Pendidikan Budi Pekerti Seharusnya

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Budi Pekerti Seharusnya as PDF for free.

More details

  • Words: 1,092
  • Pages: 4
BUDI PEKERTI MATA PELAJARAN WAJIB DISEKOLAH Oleh: JOKO SUTOPO, S.Pd.

Cerdas secara intelektual merupakan tuntutan dan harapan setiap orang untuk mencapai cita-cita agar kelak sukses dan berhasil. Kesuksesan dan keberhasilan itu akan mengangkat Prestige seseorang bila mampu menggunakan kecerdasan secara utuh dan seimbang dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Namun ternyata kecerdasan intelektual itu bukan satu-satunya pengantar keberhasilan dalam mencapai kesuksesan hidup

seseorang.

Daniel

Goleman

mengatakan

kecerdasan

intelektual

hanya

menyumbang 20 persen keberhasilan seseorang dan 80 persen disumbang oleh kecerdasan lain. *** Sekolah adalah “lumbung” generasi cerdas secara intelektual yang menjadi generasi penerus berkembangnya sebuah bangsa. Bagi siswa, disamping tempat menuntut ilmu, sekolah juga merupakan tempat tinggal kedua setelah rumah. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan budaya membuat siswa jaman sekarang kehilangan jati diri sebagai masyarakat intelektual yang turun beberapa tingkatan (level) lebih rendah derajatnya karena dikaburkan oleh tingkah laku yang tidak sesuai secara norma atau aturan sosial. Tingkah laku yang tidak sesuai itu disebabkan bermacammacam faktor lingkungan diantaranya keluarga dan sosial. Keluarga akan membawa pengaruh yang besar pada diri anak, sebab keluarga merupakan cerminan kebiasaan anak dalam melakukan tingkah laku yang positif dalam berinteraksi dengan lingkungan, salah satu contoh kebiasaan berpamitan atau bersalam saat kembali kerumah atau saat akan meninggalkan rumah, anak akan melakukan hal yang sama sebagai akibat sebuah kebiasaan yang dilakukan dirumah dengan anggota keluarganya, begitu juga sebaliknya. Dilingkungan sosial perkembangan anak memang banyak dipengaruhi oleh teman sebaya, sebab anak lebih banyak berada diluar rumah dari pada berkumpul dengan keluarga. Hal ini menyebabkan semakin menipisnya nilai-nilai budi pekerti atau moral dalam diri anak tersebut. Anak akan menganggap itu baik bila

lingkungan sebayanya mengatakan baik, anak akan merasa “berpengaruh” dalam kelompoknya apabila ia berhasil melakukan tindakan menyimpang. Tindakan ini akan terus berlanjut sebagai akibat dari eksistensi anak dalam kelompoknya dan berimbas pada lingkungan disekolahnya. Berawal dari melanggar tata tertib sekolah hingga berkacak pinggang bila berbicara dengan guru, anak akan selalu mengembangkan pengaruh menyimpangnya pada teman-temannya disekolah. Dalam kondisi seperti ini guru menjadi obyek pelemparan kesalahan karena dianggap tidak berhasil dalam mendidik siswanya disekolah. Guru akan serba salah, sebagai manusia, guru pun kadang tersinggung bila bertemu dengan anak didik yang susah diatur dan menyimpang prilakunya, tidak jarang bogem mentah pun melayang karena menahan jengkel. Tujuan baik guru pun disalah artikan hingga tidak jarang orang tua siswa yang tidak terima dengan perlakuan yang diberikan pada anaknya dan melapokan ke pihak berwajib dengan tuduhan penganiayaan, guru pun dihukum penjara sebagai konsekuensi logis dalam penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak dinegara kita. Komisi Perlindungan Anak melarang adanya tindak kekerasan pada anak namun juga tidak ada solusi tepat untuk mengantisipasi kenakalan anak secara efektif. Sehingga hal ini disalah artikan oleh orang tua dan anak kemudian diungkapkan dengan tindakan sehingga membawa dampak negative bagi guru. Anak akan merasa besar kepala dan bebas melakukan apa saja disekolah termasuk berhadapan dengan guru. Hal ini bisa ditemui pada sekolah yang memiliki input siswa dengan skill yang dibawah rata-rata. Dirumah kepedulian orang tua terhadap perkembangan potensi dan psikologis anak tidak berjalan dengan semestinya karena alasan sibuk dengan pekerjaan, maka siswa yang demikian cenderung mendahulukan otot dari pada otak, sehingga anak seperti ini memiliki egoisitas, idealisme yang tinggi, dan temperamental, namun menyimpang. Perkembangan moral yang menyimpang menyebabkan anak tidak mampu mengendalikan kondisi psikisnya dengan baik. Menurut Gerris, dkk (dalam Mönks, 1985: 313-314) bahwa perkembangan social-kognitif (kemampuan berinteraksi dalam sosial) terdiri dari 4 tingkatan; 1) Tingkatan egosentris, anak belum membedakan antara perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum “merasakan” bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain. 2)

