untuk para anak-anak laki-laki yang beranjak remaja atau orang tua (laki-laki) untuk menghabiskan sisa-sisa umurnya. Dalam sebuah nagari akan dijumpai puluhan banyaknya surau. Setiap kampung (jorong) terdiri dari beberapa suku dan masing-masing suku biasanya memiliki surau sendiri-sendiri. Suku yang ada di Minangkabau terbagi dua suku besar yaitu chaniago dan piliang yang masing-masing punya sub-suku lagi seperti; jambak, koto, malayu, tanjung, pili, pisang, sipingai, kampai, guci, sikumbang, kutianyia, dll. Pengertian suku di Minangkabau sama seperti marga di daerah Batak, akan tetapi kalau marga biasanya terkonsentrasi pada daerah-daerah (kabupaten) tertentu, sementara suku menyebar di seluruh hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat). Artinya suku yang beragam tersebut akan dijumpai di setiap kabupaten, kecamatan sampai unit terkecil, yaitu tiap nagari. Dalam tulisan ini pengertian surau lebih mengacu kepada pengertian yang terakhir. Dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal ada kebiasaan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Sebuah rumah yang dibangun oleh sebuah keluarga terutama diperuntukkan bagi anak-anak wanita. Tidak mengherankan kalau mereka memiliki tiga orang anak perempuan maka rumah yang dibangun hanya menyediakan kamar untuk anak perempuan. Laki-laki memang lebih banyak menghabiskan waktuya di luar rumah, kecuali bagi anak-anak yang masih kecil. Bila anak-anak tersebut telah akil balikh dan menginjak remaja biasanya tidak lagi menginap dan tidur dirumah, melainkan tidur di surau. Ada anggapan yang negatif dari masyarakat, kalau anak laki-laki yang sudah remaja masih juga tidur di rumah, mereka akan dicemooh oleh teman-teman sebaya dan dikatakan sebagai anak padusi (anak perempuan). Jadi yang tinggal di rumah hanyalah ibu, bapak, serta saudara-saudara perempuan atau urang sumando (suami saudara perempuan). Memang urang sumando seharian banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di luar rumah atau di kampungnya dan kembali ke rumah isteri pada malam hari. Jadi bagi anak laki-laki tinggal di rumah dan berinteraksi dengan keluarga hanya dilakukan pada saat

5

siang hari dan apabila malam telah tiba mereka akan segera turun dari rumah orang untuk pergi menuju surau. Seperti yang dikatakan di atas setiap suku memiliki satu atau beberapa buah surau yang dibangun secara bersama-sama oleh anggota suku. Bentuk surau hampir sama dengan rumah kebanyakan, walaupun sebagian besar tidak memiliki kamar dan ruang interiornya hanya berupa ruangan lepas. Banyak juga rumah-rumah kosong yang tidak lagi ditempati kemudian dihuni dan dijadikan sebagai surau. Di surau anak-anak belajar mengaji Al Quran dan tafsirnya berupa uraian dari setiap ayat-ayat yang dibaca. Yang bertindak sebagai guru adalah mereka yang lebih tua. Disamping itu di surau juga mempelajari falsafah hidup adat istiadat Minangkabau, bagaimana menjaga etika dan sopan santun dalam kerabat dan masyarakat luas. Belajar falsafah adat bermaterikan paparan ilmu pengetahuan dan etika yang digali dari tambo dan nilai-nilai historis kandungan adat Minangkabau. Biasanya orang yang mengajarkan adalah mereka yang bergelar datuk dengan ilmu dan wawasan falsafah adat istiadat yang luas. Termasuk juga pantun dan petitih yang mengajari kebijakan dan kearifan dalam hidup. Disamping itu juga dipelajari pidato adat dan titah serta mufakat. Belajar pidato adat dan bertitah lebih banyak mengandalkan kemampuan menghapal bait-bait titah yang sudah standar, akan tetapi untuk memperkaya kosa kata dan kalimat titah serta maknanya membutuhkan banyak latihan secara langsung pada saat kenduri-kenduri adat. Mengerti dan terampil bertitah adat sangat diperlukan bagi laki-laki dewasa, terutama kelak setelah mereka berumah tangga (sebagai urang sumando). Karena mereka sering diundang dalam dilibatkan dalam berbagai ritual dan upacara adat kerbat isterinya (perkawinan, kematian, dll), dimana dalam upacara tersebut akan diawali dan diakhiri dengan pidato atau titah adat. Bagi urang sumando yang tidak bisa bertitah akan merasa tersisih dan setidak-tidaknya akan menanggung malu di hadapan orang ramai, terutama terhadap anggota kerabat isterinya. Memang tidak semua materi pelajaran dalam surau disosilisasi dengan cara formal, banyak juga pelajaran adat dan seni yang diajarkan secara simulasi dan santai, seperti misalnya saluang, bakaba dan randai. Disamping itu, tidak jarang juga 6

