Lapsus Bab4.docx

  • Uploaded by: rdota
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Bab4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,244
  • Pages: 23
BAB IV PEMBAHASAN

Dilaporkan anak laki-laki usia 11 tahun dengan berat badan 33 kg di rawat inap di ruang Flamboyan RSUD dr. Doris Sylvanus dengan diagnosis Disentri dan Demam Berdarah Dengue derajat I. Pada kesempatan ini akan dibahas diagnosis, tatalaksana, prognosis dan tindak lanjut dari penyakit yang diderita pasien. Anamnesis yang dilakukan pada ibu pasien, diketahui anak datang dengan keluhan buang air besar (BAB) cair 6 kali sejak 1 hari SMRS, anak mengeluhkan BAB cair tiba-tiba setelah anak mengonsumsi es campur yang dibeli oleh ibunya. Awalnya anak mengeluhkan nyeri perut lalu anak mulai mengeluhkan BAB cair pagi hari (24 jam SMRS). BAB dikeluhkan berkonsistensi cair, feses berwarna kuning, setiap kali BAB sekitar ½ gelas air mineral, tidak ada darah, tidak ada ampas. Setiap kali ingin BAB, anak mengeluhkan nyeri perut yang bersifat kolik, diapatkan pula anak dengan keluhan mual Setelah BAB cair sebanyak 6 kali, anak mengeluh ingin minum dan makan, anak tampak lemas. Tidak ada keluhan BAB dengan tinja seperti cucian beras ataupun tinja seperti petis. Ibu lalu membawa anak ke RS. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik di IGD didapatkan diagnosis diare akut. Berdasarkan anamnesis didapatkan gejala yang mencakup BAB dengan frekuensi lebih dari tiga kali sejak 1 hari SMRS, BAB cair dengan konsistensi cair. Berdasarkan literatur, diare adalah BAB dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 lebih atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu BAB encer lebih dari 3 kali per hari. Selain diare, anak mengeluhkan nyeri kolik dan mual yang dirasakan hilang timbul sejak onset pertama diare. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapatkan produksi air mata yang cukup, tidak didapatkan mata cowong, ditemukan bibir kering, pada pemeriksaan abdomen didapatkan tenesmus, serta nyeri tekan, nyeri tekan paling dikeluhkan pada regio umbilikus. Keluhan BAB berdarah didapatkan saat pasien mendapatkan perawatan hari kedua. 21

Menurut literatur, diare akut infeksi diklasifikasikan menjadi diare inflamasi dan diare noninflamasi dengan manifestasi klinis yang berbeda. Diare pada pasien diklasifikasikan sebagai diare akut dengan kelompok eksudatif sebab terjadinya inflamasi. Pengelompokkan ini diakibatkan oleh ditemukannya gejala seperti BAB dengan frekuensi lebih dari tiga kali, yang disertai dengan keluhan gastrointestinal seperti mulas hingga nyeri perut yang bersifat kolik, mual, serta tanda dehidrasi. Pada diare non inflamasi, gejala gastrointestinal yang dikeluhkan akan lebih minimal dibanding diare inflamasi. 9 Keluhan gastrointestinal seperti mulas, nyeri perut hingga tenesmus akan lebih dikeluhkan pada anak dengan diare inflamasi. Hal ini dikarenakan terjadinya proses peradangan atau inflamasi sehingga menimbulkan reaksi inflamasi seperti dilepaskannya mediator seperti leukotriene, interleukin, kinin dan zat vasoaktif lain, selain itu juga dapat diproduksi toksin sesuai jenis kuman yang menginfeksi anak. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik yang telah dialami anak seperti lemah dan nyeri perut. Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap. Didapatkan peningkatan kadar leukosit sebesar 14.160 /uL dengan peningkatan kadar neutrofil sebesar 10.100/uL dan monosit sebesar 2.750/uL. Dengan meningkatnya kadar leukosit dan komponennya yang berupa neutrofil dan monosit, dapat disimpulkan anak mengalami infeksi, baik dari infeksi bakteri atau parasit. Untuk menegakakkan sebab infeksi pada diare anak dibutuhkan pemeriksaan feses rutin untuk melihat secara mikroskopis kenaikan kadar leukosit untuk menegakkan tipe diare serta untuk melihat patogen infeksi pada tinja. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik pada pasien, didapatkan diare akut yang bersifat inflamasi. Hal ini dapat ditegakkan sebab pada diare noninflamasi akan temukan diare cair dengan volume yang besar tanpa darah atau lendir serta ditemukannya gejala gastrointestinal yang minimal atau tidak ada sama sekali. Diare ini dapat disebabkan oleh lebih dari satu mekanisme. Pada pasien terjadi peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Pada dasarnya, mekanisme terjadinya 22

diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Oleh karena mekanisme invasi bakteri atau parasit yang mengakibatkan diare berbeda tiap patogennya, perlu dilakukan pemeriksaan feses rutin untuk melihat bakteri yang menginvasi usus.9 Pada saat anak datang ke IGD, ditemukan tanda dehidrasi pada anak yang meliputi anamnesis yang didapatkan anak gelisah anak mengeluh haus dan ingin minum, dari anamnesis didapatkan keluhan BAB cair sebanyak 6 kali sejak 1 hari SMRS, riwayat demam 5 hari yang lalu dan ingin minum dan makan, dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya mata cowong, produksi air mata anak masih cukup serta turgor kulit yang masih cepat kembali atau kembali kurang dari 2 detik. Maka menurut literatur, tanda dan gejala tersebut digolongkan sebagai dehidrasi ringan sedang. Dehidrasi pada pasien disebabkan oleh diare yang terjadi. Berikut merupakan manifestasi klinis dan derajat dehidrasi, (Tabel 4).

Tabel 4. Derajat dehidrasi Gejala/ derajat

Diare tanpa

Diare dehidrasi

Diare dehidrasi

dehidrasi

dehidrasi

Ringan/Sedang

Berat

Bila terdapat dua Bila terdapat dua Bila terdapat dua

Keadaan umum

tanda atau lebih

tanda atau lebih

tanda atau lebih

Baik, sadar

Gelisah/rewel*

Lesu, lunglai/tidak sadar

Mata Keinginan untuk

Tidak cekung

Cekung

Cekung

Normal, tidak ada Ingin minum, rasa Malas minum

minum

rasa haus

haus*

Turgor

Kembali segera

Kembali lambat

Kembali

sangat

lambat (>2 detik) Keterangan : * ditemukan pada pasien

23

Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dan elektrolit dengan penyebab multifactor, keadaan ini didefinisikan keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi keduanya, kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya elektrolit. Diare menyebabkan hilangnya cairan elektrolit dari dalam tubuh, ditambah dengan anak yang sudah mengalami demam selama 3 hari karena peningkatan suhu tubuh 1 derajat celcius maka kebutuhan cairan akan meningkat sebanyak 12,5%. Menurut literatur, diare adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat atau kombinasi keduanya. Pasien mengalami kehilangan cairan melalui tinjanya, sedangkan pemasukan cairan tidak seimbang. Patofisiologi dehidrasi berbeda-beda tergantung tipe dehidrasi yang dapat dikategorikan berdasarkan pemeriksaan kadar elektrolit. Tetapi pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan elektrolit sehingga sulit untuk menentukan tipe dehidrasi baik tipe hipertonik, isotonik atau hipotonik.11 Selain itu pada saat di IGD, ibu mengeluhkan riwayat demam pada anak, demam dikeluhkan terjadi 5 hari yang lalu, dengan kenaikan suhu tubuh pada hari pertama hingga hari ketiga, suhu hari pertama yaitu 39,0 C, hari kedua didapatkan 38,8 C, hari ketiga 38,5 C, hari ke empat atau saat anak masuk rumah sakit 37,0 C. Saat datang ke IGD, anak telah meminum Paracetamol oral 3 jam yang lalu dengan suhu 37,5. Ibu mengatakan suhu tubuh turun saat ibu memberikan obat paracetamol 1 sendok takar kepada anaknya. Pada awal demam, anak mengeluhkan nyeri kepala terlebih di bagian mata, anak juga mengeluhkan lemas sehingga membuat anak tidak masuk sekolah. Anak tidak mengeluhkan adanya bintik merah pada kulit, tidak adanya nyeri berkemih, atau nyeri telinga, keluhan mengigil disangkal. Ibu mengeluhkan bahwa sedang terjadi wabah Demam Berdarah Dengue di lingkungannya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan anak tampak lemas, tekanan darah 110/70 mmHg, tidak didapatkan peningkatan suhu, denyut nadi dan frekuensi nafas, tidak didapatkan manifestasi perdarahan spontan pada kulit, tidak ditemukan gusi berdarah, denyut nadi arteri dorsalis pedis masih teraba, akral pasien ditemukan 24

hangat. Telah dilakukan pemeriksaan uji bendung atau Rumple leed test pada pasien, didapatkan hasil positif dengan timbulnya lebih dari 20 petekie dengan ukuran diameter petekie lebih dari 2 mm, ditemukan di lipatan siku serta lengan bawah. Dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap saat pasien berada di IGD atau saat pasien demam hari ke empat, didapatkan peningkatan kadar Hb yaitu 18,5 g/dL, penurunan kadar trombosit (43.000/uL), peningkatan kadar leukosit dan eritrosit (14.1260/uL, 6,34 x 106 /uL), untuk kadar hematocrit, didapatkan dalam batas normal yaitu 45,6%. Jika dikaitkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien mengalami infeksi virus dengue berupa Dengue Haemmoragic Fever. Di IGD, anak didiagnosa dengan DF hari ke 4. Menurut literatur, demam dengue merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue. Demam dengue digambarkan dengan karakteristik demam 2-7 hari, demam tinggi dengan minimal ditambah gejala penyerta seperti nyeri kepala, nyeri sendi atau otot, gangguan pernafasan, muntah, nodus limpa mebengkak, walaupun beberapa orang yang terinfeksi mungkin tidak menimbulkan gejala seperti ini. Dasar diagnostik DD adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan dilakukan pemeriksaan penunjang. Pada kriteria diagnosis dari WHO pada kasus ini memenuhi beberapa kriteria dari WHO. Berdsarkan literatur infeksi virus dengue yaitu DD sesuai dengan kriteria oleh WHO, yaitu : a. Demam mendadak tinggi b. Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih 1. Nyeri kepala 2. Nyeri retro-orbita 3. Nyeri otot dan tulang 4. Ruam kulit 5. Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan 6. Leukopenia 7. Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif 25

c. Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites, hipoproteinemia). Sedangkan pada anak dengan DHF akan ditemukan, a. Klinis 1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari 2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: a. uji bendung positif b. petekie, ekimosis, purpura c. perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi d. hematemesis dan atau melena e. Pembesaran hati f. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah. b. Laboratorium : 1. Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar 2. Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan 3. Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia. Diagnosis DD tidak cocok ditegakkan karena pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai trombosit pada demam hari ke-empat menunjukkan trombositopenia (nilai trombosit 43.000/uL) dan kadar hematokrit dan Hb secara berurut ialah 47,6% dan 18,5 g/dl, hal ini menunjukkan adanya hemokonsentrasi, walaupun pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya efusi pleura dan asites, hal ini didapatkan

26

dari tidak adanya keluhan nyeri dada atau sesak pada pasien, tidak ada pula perut yang ditemukan kembung atau membuncit, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik paru dan abdomen. Diagnosis efusi pleura dan asites juga membutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan foto polos thorax yang akan memperlihatkan cairan pleura yang menempati area bawah paru pada foto AP dan foto polos abdomen dengan posisi RLD yang akan memperlihatkan timbunan cairan. Maka, dengan keadaan klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang, didapatkan adanya plasma leakage atau kebocoran plasma, maka anak didiagnosa dengan demam berdarah dengue (DBD). Kelainan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik didapatkan uji bendung dengan hasil positif, hal ini menjelaskan terjadinya kebocoran pada permeabilitas dinding kapiler. Akibat terjadinya trombositopenia pada pasien dengan infeksi dengue, darah dalam kapiler akan keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak sebagai bercak atau titik merah kecil pada permukaan kulit. Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Menurut literatur, demam pada DHF disebabkan oleh infeksi virus dengue. Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.

Lama perjalanan

penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung selama 7 hari dan terdiri atas 3

27

fase, yaitu fase demam yang berlangsung 3 hari (hari sakit ke-1 sampai dengan hari ke-3), fase kritis, dan fase penyembuhan (convalescence, recovery). Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4 dan ke-5 (24-48 jam), pada saat ini demam turun, sehingga disebut sebagai fase deffervescene. Fase ini kadang mengecoh karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh karena demam turun padahal anak memasuki fase berbahaya ketika kebocoran plasma menjadi nyata dan mencapai puncak

pada hari ke-5. Pada fase tersebut akan tampak jumlah

trombosit terendah dan nilai hematokrit tertinggi. Pada fase ini, organ-organ lain mulai terlibat. Meski hanya berlangsung 24-48 jam, fase ini memerlukan pengamatan klinis dan laboratoris yang ketat. 5 Leukositosis pada pasien Menurut literatur, pada penderita DD atau DBD dapat terjadi (<10.000/uL) sampai leukositosis

leukopenia

sedang. Leukopenia dapat terjadi pada hari

demam pertama dan ke-3 pada 50% kasus DBD ringan. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya degenerasi sel PMN yang matur dan pembentukan sel PMN muda. Pada saat demam, mulai terjadi pengurangan jumlah leukosit dan netrofil disertai limfositosis relatif. Leukopenia mencapai puncaknya sesaat sebelum demam turun dan normal kembali pada 2-3 hari setelah defervescence (demam turun). Namun pada pasien, ditemukan leukositosis, hal ini diakibatkan pasien mengalami diare akut, yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Dalam proses infeksi, peningkatan sel-sel leukosit akan terjadi karena tubuh mencoba mengompensasi kerusakan jaringan akibat infeksi tersebut. Sel-sel polimorfonuklear dari leukosit (granulosit) yang dilepaskan dari sumsum tulang normalnya memiliki masa hidup empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari berikutnya dalam jaringan yang membutuhkan. Oleh karena itu, selama infeksi terjadi

28

akan terjadi mekanisme yang mendorong pembuatan leukosit untuk meningkatkan jumlah leukosit untuk menekan infeksi.5 Trombositopenia dan hemokonsentrasi pada pasien Berikut adalah tabel perbandingan kadar haemoglobin, hematokrit dan trombosit pada pasien, Tabel 3. Perbandingan pemeriksaan darah pasien Pemeriksaan

