Analisis Implementasi Demokrasi di Indonesia Studi Tentang Penerapan UU Pemilu di Indonesia
Oleh: Septria Yanto 05 193 039
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang 2009
BAB I PENDAHULUAN Indonesia sebagai sebuah negara atau organisasi, merupakan suatu entitas dari kolektifitas orang-orang yang bekerja sama secara sadar dan sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dimana kolektifitas ini mempunyai struktur, batas dan identitas tertentu yang berfungsi untuk membedakan dengan kolektifitas yang lain.1 Dalam hal tujuan bernegara, secara eksplisit telah dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 45 bahwa tujuan kita bernegara adalah: “… membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum… serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh 2 rakyat Indonesia”.
Jadi jelas, bahwa negara harus bertanggungjawab kepada seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, dan bukan hanya kepada sekelompok atau segelintir orang. Berangkat dari landasan ini, maka penyaluran aspirasi (demokrasi) merupakan hal yang sangat urgent, karena bagaimana mungkin ada keadilan jika yang terjadi adalah penghambatan, pengkebirian informasi dan komunikasi. Selanjutnya dalam jalannya pemerintahan itu sendiri juga harus melibatkan rakyat, karena rakyat merupakan pengawas bagi jalannya pemerintahan sehingga akan tercipta tata pemerintahan yang baik (good governance). Sedangkan demokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri (dari, oleh dan untuk rakyat). Demokrasi merupakan sebuah sistem, artinya demokrasi akan bergerak secara dinamis dan tidak akan berhenti di satu titik. “Negara…lebih sebagai satu produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; itu adalah pengakuan bahwa masyarakat tersebut telah terlibat dengan kontradiksi tak terpecahkan, bahwa mereka menggantungkan diri pada
1 2
Miftah Thoha, 2002, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 125-131. -------, 2002, Pembukaan UUD 45 Amandemen ke Empat, Bandung: Pustaka Setia. Hal. 10.
antagonisme-antagonisme yang tak dapat dipersatukan dan tak berdaya untuk 3 mengenyahkannya”.
Berdasarkan pendapat Engles tersebut sangat jelas kita lihat bahwa, negara memang terus akan mengalami perubahan demi perubahan dalam perjalanan sejarahnya. Hal ini disebabkan karena realitas kehidupan masyarakat itu sendiri penuh dengan pluralitas dan konflik-konflik yang tidak akan pernah bisa dihilangkan, baik vertikal maupun horizontal. Sehingga hal ini jugalah yang menyebabkan dinamisnya demokrasi. Selanjutnya dalam diagram politik Easton digambarkan, sebuah sistem mempunyai dukungan dan permintaan yang berfungsi sebaga input sistem, kemudian apa yang telah di input tersebut akan diproses untuk menghasilkan output yang kemudian akan mendapat feed back. Selanjutnya feed back ini akan dikembalikan sebagai input untuk kembali di proses dan begitu seterusnya.4 Sementara itu mengenai demokrasi, Schumpeter menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil.5 Selanjutnya Samuel P. Hutington juga berpendapat bahwa, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur, dan tingginya partisipasi rakyat selama pemilu.6 Ini artinya cita-cita demokrasi hanya direduksi sebatas hal-hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat akan dikhianati dan di tendang, kebijakan publik tidak lagi memihak kepada rakyat, harga-harga semakin meningkat, penggusuran meraja-lela, pendidikan dan kesehatan dikomersilkan, pengangguran dan kemiskinan tetap saja berkembang biak, selanjutnya demokrasi dan cita-cita akan mati secara perlahan-lahan.7 Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, tulisan ini akan mencoba melihat dan menganalisis pemilu di Indonesia sebagai sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses demokrasi bangsa ini.
3 4 5 6 7
Engels dalam Ronald H. Chilcote, 2003, Teori Perbandingan Politik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 258. Lihat ibid. Hal. 200. Joseph Schumpeter dalam Coen Pontoh, 2005, Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta: Resist Book. Hal. vii. Ibid. Hal. viii. Ibid.