diajarkan seni bela diri silat, sehingga karena kebiasaan tesebut pula maka sampai sekarang pun belajar silat selalu dilakukan di malam hari. Pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari surau ini dimaksudkan sebagai modal bagi seorang anak laki-laki kelak apabila mereka meninggalkan kampung untuk mengadu nasib di negeri orang. Banyak petuah adat yang mengisaratkan agar setiap anak laki-laki Minang sebaiknya meninggalkan kampung untuk menuntut ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri orang. Dengan banyak ilmu dan dan pengalaman tesebutlah yang kemudian dibawa ke pulang untuk membangun kampung halaman. Sebagaimana pepatah adat yang mengatakan: “Karatau madang di hulu, babuah bangungo balun. Ka rantau bujang dahulu, di rumah panguno balun”.

7

Eksistensi dan Perubahan Surau serta Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Sekarang, keberadaan surau dalam masyarakat Minangkabau semakin susut baik secara kuantitas maupun kualitas. Sekarang hampir tidak ada lagi anak-anak yang mau tidur di surau, mereka sudah tinggal di rumah orang tuanya masing-masing. Nyaris punah pranata surau menurut hemat penulis ada hubungannya dengan perubahan struktur keluarga yang semakin lama semakin cenderung menuju keluarga inti (nuclear familiy). Eksistensi keluarga inti semakin mengukuhkan posisi bapak sebagai kepala kelaurga, dan semakin tinggi pula perhatiannya untuk mendidik anak dengan caranya sendiri. Sebaliknya sebagai akibat semakin tinggi kecemasan mereka untuk menyerahkan pengasuhan anak kepada pranata kekerabatan luas, yang sebelumnya dimainkan oleh surau. Demikian juga dengan masuknya pengaruh pendidikan modern. kian menuntut orang tua untuk menyekolahkan mereka pada sekolah-sekolah formal yang sudah memiliki metoda pengajaran standar dengan materi ajar yang bersifat keilmiahan rasional (science). Kesibukan anak-anak untuk bersekolah (dan sekarang juga dengan berbagai macam kursus), menyebabkan alokasi waktu mereka banyak dihabiskan untuk itu dan tak banyak lagi waktu senggang yang tersedia untuk sosialisasi pendidikan informal. Fungsi surau dalam keagamam juga mulai digantikan dengan hadirnya TPA/TPSA oleh program pemerintah (Departemen Agama) di setiap nagari-nagari. Memang di satu sisi metoda pendidikan modern menawarkan materi-materi pelajaran yang canggih dan ilmiah yang diharapkan anak-anak (peserta didik) semakin cerdas dan intelektual. Akan tetapi pendidikan ini kurang memiliki sentuhan terhadap psikomotorik dan aspek sikap, apalagi yang mengajarkan untuk kemandirian anak-anak. Apalagi yang berhubungan dengan pengajaran dan kearifan akan nilai-nilai dalam masyarakatnya (etika dan budaya lokal) kurang mendapat perhatian. Terlepas dari kekuarngankekurangan tersebut, disini pula yang membedakan (sekaligus menjadi kelebihan ) pendidikan ala surau.