02/12/2018

03/12/2018 04/12/2018 05/12/2018

Hb

18,5 g/dL

14,5 g/dL

17,6 g/dL

13,3%

Ht

47,6%

37,1%

36,6%

35,4%

Trombosit

48.000/uL

52.000/uL

60.000/uL

124.000/uL

Pada tabel 3, terjadi trombositopenia pada pasien, saat anak datang nilai trombosit anak yaitu 48.000/uL, nilai trombosit berangsur membaik tiap harinya. Menurut literatur, trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Penyebab trombositopenia pada infeksi dengue adalah akibat terbentuknya kompleks virus antibodi yang merangsang terjadinya agregasi trombosit. Agregat tersebut melewati RES sehingga dihancurkan. Peningkatan destruksi trombosit di perifer juga merupakan penyebab trombositopenia pada infeksi dengue. Sedangkan pada nilai hematokrit, pada pasien terjadi kenaikan hematokrit, kadar hematokrit yang normal akan ditemukan pada demam dengue. Sedangkan pada DBD, akan didapatkan peningkatan nilai hematokrit sebesar ≥20% atau ≥20% setelah mendapat terapi cairan. Pada tabel 3, dapat dilihat perbandingan nilai hematokrit pada hari pertama dan kedua, jika dihitung terjadi penurunan kadar hematokrit ≥20% setelah mendapat terapi cairan yaitu sebesar 28%.

29

(47,6 - 37,1) X 100% = 28% 37,1 Menurut literatur, nilai hematokrit adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 mL darah lengkap. Nilai hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) karena peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma darah, misalnya pada kasus DBD. Berdasarkan kriteria laboratorium WHO, jumlah trombosit yang rendah (trombositopenia) dan kebocoran plasma yang ditandai dengan hemokosentrasi merupakan indikator penting untuk DBD. Selain pemeriksaan darah lengkap, pada pemeriksaan infeksi dengue dapat dilakukan pemeriksaan laboratorik meliputi serologis, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kultur virus. Pemeriksaan serologis dapat mendeteksi antigen berupa NS1 atau antibodi seperti anti dengue IgA, IgM dan IgG menggunakan metode imunokromatografi

atau

Enzyme

Linked

Immunosorbent

Assay

(ELISA).

Pemeriksaan penguatan infeksi virus dengue adalah dengan PCR dan kultus virus. Saat ini pemeriksaan NS1 lebih sering digunakan karena NS1 lebih memiliki sensitivitas yang tinggi dibandingkan kultur virus dan pemeriksaan PCR ataupun antibodi IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas antigen NS1 100% sama tingginya dengan standar emas kultur virus maupun PCR. Pada pasien, tidak dilakukan pemeriksaan NS1 ataupun IgM dan IgG. Pemeriksaan NS1 tidak dilakukan karena anak datang pada demam hari keempat, hal ini karena kadar Ag NS1 tinggi pada awal sakit, tertinggi pada hasi sakit kedua, dan menurun menjelang dan bersamaan dengan defervescence atau saat demam mulai hilang. Berikut adalah grafik positivitas Ag NS1 berdasarkan hari sakit, Grafik 1.

30

Grafik 1. Positivitas Ag NS1 berdasarkan hari sakit

Selain tidak dilakukannya pemeriksaan NS1, pada pasien juga tidak dilakukan pemeriksaan serologis IgM dan IgG. Pemeriksaan serologis dapat ulai mendeteksi antibodi mulai hari ke-3 emam dengan puncak deteksi hari ke-7 demam. Pada infeksi pertama kali oleh virus dengue, antibodi IgM terdeteksi pada demam hari ke 3-5, kadar IgM akan eningkat hingga hari ke-10, sedangkan IgG umumnya terdeteksi pada titer rendah pada demam hari ke-7, meningkat perlahan setelahnya, kemudian serum IgG masih terdeteksi setelah beberapa bulan. Berikut adalah pola peningkatan kadar IgM dan IgG pada infeksi dengue, yang dapat dlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Pola peningkatan akdar IgM dan IgG pada infeksi dengue