BAB II PEMBAHASAN Ketika harus menjawab pertanyaan apakah sejarah memiliki arti, dengan tegas filsuf Karl Popper mengatakan tidak.8 Alasannya karena, fakta masa lalu sebagai fakta masa lalu tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri, khususnya bagi kita yang hidup dizaman sekarang. Fakta itu baru memiliki arti bagi kita kalau kita memutuskan untuk memberinya arti. “Fact as such have no meaning, they can gain it only through our decisions...”.9 Dengan kata lain, memiliki arti atau tidaknya suatu peristiwa, akivitas maupun tokoh publik di masa lalu tergantung pada kita yang hidup di zaman sekarang. Semuanya terserah pada bagaimana kita melihat, menganalisa, dan menelitinya untuk kemudian memberi arti padanya. Bertolak dari arti atau makna yang kita berikan itulah kita belajar dari fakta masa lalu untuk hidup di masa kini dan selanjutnya. Pada dasarnya, apa yang terjadi pada saat ini tidak mungkin bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi di masa lalu.10 Hal ini tentu juga berlaku dalam menjelaskan dan menganalisa implementasi demokrasi di bangsa ini. a. Sejarah pemilu Indonesia Pemilu 1955 Pemilu ini merupakan pemilu yang pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah 8 9 10
waktu
itu
sudah
menyatakan
keinginannya
untuk
bisa
Karl Popper, dalam Baskara T. Wardaya SJ, 2006, Bung Karno Menggugat!: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S, Yogyakarta: Galangpress. Hal. 9. Ibid. Pada dasarnya manusia tidak akan pernah bisa dipisahkan dari lingkungannya, karena alat pemenuhan kebutuhannya berada dalam lingkungan itu sendiri. Begitu juga dengan proses terbentuknya pribadi seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan. Secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari suatu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu dilakukan untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua,
15
Desember
1955
untuk
memilih
anggota-anggota
Dewan
Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Namun keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal : 1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu; 2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Akan tetapi tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik
untuk
menyelenggarakan
pemilu.
Misalnya
adalah
dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi
Perdana
Menteri,
pemerintah
memutuskan
untuk
menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya. Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Periode Demokrasi Terpimpin Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Namun yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR sejajar dengan presiden. Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala. Pemilu 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967,
oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih
kursi
dibandingkan
penggunaan
sistem
kombinasi.
Tetapi,
kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus
acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya (ketiga) apabila masih ada kursi yang tersisa masingmasing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi peroleh-an suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu 1971. Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai tersebut tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas Parmusi. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Setelah pemilu 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata
perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut. Hasil Pemilu 1977 Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan
Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Hasil Pemilu 1982 Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. Hasil Pemilu 1987 Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1992 Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. Hasil Pemilu 1997 Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya.
Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian. Pemilu 2004 Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 Appril 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah. Pemilihan Umum Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi
anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004 diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum ini adalah yang pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pemilihan Umum ini diselenggarakan selama 2 putaran, dan dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Aturan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2009. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pendaftaran Pasangan Calon Sebanyak 6 pasangan calon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, yakni : 1. K.H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa) 2. Prof. Dr. HM. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional) 3. Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan)
4. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 5. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia) 6. H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya) Dari keenam pasangan calon tersebut, pasangan K.H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim tidak lolos karena berdasarkan tes kesehatan, Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi syarat kesehatan. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 dan diikuti oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar, 122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah. Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBYJK dan Mega Hasyim. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua Pemilu putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih
Berdasarkan hasil Pemilihan Umum, pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih. Pelantikannya diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2004 dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pelantikan Presiden & Wakil Presiden terpilih tahun 2004 ini juga dihadiri sejumlah pemimpin negara sahabat, yaitu: PM Australia John Howard, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, PM Timor Timur Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, serta 5 utusan-utusan negara lainnya. Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri tidak menghadiri acara pelantikan tersebut. Pada malam hari yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu.11 b. Pengertian, asas, landasan dan tujuan pemilu di Indonesia Saat ini negara-negara di dunia hampir seluruhnya menggunakan demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Hal ini berarti kekuasaan rakyat diwakili oleh Badan Perwakilan Rakyat. Di Indonesia, salah satu cara untuk memilih wakil rakyat adalah melalui Pemilu. Menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12 Sedangkan penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas kemandirian, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.13 Kemudian landasan pelaksanaan pemilu di Indonesia didasarkan pada landasan berikut : 1.
landasan Ideal, yaitu Pancasila, terutama sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
11
..Selengkapnya lihat http://www.ppln-penang.org/node/5 Pasal 1 ayat (1)UU No. 22 tahun 2007. 13 Pasal 2. Ibid. 12
perwakilan. 2.
landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 yang termuat di dalam: a. Pembukaan Alinea ke empat b. Batang Tubuh pasal 1 ayat 2 c. penjelasan Umum tentang sistem pemerintahan negara
3.