Tingkatan subyektif, anak sadar bahwa ada perspektif yang lain misalnya karena seseorang ada dalam situasi yang lain maka ia akan memperoleh informasi atau penilaian yang lain, tetapi belum mengerti hubungan antara perbedaan-perbedaan perspektif tersebut. 3) Tingkatan refleksi diri, sekarang ada perspektif yang menyebelah atau yang tidak timbal balik pada anak (bertepuk sebelah tangan). Anak sadar bahwa lain orang dapat mempunyai perasaan dan pikiran yang lain pula, tetapi ia belum mampu menghubungkan perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. 4) Tingkat koordinasi perspektif, baru sekarang anak dapat mengerti suatu situasi-interaksi dari sudut pandangan orang ketiga yang “netral”. Sifat khasnya bahwa anak ini melihat dirinya dan interaksi dengan orang lain berdasarkan dari pandangan orang ketiga. Anak-anak yang secara intelektual dibawah rata-rata akan menunjukkan kekuatannya sebagai anak perkasa dalam kondisi apapun. Mata pelajaran pendidikan moral saja tidak mempan untuk “menyembuhkan” penyakit yang sudah mendarah daging. Apalagi mata pelajaran tersebut telah lama dihapus, maka sangat dibutuhkan secara khusus pelajaran yang berorientasi pada pendidikan budi pekerti (unggah-ungguh). Guru BK (Bimbingan Konseling) dengan jumlah terbatas tidak cukup hebat dalam mengatasi hal yang demikian, untuk mengatasi hal tersebut harus didukung peran serta lintas sektoral dari semua unsur dalam lembaga bersangkutan, mulai dari guru dan personal yang lain sehingga ada sebuah tindakan nyata dalam mengatasi krisis budi pekerti. Tindakan nyata yang selama ini dilakukan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Dinas Pendidikan di daerah dalam hal ini adalah menyelenggarakan pendidikan budi pekerti dalam bentuk pagelaran Festival Fragmen dan Penulisan Naskah Budi Pekerti tingkat SMA se-Jawa Timur. Hal itu dirasa kurang maksimal sebab pelaksanaannya hanya satu tahun sekali. Anak melakukan hal tersebut bukan atas dasar pendidikan budi pekerti yang diberikan tetapi berdasarkan tuntutan naskah yang ditulis sang penulis naskah sehingga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak ada dan terkesan sebuah formalitas. Dari kondisi diatas perlu sebuah “solusi cerdas” untuk memasukkan pendidikan budi pekerti menjadi mata pelajaran wajib pada semua jenjang pendidikan di sekolah. Artinya, disamping memberikan pendidikan budi pekerti sebagai mata pelajaran tetap

juga membuka kesempatan pekerjaan bagi sarjana-sarjana pendidikan yang belum tersalurkan ilmunya. Pelajaran pendidikan budi pekerti akan lebih mantab lagi bila digunakan sebagai persyaratan wajib seseorang untuk masuk ataupun lulus dari sekolah dimaksud. Sehingga meringankan beban guru dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Selama ini guru telah berjuang mati-matian untuk mencerdaskan anak bangsa atas dasar profesi dan profesionalismenya, guru juga manusia, memiliki latar belakang masalah yang berbeda sehingga ada kemungkinan untuk membuat guru bersikap skeptis ketika menghadapi hal yang mengancam stabilitas kehidupan pribadinya, siapapun guru itu. Sebuah

pertanggungjawaban

yang

besar

yang

tidak

hanya

dipertanggungjawabkan pada sesama manusia tetapi juga dengan Sang Pencipta alam semesta. Bagaimanapun guru secara ikhlas memberikan semua ilmu yang dimilikinya tanpa ada paksaan, namun bila keikhlasan itu harus dibayar mahal dengan mengahadapi “kenakalan” anak yang tak punya rasa iba maka perlahan-lahan akan pupus dan memudar juga. Akan lebih mudah mencari anak cerdas intelektual disekolah daripada mencari anak yang cerdas dalam budi pekerti. Perilaku baik atau buruk bukan merupakan faktor bawaan seseorang, maka perilaku tersebut bisa dipelajari siapa saja. Untuk memperjelas identitas sebagai makhluk yang beradab maka budi pekerti merupakan penyeimbang dalam berinteraksi di kehidupan social.

Related Documents