31

Bila anak datang pada demam hari ke-empat, akan lebih baik jika dilakukan pemeriksaan serologis dengue yaitu pemeriksaan IgM dan IgG. Diharapkan terjadi peningkatan pada kadar IgM, sehingga mampu menunjang diagnose demam dengue. Pemeriksaan NS1 tidak diperlukan lagi karena kadar NS1 mulai menurun. Ibu mengeluhkan bahwa di area perumahannya terjadi peningkatan angka kejadian demam berdarah dengue. Menurut literatur, penularan infeksi virus dengue terjadi melalui virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Dari kedua nyamuk ini yang paling dominan sebagai vector ialah A. aegypti. Setelah mengisap darah, nyamuk ini akan membawa virus dari penderita dalam kelenjar ludahnya, sehingga virus dengue dapat mudah ditularkan jika nyamuk tersebut mengisap darah orang lain. Sebelumnya virus telah bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk selama 8-12 hari. Selain itu nyamuk Aedes memiliki waktu hidup yang cukup panjang yaitu sekitar 15-65 hari sehingga penularan masih bisa terjadi. Setelah virus masuk dalam tubuh pejamu, virus akan memasuki periode inkubasi selama 3-14 hari. Selama itu virus akan bereplikasi di dalam sel target yaitu sel dendritic dan belum menunjukkan serangan. Infeksi pada sel target seperti sel dendritik, hepatosit dan sel endotel, mengakibatkan pembentukan respon imun seluler dan humoral terhadap infeksi virus pertama dan berikutnya. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu, 1.

Vektor:

perkembangbiakan,

kebiasaan

menggigit,

kepadatan

dalam

lingkungan, jenis serotipe, transportasi dari satu tempat ke tempat lain. 2. Pejamu: terdapat penderita di lingkungan keluarga, paparan terhadap nyamuk, status gizi, usia (> 12 tahun cenderung untuk DBD) dan jenis kelamin (perempuan lebih rentan dari pada laki-laki). 3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien tinggal di area sungai dengan kelembaban yang tinggi, ibu mengatakan lingkungan rumahnya memang cukup sering dihinggapi nyamuk, ibu menuturkan bahwa orang tua pasien jarang melakukan pemberantasan nyamuk secara berkala dengan pembersihan bak mandi atau tempat 32

penampungan air lainnya. Saat terjadinya demam dengue pada anak, saat itu sedang terjadi peningkatan curah hujan, hal ini juga membuat banyak bak penampungan air di rumah pasien dan lingkungan sekitarnya. Ibu pasien menuturkan bahwa beberapa tetangga pasien sedang mengalami Demam Berdarah Dengue. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya virus dengue pada pasien.

Tatalaksana pada pasien saat di IGD Tatalaksana yang diberikan di IGD berupa terapi cairan melalui intra venous fluid drip Ringer Laktat, diberikan 25 tpm, lalu diberikan injeksi ranitidine 35 mg secara intravena, serta diberikan obat secara oral yaitu Paracetamol sirup 2 ½ sendok takar, zinc dan oralit. a. Perhitungan kebutuhan air dan elektrolit pada anak >20kg ialah 1500+ 20 ml/kgBB, sehingga pada pasien dibutuhkan 1.760 ml cairan per harinya, sehingga bila dimasukan dalam rumus perhitungan (1760 / 72) didapatkan 25 tetes per menit. b. Pemberian injeksi ranitidine yang termasuk golongan H2 histamine blocker diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung, diharapkan dapat mengurangi nyeri perut pada anak, dengan dosis 1 mg/kgBB. Maka anak saat itu diberikan 35 mg. c. Pemberian obat per obal paracetamol sebagai antipiretik dengan dosis 2 ½ sendok takar, hal ini disebabkan dalam 5 ml (sendok takar) paracetamol mengandung 120 mg paracetamol, pada pasien dibutuhkan (33 x 10 mg/kgBB) 330 mg, sehingga digunakan 300 mg (5 sendok takar), untuk mencukupi dosis yang dibutuhkan, pemberian obat paracetamol diberikan tiap anak mengalami kenaikan suhu >37,5 C. d. Pemberian zinc diberikan pada pasien 1x 20 mg atau 1 sendok takar. Pemberian zinc diakibatkan diare yang dialami oleh pasien. Pemberian zinc diharapkan dapat memperpendek durasi diare, karena zinc mampu mempercepat regenerasi dan meningkatkan fungsi vili usus, sehingga akan 33

mempengaruhi pembentukan enzim disakaridase yaitu laktase, sukrose, dan maltase, selain itu zink juga mempengaruhi transport Na dan glukosa, dan meningkatkan respon imun yang mengarah pada bersihan patogen dari usus sehingga zink dapat mempengaruhi proses penyembuhan diare. e. Terapi oralit sebagai cairan rehidrasi oral, hal ini sesuai dengan rencana terapi B sebagai bagan untuk penanganan dehidrasi ringan/sedang. Bagan rencana terapi B dapat dilihat di gambar 1.

