Mengurus Pendidikan Seharusnya Serius Bagikan 29 Mei 2009 jam 11:43 Jika orang sadar terhadap arti pendidikan yang sesungguhnya, tatkala melihat berbagai kasus terkait pendidikan saat ini, akan merasakan keprihatinan yang amat mendalam. Betapa tidak, pendidikan sudah sangat biasa diselewengkan oleh berbagai pihak, termasuk oleh para pengelola pendidikan, pendidik dan tidak terkecuali oleh si terdidik sendiri. Penyelewengan terhadap pendidikan sudah sempurna, dilakukan oleh panyak pihak. Statemen tersebut mungkin oleh sementara orang dianggap bombastis, karena terlalu berlebih-lebihan. Tetapi barangkali hanya dengan cara itu, persoalan ini akan mendapat sedikit perhatian oleh kalangan luas. Semestinya jika memang seseorang memiliki hoby membuat penyelewengan, maka janganlah dilakukan di dunia pendidikan. Sebab, pendidikan adalah menyangkut kehidupan diri seseorang, masyarakat dan bangsa, bukan saja saat ini, melainkan adalah masalah masa depan. Kalau pun tokh boleh, karena terpaksa misalnya, silahkan membuat kesalahan tatkala membangun rumah, membikin jembatan, jalan, ngurus pabrik, perkebunan, administrasi perkantoran dan lain-lain, -------sekalipun juga semestinya itu pun tidak boleh dilakukan, tetapi jangan melakukan kesalahan dalam hal mengurus pendidikan. Mengurus pendidikan, adalah sama halnya dengan mengurus hal terkait watak, perilaku, karakter dan akhlak. Jika hasil pendidikan itu salah, maka dampak kerugiannya akan luar biasa, luas, besar dan berjangkau sangat panjang. Kesalahan dalam mengurus pendidikan, akan mengakibatkan kerusakan dan penderitaan pada semua aspek kehidupan. Bangsa yang saat ini sedemikian sulit mencari orang jujur, dan kemudian keadaannya seperti ini, maka sesungguhnya pendidikan lah di negeri ini belum berhasil melahirkan orang jujur itu. Negeri yang kaya sumber daya alam, tetapi masih miskin, sesungguhnya sebab utamanya adalah terletak pada kualitas pendidikannya masih rendah. Lebih dari itu, adanya gejala semakin banyaknya pengangguran sarjana, banyaknya TKW ke luar negeri, minimnya lapangan kerja dan seterusnya, jika mau dicari akarnya adalah karena pendidikan bangsa ini belum sepenuhnya mampu melahirkan warga negara yang jujur, cerdas, terampil dan semangat kerja yang tinggi. Terasa sekali, bahwa pendidikan selama ini belum berhasil menghidupkan jiwa, baik sebagai pemikir dan pekerja keras. Pendidikan baru sebatas berhasil mengantarkan seseorang memenuhi syarat lulus melalui ujian sederhana, lalu diberi ijazah. Bahkan akhir-akhir ini, sudah semakin jelas bagaimana pendidikan dijalankan dengan tidak semestinya. Kasus-kasus penyelewenangan ujian nasional,
yang justru dilakukan oleh kepala sekolah dan guru, ada dan terdengar di mana-mana. Ujian kemudian terpaksa diulang. Bolehlah orang membikin merk dagang palsu, tokh jika suatu saat ketahuan, pembeli akan jera hingga barang itu tidak laku lagi di pasaran. Akan tetapi jika orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan telah berani membuat lulusan palsu, maka akan sangat berbahaya sekali. Bahaya itu akan diderita oleh lulusan yang bersangkutan selama hidupnya, dan masyarakat luas juga akan terkena dampaknya. Penyelewengan pendidikan bukan saja terjadi di lembaga pendidikan menengah, melainkan juga di tingkat perguruan tinggi. Kasus-kasus penyelenggaraan pendidikan di mana-mana, di luar kampus, kuliah hanya diselenggarakan sabtu minggu, diselenggarakan dipadatkan di hotel, diikuti oleh para pejabat dan diatur seenaknya. Dengan cara itu kemudian, tanpa diketahui kapan proses pendidikan dijalani, banyak pejabat segera menyandang gelar akademik master, dan bahkan juga Doktor. Selanjutnya, kekeliruan itu lebih hebat lagi, seorang kepala daerah atau pejabat yang tidak pernah ke kampus, ----- sehari-hari sibuk di kantornya, ternyata diberi gelar sebagai Guru Besar. Lebih lucu dan aneh, tatkala guru