landasan Operasional; yaitu GBHN yang berupa ketetapan-ketetapan MPR serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya tujuan pemilu di Indonesia adalah untuk memilih wakil-wakil yang duduk di DPR, DPRD I dan DPRD II. Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislatif 2. adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu. 3. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif. c. Analisis implementasi pemilu di Indonesia Kalau kita perhatikan saat ini, ada gejala yang mencemaskan bila kita melihat perkembangan makro politik Indonesia dari masa ke masa. Gejala bahwa setiap kali bangsa ini harus berjuang dan berjuang lagi untuk pembebasan dan emansipasinya. Pembebasan dari zaman Belanda membawa kita ke Orde Lama, dari Orde Lama selanjutnya berganti menjadi orde pembangunan14 (Orde Baru), dan sekarang pembebasan Orde Baru membawa kita ke reformasi. Ini artinya godaan untuk terjatuh kepada dominasi dan depedensi politik demikian besar dan kuatnya. Pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang mewarisi suatu peninggalan budaya politik dari rezim Orde Baru, dimana pada rezim Orde Baru sangat menekankan kepentingan negara yang harus dipertahankan. Bahkan, 14
Pada rezim ini terkenal dengan pembangunannya, seperti program pelita dan repelita. Namun pembangunan yang terjadi cendrung sentralistik dan lupa kepada daerah sehingga menimbulkan upaya disintegrasi. Sebagai contoh coba kita bandingkan hasil pembangunan antara Jakarta dengan daerah.
dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.15 Dan bahayanya sekarang malah sering terdengar desas-desus di dalam masyarakat yang merindukan zaman seperti itu. Walaupun demokrasi terhambat namun kehidupan masyarakat tetap berjalan dengan pasti, dan ini tentu saja akan menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap zaman sekarang dan tidak peduli lagi dengan demokrasi yang tentu saja akan mengancam pembangunan demokrasi itu sendiri. Pada dasarnya diskusi mengenai demokrasi bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Hal ini sudah jelas diatur dalam kontitusi (UUD 45) bahwa, demokrasi kita merupakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.16 Dan apa yang kita saksikan sekarang ini hanyalah kelanjutan dari sebuah dialog yang terhenti oleh kekuasaan otoriter. Kemudian selanjutnnya, demokratisasi Indonesia setelah rezim Orde Baru jatuh adalah sebuah hal yang harus dirayakan dan juga diperhatikan karena jika tidak, maka akan menjadikan demokrasi yang prematur dan terjebak pada kepentingankepentingan yang pragmatis. Dalam pratek demokrasi Indonesia saat ini yang paling menonjol adalah pemilihan umum, sedangkan sistem pemilu Indonesia itu sendiri menerapkan azas kesamaan, ini artinya setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi pemimpin, tentu apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat. Dalam bukunya “Le Contract Social”, Jean Jacques Rousseau memaparkan bahwa penguasa/pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial (teori perjanjian).17 Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa depan sebuah negara. Namun teori itu sepertinya tidak berlaku di Indonesia, hal ini karena pemilu yang berlangsung di Indonesia saat ini hanyalah sebuah seremonial yang 15 16 17
Ignas Kleden, 2001, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas. Hal. 8. Lihat pembukaan UUD 1945 alinia 4. Inu Kencana Syafiie, 2003, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal. 16.
berlangsung selama lima tahun sekali, dan menghabiskan banyak anggaran negara untuk melaksanakannya, tanpa mampu membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini seakan-akan seperti kekurangan jiwa-jiwa pemimpin, hal ini dapat kita lihat pada calon-calon pemimpin bangsa ini untuk periode 2009-2014, yang hanya bergerak pada tataran wajah lama dan merupakan produk dari rezim otoriter dan sentralistik. Apalagi sekarang, hasil amandemen UUD 45 juga telah mengubah sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari ”sistem demokrasi perwakilan” yang selama ini kita anut menjadi ”sistem demokrasi langsung”. Kepala kekuasaan eksekutif seperti presiden, gubenur, bupati tidak lagi dipilih oleh wakil-wakil rakyat melalui MPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden, gubenur dan bupati. Perubahan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini pada hakekatnya telah melanggar salah satu sila dasar negara kita yaitu Panca Sila dan Pembukaaan UUD 45 itu sendiri. Padahal, semua fraksi DPR yang melakukan perubahan tersebut sepakat untuk tetap menjadikan Panca Sila sebagai dasar negara dan juga sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 45. Bukankah kejadian ini merupakan suatu keanehan dan merupakan sikap tidak konsisten? Persetujuan atas Panca Sila sebagai dasar negara dan Pembukaan UUD 45 tidak bisa lain harus menyetujui sistem demokrasi ”perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat” (Panca Sila 1 Juni 1945) dan prinsip ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Pembukaaan UUD 45). Benarkah menurut UUD 45 presiden memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas? Apakah bukan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan tak bisa dikontrol? Untuk memahami hal ini baiklah kita bandingkan bagaimana perbedaan UUD 45 yang asli dengan UUD 45 Amandemen dalam menetapkan kekuasaan eksekutif dari pusat hingga daerah. Menurut UUD 45 yang asli : -
MPR terdiri dari anggota-anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat- yang dipilih oleh rakyat, ditambah dengan utusan-utusan daerah, golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. -
MPR menetapkan Undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara;
-
MPR memilih presiden dan wakil presiden.