Gambar 1. Rencana Terapi B2

34

BAB berdarah pada pasien Selanjutnya anak dilakukan pemeriksaan lanjutan di bangsal anak, anak mendapatkan perawatan selama 4 hari. Pada hari pertama dan hari kedua anak masih mengeluhkan BAB cair, BAB cair pada hari pertama dikeluhkan sebanyak 5 kali, pada hari kedua sebanyak 4 kali. Menurut ibu pasien, didapatkan warna tinja kuning dengan tinja anak berlendir, pada tinja didapatkan darah, volume tiap BAB sekitar ½1 gelas air mineral, tinja berbau busuk, anak tidak mengeluhkan muntah, anak mengeluhkan nyeri perut tiap mau bab, tidak ada keluhan tangisan keras karena nyeri perut yang berlebih. Dilakukan pemeriksaan feses rutin pada anak. Pada pemeriksaan makroskopis didapatkan konsistensi encer, warna kuning tidak didapatkan darah, lender atau parasit. Sedangkan pada pemeriksaan mikroskopis tinja didapatkan banyak leukosit eritrosit 4-8 sel, tidak didapatkan telur cacing atau jamur, tetapi didapatkan amuba berupa Entamoeba histolytica. Menurut literatur, manifestasi klinis amebiasis atau diare yang disebabkan Entamoeba hitolytica ialah nyeri abdomen, diare serta malaise. Pada tinja dapat mengandung darah dan mucus disertai tenesmus. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yaitu nyeri perut, diare lebih dari 3 kali dalam 3 hari, serta lemas. Selain itu diagnosis amebiasis intestinal ditegakkan dengan terdapatnya trofozoit atau kista pada sediaan tinja basah. Tinja harus diperiksa dalam 1jam pertama dan dalam suhu kamar karena trofozoit setelah 1 jam akan lisis dan tidak dapat dikenali lagi, teknik konsentrasi juga dapat digunakan dengan pulasan trikom untuk menemukan kista amuba. Pada pemeriksaan tinja pasien hanya dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis tinja, namun diagnosa amebiasis dapat ditegakkan sebagai dasar diagnosis disentri yang ditegakkan pada saat perawatan di ruangan. 13 Menurut literatur disentri merupakan infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah atau lendir. Terdapat berbagai penyebab disentri, diantaranya Shigella, E.histolytica, E.coli, Campylobacter jejuni dan sebagainya. Pada pasien disentri yang dialami disebabkan oleh E.histolytica/ Infeksi amoeba pada 35

amubiasis terjadi melalui kista parasit yang tertelan yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Sedangkan tertelannya bentuk tropozoit tidak menimbulkan infeksi karena tidak tahan terhadap lingkungan asam dalam lambung. Setelah penelanan, kista yang resisten terhadap asam lambung dan enzim pencernaan, masuk dan pecah dalam usus halus membentuk delapan tropozoit yang bergerak aktif, merupakan koloni dalam lumen usus besar dan dapat menimbulkan invasi pada mukosa. Anak dapat terinfeksi amoeba tersebut dari riwayat minum terakhir anak yaitu es campur yang dibeli oleh ibunya.12

Follow up pasien Pada perawatan dibangsal, follow up hari 1 (3 Desember 2018) anak masih mengeluhkan BAB cair dengan konsistensi encer, berwarna kuning, disertai lendir dan darah, anak mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul. Anak diagnosis dengan Diare akut dd disentri dan DHF grade I. Demam Dengue berubah menjadi Demam Berdarah Dengue grade I, anak sudah tidak mengeluhkan demam, tidak mengeluhkan nyeri kepala atau nyeri perut, tidak ada tanda perdarahan spontan seperti bintik merah tanpa provokasi, mimisan, gusi berdarah atau BAB hitam. Berdasarkan hasil laboratorium didapatkan Hb dan eritrosit dalam rentang normal, leukositosis dengan nilai 12.780/uL, lalu didapatkan trombositopenia nilai trombosit 52.000/uL dan kadar hematokrit 37,1%, tidak didapatkan hemokonsentrasi pada pasien. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, tidak didapatkan adanya tanda-tanda efusi pleura, tanda asites dan hemokonsentrasi pada anak, sehingga anak cenderung mengalami Demam Berdarah Dengue hari ke-5. Pada follow up hari ke 2 (4 Desember 2018) didapatkan keluhan BAB cair sebanyak 4 kali dengan konsistensi lunak, berwarna kuning, disertai ampas dan darah, anak masih mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul, nyeri perut lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Anak tidak lagi mengeluhkan demam, tidak ada tanda-tanda perdarahan spontan pada anak, tidak ada nyeri perut, dari pemeriksaan fisik tidak 36