besar tersebut dikukuhkan, dihadiri oleh orang yang selama masa reformasi dipandang kritis dan mengerti tentang tatakrama pendidikan tinggi. Jabatan guru besar, siapapun tahu adalah milik atau sebutan bagi orang-orang yang hidupnya menggeluti pengembangan ilmu di perguruan tinggi. Sama dengan pangkat jendral hanyalah otoritas bagi para tentara. Tetapi betapa anehnya, jika seorang yang tidak pernah terdaftar sebagai tentara, kemudian dikukuhkan sebagai seorang jendral. Saya belum pernah mendengar kasus yang terakhir itu,----yakni bukan tentara diangkat sebagai jendral, tetapi justru aneh terjadi, orang yang hanya mungkin bekerja sambilan di perguruan tinggi, bahkan baru beberapa kali datang ke perguruan tinggi, lalu diangkat sebagai guru besar. Beberapa ilustrasi penyimpangan penyelenggaraan pendidikan tersebut, hanyalah sebagian kecil dari berbagai jenis penyimpangan lainnya. Sering kita dengar kasus pemalsuan ijazah, penyelenggaraan pendidikan yang asalasalan, guru yang lupa akan tugasnya dan berbagai macam lainnya sangat mengerikan, terjadi di negeri ini. Jumlah lembaga pendidikan sedemikian banyak, tetapi yang berkualitas, ternyata masih sangat sulit dicari. Melihat kenyataan itu menunjukkan bahwa pendidikan belum diurus secara serius. Sayangnya para pasangan capres dan cawapres akhir-akhir ini baru tertarik menjual ide tentang perbaikan ekonomi, dan belum ada yang lantang akan memperbaiki kualitas pendidikan. Tatkala berkonsentrasi pada persoalan pendidikan, saya teringat pada lembaga pendidikan tradisional milik bangsa ini, yakni pendidikan pesantren. Pendidikan yang sangat sederhana dan tidak banyak mendapatkan perhatian pemerintah, -----kecuali di masa-masa kampanye pemilu, sesungguhnya memiliki kekuatan yang luar biasa. Para kyai secara tulus dan ikhlas, dengan
sarana dan prasarana yang sederhana, memberikan semua yang baik yang ada padanya, sekalipun tidak pernah mendapatkan gaji atau imbalan apaapa, tetapi tetap menunaikan amanah sebaik-baiknya. Hasilnya, dari pesantren banyak dilahirkan tokoh di berbagai tingkatan. Dan, melalui tulisan ini, -----untuk melengkapi tulisan saya sebelumnya, saya masih menyebut sebagai contoh, pesantren Tremas di Pacitan. Pesantren Tremas, yang sangat sederhana itu telah melahirkan alumni, yang kemudian menjadi kyai besar, mereka mendirikan pesantren di berbagai wilayah dan bahkan juga ilmuwan yang mengabdikan diri di berbagai lembaga pendidikan terkemuka. Misalnya, Prof.Dr.A.Mukti Ali, Prof.Dr.Musa Asy’ari dan bahkan terdapat seorang alumni pesantren Tremas yang kemudian pernah menjadi tenaga pengajar di Harvard, Amerika Serikat. Selain itu, dari pesantren Tremas juga lahir beberapa buku yang kemudian karya tersebut dijadikan literatur di negara-negara Timur Tengah. Di pesantren itu tidak mengenal ada penyimpangan dalam penyelenggaraan ujian, tidak terdengar ada guru mengeluh kekurangan honor, juga tidak ada kasus pemalsuan ijazah, tidak pernah ada guru dan kepala sekolah ramairamai mencuri soal ujian dan pembagian kunci jawaban kepada para santrinya, dan seterusnya. Pendidikan pesantren memang berlangsung secara sederhana, dilakukan oleh para kyai yang tulus, ikhlas dan sangat mencintai para santrinya. Ini semua menggambarkan, bahwa para kyai pesantren tatkala mengurus pendidikan, melakukannya dengan sangat serius, sekalipun dalam keadaan yang sederhana. Akhirnya, sesungguhnya jika saja mau, memperbaiki pendidikan di negeri ini tidaklah sulit, dan insya Allah bisa. Yang diperlukan adalah kesungguhan dari semua pihak. Harus dibangun kesadaran bahwa mengurus pendidikan mesti dilakukan secara benar dan sungguh-sungguh, dan tidak boleh menyelenggarakan pendidikan dikaitkan dengan semangat mencari harta, dan apalagi meraih kekuasaan segala. Pendidikan ya pendidikan, seharusnya diurus atau dikelola secara sungguh-sungguh dan serius. Wallahu a’lam.