Pemilihan presiden oleh MPR merupakan pelaksanaan sila demokrasi perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat dari dasar negara Panca Sila dan pelaksanaan Pembukaan UUD 45 “Kerayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan”.
Sebelum memilih presiden, MPR harus
menetapkan GBHN yang harus dilaksanakan oleh presiden terpilih. Dengan demikian, selain berpegang kepada undang-undang dasar, kekuasaan presiden sebagai kepala kekuasasan eksekutif, juga dibatasi oleh GBHN. Bila menyeleweng dari UUD 45 dan GBHN, presiden dapat dikontrol dan ditegur, bahkan diberhentikan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Menurut UUD 45 Amandemen : -
Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Disini rakyat digiring untuk memilih seorang presiden dan setelah menang, presiden tersebut hanya dibatasi oleh undang-undang dasar yang bersifat umum. Tidak ada lagi GBHN yang merupakan tujuan dan strategi bangsa selama 5 tahun. Dalam sistem ini, seorang presiden berhak menentukan kebijakan negara selama 5 tahun sesuai penafsirannya sendiri terhadap undang-undang dasar. Bila seorang presiden memanipulasi penyelewengan kekuasaan yang diembannya, amat sulit menarik kembali mandat rakyat yang telah diberikan kepadanya seorang dan akan terjadi perdebatan berkepanjangan sampai masa jabatannya berakhir. Dari kedua sistem pemilihan presiden ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa sistem pemilihan presiden secara langsung hasil amandemenlah yang cenderung memberikan “kewewenangan yang luas dan tak terbatas kepada seorang presiden. Maka amandemen tentang sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini merupakan kemunduran dalam sistem ketatanegaraan kita. Negara Indonesia adalah insitusi/ atau organisasi yang tujuannya sudah jelas, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan dan melindungi seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Maka pemerintah sebagai pengelola negara tentu harus mampu
mewujudkan tujuan ini. Di zaman nekolim sekarang ini, kapital, apakah itu kapital global ataupun kapital nasional berusaha mempengaruhi kekuasaan negara agar dapat menguntungkan kepentingan mereka. Ini terjadi dimana-mana. Samasama kita ketahui bahwa adalah watak dari kapital yang selalu mencari untung tanpa mempedulikan kepentingan rakyat maupun lingkungan hidup (pragmatis). Pembatasan pengaruh buruk kapital pada negara hanya dapat dilakukan oleh masyarakat/rakyat yang terorganisasi. Dewasa ini kapital global sangat gencar mengkampanyekan ideologi neoliberal. Mereka mengusung pemilihan langsung kekuasaan eksekutif sebagai senjata ampuh dalam menghadapi kekuatan masyarakat/rakyat yang terorganisasi. Kaum neoliberal merasa mendapat hambatan bila suatu negara menganut sistem pembentukan kekuasaan eksekutif melalui demokrasi perwakilan, karena mereka harus mempengaruhi banyak wakil-wakil rakyat yang tentu tidak semuanya akan dapat mereka pengaruhi. Maka dengan mempropagandakan sistem pemilihan langsung bagi pembentukan kekuasaan eksekutif, mereka dapat menceraiberaikan kekuatan masyarakat yang terorganisasi menjadi individu-individu yang terpisah satu sama lain. Bersamaan dengan itu,
kaum neo-liberal mengecam sistem
pemilihan kekuasaan eksekutif Indonesia yang melalui MPR sebagai ”permainan elite politik”. Pemilihan presiden secara langsung, sama saja menyuruh rakyat memilih seorang diktatur, karena setelah sang calon menang dalam pemilu, maka ia akan menjalankan programnya sendiri. Hal ini berbeda dengan sistem pemilihan tidak langsung, dimana MPR kita yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang berjumlah ratusan itu, pertama-tama mendiskusikan dan menyusun GBHN, kemudian memilih presiden yang bertanggungjawab melaksanakan GBHN tersebut. Dengan mudah dapat dilihat manakah yang lebih demokratis : rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada satu orang atau kepada ratusan wakil-wakilnya ? Disamping menghancurkan sistem pemilihan tidak langsung kita, kaum neo-liberal juga mencoba menguasai rakyat dengan semacam organisasi yang sangat tergantung kepada individu, yaitu LSM.