didapatkan tanda-tanda dehidrasi dan tanda-tanda perdarahan spontan. Hasil laboratorium sebagai evaluasi DHF hari ke 5 pada anak didapatkan Hb, eritrosit dan leukosit dalam rentang normal. Didapatkan trombositopenia, tetapi kadar trombosit sudah naik dari anak masuk RS dan perawatan hari pertama, nilai trombosit 60.000/uL, sedangkan nilai hematocrit 36,6%. Karena pada perawatan hari kedua anak mengeluhkan BAB berdarah, dilakukan pemeriksaan feses lengkap pada anak. Selain itu karena anak masih mengeluhkan BAB cair, diberikan terapi tambahan yaitu antibiotik Cefotaxime dengan anjuran pakai 3x1 gr yang diberikan secara intravena. Cefotaxime merupakan antibiotik dari golongan sefalosporin. Sefalosporin merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang dapat mematikan bakteri gram positif dan gram negatif, diharapkan pemberian cefotaxime dapat menurunkan infeksi diare pada anak. Pada kasus ini, diberikan antibitoik pada hari perawatan ke 2, hal ini karena anak baru mengeluhkan diare berdarah pada hari kedua. Menurut teori, lima lintas diare, pemberian antibiotik pada pasien diare harus diberikan secara selektif. Antibiotik hanya diberikan ketika ada indikasi seperti diare berdarah atau diare akibat kolera. Selain bahaya resistensi kuman, pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat membunuh flora normal yang justru dibutuhkan tubuh. Maka pemberian antibiotik tepat diberikan pada perawatan hari kedua saat diare berdarah baru dikeluhkan. Pada saat ini dilakukan pemeriksaan feses lengkap. Pada follow up hari ke 3 (5 Desember 2018) didapatkan keluhan frekuensi buang air besar didapatkan 2 kali, dengan konsistensi semi padat, masih didapatkan darah serta lendir, nyeri perut dikeluhkan berkurang. Selain itu, sebagai evaluasi DHF grade I hari ke-6 didapatkan anak bebas demam sejak perawatan hari pertama, tidak ada tanda perdarahan spontan, nafsu makan anak lebih baik, anak konsumsi makanan pokok 3 kali sehari dan memperbanyak minumnya. Menurut literatur, tanda pasien masuk ke dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35%-40-% dan diuresis cukup. Hasil laboratorium sebagai evaluasi DHF grade I hari ke 6 pada anak didapatkan kadar trombosit 124.000/uL, hematokrit 35,4%. Berdasarkan literatur 37

penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai Ht stabil, tidak ada sesak napas atau takipnea, dan jumlah trombosit >50.000/mm. Maka pada hari ke enam anak dapat dipulangkan karena dari anamnesis didapatkan tidak ada demam sejak 2 hari perawatan, nafsu makan baik, tidak ada sesak napas, serta didapatkan kadar trombosit 124.000/uL

3

dan kadar hematokrit yang stabil sekitar 35%-37%.

Namun sebagai evaluasi BAB berdarah yang masih dikeluhkan pasien, maka pasien tetap rawat inap. Pada hari ketiga, hasil pemeriksaan feses lengkap pasien yaitu didapatkan E.histolytica pada feses anak. Maka diagnosa pada perawatan hari ketiga berubah menjadi DHF hari ke 5 dan Disentri. Dalam mengatasi masalah disentri, pasien diberikan tatalaksana tambahan berupa antibiotik Metronidazole dalam bentuk sirup dengan anjuran pakai 3x II sendok takar. Menurut literature, pilihan antibiotic untuk disentri yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica ialah Metronidazole dengan dosis 10 mg/kgBB tiga kali per hari selama 5 hari. Sehingga anak dengan berat badan 33 kg, dibutuhkan 330 mg, dengan pemberian 2 sendok takar, anak mendapatkan 250 mg metronidazole tiap minum. Pada follow up hari ke 4 (6 Desember 2018) keluhan demam disangkal, tandatanda perdarahan spontan disangkal, tidak dikeluhkan nyeri perut, pada hari ke-empat anak tidak lagi mengeluhkan BAB. Maka dengan gejala klinis dan hasil pemeriksaan hasil laboratorium terakhir yang menunjukkan perbaikan, pasien diperbolehkan rawat jalan dan diwajibkan control kembali ke poliklinik anak untuk monitoring keluhan disentri dan DHF pada pasien. Pasien diberikan pengobatan untuk rawat jalan berupa Zinc 1x 20 mg yang diteruskan hingga hari ke-10 dan melanjutkan Metronidazole sirup yang telah diberikan dengan aturan pakai yang sama yaitu 3x II sendok takar. Berikut merupakan tatalaksana medikamentosa yang diberikan kepada pasien.

38

Prognosis pada pasien Berdasarkan uraian diatas, prognosis pasien an. MR adalah 1. Dengue Hemorragic Fever, prognosis DBD untuk anak baik karena anak sudah melewati masa kritis, tidak ditemukan keluhan pada anak maupun ditemukannya organomegali serta pemeriksaan hasil lab yang sudah menunjukkan perbaikan, trombosit >100.000/uL dan hematokrit yang stabil. Secara ad vitam, prognosisnya ad bonam, ad functionamnya bonam dan ad sanationam ad bonam. 2. Disentri. Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit serta pengobatan dini. Pada umunnya prognosis amebiasis baik terutama pada kasus tanpa komplikasi seperti pada pasien. Secara ad vitam, prognosisnya ad bonam, ad functionamnya bonam dan ad sanationam ad bonam.