8

Faktor lain yang juga berhubungan dengan memudarnya surau adalah perubahan pola merantau orang Minang saat ini. Kalau sebelumnya merantau dilakukan sebagai implementasi nilai-nilai adat yang diinternalisasi sebagai keinginan untuk mengasah kepribadian dan aktualisasi kemandirian dengan menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri orang, tetapi sekarang telah berubah. Sebelumnya merantau dipersiapkan secara matang dan sadar, modal yang didapat dari pendidikan merupakan instrumen adaptasi terhadap lingkungan di rantau. Sebagaimana kata pepatah Melayu ; Yu beli belanak beli, ikan panjang cari dahulu / Ibu cari, dunsanak cari, induk semang cari dahulu. Pepatah ini secara ekplisit mengajarkan kepada perantau pemula, bagaimana pentingnnya menciptakan interaksi dan hubungan baik dengan lingkungan (baik pada tataran person, lembaga maupun komunitas) yang akan ditempati. Sekarang faktor ekonomi dan alasan melanjutkan sekolah yang lebih banyak mendominasi motivasi anak-anak muda pergi merantau. Kedua alasan tersebut memang secara konsekuensi akan mengabaikan minat dan perhatian anak laki-laki akan arti penting “mekanisme adaptasi” sebagaimana yang ditawarkan oleh pranata tradisional pada masa lampau. Perspektif Fungsionalis terhadap Perubahan Salah satu persepktif sosiologis yang bisa menjelaskan kenapa semakin menyusutnya keberadaaan dan fungsi surau dalam masyarakat Minangkabau adalah teori fungsional. Dalam perspektif ini masyarakat dilihat sebagai sebuah jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisir dalam cara yang yang agak teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Setiap kelompok atau pranata dilihat melaksanakan tugas tertentu dalam masyarakat secara fungsional. (Horton dan Hunt, 1996) Walaupun perubahan sosial menganggu kesimbangan masyarakat yang stabil, namun kemudian akan terjadi lagi kesimbangan baru dengan adanya penyesuaian. Jadi, keberadaaan surau dalam masyarakat Minangkabau tempo dulu adalah sesuatu yang fungsional, akan tetapi sejalan dengan perubahan waktu akan terjadi pergeseran fungsi, yang semakin lama fungsi yang semula dimainkan oleh surau digantikan secara 9

perlahan-lahan oleh keberadaan pranata lain atau pranata yang baru tumbuh. Kalau sebelumnya surau adalah wadah sosialisasi bagi anak laki-laki, dengan hadirnya pendidiikan formal (sekolah dan TPA/TPSA) di kampung-kampung lewat modernisasi dan berbagai program pemerintah sejak masa Pemerintahan Orde Baru, surau dipandang masyarakat tidak lagi efektif. Apalagi sistem sekolah menawarkan cara, metoda dan kurikulum yang sistematis yang sangat berbeda dengan sistem surau yang sangat tidak formal. Apalagi sekolah memiliki fungsi ganda, disamping sebagai prosedur logis memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus juga sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan status sosial seseorang di tengahtengah masyarakat. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi keberadaan surau di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang sudah disinggung di atas. Faktor tersebut terutama terkait dengan perubahan bentuk dan fungsi pranata lain, seperti kecenderungan munculnya keluarga inti, diferensiasi struktur ekonomi, perubahan pola merantau, hadirnya modernisasi pendidikan, dan berbagai proram pemerintah. Kondisi ini, menurut teoritsi fungsionalis mesti dilihat sebagai perubahan yang positif, akan terjadi penyesuaian-penyesuaian secara gradual yang pada akhirnya masyarakat (paranata, budaya dan nilai-nilai Minangkabau) nantinya secara natural akan stabil dan seimbang (equilibrium). Penutup Demikian tulisan ini dibuat berdasarkan pada studi kepustakaan dan pengamatan (obeservation), meskipun tidak dilakukan dengan studi lapangan yang terencana. Hal ini tentu karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk menulisnya. Analisa yang digunakan pun tidak banyak berdasarkan kepada teori sosiologi antropologi. Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, mudah-mudahan tulisan ini cukup memadai sebagai bahan diskusi bagi mereka yang tertarik mereview eksistensi pranata-pranata tradisonal dalam masyarakat yang berubah. 

10

11

Daftar Pustaka Anwar, Kairul, Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984. Horton, Paul B dan Chester L Hunt, Sosiologi (Jilid 1), Penerbit Erlangga, Jakarta, 1996. Kaplan, David, Teori Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1990. Taneko, Soleman B, Struktur dan Proses, Rajawali Pers, Jakarta, 1984. Zed, Mestika (et.al), Perubahan Sosial di Minangkabau, PSPPSB Universitas Andalas, Padang, 1992.

12

Related Documents

Surau]
April 2020 33
Surau
October 2019 43
Surau
October 2019 42

More Documents from ""