Maka dalam suatu masa menentang sistem
otoritarian Orde Baru, kaum neo-liberal memberikan banyak bantuan bagi sejumlah LSM yang katanya untuk membantu melahirkan sistem demokrasi di
Indonesia. Yang sebenarnya adalah kaum neo-liberal menggunakan kesempatan dimana rakyat Indonesia sedang menentang otoritarianisme Orde Baru, melancarkan liberalisasi sistem politik dan ekonomi Indonesia. Tak percaya ? Pelajarilah dengan seksama Letter of Intent yang ditandatangani antara IMF kepada Pemerintah Orde Baru, Januari 1998 ! Sayangnya sementara kaum intelektual kita tidak bisa membedakan antara ”demokratisasi” dengan ”liberalisasi”. Pertarungan antara kedua sistem pemilihan kekuasaan eksekutif ini merupakan pertarungan antara ’ideologi individualisme’ dengan ’ideologi kolektivisme’ alias gotongroyong. Tergantung kita, dimanakah kita akan berpijak. Sebagai suatu bangsa, kita tentu menginginkan bangsa Indonesia berhasil mencapai cita-citanya membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dan tujuan itu hanya dapat dicapai bila kedaulatan rakyat berada ditangan wakil-wakil rakyat, bukan ditangan seorang individu. Hanya dengan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif melalui perwakilanlah rakyat dapat mengontrol pemerintah agar tidak menjadi
kapital global seperti sekarang ini. Hanya rakyat Indonesia yang
terorganisasi dengan baik melalui sistem demokrasi perwakilanlah yang akan mampu mengembalikan kedaulatan negara ketangan rakyat Indonesia.
BAB III PENUTUP
Orang-orang Teheran menemukan Ahmadinejad sebagai sosok pejabat yang justru bangga menyapu sendiri jalan-jalan kota. Gatal tangannya bila melihat ada selokan kota mampet, merasa lebih nyaman menyetir sendiri mobilnya ke kantor dan memilih kerja hingga dini hari sekadar memastikan ibu kota Iran ini lebih 18 nyaman ditinggali.
Kita tidak akan pernah menemukan hal yang seperti kutipan diatas di Indonesia jika, kita tidak pernah berfikir untuk mengembalikan sistem yang sudah di otak-atik berdasarkan kepentingan-kepentingan individu, kelompok dan golongan tertentu, dan bukan atas kepentingan bangsa dan tumpah-darah Indonesia. Kesimpulannya, sistem pemilu di Indonesia saat ini telah menyalahi Panca Sila dan Pembukaan UUD 1945 itu sendiri sebagai landasan idiologi dan konstitusi bangsa. Logikanya, jika pemilu dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, maka yang terjadi adalah para politisi akan mengeluarkan banyak modal dalam proses “jual dirinya” dan dalam teori ekonomi kapitalis maka akan berlangsung proses mencari keuntungan. Jadi ini artinya, dengan banyaknya modal yang dibutuhkan para politisi untuk meraih jabatan atau kekuasaan, akan mengakibatkan mereka setelah berada dalam lingkaran kekuasaan berusaha untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Dan ini tentu akan berimplikasi pada kesejahteraan rakyat dan semakin menumbuh-seburkan budaya KKN, karena tentu dalam bisnis tidak akan ada orang yang mau rugi dengan begitu mereka akan lupa dengan amanat yang telah diberikan oleh rakyat. Sistem pemilu sekarang telah menjadikan pemilu sebagai ladang bisnis dan invertasi. Sedangkan kita di satu pihak berbicara tentang clean goverment, akuntabilitas, transparansi, responsivitas, peningkatan pelayanan publik dan seterusnya, pertanyaannya sekarang adalah apakah ini mungkin terjadi dengan sistem yang ada sekarang? Daftar Kepustakaan Chilcote, Ronald H. 2003. Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 18
Muhsin Labib dkk, 2007, Ahmadinejad!: David di Tengah Angkara Goliath Dunia, Jakarta: PT Mizan Publika. Hal. 3.
Kencana Syafiie, Inu. 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Kompas. Labib, Muhsin dkk. 2007. Ahmadinejad!: David di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta: PT Mizan Publika. Pontoh, Coen. 2005. Malapetaka Demokrasi Pasar. Yogyakarta: Resist Book. Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Wardaya SJ, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat!: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S. Yogyakarta: Galangpress. -------. 2002. Pembukaan UUD 45 Amandemen ke Empat. Bandung: Pustaka Setia. http://www.ppln-penang.org/node/5 UU No. 22 tahun 2007.