Tindak lanjut pada pasien Tindak lanjut pada pasien ialah edukasi orang tua pasien dan pasien untuk patuh terhadap pengobatan yang diberikan untuk rawat jalan, terlebih untuk pengobatan Zinc dan antibiotik serta kontrol ke poli anak. Selain itu dilakukan edukasi kepada orangtua, yaitu menganjurkan higiene dan sanitasi yang baik untuk pencegahan terhadap diare, serta melakukan pencegahan terhadap penyakit demam berdarah dengan memelihara lingkungan tetap bersih dan cukup sinar matahari serta lakukan pemberantasan sarang nyamuk.

Edukasi Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien ialah g. Upaya pencegahan disentri dapat dilakukan dengan cara: 1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab disentri. Kuman-kuman patogen penyebab disentri umumnya disebarkan secara fekaloral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab disentri perlu difokuskan pada cara penyebaran ini. 39

Upaya pencegahan disentri yang terbukti efektif meliputi: a. Penggunaan air bersih yang cukup. b. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan. c. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga. 2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host).

h. Upaya pencegahan infeksi dengue dapat dilakukan dengan cara: 1.

Dianjurkan kepada pasien untuk mengenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, dan gunakan obat penangkal nyamuk pada bagian tubuh yang tidak terlindungi.

2.

Menggunakan kawat nyamuk atau kelambu di ruangan tidak berAC.

3.

Pasang obat nyamuk bakar ataupun obat nyamuk cair/listrik di tempat yang dilalui nyamuk, seperti jendela, untuk menghindari gigitan nyamuk.

4.

Mencegah munculnya genangan air

40

BAB V PENUTUP

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien An. MR (11 tahun) didiagnosa menderita Dengue Hemorragic Fever grade I, Disentri dan dehidrasi ringan/sedang. Dasar diagnosis untuk disentri ialah keluhan nyeri perut, diare dengan BAB disertai lendir dan darah, pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan feses rutin ditemukan E. histolytica pada feses anak. Serta dehidrasi ringan/sedang dari tampakan pasien yang gelisah saat serta keinginan anak untuk makan dan minum. Dasar diagnosa DHF grade I ialah ditemukannya demam mendadak tinggi dalam 2-7 hari, uji bendung positif serta trombositopenia dengan kadar trombosit awal 43.000/uL serta ditemukan hemokonsentrasi (Hct demam hari ke-4 47,6%), lalu penurunan hematokrit >20% setelah pemberian cairan. Tatalaksana pada pasien adalah pemberian terapi cairan yang berupa cairan intravena dan cairan per oral dengan pemberian oralit untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat diare dan kebocoran plasma pada DHF. Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi E.histolytica dan pemberian paracetamol sirup untuk demam, pemberian Zinc untuk menangani diare akut. Berdasarkan uraian diatas, prognosis pasien An. MR adalah bergantung pada penatalaksanaan secara dini DHF dan Disentri yang dialami anak, prognosis untuk kasus ini yaitu dubia ad bonam. Diperlukan edukasi untuk memperbaiki pola sanitasi lingkungan serta saat pemberian makanan atau minuman kepada anak, serta memelihara lingkungan dengan baik dan pemberantasan sarang nyamuk.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Noer MS. Hematuria. Buku ajar nefrologi anak, edisi ke-2, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2002. h. 114-121 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed II. Jakarta : Penerbit IDAI. 2011 3. Nafianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap Shigellosis. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005: 39-44 4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.3. Jakarta: EGC, 2006 5. Dr. Mulya Rahma K. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Dengue. Divisi infeksi dan pediatri tropik. RSUPN Cipto mangkusumo, FKUI.2012. 6. Pemberian

Indikasi

Adona.

Sumber

dari

http://medicastore.com/obat/69/ADONA_AC17_AMPUL_50_MG10_ML.ht ml . Diakses pada tanggal 10 agustus 2017. 7. Rampengan H N, Mulya R K dan Sri R H. Ensefalopati Dengue pada Anak. FK UNSRAT/RSUP Prof. R.D. kandou, Manado. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 6, April 2011. 8. Rennya M, Utama S et all.Kelainan hematologi pada penyakit DHF. Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3 September 2009. 9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Anak. Jilid 1. 2009 10. Nafianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap Shigellosis. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005: 39-44 11. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson:Textbook of Pediatrics. 18th edition. 2007 12. Gupta P, Menon PSN, Ramji S, Lodha R. PG Textbook of Pediatrics. Infections and Systemic Disorders. Volume 2. 2015

42

13. Kenneth DS. Rangkuman Kasus Klinik: Mikrobiologi dan Penyakit Infeksi. 2011. 14. American Academy of Pediatrics. Report of the Committee on Infectious Disease: Red Book. 29th edition. 2012 15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Anak. Jilid 1. 2009

43

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"

Ditabab Ii.docx
November 2019 8
Lapsus Bab3.docx
October 2019 9
Lapsus Bab4.docx
November 2019 13